• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pertanahan (Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan).… 11

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 27-35)

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1.3 Kebijakan Pertanahan (Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan).… 11

2.1.3.1 Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan

Dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Menurut Nasoetion (2006), negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui: 1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan 3) perencanaan, persediaan, peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Sehingga dasar untuk menentukan politik agraria itu sendiri antara lain (Tauhid, 1953):

1. Negara Indonesia adalah negara kerakyatan.

2. Negara kerakyatan menjamin hak asasi manusia dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

3. Hak asasi manusia tidak boleh dipergunakan untuk menentang kepentingan masyarakat dan negara.

4. Usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ini dijalankan dengan usaha rakyat perseorangan, usaha organisasi rakyat (usaha bersama), dan usaha negara.

5. Usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan negara.

6. Negara mengatur dengan rencana ketiga usaha itu, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

7. Pemerintah pusat berkewajiban menjalankan dan mengurus usaha-usaha yang tidak dapat diselenggarakan oleh daerah, seperti pertahanan negara, hubungan luar negeri, politik keuangan, perhubungan, serta rencana pokok bagi seluruh masyarakat dan negara.

Atas dasar tujuan di atas, maka dasar politik agraria, adalah sebagai berikut (Tauhid, 1953):

1. Tanah adalah sumber dan tiang penghidupan setiap manusia.

2. Bagi Indonesia tanah itu menjadi pokok pertama bagi sumber penghidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

3. Politik tanah harus berdasarkan pada tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

4. Hukum tanah menjadi pokok-pokok dasar mengatur pemakaian tanah, sesuai dengan tujuan dan politik tersebut di atas.

Adapun, dasar-dasar hukum yang mengatur pemakaian tanah berdasar tujuan yang telah disebutkan, dapat ditentukan sebagai berikut (Tauhid, 1953):

1. Bagi seluruh Indonesia hanya ada satu macam bentuk hak tanah, sehingga tidak ada hak-hak istimewa bagi seseorang atau segolongan warga negara. 2. Warga negara mempunyai hak milik atas tanah dengan ketentuan:

a. Tanah pertanian hanya untuk orang tani, yaitu orang yang hidup dari hasil mengusahakan tanah yang diusahakan dengan kerjasama kooperatif, dalam penggarapan, pengolahan, dan penjualan hasilnya. Adapun tanah kediaman dapat diberikan kepada orang bukan tani, menurut keperluannya.

b. Adanya pembatasan luas milik hak milik atas tanah bagi tiap-tiap keluarga tani. Batas minimum berdasarkan perhitungan penghasilan tani cukup untuk mencapai tingkat hidup layak menurut syarat-syarat jasmani dan rohani. Pembatasan maksimum luas tanah yang dengan syarat-syarat dan cara pertanian modern tidak memberi kemungkinan timbulnya pemerasan penghisapan di lapangan pertanian.

3. Desa sebagai daerah kesatuan hidup yang berotonom, mempunyai hak wilayah dengan batasan Undang-Undang negara, yaitu:

a. Hak mengawasi penggunaan tanah di desanya.

b. Untuk kepentingan kemakmuran masyarakat (dalam desa) untuk sementara atau selamanya, desa dapat mengambil tanah dengan memberi ganti rugi yang sesuai dengan pemiliknya.

c. Menjaga dan mengawasi agar pemindahan hak atas tanah dalam desa tidak merugikan masyarakat sedesa dengan mengingat batas minimun dan maksimum bagi penjualnya maupun pembelinya.

d. Mencegah dan meniadakan perluasan atau penimbunan milik tanah di atas batas maksimum di samping pengecilan atau pemecahan milik tanah, yang karena kecilnya tanah tidak efisien lagi.

e. Dengan persetujuan desa ditetapkan seseorang tidak boleh menjual tanah kepada orang lain yang akibatnya akan merugikan desa. Orang yang sudah mencapai batas maksimum luas tanahnya tidak boleh menambah lagi sebaliknya tanah yang hanya seluas minimum tidak boleh dipecah lagi.

f. Desa mendorong dan membimbing pertumbuhan usaha pertanian modern dalam bentuk kooperatif, dalam hal penggarapan tanah, pengolahan, dan penjualan hasil.

4. Negara mengatur dengan undang-undang tentang pemakaian tanah berdasarkan politik yang bertujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Negara juga menjalankan pengawasan yang tertinggi atas terlaksananya undang-undang dan peraturan, agar pemakaian tanah tidak menyimpang dari tujuan. Selain itu negara dapat mengambil tanah untuk kepentingan umum.

Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai arti dari dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah tanah merupakan sumber dan tiang penghidupan setiap manusia (Tauhid, 1953). Artinya, tanah merupakan modal alami utama dengan pokok tujuannya berusaha memberi tanah kepada petani sebagai sumber penghidupan (jaminan hidup sekeluarga disamping itu hasil dari komoditi yang ditanam atau dipelihara di atas tanah dapat digunakan untuk pangan masyarakat). Di Indonesia dikenal satu macam hak atas tanah bagi seluruh warga negara. Hak-hak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan apabila tidak bertentangan dengan pokok tujuan bagi kemakmuran rakyat keseluruhan. Sementara nilai-nilai yang baik dalam masyarakat seperti gotong royong dapat dipelihara dan dikembangkan sesuai tujuan pokok dalam bentuk yang modern. Atas dasar bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama maka hak atas tanah bagi warga negara keseluruhan adalah sama. Adanya dasar pengertian bahwa hanya satu macam saja warga negara, memberikan arti bahwa hak warga negara tidak dibeda-bedakan antara golongan satu dengan lainnya berdasar tempat tinggalnya.

Tauhid (1953) mengungkapkan bahwa hak-hak istimewa sebagai hak-hak feodal dihapuskan sehingga tidak ada tempat lagi untuk terjadinya eksploitasi tanah besar-besaran untuk kepentingan seseorang atau segolongan orang saja. Adanya aturan mengenai batas maksimum dan minimum dimaksudkan agar menjadi dasar menentukan dan memperhitungkan, sehingga dapat mencapai penghasilan keluarga yang cukup untuk hidup layak sebagai manusia dimana batas-batas maksimum dan minimum tersebut berbeda di masing-masing daerah. Kerakyatan itu sendiri haruslah berat ke bawah dan paling sempurna di desa atau kesatuan yang setingkat dengan itu. Artinya, desa mempunyai hak wilayah dengan pengertian bahwa kerakyatan memang benar-benar dirasakan dan dilaksanakan rakyat. Namun ketika susunan desa itu sendiri belum demokrasi maka yang ada adalah kemungkinan timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.

2.1.4 Tata Ruang dan Tata Guna Tanah

Menurut Jayadinata (1999), tata ruang dan tata guna tanah adalah dua hal yang bersifat integral. Tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Sementara itu, penggunaan lahan juga dapat berarti pula tata ruang. Selain itu, menurut Hasan Purbo (dalam Taufik, 2004), bahwa istilah tata ruang dan tata guna tanah merupakan pengertian yang mempunyai sifat “manipulatif”, dalam arti bahwa kedua hal tersebut mengandung unsur keinginan untuk melakukan penataan atau merubah keadaan secara teratur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, “ruang termasuk daratan, lautan, angkasa, dan penataan ruang bertujuan agar terselengaranya pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional”. Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Sedangkan, menurut Jayadinata (1999) ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah di bawahnya dan lapisan udara di atasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Hal ini membuat ruang menjadi bagian dari obyek agraria atau sumber agraria.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah. 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata

ruang atau pelaksanaan pembangunan.

3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya.

Pada dasarnya, ruang meliputi unsur tanah, air, dan udara. Terkait dengan hal itu, untuk memanfaatkan ruang agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka dibutuhkan suatu penataan bagi ruang. Implementasi penataan bagi ruang dapat berupa perencanaan tata ruang yang harus didahului dengan menganalisis dan menata peruntukkan lahan. Konsepsi penataan ruang itu sendiri, digariskan dalam UUD 1945 pasal 33 Ayat (3), Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) 1992. Untuk mewujudkan konsepsi dan kebijaksanaan tersebut agar dapat dilaksanakan harus disusun Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW), yang menetapkan peruntukkan ruang berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Dinas Penataan Ruang (2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi suatu sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat luas (externalities).

Menurut Mabogunje (dalam Jayadinata, 1999), terdapat tiga macam ruang yaitu:

a. Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang ada di dalam ruang tersebut.

b. Ruang relatif, dapat digambarkan, yaitu apabila ada dua kota berjauhan tetapi terdapat jalan dan alat pengangkut yang menghubungi dua kota tersebut.

c. Ruang relasi merupakan ruang yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Pengertian dari ruang relasi itulah yang digunakan dalam perencanaan.

Secara spesifik, penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil [sic!], air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, yaitu:

a. Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia), dan

b. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh, lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya.

Jayadinata (1999) mengungkapkan bahwa pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan bergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain adalah kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan atau pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995) seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni:

1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.

2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Utomo et. al. (1992) menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni:

1. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya.

2. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.

Terkait hal tersebut, Utomo et. al. (1992) menjelaskan tentang faktor-faktor yang menetukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain:

1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan.

2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangann, tranmigrasi, perhubungan, dan pariwisata.

3. Faktor penggunaan teknologi; yakni faktor yang dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan.

4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan dalam perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan memahami kota dan desa. Kota menurut pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian. Pedesaan adalah kesatuan pemerintahan, dan terdiri atas sejumlah kampung dan kawasan pertanian yang luas yang berfungsi untuk memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri. Perbedaan paling mendasar antara kota dengan desa adalah kota lebih bersifat self contained atau serba lengkap. Penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal di kota, tetapi juga melakukan kegiatan ekonomi, seperti bekerja di dalam kota, bahkan melakukan rekreasi di dalam kota, sedangkan penduduk desa cenderung hanya bertempat tinggal di desa, tetapi mencari pekerjaan di luar desa dan berekreasi ke luar desa.

Tata guna lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota, yakni kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Perkotaan sebagai pusat dari perkembangan dan pertumbuhan perekonomian, membuat tanah di perkotaan dalam pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor industri dan rekreasi atau non-pertanian. Sementara penggunaan lahan di pedesaan, dimana tanah yang ada lebih banyak dimanfaatkan pada kegiatan pertanian walaupun lahan juga dimanfaatkan untuk kegiatan off-farm. Selain itu, tanah di pedesaan lebih difokuskan sebagai tempat penghasilan bahan baku yang diperlukan untuk perindustrian di perkotaan. Penggunaan lahan, baik di kota maupun di desa pada dasarnya merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup.

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 27-35)