• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting,

Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Prov

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting,

han Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh:

LUISITA FILOSOFIANTI I34060304

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

insi Jawa Barat)

(2)

ABSTRACT

LUISITA FILOSOFIANTI. City Spatial Policy and Agriculture Conversion. (Supervised by: Martua Sihaloho)

There are four purposes in this research. The first is to know the role of land for farmers, local government, and private. The second is to know the formulas, principles, and objectives for spatial planning policies of Bogor City. The third is to know the aspects of spatial planning policies that provide opportunities for agriculture conversion in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja. And the fourth is to know tendensa changes in land use as a form of agriculture conversion in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja. This research take place in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja, District Bogor South, Bogor City with focus on agricultural land have been converted. This research uses qualitative approach. This study has a specificity, which is trying to analyze the linkage between spatial planning policy and agriculture conversion. It is understood from the existence of a condition of limited lands and the increased need for land development along with various non-agricultural sectors such as service sector and industrial sector in an era of economic growth can put pressure on the agricultural sector. In addition, the potential for sources of agricultural land will not be used without the appropriate policy framework. Results from this research to unfolds the role of land for each of different social actors. The social actors who have an interest in land is the farmers, local government, and PT. “A”. In addition to achieve goals on the land, the local government make a city spatial planning which is reflected in the form RDTR/RTRW Bogor City. In the process found that there are various aspects that provide opportunities for agriculture conversion in the spatial planning policy at executive level and at the farmer level. This opportunity then exploited by the private sector and the impact for the function of land.

(3)

RINGKASAN

LUISITA FILOSOFIANTI. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN. Studi Kasus di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. (Di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO).

Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2004), total lahan pertanian dalam hal ini lahan sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 187.720 hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya (Data Badan Pertanahan Nasional, 2004). Dengan demikian, alih fungsi lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang terus menjadi ancaman serius. Berdasarkan alasan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian yang menganalisis keterkaitan kebijakan pertanahan, yakni tata ruang wilayah sebagai instrumen penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Hal ini berangkat dari adanya suatu kondisi keterbatasan lahan serta terjadinya peningkatan kebutuhan tanah seiring dengan berkembangnya beragam sektor non-pertanian, seperti sektor jasa dan sektor industri di era pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Selain itu, potensi sumber agraria tanah yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan tanpa adanya kerangka kebijakan yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta; (2) mengetahui rumusan, asas, dan tujuan penataan ruang wilayah Kota Bogor; (3) mengetahui aspek-aspek dari perencanaan tata ruang wilayah yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja; (4) mengetahui tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja.

Penelitian ini dilakukan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pilihan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan pemilihan lokasi antara lain: (1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; (2) lokasi tercakup ke dalam salah satu daerah pinggiran kota (semi-urban) metropolitan dengan dinamika masalah pembangunan yang sering terjadi di dalamnya, seperti alih fungsi lahan pertanian yang banyak terjadi untuk berbagai kepentingan; (3) berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Bogor Selatan Tahun 2002, terdapat alokasi peruntukkan permukiman hingga mencapai 2.309,67 hektar atau 74,96 persen (Data Dinas Penataan Ruang Kota Bogor). Lokasi ini merupakan wilayah alih fungsi lahan pertanian, dimana sebagian dan hampir keseluruhan dari total wilayah di Kampung Cibereum Sunting, telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan yang pada awalnya adalah lahan pertanian produktif.

Penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research), dimana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini didasarkan oleh realitas sosial, yakni didasarkan pada fakta tentang perilaku manusia. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode non survey yang dapat ditangkap melalui metode studi kasus. Studi kasus digunakan untuk menjelaskan wawasan dan pemahaman mendalam mengenai kebijakan penataan ruang dan mengenai aspek-aspek dari kebijakan penataan

(4)

ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di tingkat pelaksana kebijakan dan di tingkat masyarakat, yang dalam hal ini petani.

Metode non survey pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas, dan penelusuran (analisis) data sekunder sebagai instrumennya. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari data statistik Badan Pusat Statistik Kota Bogor, data dari Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, Dinas Cipta Karya Kota Bogor, dan Kelurahan Mulyaharja. Sedangkan, data primer diperoleh dari responden dan informan baik dari pihak pejabat dan perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, pejabat dan perangkat Tata Pemerintahan Kota Bogor, pejabat dan perangkat Dinas Cipta Karya Kota Bogor, pejabat dan perangkat Kantor Pertanahan Kota Bogor, pejabat dan perangkat Kelurahan Mulyaharja, Swasta (PT. A), dan petani pemilik.

Upaya mencari benang merah untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang diajukan adalah dengan melakukan penelitian terkait. Hasil yang didapatkan adalah peran tanah merupakan “panggung” lahirnya berbagai kompleksitas masalah. Hal ini dapat dipahami, karena nilai penting dari tanah yakni bernilai strategis dan selanjutnya dapat berimplikasi pada ‘interest” pemanfaat sumber agraria. Bila ditarik garis, ternyata fungsi atau peran tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan. Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber agraria tanah. Pemanfaatan sumber agraria tanah tersebut dilakukan oleh aktor-aktor sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Aktor-aktor sosial yang memiliki kepentingan atas tanah dalam konteks ini, yakni pemerintah daerah, PT. A, dan petani. Peran tanah bagi masing-masing aktor sosial tersebut, antara lain: (1) bagi pemerintah daerah adalah sebagai pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; (2) bagi swasta digunakan sebagai aset untuk meningkatkan surplus dan melakukan akumulasi modal; (3) bagi petani adalah berperan dalam hal ekonomis dan sosiologis. Peran ekonomis tanah bagi petani ditandai adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran tanah secara sosiologis, menurut penelitian ini memiliki fungsi sosial yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di Kampung Cibereum Sunting. Peranan tanah bagi kehidupan pemerintah daerah, swasta, dan petani tersebut menghasilkan pemetaan aktor sosial atau subyek atas sumber agraria tanah.

Peran tanah merupakan panggung lahirnya berbagai perebutan kepentingan antara aktor-aktor sosial, selanjutnya mereka berupaya melancarkan berbagai cara untuk mendapatkan tujuannya di atas sumber agraria tanah. Seiring dengan masuknya Kota Bogor dalam babak otonomi daerah (dijelaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999), maka terjadi pelimpahan kewenangan kepada daerah. Dengan sendirinya Kota Bogor mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mencapai tujuannya di atas tanah maka pemerintah daerah membuat arahan perencanaan terhadap tata ruang kota yang tercermin dalam bentuk RTRW dan RDTR Kota Bogor. Dasar yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTR Kota Bogor terutama bersumber pada amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan dipertegas oleh pasal 1 ayat 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Pada

(5)

prosesnya, ternyata kebijakan penataan ruang memperlihatkan aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat pelaksana kebijakan dan di tingkat petani (sasaran kebijakan).

Penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pelaksana mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang yang telah ditetapkan. Pertama, Tahap Perencanaan. Perencanaan penataan ruang untuk Kota Bogor ternyata dialokasikan sebagai kawasan perdagangan dan jasa, permukiman, industri, pariwisata, dengan skala pelayanan nasional, internasional, dan regional. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaannya saja sudah mengacu pada arahan penggunaan ke dalam konteks non-pertanian. Kedua, Tahap Pelaksanaan. Pelaksanaan tata ruang mencakup upaya pembinaan, yakni dilakukan melalui sosialisasi. Namun upaya pembinaan ini dirasa belum efektif dan kurang menyentuh masyarakat luas. Selain itu, pelaksanaan penataan ruang Kota Bogor dapat disoroti secara spesifik dengan mengacu pada ketersediaan dana pembangunan. Sumber pembiayaan terkait dengan pembangunan dan pengembangan Kota Bogor juga didapat dari pihak swasta. Aturan yang menjelaskan diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan kota oleh PT. A sebagai swasta, memberikan peluang bagi PT. A untuk melakukan kapitalisme besar-besaran.

Ketiga, Tahap Pengendalian. Dalam rangka pengendalian ruang maka diturunkan beberapa aturan, seperti aturan mengenai mekanisme izin lokasi dan Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR). Izin lokasi adalah izin yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan (pengembang) dalam rangka penanaman modal. Ternyata pengawasan terhadap pelaksanaan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55/1993 berkaitan dengan pembebasan lokasi yang terdapat dalam mekanisme izin lokasi belum dapat dilakukan secara optimal. Akibatnya, PT. A dapat memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dari para petani dengan terus berupaya mencari cara agar para petani menjual lahannya. Sementara itu, SKPR sebagai produk pengendalian ruang juga belum menjadi peraturan daerah yang sah. Akibatnya, kekuatan hukumnya belum sepenuhnya kuat dan masih dapat disimpangkan.

Penyelenggaraan penataan ruang di tingkat petani dapat teridentifikasi melalui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya posisi tawar para petani. Hal ini karena para petani di Kampung Cibereum Sunting tidak memiliki kesiapan untuk berpartisipasi dalam penataan ruang, yakni dipengaruhi oleh ketiadaan akses pengetahuan terhadap kebijakan penataan ruang. Ketidaktahuan petani terhadap tata ruang dapat dipahami, karena petani kurang memiliki wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi akibat rendahnya pendidikan. Rendahnya pendidikan petani juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang juga rendah. Selain itu, posisi tawar petani yang rendah dipengaruhi oleh ciri-ciri petani, yakni tersubordinasi, memiliki prinsip “safety first”, dan terintegrasi oleh sistem ekonomi makro. Pada intinya, adanya aspek-aspek peluang dari kebijakan penataan ruang tersebut lebih lanjut dimanfaatkan oleh PT. A (swasta) untuk mencapai tujuannya atas tanah.

Pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta pada aspek kebijakan penataan ruang di tingkat pelaksana dan petani tersebut memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, yakni dari lahan pertanian menjadi kompleks perumahan. Bila dianalisis lebih lanjut dengan melihat

(6)

fenomena yang terjadi, ternyata faktor yang paling mempengaruhi perubahan alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting adalah faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka tipe alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting adalah tipe sistematik berpola ”enclave”.

(7)

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

(Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting,

Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Prov

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PER

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

(Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting,

han Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh:

LUISITA FILOSOFIANTI I34060304

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

insi Jawa Barat)

(8)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa : Luisita Filosofianti

Nomor Pokok : I34060304

Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat).

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Martua Sihaloho, SP. MSi NIP: 19770417 200604 1 007

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP: 19550630 198103 1 003

(9)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI

LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN

MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Februari 2010

Luisita Filosofianti I 34060304

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Luisita Filosofianti yang dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 03 Mei 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Lilik Subiantoro dan Ibu Lilis Sulistyowati. Penulis memiliki dua kakak perempuan yang bernama Liza Fajar Upaya Sari Subiantoro, Si dan Lidya Dwi Sundari Subiantoro, Si dan satu adik perempuan yang bernama Lupita Desi Listiani Subiantoro yang masih duduk di kelas 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Semenjak Sekolah Dasar (SD) dan sampai saat ini penulis tinggal di Kota Bogor. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Angkasa tahun 1994, SD Angkasa tahun 2000, SLTPN 5 Bogor tahun 2003, dan SMAN 2 Bogor tahun 2006. Penulis juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor tahun ajaran 2006-2007 melalui jalur USMI dan tahun 2007 menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis berkesempatan menjadi asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi tahun 2008-2010. Penulis juga sempat mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yakni Music Agriculture X-Pression tahun 2007-2009 dan mengikuti Himpunan Profesi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2008-2010. Penulis juga mengikuti dan menjadi panitia dalam beragam event di kampus.

(11)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kemudahan dalam menyelesaikan Skripsi yang berjudul ”Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan Pertanian”.

Skripsi ini membahas mengenai kebijakan penataan ruang yang terimplementasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis juga ingin melihat fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun materi sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini terutama penulis berikan kepada Martua Sihaloho, SP. MSi, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam proses penulisan Skripsi ini.

Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi referensi penelitian selanjutnya, khususnya yang mengangkat topik yang relevan.

Bogor, Februari 2010

(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama proses penelitian dan penulisan Skripsi ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik itu dalam bentuk bantuan moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dan telah membentuk sikap kritis penulis dalam menggunakan teori untuk menganalisis fakta sosial yang ada.

2. Dr. Satyawan Sunito, selaku penguji utama pada sidang skripsi. 3. Ratri Virianita, S. Sos, M.Si, selaku penguji perwakilan departemen. 4. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing akademik untuk

bimbingan, nasehat, dan arahannya selama ini.

5. Ir. Lilik Subiantoro dan Lilis Sulistyowati, orang tua yang dengan kerja keras dan doa serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat menempuh pendidikan yang baik.

6. H. Dede Nurhayat dan Hj. Siti Nuraeni, orang tua yang dengan kasih sayangnya memberikan dukungan moril sehingga penulis mendapatkan kekuatan untuk serius menulis.

7. Deni Nur Ali, ST teman hidupku yang selalu setia menemani dan memberikan dukungannya yang terukir dalam lubuk hati yang terdalam. 8. Saudara-saudaraku yang senantiasa menghibur dan menjadi penyemangat. 9. Staf Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, Staf Dinas Cipta Karya, Staf

Kantor Pertanahan Kota Bogor, Kepala Kelurahan beserta jajarannya di Kelurahan Mulyaharja, dan Swasta (PT. A) atas kesediaannya berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman dalam rangka penulisan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan program akselerasi. Terima kasih atas kebersamaan, diskusi-diskusi, dan bantuan lainnya yang membuat saya terus termotivasi. Semoga harapan kita yang belum terwujud dapat segera dikabulkan oleh Allah SWT.

11. Teman-teman KPM angkatan 42 dan 43 untuk semua bantuan, dukungan, ide, dan diskusinya yang bermanfaat dalam proses penyusunan Skripsi ini.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR……… DAFTAR LAMPIRAN... xvi xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan Penulisan ... 5 1.4 Kegunaan Penulisan……...………... 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria... 6

2.1.1.1 Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta……….... 6

2.1.1.2 Pemetaan Aktor Sosial atau Subyek Atas Sumber Agraria Tanah... 7

2.1.2 Ciri Masyarakat Tani………... 9

2.1.3 Kebijakan Pertanahan (Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan).… 11 2.1.4 Tata Ruang dan Tata Guna Tanah………... 14

2.1.5 Teori Akses dan Aksesibilitas………... 19

2.1.6 Otonomi Daerah………..…….... 21

2.1.7 Alih Fungsi Lahan Pertanian……….….. 23

2.1.7.1 Pengertian Alih Fungsi Lahan dan Perkembangan Alih Fungsi Lahan Pertanian………...……..………. 23

2.1.7.2 Tipe dan Bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian……….. 25

2.2 Kerangka Pemikiran……….. 27

2.3 Definisi Konseptual……….………. 30

2.4 Hipotesa Pengarah……… 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………... 32

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….... 33

3.3 Penentuan Satuan Analisis………..….. 34

3.4 Teknik Pengumpulan Data………..…. 35

3.5 Teknik Analisis Data……….... 37

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Kelurahan Mulyaharja………... 39

4.1.1 Keadaan Umum Kelurahan Mulyaharja…...……….….. 39

4.1.2 Kondisi Demografi……….…. 41

4.1.2.1 Penduduk……….. 41

(14)

4.1.2.3 Ketenagakerjaan………... 42

4.1.3 Sarana dan Prasarana Fisik……….. 45

4.2 Kampung Cibereum Sunting……….……….. 47

4.2.1 Gambaran Kampung Cibereum Sunting………….………. 47

4.2.2 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Kampung Cibereum Sunting……….………… 47

4.2.3 Potret Agraria Lokal…..………...………... 49

BAB V HUBUNGAN TANAH DENGAN AKTOR SOSIAL 5.1 Pemetaan Aktor Sosial….………... 52

5.2 Peran Tanah Bagi Kehidupan Masyarakat Tani ………. 53

5.2.1 Peran Ekonomis Tanah………. 5.2.2 Peran Sosiologis Tanah……….… 54

57

5.3 Peran Tanah Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dan PT. A…..…. 58

5.4 Ikhtisar……….……… 59

BAB VI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG 6.1 Rumusan Kebijakan Penataan Ruang….………... 61

6.2 Asas dan Tujuan Kebijakan Penataan Ruang ……….... 68

6.3 Ikhtisar...…..……… 71

BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG TERJADINYA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DARI SUDUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG 7.1 Pada Tingkat Pelaksana…….………... 72

7.1.1 Perencanaan Tata Ruang………... 73

7.1.2 Pelaksanaan Ruang………...……... 79

7.1.3 Pengendalian Pemanfaatan Ruang…………...….……….. 83

7.2 Pada Tingkat Petani- Posisi Tawar (Bargaining Position)... 89

7.3 Ikhtisar………... 92

BAB VIII TENDENSA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SEBAGAI BENTUK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KELURAHAN MULYAHARJA 8.1 Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian.... 96

8.2 Pola Alih Fungsi Lahan Pertanian ………..……….... 99

8.3 Ikhtisar………….……….... 101

BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan……….…….…………... 102

9.2 Saran……….……….... 103 DAFTAR PUSTAKA

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Lampiran

Tabel 8. Jadwal Penelitian……….... 110 Tabel 9. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulannya……….. 111 Tabel 1. Fungsi Lahan Bagi Aktor Sosial...….………... 6 Tabel 2. Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih

Fungsi Lahan Pertanian………. 26 Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Kelurahan Mulyaharja Menurut

Tingkat Pendidikan Tahun 2009.….…………... 42 Tabel 4. Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut Usia dan Jenis Kelamin Tahun

2009………... 43

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Mulyaharja Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2009….………..… 44 Tabel 6.

Tabel 7.

Rencana Penggunaan Lahan Di Kota Bogor Tahun 1998-2009 ... Perbandingan Antara Aturan Formal dan Proses Nyata Terkait dengan Kebijakan Penataan Ruang …………..………

76

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

Lampiran

Gambar 9. Sketsa Kampung Cibereum Sunting…………..………... Gambar 10. Peta Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor Tahun 2009……….

Gambar 11. Peta Rencana Kepadatan Penduduk Kota Bogor Tahun 2009…... Gambar 12. Peta Rencana Sistem Perwilayahan Kota Bogor Tahun 2009... Gambar 13. Peta Rencana Struktur Tata Ruang Kota Bogor Tahun 2009…….. Gambar 14. Peta Orientasi Wilayah Perencanaan Kota Bogor Tahun 2009…… Gambar 15. Peta Batas Wilayah Administratif Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2009……….. Gambar 16. Peta Pembagian SUB-BWK Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2002-2012……… Gambar 17. Dokumentasi………..…….. 112 113 114 115 116 117 118 119 120 Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria...…... 8 Gambar 2. Bagan Alur Berpikir Kebijakan Tata Ruang Kota

dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.…. ……... 29 Gambar 3. Proses Penentuan Informan dan Responden... 36 Gambar 4. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria di Kampung Cibereum

Sunting …...……….. 52

Gambar 5.

Gambar 6.

Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Pusat Perbelanjaan

(mal)………..

Prosedur Permohonan Izin Lokasi ….………...……... 80 86 Gambar 7.

Gambar 8.

Mekanisme Penyimpangan Terkait Permohonan Izin Lokasi untuk Kegiatan Usaha Komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting.. Diagram Ven Hubungan antara Pihak-Pihak yang Terkait dengan Alih Fungsi Lahan Pertanian……….…

87

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terdapat keterkaitan antara tanah dengan agraria, sebagaimana hasil ulasan kembali mengenai isi UUPA 1960 pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) oleh Sitorus (2002). Menurutnya, tanah merupakan salah satu sumber atau obyek agraria yang memiliki posisi sentral yang mewadahi semua kekayaan alami dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Pada intinya, tanah merupakan sumber agraria yang memiliki fungsi bagi pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Tanah memiliki nilai-nilai, yakni nilai sosial, nilai budaya, nilai ekonomi, dan nilai politik. Adanya suatu kondisi lingkungan dan kualitas tanah dari segi kondisi fisik maupun dari segi nilai strategis, lokasi tanah yang bervariasi pada suatu wilayah memperlihatkan beragamnya kegiatan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Bentuk penggunaan dan pemanfaatan tanah antara lain digunakan untuk sektor pertanian dan non-pertanian. Secara kualitas sumber agraria tanah dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas, yakni sumber agraria tanah yang tersedia pada suatu tatanan ruang tertentu (suatu wilayah) akan tetap (fixed). Berkembangnya sektor industri, jasa, dan properti di era pertumbuhan ekonomi, dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak mungkin dapat dihindarkan.

Berbicara masalah pertanahan, yakni terjadinya berbagai fenomena terkait konteks pertanahan perkotaan di Indonesia, sungguh merupakan persoalan yang sangat kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya keputusan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan otonomi di lingkup wilayah teritorialnya (sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), dimana kota-kota di Indonesia seperti juga kota besar lainnya di negara berkembang dianggap sebagai engine of growth atau penggerak yang digunakan sebagai roda untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi demi pembangunan. Oleh karena itu, kota dijadikan pusat segala aktivitas ekonomi. Selain itu, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan pun semakin banyak sehingga luas

(18)

lahan di perkotaan kian hari kian meningkat nilai ekonomisnya. Hal ini ditambah lagi dengan tersedianya ilmu dan teknologi yang memungkinkan ragam dan macam kebutuhan (Silalahi, 2001). Akibatnya, lahan menjadi komoditas langka yang sangat dicari dan dibutuhkan orang banyak. Kebutuhan akan sumber agraria tanah yang terus meningkat ini menyebabkan tumpang tindihnya penatagunaan tanah sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antar aktor-aktor sosial di atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 pasal 1, penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Pertimbangan aspek pertanahan atau lebih dikenal dengan aspek penatagunaan tanah merupakan salah satu instrumen yang secara operasional dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi objektif dan terbaru (present land use) dari suatu bidang tanah.

Catatan panjang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum petani selalu digambarkan sebagai kelompok sosial yang lemah secara politik maupun ekonomi dan tidak memiliki cukup tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Husodo, 2002). Di samping itu, bila ditelusuri jejak sejarah distribusi hak atas tanah di masa lampau, ternyata telah membawa akibat yang dapat disaksikan dewasa ini. Dapat dipahami permasalahan pertanahan yang dihadapi masyarakat sekarang ini, tentu saja memiliki keterkaitan dengan sisa kebijakan di masa lampau. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan keagrariaan merupakan salah satu mata rantai dari keseluruhan kegiatan pembangunan sub sektor pertanahan secara nasional. Dalam konteks keseluruhan proses penatagunaan tanah, persoalan bagaimana menata ruang wilayah bagi kepentingan masyarakat secara adil sungguh merupakan masalah yang paling rumit dan tidak terduga ketika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun 1960. Keruwetan yang dirasakan senantiasa timbul dan diakibatkan oleh praktik-praktik politik hukum di lapangan yang saat ini pun seringkali menyimpang atau sengaja disimpangkan dari semangat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

(19)

Terdapat pula kemungkinan bahwa penyimpangan itu terjadi karena memang normanya sendiri yang sudah kurang atau tidak dapat sepenuhnya mengakomodasi perkembangan dan tuntutan masyarakat. Dapat ditelusuri bahwa tatkala Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun 1960, tentu saja belum dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia, dan khususnya Pulau Jawa akan berkembang pesat dan terpusat di perkotaan. Di samping norma dasarnya yang demikian sudah tertinggal, permasalahan tanah juga sering timbul karena berbagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di bawah yang kadang-kadang berbenturan satu sama lainnya. Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tak jarang malah bertentangan dengan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari aspek-aspek pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan yang dapat memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian merupakan fenomena pembangunan yang erat dengan perubahan tataguna dan alokasi sumber agraria tanah akibat adanya pergeseran struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk yang sulit dihindari. Pergeseran struktural yang dimaksud adalah pertumbuhan perekonomian dan pertambahan penduduk yang terus meningkat.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2004), total lahan pertanian dalam hal ini lahan sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar 187.720 hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya (Data Badan Pertanahan Nasional, 2004). Dengan demikian, alih fungsi lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang terus menjadi ancaman serius. Dampak alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion, 2006). Pengendalian terhadap meningkatnya laju alih fungsi lahan menjadi mutlak diperlukan dan dilakukan, yang dalam hal ini adalah menghambat dan menekan alih fungsi lahan pertanian. Aspek penatagunaan secara optimal oleh pemerintah daerah sebenarnya dapat menjadi sarana yang efektif dalam menjabarkan kebijakan penataan ruang wilayah, yakni berfungsi untuk memantau dan membatasi perubahan tanah pertanian ke penggunaan tanah

(20)

non-pertanian (adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan aspek-aspek pembangunan lainnya). Namun pertimbangan aspek pertanahan yang dapat melahirkan kebijakan penataan ruang wilayah, hanyalah melahirkan sebuah kebijakan semata tanpa adanya implementasi faktual sebagai instrumen pengendali alih fungsi lahan pertanian. Menjadi semakin kompleks ketika kebijakan-kebijakan pertanahan yang lahir mengikuti dan atau terbentuk atas dasar suatu kepentingan, yakni kepentingan aktor sosial. Kepentingan aktor-aktor sosial tersebut terkait dengan nilai dan peran tanah.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian, yang menganalisis keterkaitan kebijakan pertanahan, yakni tata ruang wilayah sebagai instrumen penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Hal ini dipahami dari adanya suatu kondisi keterbatasan akan lahan serta terjadinya peningkatan kebutuhan tanah seiring dengan berkembangnya beragam sektor non-pertanian seperti sektor jasa dan sektor industri di era pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Selain itu, potensi sumber agraria tanah yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan tanpa adanya kerangka kebijakan yang tepat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta?

2. Bagaimana rumusan, asas, dan tujuan penataan tata ruang wilayah Kota Bogor?

3. Bagaimana aspek-aspek kebijakan penataan ruang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja?

4. Bagaimana tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini antara lain untuk:

1. Mengetahui peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta.

2. Mengetahui rumusan, asas, dan tujuan penataan tata ruang wilayah Kota Bogor.

3. Mengetahui aspek-aspek dari kebijakan penataan ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja.

4. Mengetahui tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa, pemerintah, dan swasta. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat menjadi proses pembelajaran untuk lebih kritis dalam memahami fenomena-fenomena faktual yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, hasil pengkajian ini dapat menciptakan suatu output (data-data atau informasi) yang dapat dijadikan acuan literatur penunjang bagi penelitian-penelitian sejenis dan penulisan lanjutan. Selain itu, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan studi. Sementara itu bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu sarana evaluasi, informasi, dan data bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, baik secara substansial ataupun implementasinya di lapangan. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mencari alternatif penyelesaian terbaik terkait dengan objek permasalahan yang dikaji sehingga upaya penanggulangan alih fungsi lahan pertanian dapat dilakukan secara optimal. Adapun bagi swasta, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu masukan bagi private sector agar lebih memperhatikan dan menyadari arti penting lahan pertanian bagi masyarakat tani sehingga dengan begitu tidak dengan mudah untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber agraria tanah untuk keuntungan semata.

(22)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria

2.1.1.1 Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta

Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Tanah bagi petani, pemerintah, dan swasta memiliki fungsinya masing-masing, antara lain digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1 Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial

No. Aktor Sosial Fungsi Lahan 1. Petani  Fungsi Ekonomi:

a. memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga b. sebagai katup pengaman

c. sebagai kebutuhan uang tunai

 Fungsi sosial: sebagai penguat ikatan kekerabatan 2. Pemerintah  Bagi kemakmuran seluruh rakyat

 Fungsi pendapatan negara

3. Swasta Mencari keuntungan (akumulasi modal dan meningkatkan surplus)

Sumber: Dikutip dari berbagai sumber

Fungsi tanah yang relevan bagi petani adalah fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Tanah memiliki fungsi ekonomi dilihat dari peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, katup pengaman, dan kebutuhan uang tunai. Fungsi tanah memiliki arti yang sangat penting bagi para petani (Fajryah, 2006). Dari hasil pertanian, petani dapat mempertahankan hidup bersama dengan keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam, seperti yang diketahui bahwa lahan atau tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan pertanian(Sinaga, 2006).

Menurut Fajriyah (2006), tanah dalam peranannya sebagai katup pengaman dapat ditelusuri dari beralihnya para pekerja di sektor pertanian ke sektor non-pertanian, terutama saat ia tidak mampu lagi bertahan di sektor pertanian karena usia atau bahkan dipecat dari pekerjaan. Sementara itu fungsi

(23)

ekonomi dilihat dari peranannya sebagai kebutuhan uang tunai adalah tanah berperan penting karena dapat dipinjam untuk digarap (Fajriyah, 2006). Fungsi tanah secara sosial menurut Munir (2008) terlihat dari peranan tanah sebagai penguat ikatan kekerabatan, ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Lebih jauh Bahari (2002) menjelaskan bahwa tanah bagi petani memiliki arti sosial terkait dengan budaya, dimana luas tanah yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya.

Fungsi tanah bagi pemeritah adalah bagi kemakmuran rakyatnya. Artinya tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Kepentingan pemerintah kota atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda pembangunan (Moeliono, 2005). Pembangunan pun begitu dipercaya, hanya mungkin diwujudkan dengan sokongan produktivitas industri modern. Sementara fungsi tanah sebagai pendapatan negara, yaitu melalui adanya pajak lahan (Wafda, 2005). Sedangkan fungsi tanah bagi swasta adalah sebagai aset untuk mencari keuntungan dengan cara melakukan penanaman modal (Sihaloho, 2004). Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus.

2.1.1.2 Pemetaan Aktor atau Subyek Atas Sumber Agraria Tanah

Menurut Sihaloho (2004), pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Nilai penting tanah ini berimplikasi pada ‘interest” pemanfaat sumber agraria. Bila ditarik garis, fungsi tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan. Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber agraria tanah. Kepentingan atas pemanfaatan itu terjadi antara pengguna atau subyek agraria yaitu komunitas (petani), pemerintah, dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria

(24)

Komunitas

Swasta Pemerintah

Sumber Agraria

yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, dan penggunaan) terhadap sumber agraria (Sitorus, 2002).

Gambar 1 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria

Keterangan:

Hubungan teknis agraria Hubungan sosial agraria Sumber: Sitorus (2002)

Hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan manusia dengan tanahnya (religio-magis), melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan manusia dengan manusia (Wiradi, 1984). Dalam hubungan-hubungan tersebut terbentuk hubungan aktifitas yang meliputi kompleks aktifitas yang merupakan jaringan hubungan manusia. Dalam hubungan manusia dengan tanahnya bentuk aktifitas itu adalah penggarapan atau pengusahaan. Dalam penggarapan atau penguasaan ini orang lain tidak boleh memilikinya atau boleh menggarapnya tetapi dengan syarat tertentu.

Hubungan manusia dengan manusia mencakup hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani, dan antara orang-orang yang secara langsung maupun orang-orang yang secara tidak langsung terlibat dalam proses produksi dimana tanah merupakan salah satu faktornya. Hubungan manusia dan manusia tersebut merupakan hubungan kerja dalam proses produksi yang berkaitan erat dengan masalah penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Wiradi, 1984).

(25)

Semakin hari kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan tidak pernah bertambah. Hal ini mengakibatkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan antar pihak, karena setiap pihak mempunyai kepentingannya masing-masing dalam penggunaan dan alih fungsi lahan yang dilakukan. Dapat disimpulkan berdasar penjajagan studi literatur yang ada, berbagai masalah dapat terjadi di atas perbedaan kepentingan antar pihak, diantaranya terjadinya tumpang tindih dalam peruntukkan lahan, perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) menjadi tak terkendali, dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan kondisi dan kemampuan tanahnya. Bila hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas, tanah longsor, dan banjir.

2.1.2 Ciri Masyarakat Tani

Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli sosial pedesaan dalam mendefinisikan petani sebagaimana yang diungkapkan Barrington Moore Jr. (dalam Bahari, 2002): “Tak mungkinlah mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Pengakuan terhadap sejarah subordinasi kelas atas tuan tanah yang diperkuat dengan hukum kekhususan kultural, serta kepemilikan tanah secara de facto, semua itu merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan petani dengan yang lainnya”. Berdasar pernyataan yang diungkapkan Barrington Moore Jr. maka Bahari (2002) menarik kesimpulan mengenai pengertian petani, yakni secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.

Definisi petani menurut Scott (dalam Purwandari, 2006) memiliki sudut pandang yang berbeda, dimana petani dijelaskan sebagai golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip ”safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian berpengaruh secara teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi

(26)

petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun.

Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) mengungkapkan definisi yang berbeda pula mengenai petani, yakni sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak atau pasar bebas. Persoalan tidak hanya pada pemilikan tanah secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lain. Penghisapan menjadi ciri sentral dari definisi ini. Menurut Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) terdapat pula perbedaan antara definisi petani pedesaan dengan petani modern. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung pada alam dan menggunakan pengetahuan serta teknologi tradisional dalam pengembangan produksinya. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk mengejar keuntungan (profit oriented). Sebaliknya, farmer atau agricultural enterpreuner adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan usaha modern dan menanam jenis tanaman yang laku di pasar.

Pandangan tentang kekhususan kultural banyak dikemukakan oleh para antropolog pedesaan seperti Krober, Field dan Foster (dalam Bahari, 2002). Ketiganya menekankan pada perkembangan nilai-nilai, persepsi dan kebudayaan petani terhadap lingkungan luarnya. Mereka menganggap petani hidup dalam satu komunitas yang tertutup dan terisolasi dari luar. Hubungan pertanian keluarga memainkan peranan yang sangat besar, hubungan-hubungan ekonomi yang dibangunnya dilandasi nilai-nilai lokal yang berlaku. Pada intinya, mereka melihat masyarakat petani sebagai masyarakat otonom.

(27)

2.1.3 Kebijakan Pertanahan

2.1.3.1 Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan

Dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Menurut Nasoetion (2006), negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui: 1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan 3) perencanaan, persediaan, peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Sehingga dasar untuk menentukan politik agraria itu sendiri antara lain (Tauhid, 1953):

1. Negara Indonesia adalah negara kerakyatan.

2. Negara kerakyatan menjamin hak asasi manusia dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

3. Hak asasi manusia tidak boleh dipergunakan untuk menentang kepentingan masyarakat dan negara.

4. Usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ini dijalankan dengan usaha rakyat perseorangan, usaha organisasi rakyat (usaha bersama), dan usaha negara.

5. Usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan negara.

6. Negara mengatur dengan rencana ketiga usaha itu, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

7. Pemerintah pusat berkewajiban menjalankan dan mengurus usaha-usaha yang tidak dapat diselenggarakan oleh daerah, seperti pertahanan negara, hubungan luar negeri, politik keuangan, perhubungan, serta rencana pokok bagi seluruh masyarakat dan negara.

Atas dasar tujuan di atas, maka dasar politik agraria, adalah sebagai berikut (Tauhid, 1953):

1. Tanah adalah sumber dan tiang penghidupan setiap manusia.

2. Bagi Indonesia tanah itu menjadi pokok pertama bagi sumber penghidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

(28)

3. Politik tanah harus berdasarkan pada tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

4. Hukum tanah menjadi pokok-pokok dasar mengatur pemakaian tanah, sesuai dengan tujuan dan politik tersebut di atas.

Adapun, dasar-dasar hukum yang mengatur pemakaian tanah berdasar tujuan yang telah disebutkan, dapat ditentukan sebagai berikut (Tauhid, 1953):

1. Bagi seluruh Indonesia hanya ada satu macam bentuk hak tanah, sehingga tidak ada hak-hak istimewa bagi seseorang atau segolongan warga negara. 2. Warga negara mempunyai hak milik atas tanah dengan ketentuan:

a. Tanah pertanian hanya untuk orang tani, yaitu orang yang hidup dari hasil mengusahakan tanah yang diusahakan dengan kerjasama kooperatif, dalam penggarapan, pengolahan, dan penjualan hasilnya. Adapun tanah kediaman dapat diberikan kepada orang bukan tani, menurut keperluannya.

b. Adanya pembatasan luas milik hak milik atas tanah bagi tiap-tiap keluarga tani. Batas minimum berdasarkan perhitungan penghasilan tani cukup untuk mencapai tingkat hidup layak menurut syarat-syarat jasmani dan rohani. Pembatasan maksimum luas tanah yang dengan syarat-syarat dan cara pertanian modern tidak memberi kemungkinan timbulnya pemerasan penghisapan di lapangan pertanian.

3. Desa sebagai daerah kesatuan hidup yang berotonom, mempunyai hak wilayah dengan batasan Undang-Undang negara, yaitu:

a. Hak mengawasi penggunaan tanah di desanya.

b. Untuk kepentingan kemakmuran masyarakat (dalam desa) untuk sementara atau selamanya, desa dapat mengambil tanah dengan memberi ganti rugi yang sesuai dengan pemiliknya.

c. Menjaga dan mengawasi agar pemindahan hak atas tanah dalam desa tidak merugikan masyarakat sedesa dengan mengingat batas minimun dan maksimum bagi penjualnya maupun pembelinya.

d. Mencegah dan meniadakan perluasan atau penimbunan milik tanah di atas batas maksimum di samping pengecilan atau pemecahan milik tanah, yang karena kecilnya tanah tidak efisien lagi.

(29)

e. Dengan persetujuan desa ditetapkan seseorang tidak boleh menjual tanah kepada orang lain yang akibatnya akan merugikan desa. Orang yang sudah mencapai batas maksimum luas tanahnya tidak boleh menambah lagi sebaliknya tanah yang hanya seluas minimum tidak boleh dipecah lagi.

f. Desa mendorong dan membimbing pertumbuhan usaha pertanian modern dalam bentuk kooperatif, dalam hal penggarapan tanah, pengolahan, dan penjualan hasil.

4. Negara mengatur dengan undang-undang tentang pemakaian tanah berdasarkan politik yang bertujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Negara juga menjalankan pengawasan yang tertinggi atas terlaksananya undang-undang dan peraturan, agar pemakaian tanah tidak menyimpang dari tujuan. Selain itu negara dapat mengambil tanah untuk kepentingan umum.

Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai arti dari dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah tanah merupakan sumber dan tiang penghidupan setiap manusia (Tauhid, 1953). Artinya, tanah merupakan modal alami utama dengan pokok tujuannya berusaha memberi tanah kepada petani sebagai sumber penghidupan (jaminan hidup sekeluarga disamping itu hasil dari komoditi yang ditanam atau dipelihara di atas tanah dapat digunakan untuk pangan masyarakat). Di Indonesia dikenal satu macam hak atas tanah bagi seluruh warga negara. Hak-hak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan apabila tidak bertentangan dengan pokok tujuan bagi kemakmuran rakyat keseluruhan. Sementara nilai-nilai yang baik dalam masyarakat seperti gotong royong dapat dipelihara dan dikembangkan sesuai tujuan pokok dalam bentuk yang modern. Atas dasar bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama maka hak atas tanah bagi warga negara keseluruhan adalah sama. Adanya dasar pengertian bahwa hanya satu macam saja warga negara, memberikan arti bahwa hak warga negara tidak dibeda-bedakan antara golongan satu dengan lainnya berdasar tempat tinggalnya.

(30)

Tauhid (1953) mengungkapkan bahwa hak-hak istimewa sebagai hak-hak feodal dihapuskan sehingga tidak ada tempat lagi untuk terjadinya eksploitasi tanah besar-besaran untuk kepentingan seseorang atau segolongan orang saja. Adanya aturan mengenai batas maksimum dan minimum dimaksudkan agar menjadi dasar menentukan dan memperhitungkan, sehingga dapat mencapai penghasilan keluarga yang cukup untuk hidup layak sebagai manusia dimana batas-batas maksimum dan minimum tersebut berbeda di masing-masing daerah. Kerakyatan itu sendiri haruslah berat ke bawah dan paling sempurna di desa atau kesatuan yang setingkat dengan itu. Artinya, desa mempunyai hak wilayah dengan pengertian bahwa kerakyatan memang benar-benar dirasakan dan dilaksanakan rakyat. Namun ketika susunan desa itu sendiri belum demokrasi maka yang ada adalah kemungkinan timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan.

2.1.4 Tata Ruang dan Tata Guna Tanah

Menurut Jayadinata (1999), tata ruang dan tata guna tanah adalah dua hal yang bersifat integral. Tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Sementara itu, penggunaan lahan juga dapat berarti pula tata ruang. Selain itu, menurut Hasan Purbo (dalam Taufik, 2004), bahwa istilah tata ruang dan tata guna tanah merupakan pengertian yang mempunyai sifat “manipulatif”, dalam arti bahwa kedua hal tersebut mengandung unsur keinginan untuk melakukan penataan atau merubah keadaan secara teratur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, “ruang termasuk daratan, lautan, angkasa, dan penataan ruang bertujuan agar terselengaranya pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional”. Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Sedangkan, menurut Jayadinata (1999) ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah di bawahnya dan lapisan udara di atasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Hal ini membuat ruang menjadi bagian dari obyek agraria atau sumber agraria.

(31)

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah. 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata

ruang atau pelaksanaan pembangunan.

3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya.

Pada dasarnya, ruang meliputi unsur tanah, air, dan udara. Terkait dengan hal itu, untuk memanfaatkan ruang agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka dibutuhkan suatu penataan bagi ruang. Implementasi penataan bagi ruang dapat berupa perencanaan tata ruang yang harus didahului dengan menganalisis dan menata peruntukkan lahan. Konsepsi penataan ruang itu sendiri, digariskan dalam UUD 1945 pasal 33 Ayat (3), Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) 1992. Untuk mewujudkan konsepsi dan kebijaksanaan tersebut agar dapat dilaksanakan harus disusun Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW), yang menetapkan peruntukkan ruang berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Dinas Penataan Ruang (2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi suatu sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat luas (externalities).

Menurut Mabogunje (dalam Jayadinata, 1999), terdapat tiga macam ruang yaitu:

a. Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang ada di dalam ruang tersebut.

(32)

b. Ruang relatif, dapat digambarkan, yaitu apabila ada dua kota berjauhan tetapi terdapat jalan dan alat pengangkut yang menghubungi dua kota tersebut.

c. Ruang relasi merupakan ruang yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Pengertian dari ruang relasi itulah yang digunakan dalam perencanaan.

Secara spesifik, penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil [sic!], air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, yaitu:

a. Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia), dan

b. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh, lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya.

Jayadinata (1999) mengungkapkan bahwa pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan bergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain adalah kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan atau pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995) seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni:

(33)

1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas.

2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Utomo et. al. (1992) menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni:

1. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya.

2. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.

Terkait hal tersebut, Utomo et. al. (1992) menjelaskan tentang faktor-faktor yang menetukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain:

1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan.

2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangann, tranmigrasi, perhubungan, dan pariwisata.

3. Faktor penggunaan teknologi; yakni faktor yang dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan.

(34)

4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan dalam perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan memahami kota dan desa. Kota menurut pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian. Pedesaan adalah kesatuan pemerintahan, dan terdiri atas sejumlah kampung dan kawasan pertanian yang luas yang berfungsi untuk memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri. Perbedaan paling mendasar antara kota dengan desa adalah kota lebih bersifat self contained atau serba lengkap. Penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal di kota, tetapi juga melakukan kegiatan ekonomi, seperti bekerja di dalam kota, bahkan melakukan rekreasi di dalam kota, sedangkan penduduk desa cenderung hanya bertempat tinggal di desa, tetapi mencari pekerjaan di luar desa dan berekreasi ke luar desa.

Tata guna lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota, yakni kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Perkotaan sebagai pusat dari perkembangan dan pertumbuhan perekonomian, membuat tanah di perkotaan dalam pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor industri dan rekreasi atau non-pertanian. Sementara penggunaan lahan di pedesaan, dimana tanah yang ada lebih banyak dimanfaatkan pada kegiatan pertanian walaupun lahan juga dimanfaatkan untuk kegiatan off-farm. Selain itu, tanah di pedesaan lebih difokuskan sebagai tempat penghasilan bahan baku yang diperlukan untuk perindustrian di perkotaan. Penggunaan lahan, baik di kota maupun di desa pada dasarnya merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup.

(35)

2.1.5 Teori Akses dan Aksesibilitas

Akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), merupakan kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol. Permasalahan akses bisa dilihat dalam tatanan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of powers). Akses melambangkan seseorang mampu memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan sosial yang lebih luas (bundle of right). Konsep akses memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan dan tidak memanfatkan sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi apa). Oleh karena itu, analisis akses dapat dikatakan sebagai proses untuk mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses.

Menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), kegunaan analisis akses adalah untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu dan tidak mampu memperoleh, memelihara, atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, serta bagaimana caranya. Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi dangan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks politik ekonomi dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “mekanisme akses struktural dan saling terhubung” (structural and relational mechanisme of access).

Mekanisme akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), yaitu:

1. Akses Teknologi

Kebanyakan sumberdaya hanya bisa diekstraksi dengan menggunakan teknologi, mereka yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki.

2. Akses Kapital/Modal

Akses ini sering juga disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan (termasuk juga teknologi) yang bisa

(36)

digunakan dalam proses ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital/modal bisa digunakan untuk mengendalikan atau memelihara akses sumberdaya.

3. Akses Pasar

Akses pasar didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memperoleh, mengendalikan ataupun memelihara gerbang hubungan pertukaran. Pasar mampu mempertajam akses pada keuntungan dari sesuatu pada skala yang berbeda secara tidak langsung dan tidak kentara. Semakin luas dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mengajukan permintaan, dan mempengaruhi harga juga membentuk distribusi keuntungan dari sesuatu.

4. Akses Buruh

Kelangkaan buruh dan surplus mampu mempengaruhi porsi hubungan dalam pencarian keuntungan sumberdaya yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang mampu mengendalikan buruh. Mereka mampu mengendalikan akses peluang buruh dan mereka berhasrat untuk mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut.

5. Akses Pengetahuan

Wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap sumberdaya. 6. Akses Kewenangan

Individu atau lembaga yang memiliki akses privilege dengan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan hukum akan sangat berpengaruh terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya. Akses kewenangan merupakan hal yang penting dalam jaring kekuasaan yang membuat seseorang mampu mengambil keuntungan dari sesuatu.

7. Akses Identitas Sosial

Akses sering ditengahi dengan identitas sosial atau keanggotaan dalam komunitas atau kelompok, termasuk diantaranya pengelompokkan menurut umur, gender, suku, agama, status, profesi, tempat kelahiran, pendidikan, ataupun atribut-atribut lain yang menunjukkan identitas sosial.

Gambar

Tabel 1  Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial
Gambar 1  Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria
Tabel 2 Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi  Lahan Pertanian
Gambar 2  Bagan Alur Berpikir Kebijakan Penataan Ruang Kota dan Alih Fungsi    Lahan Pertanian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana latar belakang Binjai dijuluki sebagai kota rambutan, mengetahui peranan petani rambutan untuk meningkatkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur penerbitan sertipikat, pelaksanaan asas aman dalam penerbitan sertipikat serta permasalahan pelaksanaan asas aman

Diantara peraturan pemerintah yang mengatur tata cara revisi substansi kehutaan dan penyelenggaraan penataan ruang.

Pemerintah Kabupaten Bandung dengan menggandeng pihak swasta melakukan penataan terhadap keberadaan pasar tradisional Cicalengka melalui upaya pembangunan kembali

Selain menyajikan program acara televisi yang bersifat pengetahuan umum, televisi lokal swasta ataupun pemerintah, khususnya yang ada di kota Banjarmasin bertujuan

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) menjadi dasar pokok penataan ruang, artinya konsep tata ruang yang baik dan terintegrasi akan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pembelajaran dengan menerapkan asas-asas CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat meningkatkan sikap terhadap matematika dan

Berdasarkan hasil observasi awal penulis menemukan masalah yang dihadapi dalam penataan Desain tata ruang baca perpustakaan SMP Swasta Sultan Iskandar Muda Medan Sunggal