• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Tata Ruang

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 88-95)

BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG

7.1.1 Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan tata ruang Kota Bogor merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam hal merumuskan dan menetapkan manfaat ruang dalam kaitannya dengan hubungan antara berbagai manfaat ruang, berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bogor. Rencana Tata Ruang bukanlah akhir dari proses tetapi awal dari proses pengaturan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Berkaitan dengan itu, perencanaan dalam lingkup ruang Kota Bogor dibuat berdasarkan pengertian ruang relasi, yakni dengan melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi, antara lain pemerintah, swasta, dan masyarakat. Rencana tata ruang Kota Bogor dijadikan sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):

‘Rencana tata ruang Bogor merupakan pengaturan tersistem baik untuk pemanfaatan ruang maupun pola pemanfaatan ruang’.

Hubungan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang dapat dijelaskan dengan cara memahami masuknya babak Otonomi Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Isi peraturan tersebut adalah daerah diberi kewenangan yang luas dalam mengatur, membagi, dan memanfaatkan sumberdaya. Pengertian yang tersirat dalam aturan ini antara lain, dengan adanya otonomi daerah maka tidak lagi dikenal rencana 'dari atas' atau 'dari bawah' karena setiap rencana dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing dan diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Karena tata ruang merupakan kerangka yang menetapkan peluang dan batasan bagi kegiatan pembangunan, seharusnya rencana pembangunan didahului oleh perencanaan tata ruang yang berkeadilan. Hal ini menunjukkan adanya sikap ego sentralistik dari pemerintah dan elit yang memiliki kewenangan.

7.1.1.1 Isi dan Arahan RTRW

Pengembangan tata ruang Kota Bogor tidak terlepas dari pengaruh kebijaksanaan pengembangan tata ruang regional yang secara langsung akan berdampak pada perkembangan Kota Bogor. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor dipahami sebagai bentuk perwujudan kebijakan penataan ruang agar dapat dilaksanakan secara real. Di dalam RTRW Tahun 1999-2009 terdapat pengertian RTRW, yakni rencana pembangunan kota yang berisikan rencana pengembangan tata ruang kota yang optimal serta disusun secara menyeluruh dan terpadu dengan menganalisis segala aspek dan faktor pengembangan kota. Hal ini mengandung pengertian bahwa, sebelum RTRW dibuat perlu diketahui terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah yang direncanakan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam pembuatan RTRW, pencarian informasi tentang kebutuhan masyarakat hanya dilakukan secara makro dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat kecil terutama petani. Hal ini dapat dipahami dari informasi yang diberikan oleh Bapak RAB (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):

‘Dalam pembuatan RTRW, Dinas Penataan Ruang mengundang sejumlah elemen kepentingan, yang terdiri dari akademisi, LSM, Swasta, LPM, dan Pegawai Kelurahan saja’.

Pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan dasar menciptakan suatu pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan di Kota Bogor. Hal ini terkait dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa sumberdaya agraria yang ada di suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, ini mengandung pengertian bahwa suatu daerah mempunyai potensi khasnya sendiri yang perlu dikembangkan. Selain itu, RTRW dibuat untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik atau tumpang tindih pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ibu ARD (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):

‘Sebenarnya RTRW Kota Bogor dibuat untuk menciptakan pembangunan berbagai sektor yang efisien karena setiap daerah punya potensinya sendiri. Selain itu, bertujuan untuk menghindari tumpang tindih lahan yang bisa berdampak terciptanya konflik’.

Penyusunan RTRW Kota Bogor juga difokuskan pada tiga perumusan yang bertujuan mendorong fungsi kota, yakni:

1. Kota Bogor diarahkan sebagai Kota Hierarki II A dengan kegiatan utamanya adalah permukiman dan perdagangan regional yang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya.

2. Kota Bogor termasuk kota yang dilalui oleh pengembangan jalan toll Bogor-Sukabumi-Padalarang.

3. Pengaktifan kembali jalur kereta api pada jalur Bandung-Cianjur-Sukabumi-Bogor-Jakarta.

Tiga perumusan yang diuraikan di atas pada intinya menjelaskan Kota Bogor sebagai pusat pertumbuhan wilayah dan berupaya meningkatkan penyelenggaraan pengelolaan perkotaan oleh pelaku lokal (pemerintah daerah dan masyarakat) sesuai dengan semangat otonomi daerah. Di sini terlihat bahwa, pemerintah daerah Kota Bogor memperhatikan besaran potensi dan keterkaitan yang saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan

pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor) :

‘Kota Bogor memiliki interaksi yang kuat dengan wilayah sekitarnya dan terdapat fenomena perkembangan wilayah perkotaan yang cukup pesat dalam skala Kota Bogor. Bukan hanya dimaksudkan sebagai ikatan atau penggabungan menjadi satu kawasan akan tetapi merupakan rangkaian jejaring yang saling memberikan manfaat dan saling menguatkan. Selain itu, merupakan unit kota utama (the primary urban unit) agar bisa berintegrasi dengan ekonomi global’.

Perihal penggolongan penggunaan lahan, Kota Bogor digolongkan ke dalam penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, diantaranya disesuaikan dengan ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya. Sementara itu, berkaitan dengan cakupan wilayah Kota Bogor, maka tata guna lahannya pun temasuk dalam konteks perkotaan, yakni sesuai dengan cirinya memiliki penduduk yang padat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian (bersifat self container atau serba lengkap).

Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, maka Kota Bogor dijadikan sebagai salah satu kota yang mempunyai kedudukan strategis pada tata ruang nasional. Dijadikannya Kota Bogor sebagai pusat perkembangan dan pertumbuhan perekonomian mengakibatkan sumber agraria tanah di wilayah tersebut pun dalam perencanaan pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor non-pertanian. Pusat kegiatan yang diarahkan dalam RTRW Kota Bogor antara lain perdagangan dan jasa, permukiman, industri, pariwisata, dengan skala pelayanan nasional, internasinal, dan regional. Untuk lebih mengetahui perencanaan penggunaan lahan dalam RTRW, maka disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 6 Rencana Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun 1998-2009 No. Jenis Penggunaan RUTR

(PERDA 11/1995)

EKSISTING RTRW Tahun 2005 Tahun 1998 Tahun 2009 Luas (ha) Presentase (%) Luas (ha) Presenta se (%)

Luas (ha) Presentase (%) 1. PERMUKIMAN 8.214,82 69,32 8.263,15 69,73 8.741,89 73,77 -Perumahan 8.146,24 68,74 8.193,66 69,14 8.526,53 71,95 -Pendidikan 52.76 0,45 53,46 0,45 178,11 1,50 -Kesehatan 12,54 0,11 12,71 0,11 27,67 0,23 -Peribadatan 3,28 0,03 3,32 0,03 9,58 0,08 2. TPA SAMPAH 10,00 0,08 9,21 0,08 - - 3. KOLAM OKSIDASI 7,50 0,06 1,50 0,01 1,50 0, 01 4. PERTANIAN 1.055,91 8,91 1.190,66 10,5 249,21 2,10 5. KEBUN CAMPURAN 79,93 0,67 98,55 0,83 35,30 0,30 6. INDUSTRI 96,35 0,81 115,03 0,97 167,96 1,42 7. PERDAGANGAN DAN JASA 381,99 3,22 416,81 3,52 437,41 3,69 8. PERKANTORAN/ PEMERINTAHAN 127,20 1,07 85,28 0,72 90,27 0,76 9. HUTAN KOTA 141,50 1,19 141,50 1,19 141,50 1,19 10. TAMAN/LAPANG AN OLAHRAGA 323,36 2,73 250,48 2,11 342,33 2,89 11. KUBURAN 318,45 2,69 299,28 2,53 305,96 2,58 12. SUNGAI/SITU/DA NAU 342,07 2,89 342,07 2,89 342,07 2,89 13. JALAN 714,82 6,03 629,37 5,31 946,00 7,98 14. TERMINAL DAN SUB TERMINAL 21,75 0,18 1,51 0,01 31,00 0,26 15. STASIUN KERETA API 5,60 0,05 5,60 0,05 7,60 0,06 16. RPH DAN PASAR HEWAN 8,75 0,07 - - 10,00 0,08 JUMLAH 11.850,0 100,00 11.850,0 100,00 11.850,0 100,00 Sumber: Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor (1998)

Terlihat pada Tabel 6, alokasi rencana penggunaan lahan pada tahun 2009 untuk kawasan pertanian hanya seluas 249,21 hektar (2,10%). Sedangkan untuk perumahan mencapai luasan 8.526,53 hektar (71,95%). Hal ini menunjukkan bahwa rencana penggunaan lahan dari perbandingan tahun 1998, 2005, dan 2009 untuk kawasan pertanian makin lama makin menurun. Sementara untuk kawasan perumahan sempat menurun pada tahun 2005 dan meningkat relatif tajam pada tahun 2009. Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat memacu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

7.1.1.2 Isi dan Arahan RDTRK

RDTRK yang diuraikan dalam tulisan ini hanya mencakup perwilayahan Bogor Selatan. Wilayah Bogor Selatan dalam perencanaannya diarahkan sebagai kota Satelit I. Faktor yang menentukan karakteristik perencanaan penggunaan lahan di Bogor Selatan adalah faktor sosial dan kependudukan. Faktor sosial ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman secara luas, yakni mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana kehidupan. Hal ini dipahami karena di Kota Bogor terdapat kegiatan permukiman yang meningkat, pergerakan penduduk meningkat (merupakan tempat para komuter bermukim), kebutuhan lahan perumahan meningkat, dan memiliki interaksi sangat kuat dengan Jakarta, Depok, Tanggerang, Bekasi, dan Cianjur. Faktor kependudukan berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya. Berdasarkan analisa data yang didapat di Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, pada tahun 2009 jumlah penduduk di Bogor Selatan diperkirakan mencapai 163.722 jiwa, dengan kepadatannya 53 jiwa per hektar.

Faktor ekonomi dan pembangunan sementara itu, tidak kentara di perencanaan pembangunan perwilayahan Bogor Selatan. Hal ini terlihat dari tidak adanya penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian. Selain itu, dalam RDTRK juga dijelaskan bahwa mengingat perkembangan fisik di lapangan maka daerah pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun campuran dapat dialihfungsikan untuk pembangunan. Hal ini mengindikasikan sudah tidak ada lagi perlindungan terhadap lahan pertanian. Sehingga, lebih jauh dapat memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

Dinas Penataan Ruang Kota Bogor menemukan fakta terkait dengan kondisi di perwilayahan Kelurahan Mulyaharja. Fakta tersebut antara lain Kelurahan Mulyaharja dikategorikan sebagai wilayah yang kurang teratur, yakni memiliki sarana jalan yang kurang atau sempit, susunan dan mutu rumahnya hampir sama dengan desa, dan tidak mempunyai sistem atau jaringan jalan yang teratur. Rencana tata guna lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor Selatan dalam RDTRK dimasukkan pada Sub Bagian Wilayah Kota (Sub BWK) B (lihat lampiran 10). Dimana perencanaan tata guna lahannya diarahkan sebagai kawasan

perumahan atau permukiman, subterminal, dan kawasan perdagangan skala lokal. Arahan ini dilakukan pemerintah daerah sebagai langkah untuk melakukan pengembangan dan pembangunan perwilayahan.

Hasil pengkajian lapang menunjukkan bahwa terdapat dominasi arahan pengembangan dan pembangunan di Kecamatan Bogor Selatan, yakni adanya arahan perencanaan wilayah tersebut sebagai kawasan pembangunan dan pengembangan perumahan baru dengan KDB rendah (50%-60%). Pengembangan kegiatan perumahan diarahkan terutama untuk peningkatan kualitas lingkungan permukiman serta terpenuhinya kebutuhan perumahan di Kota Bogor secara keseluruhan. Pelaksanaan arahan pembangunan perumahan dapat dilakukan baik oleh pengembang maupun pemerintah. Hal ini juga dimaksudkan untuk dapat membangkitkan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan wilayah. Melihat arahan pengembangan dan pembangunan RDTRK seperti ini, maka PT. A dengan jeli melihat peluang keuntungan. PT. A berusaha masuk ke wilayah Bogor Selatan, yakni Kampung Cibereum Sunting untuk melakukan ekspansi akumulasi modal dengan melakukan pembangunan dan pengembangan areal kompleks perumahan baru.

Pada prakteknya di lapangan, terjadi banyak kejanggalan seakan-akan “real estate” hanya memberi keuntungan pada pemerintah daerah Kota Bogor dan PT. A, serta secara langsung dan tidak langgsung menggusur lahan pertanian para petani. Kondisi ini menyebabkan luasan lahan pertanian menjadi berkurang. Keuntungan bagi pemerintah daerah Kota Bogor secara khusus adalah terpenuhinya kebutuhan rumah untuk setiap rumah tangga, terbentuknya lingkungan perumahan yang layak dan nyaman bagi hunian, yang memiliki tingkat kemudahan yang memadai sebagai subsistem kota secara keseluruhan, sebagai faktor utama dalam mewujudkan pola penyebaran dan kepadatan penduduk sesuai dengan arah perkembangan kota, dan faktor penunjang bagi kepadatan lainnya dalam kaitannya dengan penyebaran tempat kerja dan fasilitas umum.

Terkait dengan tata guna lahan, melihat keuntungan-keuntungan yang diperjuangkan oleh masing-masing pihak tersirat nilai spesifik tanah di dalamnya, yakni (secara rinci telah dijelaskan dalam Bab 5):

1. Bagi PT. A:

Lahan dikategorikan sebagai nilai keuntungan, dimana terdapat tujuan ekonomi dan dapat dicapai dengan jual beli lahan di Kampung Cibereum Sunting.

2. Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor:

Lahan dikategorikan sebagai nilai kepentingan umum yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.

3. Bagi Petani:

Lahan dikategorikan sebagai nilai sosial dimana kehidupan sosial antara petani terikat di dalamnya, yakni adanya perilaku yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan.

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 88-95)