• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Daerah

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 37-43)

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1.6 Otonomi Daerah

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan ditinggalkan, yakni membawa angin baru dan optimisme bagi daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya serta suasana baru dalam hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Rasyid (2005), sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban pembangunan. Demi mengembalikan harga diri rakyat dan membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka paradigma pelayanan dan pemberdayaan sebagai landasan kerja pemerintah digunakan. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik (Rasyid, 2005). Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.

Menurut Imawan (2005), desentralisasi merupakan konsekuensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Desentralisasi mengandung pengertian bahwa adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah lokal). Sejalan dengan itu, Setyawan (2007) mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban, dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan.

Perdebatan mengenai makna desentralisasi ini masih saja terlihat, yakni dimaknai sebagai desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). Lebih jauh akhirnya, para pakar politik sependapat bahwa dianutnya desentralisasi adalah agar kebijakan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat setempat. Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat (Haris, 2005). Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokrasi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Setyawan (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah dalam otonomi daerah, yakni:

1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.

2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan.

3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi lemah karena terjadi tarik-menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumberdaya yang maksimal.

Menurut Setyawan (2007), tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal berikut:

1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam konteks makna dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. Pemberian otonomi kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik.

2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban di pandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai

penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat.

3. Hambatan utama terlaksananya pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sikap ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumberdaya dibanding penentu kebijakan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah provinsi.

2.1.7 Alih Fungsi Lahan Pertanian

2.1.7.1 Pengertian Alih fungsi lahan dan Perkembangan Alih Fungsi Lahan Pertanian

Menurut Kustiawan (1997), alih fungsi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sejalan dengan itu Sinaga (2006), mengartikan alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, namun secara terminologi dalam kajian land economic, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihfungsikannya lahan dari lahan pertanian ke bentuk penggunaan lainnya, khususnya dalam sektor industri. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomi lahan yang menempatkan sumberdaya lahan sebagai faktor produksi, karena faktor-faktor ini memiliki karakteristik tertentu. Secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dalam berbagai aktifitas. Menurut Utomo et. al. (1992), alih fungsi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula, seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukkan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan permukiman.

Pengertian ketiga alih fungsi lahan di atas, pada dasarnya menekankan adanya perubahan peruntukkan lahan dari penggunaan yang satu ke penggunaan lainnya. Namun, yang perlu dicermati secara khusus adalah pengertian alih fungsi lahan yang diuraikan oleh Utomo et. al. (1992), ”menjadi fungsi lain yang

berdampak negatif”. Sebenarnya menurut fakta empirik di lapangan (berdasarkan hasil penjajagan studi literatur) tidak selalu perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula menjadi fungsi yang lain berdampak negatif. Seperti penelitian yang diungkapkan Munir (2008), alih fungsi lahan memiliki dampak positif, yakni meningkatnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, peningkatan tingkat keamanan, dan berkurangnya tingkat pengangguran. Walaupun begitu, kecenderungan yang terjadi adalah alih fungsi lahan lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif.

Terdapat kajian lapang yang dapat memperkuat adanya dampak negatif dari alih fungsi lahan pertanian, yakni memberikan dampak yang sangat luas dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, sementara dampak yang dievaluasi biasanya terbatas pada masalah pengurangan produksi pangan dan pengurangan kesempatan kerja pertanian. Sebagai contoh, penelitian yang diungkapkan Sihaloho (2004), yakni alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian berimplikasi pada sulitnya mendapatkan pekerjaan atau tanah garapan bagi para petani dan buruh tani, sementara petani menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Selanjutnya Sinaga (2006) menyatakan bahwa alih fungsi lahan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pedesaan, yakni terbatasnya aksesibilitas penguasaan dan penggunaan lahan oleh para petani. Hasil penjajagan studi literatur lainnya juga menemukan adanya pendapat lain yang mengatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor.

Alih fungsi lahan terus terjadi dan bertambah dari tahun ke tahun. Makin maraknya alih fungsi lahan ke penggunaan lain merupakan permasalahan yang cukup serius terkait dengan keberadaan lahan di Indonesia. Berbagai bukti penelitian mengarah pada kesimpulan tersebut, seperti penelitian yang diuraikan Kustiawan (1997), yakni pada tahun 1983 hingga tahun 1994 lahan sawah di wilayah pantai utara Pulau Jawa mengalami penyusutan seluas 104.581 hektar (35,5%) atau sekitar 4.300 hektar per tahun. Perkembangan alih fungsi lahan di

Indonesia didisagregasi menjadi dua. Pertama, perkembangan alih fungsi lahan menurut wilayah administratif, dalam hal ini pulau. Kedua, perkembangan alih fungsi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan (Ilham, 2009).

Menurut Iqbal (2007), berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2006, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat penurunan lahan sawah di provinsi Sumatera Selatan dengan proporsi rata-rata sekita 3,63 persen per tahun. Akan tetapi, data dari DPTPH (2006) dan Kanwil BPN (2006) memberikan gambaran sebaliknya, dimana lahan sawah di provinsi ini bertambah dengan rataan laju pertumbuhan masing-masing 1,53 persen per tahun dan 3,45 persen per tahun. Agregasi data dari ketiga instansi tersebut menunjukkan bahwa lahan sawah di Provinsi Sumatera Selatan cenderung bertambah setiap tahun. Namun demikian telaah lebih lanjut memperoleh informasi bahwa sebetulnya alih fungsi lahan ke penggunaan lain juga terjadi di Provinsi ini. Alih fungsi lahan yang cukup banyak terjadi di Provinsi Sumatera Selatan adalah dari lahan sawah ke perkebunan. Kedua penelitian yang diutarakan di atas bila ditarik garis mendapatkan suatu kesimpulan, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Selain bersifat permanen, alih fungsi lahan juga bersifat progresif dimana hal ini terus terjadi bahkan luasnya meningkat tajam tiap tahunnya. Alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di pulau Jawa tetapi juga terjadi di luar Pulau Jawa. Walaupun begitu alih fungsi lahan di Jawa jauh lebih besar di bandingkan di luar Pulau Jawa. Bagi daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi, seperti di Jawa, alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian sangatlah sulit dihindari. Pada intinya, alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan masalah serius yang harus dicari pemecahannya.

2.1.7.2 Tipe dan Bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka muncullah tipe alih fungsi lahan yang sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Penggolongan tipe alih fungsi lahan ini dapat dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih fungsi lahan. Hasil analisis faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan,

pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan tersebut menghasilkan lima tipe alih fungsi lahan, yang tersaji dalam tabel berikut:

Tabel 2 Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian.

No. Tipe Alih Fungsi Lahan Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan

1. Alih Fungsi Lahan Sporadik  Lahan yang tidak/kurang produktif  Desakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan  Sistem waris

2. Alih Fungsi Lahan Sistematik  Sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yakni: a. Pembangunan kawasan industri/Perkotaan. b. Pembangunan sarana dan prasarana c. Permukiman

3. Alih Fungsi Lahan Adaptasi demografi

 Kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk

4. Alih Fungsi Lahan Masalah Sosial

 Adanya motivasi masyarakat untuk berubah: a. Meninggalkan kondisi lama, dan

b. keluar dari sektor pertanian. 5. Alih Fungsi Lahan Adaptasi

Agraris

 Keinginan meningkatkan hasil pertanian  Motivasi untuk bertani di tempat lain yang lebih

produktif. Sumber: Sihaloho (2004)

Secara rinci gambaran Tabel 2 di atas dijelaskan sebagai berikut:

1. Alih fungsi lahan gradual-berpola sporadis, dimana faktor penggerak alih fungsi lahan adalah lahan yang kurang produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan.

2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave, pola alih fungsi lahan mencakup wilayah dalam bentuk ”sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama.

3. Alih fungsi lahan adaptasi demografi, terjadi karena kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk.

4. Alih fungsi lahan akibat masalah sosial, karena adanya motivasi masyarakat untuk berubah dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian.

5. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif.

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 37-43)