• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada Tingkat Petani- Posisi Tawar ( Bargaining Position)

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 105-112)

BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG

7.2 Pada Tingkat Petani- Posisi Tawar ( Bargaining Position)

Berkaitan dengan hal itu, PT. A berhasil mendapatkan SKPR untuk membangun kompleks perumahan baru. Hal ini dikarenakan rencana pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor Selatan, yakni memang diarahkan sebagai permukiman. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak NDN (Dinas Ciptakarya, Kota Bogor):

‘Rencana PT. A bangun perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja disetujui karena mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK wilayah Bogor Selatan’.

7.2 Pada Tingkat Petani

7.2.1 Posisi Tawar (Bargaining Position)

Penataan ruang di Kota Bogor juga tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Aturan ini

memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk memberi peluang bagi peran serta masyarakat dalam hal penataan ruang, serta menjelaskan bahwa setiap orang berhak menikmati manfaat ruang. Dengan perkataan lain, setiap orang baik secara langsung perorangan atau melalui kelompok berhak mengajukan usul, memberi saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang. Peraturan ini juga mengatakan bahwa masyarakat juga berhak mengetahui secara terbuka rencana tata ruang. Masyarakat juga berhak mendapat 'kompensasi' atau penggantian yang layak bila dirugikan oleh pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai rencana tata ruang. Adapun kewajiban masyarakat adalah berperan serta dalam memelihara mutu ruang dan menaati tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini berarti masyarakat juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pembangunan yang baik dan benar.

Perubahan ini menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan. Hal ini karena, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dibutuhkan pemikiran keras dan inisiatif dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya, dalam membuat rencana tata ruang seringkali tersirat masih dilakukan secara semi top down (belum berjalannya komunikasi dua arah). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak UJG (perangkat Kelurahan Mulyaharja):

‘Meskipun saya diundang dalam rapat dengan agenda penyusunan perencanaan tata ruang, tapi rancangan rencana tata ruang sudah dibuat oleh pemerintah daerah. Selain itu, ketika berjalannya rapat pemerintah daerah lebih dominan dan seolah-olah hanya mempresentasikan rancangan rencana tata ruang serta kurang memberikan ruang partisipasi kepada peserta rapat lainnya (LSM, akademisi, dan swasta)’.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa selain belum berjalannya komunikasi dua arah, beberapa upaya sosialisasi undangan keterlibatan masyarakat hanya berkutat pada tahap perencanaannya. Informasi terkait dengan hal itu pun kurang tersampaikan dengan baik. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama, tetapi dalam prakteknya terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini terlihat, dimana pemerintah daerah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup puas hanya dengan proses tersebut karena masyarakat

menginginkan setiap keputusan yang diambil melibatkan mereka. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya perencanaan partisipatif terletak pada panjangnya proses pengambilan keputusan dimana jarak antara penyampaian aspirasi hingga menjadi keputusan cukup jauh. Pada intinya, keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang belum tersentuh dengan baik.

Petani di Kampung Cibereum Sunting berkaitan dengan hal tersebut, juga belum memiliki kesiapan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penataan ruang. Hal ini dipengaruhi oleh ketiadaan akses yakni tidak adanya kemampuan untuk memperoleh keuntungan atas objek material dan orang lain. Secara khusus, petani tidak memiliki mekanisme akses pengetahuan terhadap kebijakan penataan ruang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden, ternyata pengetahuan petani terhadap tata ruang secara persil khususnya di sekitar kediamannya adalah “tidak mengetahui”. Apalagi pengetahuan tentang tata ruang secara keseluruhan Bogor Selatan.

Ketidaktahuan petani terhadap tata ruang sungguh dapat dipahami, hal ini karena kurangnya wacana dan kemampuan petani untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap kebijakan penataan ruang. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan para petani. Setelah digali lebih jauh, rendahnya pendidikan petani juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang juga rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. OIN (petani):

‘Bujeng-bujeng ngemutan atawa mikiran tata ruang, sakola geu teu lulus, lantaran teu aya biaya, janteun anu mikir leuwih teh teu dugi. Komo deui tata ruang, abdi mah teu ngartos’.

‘Tidak pernah memikirkan apa itu tata ruang, sekolah saja tidak lulus, karena tidak ada biaya, jadi kalau berpikir yang berat-berat tidak sampai. Apalagi tata ruang, saya tidak mengerti’.

Rendahnya partisipasi juga dipengaruhi oleh ciri-ciri petani di Kampung Cibereum Sunting, sebagai berikut:

1. Cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan para petani (telah dijelaskan pada paragrap

sebelumnya). Sebagian besar diantara petani hanya lulusan sekolah dasar. Selain itu, dipengaruhi juga oleh rendahnya pendapatan para petani.

2. Memiliki prinsip “safety first”, yakni sebagai akibat dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Yang selanjutnya, ini mempengaruhi aspek teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap menerima terhadap berbagai kondisi, yakni petani menerima saja ketika lahan pertanian yang dimiliki dialihfungsikan menjadi kompleks perumahan.

Pada intinya faktor-faktor yang diuraikan di atas menyebabkan bargaining position (posisi tawar) para petani rendah. Selanjutnya, menyebabkan akses petani terhadap ruang menjadi terbatas sehingga petani tidak mampu mengelola permasalahan. Hal ini kemudian, membuka peluang bagi PT. A (swasta) untuk masuk dan memanfaatkan ketidakberdayaan para petani untuk melakukan ekspansi kapitalisme besar-besaran.

7.3 Ikhtisar

Pemerintah daerah menurunkan produk kebijakan penataan ruang berupa RTRW dan RDTRK. Pada pelaksanaannya, kebijakan penataan ruang tersebut memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat pelaksana dan di tingkat petani. Pada tingkat pelaksana mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang. Pada tingkat petani adalah rendahnya posisi tawar. Aspek-aspek tersebut baik di tingkat pelaksana maupun petani, selanjutnya dimanfaatkan oleh PT. A dengan tujuan akumulasi modal dan meningkatkan surplus.

Tabel 7 Perbandingan Antara Aturan Formal dan Proses Nyata Terkait dengan Kebijakan Penataan Ruang.

No. Aspek Kebijakan Penataan Ruang Aturan Formal dan atau Peluang Penyimpangan Proses Nyata dan atau Dampak 1. Pada

Tingkat Pelaksana

Perencanaan Isi dan Arahan RTRW

Sebelum RTRW dibuat perlu diketahui terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah yang direncanakan.

Pencarian informasi tentang kebutuhan masyarakat hanya dilakukan secara makro dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat kecil terutama petani.

Keluarnya Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976. Dijadikannnya Kota Bogor sebagai pusat perkembangan dan pertumbuhan

perekonomian sehingga sumber agraria tanah dalam perencanaan pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor non-pertanian. Isi rencana penggunaan lahan Tahun 2009: Alokasi lahan

pertanian 2,10 persen, sedangkan perumahan mencapai 71,95 persen.

Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat memacu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

Isi dan Arahan RDTRK

Penetapan Kota Bogor sebagai kota Satelit I sehingga meningkatnya perkembangan fisik di lapangan maka daerah pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun campuran dapat dialihfungsikan untuk pembangunan.

Tidak ada lagi perlindungan terhadap lahan pertanian.

Penetapan Kota Bogor ke dalam Sub BWK B. Perencanaan tata guna lahannya diarahkan sebagai kawasan perumahan/permukiman, subterminal, dan kawasan perdagangan skala lokal.

Pelaksanaan Pemerintah wajib mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat dan mendengarkan masukan, saran atau keberatan yang diajukan masyarakat atas rencana tata ruang tersebut. Agar masukan, saran dan keberatan masyarakat itu bersifat rasional dan beralasan maka pemerintah juga wajib menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, pengertian, dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan latihan.

• Pembinaan dalam bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Dinas Penataan Ruang dirasa belum efektif dan kurang menyentuh masyarakat luas.

• Pembinaan dalam bentuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan pelatihan belum dilakukan oleh pihak pelaksana.

Aturan diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan dari pihak swasta.

Investasi dan kapitalisasi besar-besaran oleh pihak swasta.

Cibereum Sunting disetujui dalam

pelaksanaannya untuk dimanfaatkan sebagai kawasan perumahan.

Pengendalian Di dalam Undang-Undang 24 Tahun 1992, pengendalian penataan ruang tidak diuraikan secara rinci.

Memicu ketiadaan pegangan dalam

implementasi pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang.

Keluarnya Undang-Undang 26 Tahun 2007.

Izin Lokasi:

• Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 (ketentuan: pemegang izin lokasi memperoleh izin untuk melakukan usaha

pembebasan tanah dalam areal tersebut).

• Pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor. 55/1993 (ketentuan: pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat).

Keleluasaan swasta (PT. A) dalam melakukan pembebasan tanah.

PT. A melaksanakan pembebasan tanah dengan bantuan biong. Pada prakteknya, para biong cenderung memaksa petani.

Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR):

• Ketentuan mengenai SKPR ini sudah jelas, namun belum menjadi peraturan daerah yang sah

• Pemberian SKPR dapat dilakukan apabila instansi yang menanganinya telah mencocokkan kesesuaian antara elemen-elemen rencana yang disodorkan

SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang kuat.

PT. A berhasil mendapatkan SKPR karena rencana pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting mengarah pada

set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor

dengan rencana

pengembangan kota yang telah menjadi pedoman. 2. Pada

Tingkat Petani

Posisi Tawar (bargaining

Position)

RENDAH

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan karena dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang maka membutuhkan pemikiran keras dan inisiatif dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Panjangnya proses pengambilan keputusan dimana jarak antara penyampaian aspirasi hingga menjadi keputusan cukup jauh. Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang belum tersentuh dengan baik.

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 105-112)