• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 99-105)

BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG

7.1.3 Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, undang-undang ini menjadi rujukan utama bagi penataan ruang di Indonesia. Namun, pada kenyataannya regulasi ini menyimpan permasalahan, yakni pembahasan mengenai pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang tidak diuraikan secara rinci. Hal ini dapat memicu ketiadaan pegangan dalam implementasi pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang. Kemudian, terkait dengan perwujudan rencana tata ruang (RTRW dan RDTRK) mengalami kendala dalam implementasinya. Tata ruang seringkali berubah menjadi “tata uang”. Melihat fenomena yang ada, Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dibuat sebagai bentuk revisi Undang-Undang 24 Tahun 1992. Dalam undang-undang ini sudah mulai diberlakukan mekanisme pengendalian ruang.

Terkait dengan Undang-Undang 26 Tahun 2007, pengendalian dalam hubungannya dengan rencana tata ruang kota adalah terkait dengan mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Produk pengedalian dalam hubungannya dengan penataan ruang adalah izin lokasi, surat keterangan pemanfaatan ruang, izin mendirikan bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Bagian mengenai izin lokasi dan surat keterangan pemanfaatan ruang tersebut akan dijelaskan lebih rinci karena sangat terkait dengan aspek yang memberikan peluang alih fungsi lahan pertanian, antara lain sebagai berikut:

Izin Lokasi

Izin lokasi adalah izin yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan (pengembang) dalam rangka penanaman modal. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pemberian izin lokasi sebagian besar mengacu kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yakni berupa Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Agraria/Ketua BPN. Selain itu, terdapat juga

peraturan yang berasal dari peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Wali Kota. Adapun secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi. Menurut penuturan pegawai pemerintahan, sebelum keluarnya Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi, proses perizinan lokasi diatur oleh Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 dikeluarkan sebagai bentuk respon adanya permasalahan terkait dengan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993, yakni dengan turunnya aturan mengenai otonomi daerah, walikota sebagai penguasa wilayah merasa terlangkahi dengan adanya aturan keharusan merekomodir ke kepala kantor pertanahan yang notabenenya hanya tingkat eselon III walaupun masih termasuk aparat pemerintah pusat di daerah. Hal ini dapat dipahami dengan melihat perbedaan pelimpahan wewenang yang terdapat pada isi peraturan-peraturan tersebut. Dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993, dijelaskan mengenai wewenang pemberian izin lokasi berada di bawah kantor Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999, wewenang pemberian izin lokasi berada di bawah kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak BRD (Kantor Pertanahan, Kota Bogor):

‘Turunnya aturan tentang otonomi daerah, membuat walikota merasa menjadi penguasa. Oleh karena, kewenangan pemberian izin lokasi berada di bawah kantor pertanahan (dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993) maka hal itu menjadi masalah. Walikota merasa terlangkahi oleh Kantor Pertanahan yang hanya eselon III’.

Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 ini merupakan dasar hukum utama yang dipakai terkait dengan pemberian izin lokasi yang berkaitan dengan kegiatan usaha komersial, seperti pembangunan perumahan atau industri. Peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai izin lokasi, antara lain yang menyangkut pengertian izin lokasi, isi izin lokasi, kapan izin lokasi diperlukan, hak dan kewajiban pemegang izin lokasi, dan hak serta perlindungan pihak-pihak yang mempunyai

kepentingan atas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi terutama para pemegang hak atas tanah.

Tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut RTRW dan RDTRK memang diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Izin ini merupakan izin pemindahan hak atas tanah sehingga dalam prakteknya pemegang izin lokasi juga memperoleh izin untuk melakukan usaha pembebasan tanah dalam areal tersebut. Ini mengindikasikan pengusaha dapat melakukan pembebasan tanah sendiri dengan bekal legalitas dari pemerintah.

Pada prakteknya, PT. A melakukan proses pembebasan tanah dengan berusaha menekan petani melalui bantuan biong. Biong adalah orang yang memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan PT. A. Biong melakukan berbagai cara untuk menekan petani agar mau menjual lahannya kepada PT. A, seperti terus mendatangi rumah petani dan membujuk para petani, bahkan bila itu tidak berhasil para biong cenderung memaksa dengan cara mengancam petani. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. AJH (Petani):

‘PT. A teh pada kerja sami sareung biong pikeun ngabujuk wargi biar ngaical lahan tanina. Sapopoe teh biong nyamperan ka imah abdi wae, laun-laun teh janteun maksa. Akhirna, abdi teh risih oge jeung akhirna mah nga jual lahan’.

‘PT. A melakukan kerja sama dengan biong untuk membujuk warga agar menjual lahan taninya. Setiap hari biong mendatangi terus menerus ke rumah, lama-lama jadi memaksa. Akhirnya, saya merasa risih dan akhirnya menjual lahan’.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam hal proses pembebasan lahan di Kampung Cibereum Sunting. Padahal pada pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 telah dijelaskan, bahwa pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat. Hal ini menunjukkan celah, bahwa pengawasan terhadap

pelaksanaan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tidak dilakukan secara optimal. Akibatnya, PT. A dapat memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dari para petani dengan berusaha mencari cara agar petani menjual lahannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. NDN (Dinas Cipta Karya, Kota Bogor):

‘pengawasan secara mendetail terhadap proses pembebasan lahan memang belum dilakukan. Hal ini terbentur oleh kurangnya sumberdaya manusia dan dana’.

Adapun prosedur ideal permohonan izin lokasi, antara lain dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 6 Prosedur Ideal Permohonan Izin Lokasi

Sumber: Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999

Pemohon Walikota/Bupati/Gubernur di DKI Kantor Pertanahan Rapat Koordinasi dengan Instansi terkait Mengajukan

Permohonan Menerima Permohonan

Pemeriksaan Kelengkapan dan pemenuhan syarat-syarat koordinasi dan minta data pendukung instansi terkait

1. Surat Persetujuan • PMD > Surat Persetujuan

Penanaman Modal • PMA > Surat Pemberitahuan

Persetujuan 2. Surat Persetujuan

Pencadangan Tanah (Lihat Prosedur) 3. Biaya Admnistrasi ditolak Keputusan diterima Bahan-bahan untuk

rapat koordinasi SK Izin Lokasi

Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi

Keputusan Masyarakat Proses Pembebasan Tanah

(Kepres No. 55 Tahun 1993

Tidak Setuju

Mencari Alternatif

Adapun mekanisme penyimpangan terkait permohonan izin lokasi untuk kegiatan usaha komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting, antara lain dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 7 Mekanisme Penyimpangan Terkait Permohonan Izin Lokasi untuk Kegiatan Usaha Komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting

Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2009) Pemohon Walikota/Bupati/Gubernur di DKI Kantor Pertanahan Rapat Koordinasi dengan Instansi terkait. Ideal: Rapat koordinasi dihadiri oleh seluruh instansi yang tergabung dalam Tim 9. Proses Nyata: Rapat koordinasi hanya dihadiri oleh sebagian instansi yang tergabung dalam Tim 9. PT. A Mengajukan Permohonan Menerima Permohonan Pemeriksaan Kelengkapan dan pemenuhan syarat-syarat koordinasi dan minta data pendukung instansi terkait

1. Surat Persetujuan • PMD > Surat Persetujuan

Penanaman Modal • PMA > Surat Pemberitahuan

Persetujuan 2. Surat Persetujuan Pencadangan Tanah 3. Biaya Admnistrasi Keputusan diterima Bahan-bahan untuk rapat koordinasi SK Izin Lokasi Ideal:

Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi. Proses Nyata:

Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi, belum dilakukan secara intensif terhadap masyarakat tani yang lahannya terkena plotan kompleks perumahan. konsultasi dengan masyarakat hanya berkutat pada kelompok elit yang mata pencaharian utamanya bukan berasal dari pertanian.

Keputusan Masyarakat Proses Pembebasan Tanah

(Kepres Nomor 55 Tahun 1993) Ideal:

Pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat.

Proses Nyata:

PT. A melaksanakan pembebasan tanah dengan bantuan biong. Pada prakteknya, para biong cenderung memaksa petani untuk menjual lahan pertanian mereka.

Keterangan:

Menunjukkan adanya penyimpangan

Menunjukkan tidak terdapat penyimpangan

Terkait dengan Gambar 7, PT. A dalam mengajukan permohonan pemanfaatan tanah yang berkaitan dengan usaha komersial, yakni pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan, juga melalui mekanisme izin lokasi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak EDY (Tata Pemerintahan, Kota Bogor):

‘PT. A sebelum bangun kompleks perumahan, melewati proses mengajukan permohonan untuk memperoleh izin lokasi sebelum mengurus hak formal atas tanahnya’.

Hasil pengkajian di lapang menunjukkan bahwa dalam pembebasan lahan, kondisi alam Kampung Cibereum Sunting tidak diperiksa terlebih dahulu oleh dinas-dinas terkait yang tergabung dalam Tim 9 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak B (perangkat Kelurahan Mulyaharja):

‘Sateuacan dibebaskeun taneuh teh, teu aya pihak dinas anu mantau kondisi alam Kampung Cibereum Sunting. Ujug-ujug geus kaluar surat izin wae nu dicepeung PT. A’.

‘Sebelum dibebaskan tanah tersebut, tidak ada pihak dinas yang memantau kondisi alam Kampung Cibereum Sunting. Tahu-tahu sudah keluar surat izin saja yang di pegang PT. A’.

Pemegang izin lokasi dalam hal ini PT. A memperoleh izin untuk melakukan pembebasan tanah dalam areal tersebut. Akibatnya, PT. A melakukan pembebasan tanah sendiri padahal dalam ketentuan teknis, Tim 9 sebagai tim pertimbangan memiliki tugas dan tanggung jawab, yang salah satunya adalah melakukan peninjauan lapangan terhadap lokasi yang dimohon. Sebenarnya, pemerintah daerah mempunyai peranan yang besar sebagai filter atau penyaring

2 Komposisi keangotaan dari tim 9 (panitia pengadaan tanah), disebutkan dalam pasal 7 terdiri dari: 1. Bupati/Walikota KDH Tingkat II sebagai ketua merangkap anggota.

2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai wakil ketua merangkap anggota. 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi Bangunan sebagai anggota.

4. Kepala Instansi Pemerintahan Daerah yang bertanggungjawab dibidang pertanian sebagai anggota.

5. Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pertanian sebagai anggota. 6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan

akan berlangsung sebagai anggota.

7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota.

8. Asisten Sekertaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintaha atau Kepala Bagian Pemerintah pada kantor Bupati/Walikota sebagai sekretaris I bukan anggota.

dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dimana pemerintah mampu melakukan upaya pencegahan terhadap proyek-proyek yang sifatnya kapitalisme besar-besaran. Namun pada kenyataannya, RTRW dan RDTRK yang dibuat justru mendukung kapitalisme besar-besaran. Hal ini terbukti dari adanya fakta bahwa PT. A bukan hanya membangun kawasan perumahan tetapi juga membangun kawasan wisata.

Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR)

Pemberian SKPR dapat dilakukan apabila instansi yang menanganinya telah mencocokkan kesesuaian antara elemen-elemen rencana yang disodorkan dengan rencana pengembangan kota yang telah menjadi pedoman. Meskipun ketentuan mengenai SKPR ini sudah jelas, namun belum menjadi peraturan daerah yang sah. Ini menunjukkan SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor):

‘Untuk ketentuan tentang SKPR memang sudah jelas, tapi belum jadi peraturan daerah. Tetapi, aturan ini sudah dalam proses untuk menjadi peraturan daerah’

Berkaitan dengan hal itu, PT. A berhasil mendapatkan SKPR untuk membangun kompleks perumahan baru. Hal ini dikarenakan rencana pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor Selatan, yakni memang diarahkan sebagai permukiman. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak NDN (Dinas Ciptakarya, Kota Bogor):

‘Rencana PT. A bangun perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja disetujui karena mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK wilayah Bogor Selatan’.

Dalam dokumen Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I (Halaman 99-105)