• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN

4.3. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri

4.3.1. Kebijaksanaan di bidang ekspor

Perkembangan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi dan kompetitif sejalan dengan meluasnya pengaruh globalisasi, telah membawa implikasi terhadap pergerakan barang dan jasa dalam perdagangan intemasional yang semakin bebas melewati batas-batas negara (borderless). Kondisi yang demikian, selain merupakan tantangan yang semakin berat, terutama dalam upaya menembus pasar global, sekaligus merupakan peluang yang cukup besar bagi ekonomi Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan.

Karena itu, dalam upaya menjawab tantangan, sekaligus memanfaatkan peluang tersebut di atas, Pemerintah terus berupaya memperbaiki kinerja perekonomian dalam negeri, diantaranya melalui peningkatan daya saing ekonomi, efisiensi, dan produktivitas di berbagai sektor usaha. Dengan kinerja ekonomi dalam negeri yang semakin membaik, diharapkan kemampuan internal semakin kuat, sehingga mampu mendorong peningkatan ekspor nasional, khususnya ekspor non migas. Upaya-upaya tersebut dimanifestasikan melalui serangkaian

kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan.

Paket kebijaksanaan 26 Januari 1996, yang mempunyai sasaran untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditempuh sebelumnya, diharapkan mampu menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih menarik dan kondusif, yang pada gilirannya mendorong peningkatan ekspor. Selain itu, kebijaksanaan tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tingkat efisiensi dan daya saing ekspor nasional.

Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, melalui kebijaksanaan deregulasi tersebut Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong pengembangan industri berorientasi ekspor, dengan memberikan kesempatan kepada industri yang mendapatkan fasilitas Bapeksta Keuangan untuk menjual barang hasil produksinya ke kawasan berikat (KB) dan ke entreport produksi tujuan ekspor (EPTE) untuk diolah lebih lanjut sebagai ekspor tidak langsung. Di samping itu, berbagai ketentuan yang berkaitan dengan pembatasan ekspor sejumlah komoditi yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor (PE), dalam paket kebijaksanaan yang baru ini ditinjau kembali dengan maksud untuk mencukupi persediaan bahan baku industri terkait, seperti kulit ternak olahan, sisa aluminium, dan scrap alloy tertentu serta aneka dupa wangi dari kayu cendana, kecuali untuk produk "crude palm oil" (CPO) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439 Tahun 1994 tetap dikenakan tarif pajak ekspor antara 40% - 60% dan produk olahannya (seperti crude olein dan RBO olein) dikenakan tarif pajak ekspor antara 50% - 75%. Sementara itu, bagi industri-industri yang terkait langsung dengan ekspor diberikan kemudahan tarif bea masuk atas impor barang modal dan bahan baku.

Dalam pada itu, untuk memperlancar pelaksanaan ekspor, Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah dengan menghilangkan hambatan-hambatan ekspor, baik yang bersifat administratif dan birokratif maupun pungutan, terutama yang berkaitan dengan ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan mutu barang ekspor, biaya pemantauan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikenakan ketentuan kuota, yang selama ini dibebankan kepada para eksportir. Sementara itu, dalam rangka mendorong peningkatan dan perluasan ekspor non migas terutama dalam persaingan global, dibuka dan diperluas kesempatan usaha bagi perusahaan modal aging untuk mendirikan usaha jasa perdagangan ekspor.

langkah-langkah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan ekspor, yaitu dengan memberikan kemudahan ekspor seperti persyaratan penggunaan dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB). Bagi pengiriman barang-barang ekspor yang nilainya kurang dari Rp 100 juta tidak lagi menggunakan dokumen PEB, melainkan dokumen permohonan ekspor tanpa PEB (PETP). Ketentuan ini diharapkan dapat mendorong ekspor non migas yang diusahakan oleh koperasi, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Selain itu, Pemerintah juga telah menghapuskan ketentuan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor di pelabuhan, atau di pabrik atau di gudang. Dengan dihapusnya ketentuan pemeriksaan ini, maka pemeriksaan barang ekspor sepenuhnya disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Kepabeanan.

Sementara itu, melalui paket kebijaksanaan Juni 1996, Pemerintah juga telah memberikan beberapa kemudahan, diantaranya melalui penyederhanaan persyaratan dan prosedur memperoleh surat keterangan asal (SKA) barang ekspor, kemudahan pelayanan kepabeanan, perpajakan, dan perbankan bagi perusahaan eksportir tertentu (PET), baik perusahaan eksportir produsen maupun perusahaan eksportir umum yang mengekspor tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronika, kulit dan produk kulit, produk kayu dan rotan.

Selain itu, Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan dan tata cara pengawasan mutu untuk produk ekspor tertentu, yang wajib memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia (SNI) atau standar tarif yang diacu dan diakui, yang dibuktikan dengan sertifikat kesesuaian mutu (SM) atau sertifikat produk (SP). Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu produk-produk ekspor.

Di samping melalui serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang konsisten dan berkelanjutan, upaya lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mendorong peningkatan ekspor adalah dengan membentuk Tim Pengkajian Strategi Ekspor (TlPSE). Pembentukan tim ini dimaksudkan untuk membantu unit-unit operasional yang bertanggung jawab dalam melakukan diplomasi perdagangan (trade diplomacy), promosi perdagangan (trade promotion) dan fasilitasi perdagangan (trade facilitation) dengan sasaran untuk mendorong peningkatan ekspor non migas dan menyelesaikan hambatan-hambatan perdagangan (tarif dan nontarif) di negara-negara tujuan ekspor, serta meningkatkan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan mitra dagang.

Tim ini selain ditugaskan untuk memonitor, mengidentifikasi, dan menganalisa berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya mendorong peningkatan ekspor, khususnya ekspor non migas, juga diharapkan marnpu menetapkan strategi penetrasi pasar/negara tujuan ekspor baik melalui pendekatan wilayah pasar/negara maupun melalui pendekatan produk. Sementara itu, dalam upaya menanggulangi tuduhan barang ekspor Indonesia sebagai barang dumping, yang belakangan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor, Pemerintah juga telah membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

Dalam pada itu, sejalan dengan upaya perluasan pasar/ negara tujuan ekspor, khususnya ke negara-negara yang perekonomiannya sedang berkembang, seperti Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, Pemerintah terus mengambil langkah-langkah untuk pengembangan dan perluasan komoditi yang dipasarkan di luar negeri. Sampai saat ini tercatat 24 kelompok komoditi utama ekspor non migas, yang terdiri atas 5 kelompok mata dagangan utama lama, 6 kelompok mata dagangan utama baru, dan 13 mata dagangan utama lainnya. Kelompok mata dagangan utama lama terdiri dari barang-barang kayu gabus; pakaian; benang tenun; kain tekstil dan hasil-hasilnya; sepatu dan peralatan kaki lainnya; ikan kerang-kerangan, moluska, dan olahannya. Sedangkan kelompok mata dagangan utama baru adalah karet mentah, karet sintetis, dan karet pugaran; bijih logam dan sisa logam; alat telekomunikasi; hasil industri lainnya (perhiasan, perlengkapan kantor, dan sebagainya); minyak dan lemak nabati; kopi, teh, coklat, dan rempah-rempah. Kelompok mata dagangan utama lainnya terdiri dari baru bara, kokas, dan briket; perabot; kertas, kertas kafan, dan lainnya; mesin listrik dan peralatannya; logam tidak mengandung besi; mesin kantor dan pengolahan data; kayu dan gabus; kimia organis; besi dan baja; barang-barang logam lainnya; barang-barang dari mineral bukan logam; kendaraan bermotor untuk jalan raya; serta buah-buahan dan sayuran.