• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

2.2.4. Pengeluaran rutin

2.2.4.1. Pembiayaan aparatur pemerintah

Sebagai salah satu unsur penunjang dalam usaha memperlancar penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pembiayaan aparatur pemerintah senantiasa diarahkan untuk memberi dukungan pembiayaan yang memadai bagi upaya peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme serta penyempurnaan se1uruh unsur aparatur pemerintahan. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aparatur pemerintah yang jujur, bersih, berwibawa, bertanggung jawab dan profesional. Peningkatan kualitas dan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah diperlukan bukan hanya untuk menciptakan aparatur yang mampu melayani, mengayomi, dan peka terhadap berbagai pandangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu juga mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada, serta menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha dalam memajukan pembangunan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin pesat dan beragamnya kegiatan pembangunan membawa konsekuensi akan kebutuhan aparatur yang berkualitas dan marnpu mengimbangi perkembangan dan meluasnya cakupan penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan itu, maka pembiayaan aparatur pemerintah diprioritaskan untuk mendukung upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah.

Upaya peningkatan dan penyempurnaan pendayagunaan aparatur pemerintah menyangkut bidang yang sangat luas, yang meliputi bidang kelembagaan, bidang ketatalaksanaan, dan bidang kepegawaian. Peningkatan dan penyempurnaan di bidang kelembagaan antara lain dilakukan melalui upaya penataan kembali susunan dan hubungan organisasi dan tata kerja, serta koordinasi pada organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan peningkatan dan penyempurnaan di bidang ketatalaksanaan antara lain dilakukan melalui langkah-langkah penyempurnaan

Bunga dan

Tahun cicilan Jumlah

pegawai barang hutang lain

-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 REPELITA I 1969/1970 89,4 63,2 2 14,5 44,6 213,7 1970/1971 119,2 84,9 0,3 27,6 61,5 293,5 1971/1972 148,5 83,9 0,2 46,7 65,5 344,8 1972/1973 175,3 109,3 0,5 46,3 97,2 428,6 1973/1974 233,6 246,7 74,4 30,6 699,7 REPELITA II 1974/1975 376,8 330,2 69,1 0,3 985,7 1975/1976 552,7 283,8 73,1 65,7 1.239,30 1976/1977 626 337,1 186,2 149,2 1.605,10 1977/1978 844,4 370,2 224,2 169,3 2.079,80 1978/1979 975,5 408,9 521,2 259,3 2.672,70 REPELITA III 1979/1980 1.282,40 557,9 743,9 742,5 3.999,20 1980/1981 1.778,40 694,4 795,8 1.309,00 5.549,50 1981/1982 2.169,80 957,5 930,5 1.652,20 6.943,00 1982/1983 2.372,80 1.068,50 1.223,20 986,9 6.967,30 1983/1984 2.750,80 1.043,60 2.100,50 2.774,90 10.215,20 REPELITA IV 1984/1985 3.140,80 1.165,00 2.775,70 537,6 9.405,90 1985/1986 3.929,70 1.351,20 3.323,10 906,7 12.006,40 1986/1987 4.438,40 1.311 ,0' 5.058,10 139,8 13.716,7' 1987/1988 4.545,10 1.296,10 8.157,40 530,8 17.340,60 1988/1989 5.489,20 1.226,60 11.040,20 167,8 20.934,90 REPELITA V 1989/1990 6.205,50 1.703,50 11.924,20 .924,7 24.335,20 1990/1991 7.088,00 1.842,10 12.815,80 3.487,70 29.121,10 1991/1992 8.169,70 2.328,10 12.838,20 1.340,60 29.053,00 1992/1993 9.554,20 2.928,50 14.523,50 1.215,70 33.605,40 1993/1994 11.144,80 3.032,10 17.163,00 2.041,30 40.289,90 REPELITA VI 1994/1995 12.595,50 4.318,90 18.402,50 1.479,70 44.069,00 1995/1996 2) 15.371,90 5.274,20 21.434,50 2.116,50 52.540,90 1996/1997 3) 18.280,60 6.589,00 10.012,30 20.226,80 1.005,00 56.113,70 Tabel II.7 (dalam miliar rupiah)

PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1996/1997 1) 2.495,70 2.769,40 2.811,20 3.011,10 114,4 otonom 209,3 264 306,6 971,9 1.233,00 1.315,90 1.545,40 1.786,80 3.577,30 3.887,50 4.376,40 5.383,50 6.908,70 7.272,40 8.343,80 Belanja Subsidi

Belanja daerah

Lain-471,7 507,8 672,5

1) Realisasi PAN

2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN

peraturan, ketentuan, dan prosedur administrasi pemerintahan. Sementara itu, upaya peningkatan dan penyempurnaan di bidang kepegawaian dilakukan antara lain melalui penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, peningkatan kualitas dan pembinaan karier pegawai, dan perbaikan penghasilan pegawai dan pensiun.

Arah penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai tidak hanya didasarkan kepada kemampuan keuangan negara, tetapi lebih ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas, dengan didasarkan kepada keserasian antara beban kerja, tugas pokok dan fungsi organisasi dengan kebutuhan pegawai, baik kuantitas maupun kualitas. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas antara lain dilakukan melalui perarnpingan organisasi dan kebijaksanaan zero growth. Upaya perampingan organisasi dilakukan dengan mempertimbangkan penyediaan sumber daya, sehingga tercipta struktur organisasi yang lebih proporsional, efisien, dan efektif serta sesuai denganr misi dan tugas pokok yang diembannya. Sedangkan kebijaksanaan zero growth merupakan kebijaksanaan pengendalian jumlah pegawai negeri dengan mengupayakan agar jumlah pegawai secara keseluruhan tetap. Upaya tersebut dilakukan dengan membatasi pengadaan, pegawai baru sesuai dengan jumlah pegawai yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia dalam tahun yang bersangkutan. Zero growth diartikan, bahwa secara nasional jumlah pegawai negeri tetap, narnun alokasi pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND) ditetapkan berdasarkan skala prioritas kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan. Dengan demikian pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen/LPND tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah pegawai negeri yang berhenti, pensiun dan meninggal dunia. Melalui kebijaksanaan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualiftkasi yang lebih tinggi bagi pegawai baru untuk jabatan yang sama diharapkan dapat memperlancar proses realisasi, optimalisasi dan peningkatan kualitas pegawai yang ada, sehingga tercipta komposisi pegawai yang sehat sesuai dengan skala prioritas pembangunan. Selain daripada itu, kebijaksanaan zero growth juga diharapkan dapat menghemat anggaran belanja pegawai sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa-masa mendatang.

Selain penyempurnaan sistem formasi dan pengadaan pegawai, upaya peningkatan kualitas dan pembinaan karier aparatur pemerintah juga terus diupayakan untuk dapat menunjang upaya peningkatan kegiatan pemerintahan dan pembangunan di berbagai sektor.

Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan sistem pendidikan dan pelatihan kedinasan, pendidikan jenjang kepangkatan dan jabatan, serta penyediaan bea siswa dalam rangka meningkatkan pendidikan formal bagi pegawai pilihan. Sementara itu untuk menjaring bibit unggul dan untuk mempersiapkan pegawai negeri yang bermutu serta mampu mengantisipasi tantangan dalam pembangunan, selain diupayakan melalui seleksi penerimaan pegawai baru yang ketat dan objektif, juga diupayakan melalui penyempurnaan pendidikan dan pelatihan prajabatan (diklat prajab) dengan diklat prajab pola baru. Materi diklat prajab pola baru tersebut ditekankan pada pembentukan mental, fisik dari disiplin, dengan pembekalan yang mencakup semangat pengabdian, disiplin, dan kepedulian terhadap dinamika masyarakat dan lingkungan, serta wawasan tentang administrasi pemerintahan dan pembangunan. Melalui diklat prajabatan pola baru tersebut diharapkan sejak awal dapat dibentuk sosok pegawai yang bermental baik, mempunyai disiplin dan semangat pengabdian yang tinggi, peka terhadap tuntutan masyarakat yang dilayani, serta mempunyai kemampuan profesionalisme yang mantap. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalisme aparatur pemerintah, selain telah dilakukan pengembangan jabatan fungsional, juga diberikan kesempatan kepada pegawai negeri tertentu untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang administrasi, diklat/penyesuaian tugas dan teknis fungsional, serta pendidikan penjenjangan sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu. Di samping itu, kepada aparatur pemerintah juga diberikan diklat teknis jangka pendek untuk meningkatkan keterampilan dalam jenis pekerjaan tertentu, penataran untuk meningkatkan disiplin dan pemahaman mengenai kebijaksanaan pemerintah, serta pendidikan formal yang lebih tinggi, bait di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sementara itu, dalam rangka memperbaiki kesejahteraan pegawai, tidak hanya dilakukan melalui penyempurnaan sistem penggajian tetapi juga telah dilakukan melalui penyempurnaan pada aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek non finansial. Peningkatan kesejahteraan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Sedangkan peningkatan kesejahteraan secara non

finansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian pensiun otomatis dan kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan perumahan.

Sejak awal Repelita I, perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993, yang berlaku sejak 1 April 1993. Kenaikan gaji pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat basarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase tertentu dari gaji pokok. Selain dari itu, kebijaksanaan menaikkan gaji pokok dimaksudkan pula untuk memperkecil perbedaan penghasilan antara pegawai yang berpangkat terendah dan tertinggi. Apabila berdasarkan PGPS-1968 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 perbandingan antara gaji pokok terendah dan tertinggi masing-masing adalah 1 berbanding 25 dan 1 berbanding 10, maka berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 1985 dan PP Nomor 15 Tahun 1993 perbandingannya masing-masing menjadi 1 berbanding 8 dan 1 berbanding 7. Selain gaji pokok, telah pula dilakukan peningkatan terhadap tunjangan isteri/suami dari sebesar 5 persen dari gaji pokok menjadi 10 persen dari gaji pokok terhitung sejak April 1992. Selanjutnya, melalui Keppres Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN, yang merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, juga dilakukan perubahan yang berkaitan dengan jumlah anak yang dapat memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras. Apabila dalam peraturan terdahulu, yaitu Keppres Nomor 29 Tahun 1984, jumlah anak yang memperoleh tunjangan penghasilan dan tunjangan beras untuk anak adalah sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anak, maka pada Keppres Nomor 16 Tahun 1994 dibatasi menjadi sebanyak-banyaknya 2 (dua) orang anak.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, juga telah dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki serta tidak terhambat oleh terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu profesionalisme pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier yang berorientasi

pada prestasi kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pmerintahan dan pembangunan.

Sejalan dengan berbagai kebijaksanaan dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai, realisasi belanja pegawai pusat senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita I, realisasi belanja pegawai pusat baru mencapai Rp 89,4 miliar, maka dalam tahun anggaran 1996/1997 disediakan anggaran belanja pegawai pusat sebesar Rp 18.280,6 miliar atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,8 persen per tahun. Dalam periode tersebut realisasi belanja pegawai pusat dalam pelaksanaan Repelita V telah meningkat dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 11.144,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,8 persen setiap tahunnya. Peningkatan realisasi belanja pegawai pusat selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan tahun anggaran 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994. Begitupun selama Repelita VI, penyediaan anggaran untuk belanja pegawai pusat juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995) realisasi belanja pegawai pusat mencapai sebesar Rp 12.595,5 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 15.371,9 miliar. Sementara itu, dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 18.280,6 miliar untuk belanja pegawai pusat, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai pusat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20,5 persen per tahun.

Sebagian besar pembiayaan untuk belanja pegawai pusat dipergunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi anggaran untuk gaji dan pensiun, juga mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap tahunnya. Apabila dalam tahun anggaran 1969/1970, realisasi pembayaran gaji dan pensiun mencapai Rp 48,6 miliar, maka dalam APBN 1996/1997 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan sebesar Rp 14.763,0 miliar, yang berarti mengalami peningkatan rata-rata sekitar 23,6 persen setiap tahunnya. Dengan peningkatan tersebut, proporsi pembayaran gaji dan pensiun terhadap total belanja pegawai pusat juga mengalami peningkatan dari sebesar 54,4 persen dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar 80,8 persen dalam tahun anggaran 1996/1997.

Selanjutnya, perkembangan belanja pegawai juga dipengaruhi oleh peningkatan pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan/lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam

negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena adanya penyesuaian harga pembelian beras kepada Bulog selaras dengan tingkat perkembangan harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras sebesar Rp 708 per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 harga pembelian beras telah meningkat menjadi Rp 788 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga dilakukan dalam APBN 1996/1997, yaitu menjadi sebesar Rp 868 per kilogram, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 160 atau 22,6 persen dari harga pembelian beras tahun anggaran 1994/1995. Sementara itu, sejalan dengan peningkatan tunjangan beras, pembiayaan uang makan/lauk pauk juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian biaya makan/lauk pauk, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi anggota ABRI, pelaut, petugas penjaga lampu suar, pasien rumah sakit pemerintah,.anak asuh dan orang jompo pada panti-panti asuhan negara, serta orang tahanan dan narapidana. Penyesuaian biaya makan/lauk pauk telah diberikan melalui peningkatan biaya makan/lauk pauk untuk anggota ABRI dari Rp 1.800 menjadi Rp 3.000 per orang per hari yang berlaku sejak 1 April 1994.

Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam negeri antara lain disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang karena beban tugasnya harus bekerja melebihi. jam kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam rangka peningkatan dan kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi dari kerja instansi pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakat, dalam lain-lain belanja pegawai dalam negeri juga menampung pembiayaan belanja pegawai swadana bagi kerja instansi pemerintah yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1991 ditetapkan menjadi unit swadana. Sedangkan peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah pegawai pada kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang didasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN), serta perubahan nilai tukar mata uang dari negara bersangkutan terhadap rupiah. Perkembangan belanja pegawai sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat diikuti dalam Tabel II.8.

Pembiayaan aparatur pemerintah mencakup pula belanja pegawai daerah, yang mempakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa, serta mampu mewujudkan keserasian dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas umum pemerintahan

dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja pegawai daerah pada dasarnya merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah, juga untuk menampung pengeluaran bagi aparatur pemerintah pusat yang ditempatkan di daerah, seperti guru SD Inpres, serta tenaga medis dari paramedis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dengan dernikian, belanja pegawai otonom juga diarahkan untuk menunjang terselenggaranya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai.

Sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan aparatur pemerintah, realisasi belanja pegawai daerah juga senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila pada awal pelaksanaan Repelita IV, realisasi belanja pegawai daerah baru mencapai Rp 1.738,6 miliar, maka dalam tahun anggaran 1988/1989 telah meningkat menjadi Rp 2.754,3 miliar, atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,2 persen pertahun. Sedangkan dalam pelaksanaan Repelita V, realisasi belanja pegawai daerah telah meningkat dari Rp 3.348,3 miliar dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi Rp 6.574,8 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, yang berarti telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 18,4 persen setiap tahunnya. Lebih tingginya peningkatan rata-rata selama Repelita V antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1991/1992, dan kenaikan gaji pokok pegawai dalam tahun anggaran 1993/1994, yang secara langsung berpengaruh pula pada besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai daerah.

Sementara itu, selama Repelita VI, belanja pegawai daerah juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI (1994/1995), realisasi belanja pegawai daerah mencapai sebesar Rp 6.918,9 miliar, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 realisasinya mencapai sebesar Rp 7.862,8 miliar. Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/1997), disediakan anggaran sebesar Rp 9.495,9 miliar, yang berarti selama Repelita VI, belanja pegawai daerah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 17,2 persen per tahun. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pembiayaan bagi aparatur pemerintah juga terus mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan belanja pegawai pusat dan belanja pegawai daerah. Gambaran lebih rinci dari perkembangan pembiayaan aparatur pemerintah dapat diikuti dalam Tabel II.9.