• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

2.2.4. Pengeluaran rutin

2.2.4.3. Pembayaran bunga dan cicilan hutang 1. Pembayaran hutang dalam negeri

2.2.4.3.2. Pembayaran hutang luar negeri

Pembayaran hutang luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi kepada pihak-pihak di luar negeri yang telah memberikan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan nasional. Kewajiban tersebut berupa pembayaran bunga dan cicilan atas hutang pokok yang harus dilakukan karena berakhirnya masa tenggang waktu dan telah jatuh temponya masa pembayaran. Hutang/pinjaman luar negeri tersebut telah dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melengkapi pembiayaan pembangunan dan telah dirasakan manfaatnya bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu Pemerintah terus mengupayakan agar pemberi pinjaman tetap merniliki kepercayaan terhadap Indonesia. Untuk itu hutang luar negeri senantiasa dimanfaatkan secara efektif dan efisien, terutama untuk membiayai berbagai kegiatan ekonorni dan pembangunan proyek-proyek yang berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Hal ini dimaksudkan agar proyek-proyek tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong

kemampuan untuk membayar kembali pinjaman yang telah digunakan. Pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlah sesuai dengan perjanjian yang disepakati juga merupakan langkah yang ditempuh untuk menjaga kredibilitas bangsa Indonesia di dunia intemasional, karena hal tersebut mencerrninkan pengelolaan hutang luar negeri sesuai dengan perencanaannya.

Selanjutnya, dalam rangka untuk mengurangi beban kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri di masa yang akan datang, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan Pemerintah dapat melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri, khususnya untuk hutang yang merniliki suku bunga tinggi. Kebijaksanaan tersebut telah dilaksanakan pada tahun anggaran 1994/1995, 1995/1996 dan 1996/1997, yang dananya diperoleh dari bagian pemerintah atas hasil penjualan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta saldo anggaran lebih (surplus) dalam APBN.

Dalam perkembangannya, besarnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri berfluktuasi sesuai dengan basarnya kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang jatuh tempo, dan perubahan nilai tukar antar valuta kuat dunia dan antara dolar Amerika dengan rupiah. Selama PJP I, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terus mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar Rp 12,8 miliar pada awal PJP I menjadi sebesar Rp 17.042,3 miliar pada akhir PJP I. Ini berarti bahwa selama PJP I, telah terjadi peningkatan ratarata sekitar 35 persen setiap tahunnya. Sementara itu apabila dilihat dari proporsinya terhadap pengeluaran rutin, pada awal Repelita I pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai 6,0 persen. Pada akhir PJP I proporsinya telah meningkat cukup tajam menjadi 42,3 persen. Membesarnya kewajiban atas pembayaran cicilan hutang luar negeri tersebut disebabkan terutama oleh besarnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo. Di samping itu juga karena adanya perubahan dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta mata uang asing lainnya, sehingga jumlah rupiah yang harus disediakan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri juga semakin besar.

Belanja Belanja Pengeluaran

Tahun barang pegawai Rutin Jumlah

SDO Lainnya 2) -1 -2 -3 -4 -5 REPELITA IV 1984/1985 1.165,00 48,2 30 1.243,20 1985/1986 1.351,20 242 456,7 2.049,90 1986/1987 1.311,00 228,2 139,8 1.679,00 1987/1988 1.296,10 223 129 1.648,10 1988/1989 1.226,60 256,8 85,5 1.568,90 REPELITA V 1989/1990 1.703,50 229 217,4 2.149,90 1990/1991 1.842,10 252,5 182 2.276,60 1991/1992 2.328,10 284,6 410,7 3.023,40 1992/1993 . 2.928,5 387,1 523,9 3.839,50 1993/1994 3.032,10 333,9 761,4 4.127,40 REPELITA VI 1994/1995 4.318,90 353,5 792,9 5.465,30 1995/1996 3) 5.274,20 481 2.116,50 7.871,70 1996/1997 4) 6.589,00 516,4 1.005,00 8.110,40 1) Realisasi PAN

2) Tidak termasuk subsidi BBM 3) APBN Perubahan (APBN-P) 4) APBN

PEMBIAYAAN OPERASIONAL DAN PEMELIHARAAN, 1984/1985 - 1996/1997 1) Tabel II.10

(dalam miliar rupiah)

Memasuki PJP II, jumlah pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri masih menjadi bagian yang besar dari total pengeluaran rutin, namun dari tahun ke tahun proporsinya semakin turun, yaitu 41,5 persen pada tahun anggaran 1994/1995, 37,4 persen pada tahun anggaran 1995/1996, dan 35,5 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Penurunan peranan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri terhadap realisasi pengeluaran rutin menggambarkan bahwa persentase peningkatan pengeluaran rutin lebih besar daripada persentase peningkatan pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Secara absolut realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri pada tahun anggaran 1994/1995 mencapai sebesar Rp 18.298,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.256,1 miliar (7,4 persen) bila dibandingkan dengan tahun terakhir PJP 1. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh adanya percepatan pembayaran (prepayment) terhadap sebagian hutang luarnegeri yang memiliki tingkat bunga relatif tinggi, yang berasal dari bagian pemerintah atas

hasil penjualan saham PT Indosat di bursa saham New York. Selanjutnya, pada tahun anggaran 1995/1996 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai sebesar Rp 19.655,4 miliar, yang berarti mengalami peningkatan sebesar Rp 1.357,0 miliar (7,4 persen) dari tahun anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran ini juga dilakukan percepatan pembayaran (prepayment) sebagian hutang luar negeri yang bersuku bunga tinggi, yang dibiayai dari hasil penjualan saham bagian pemerintah pada PT Telkom dan PT Timah. Pada tahun anggaran 1996/1997, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dianggarkan sebesar Rp 19.936,2 miliar atau 1,4 persen lebih tinggi dari tahun anggaran 1995/1996. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta peranannya terhadap anggaran belanja rutin secara keseluruhan dapat diikuti dalam Tabel II.11.

2.2.4.4. Subsidi

Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, yang hasilnya antara lain akan terlihat dari stabilitas harga. Salah satu program pemerintah di dalam menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan memberikan subsidi terhadap beberapa komoditi strategis, terutama bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan laju inflasi. Pemberian subsidi tersebut diharapkan agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup dan harga yang stabil serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Namun demikian, dalam kondisi tertentu kebijaksanaan subsidi justru kadangkala menimbulkan distorsi pasar, mengingat mekanisme pasar yang tidak berlangsung secara bebas terkadang dapat menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Di lain pihak, dalam kondisi yang lain, kebijaksanaan subsidi juga diperlukan terutama untuk melindungi pelaku ekonomi yang dianggap lemah dan memerlukan perlakuan yang berbeda agar kondisinya membaik setara dengan pelaku lainnya, sehingga selanjutnya dapat berrnain dalam kondisi pasar yang lebih seimbang. Terlebih lagi, mengingat setiap pemberian subsidi berarti pula berkurangnya dana bagi peningkatan kegiatan pembangunan, maka subsidi tersebut harus diberikan dalam batas-batas kewajaran dan hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak serta disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.

Selama PJP I, Pemerintah pemah memberikan subsidi pangan, antara lain subsidi beras dan subsidi impor gandum. Sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat, persediaan beras nasional perlu dijaga agar tersedia dalam jumlah yang cukup dan diusahakan agar harganya

dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena pada waktu itu produksi beras nasional belum mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri masih diperlukan impor. Subsidi beras tersebut diberikan untuk menjaga harga beras tetap stabil dan pada tingkat yang dapat dijangkau oleh seluruh rakyat, terutama golongan ekonomi lemah.

Selain subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, yang dimaksudkan untuk menjaga harga gandum yang sesuai dengan daya beli masyarakat dan dimaksudkan pula untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras. Selain itu, pemberian subsidi impor gandum juga ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri makanan dalam negeri, yang sebagian besar bahan bakunya adalah gandum. Subsidi beras dan gandum tersebut pertama kali diberikan dalam tahun anggaran 1973/1974 dan mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 1980/1981, yaitu sebesar Rp 281,7 miliar. Tingginya subsidi pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan lebih tingginya impor beras yang diperlukan karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Dengan tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak tahun terakhir Repelita III (1983/1984), alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi.

Di samping pemberian subsidi pangan, selama PJP I telah pula diberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain daripada itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.

Anggaran Tahun % belanja % Rutin negara REPELITA I 1969/1970 213,7 6 323 4 1970/1971 293,5 8,7 431,4 5,9 1971/1972 344,8 11,9 508,7 8,1 1972/1973 428,6 9,3 691,6 5,8 1973/1974 699,7 9,4 1.106,00 5,9 REPELITA II 1974/1975 985,7 6,4 1.970,90 3,2 1975/1976 1.239,30 5,8 2.675,70 2,7 1976/1977 1.605,10 10,3 3.176,30 5,2 1977/1978 2.079,80 10,6 3.620,40 6,1 1978/1979 2.672,70 19,2 4.618,50 11,1 REPELITA III 1979/1980 3.999,20 16,2 7.478,90 8,7 1980/1981 5.549,50 13,6 11.000,10 6,9 1981/1982 6.943,00 13,2 13.769,10 6,6 1982/1983 6.967,30 17,3 14.407,70 8,4 1983/1984 10.215,20 20,3 18.772,20 11 REPELITA IV 1984/1985 9.405,90 29,2 17.780,70 15,4 1985/1986 12,006,4 27,5 23.746,50 13,9 1986/1987 13.716,70 36,9 22.807,90 22,2 1987/1988 17.340,60 47 27.110,50 30,1 1988/1989 20.934,90 52,4 33.252,10 33 REPELITA V 1989/1990 24.335,20 48,4 39.729,10 29,6 1990/1991 29.121,10 43,2 47.371,90 26,5 1991/1992 29.053,00 43,4 52.127,50 24,2 1992/1993 33.605,40 42,4 60.511,70 23,5 1993/1994 40.289,90 42,3 68.718,00 24,8 REPELITA VI 1994/1995 44.069,00 41,5 76.255,80 24 1995/1996 2) 52.540,90 37,4 82.352,50 23,9 1996/1997 3) 56.113,70 35,5 90.616,40 22 1) Realisasi PAN

2) APBN Perubahan (APBN-P) 3) APBN

Tabel II.11

TERHADAP PENGELUARAN RUTIN DAN ANGGARAN BELANJA NEGARA

Bunga dan

Pengeluaran cicilan hutang

luar negeri

PERANAN PEMBAYARAN BUNGA DAN CICILAN HUTANG LUAR NEGERI

12,8 25,4 41,1 39,9 65,8 62,7 71,7 165,1 221 512,4 647,6 754 915,3 1.204,70 2.072,80 2.745,70 3.303,10 5.058,10 8.157,40 10.961,90 11.775,60 12.577,10 12.598,00 14.248,50 17.042,30 18.298,40 19.655,40 19.936,20 1969/1970 - 1996/1997 1) (dalam miliar rupiah)

Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, namun kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak awal Repelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus meningkat dengan cukup cepat. Sementara itu, dalam Repelita IV, subsidi BBM cenderung mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan harga rninyak mentah dunia dan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri. Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh laba bersih minyak (LBM) sebesar Rp 1.010,8 miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3.305,7 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi.

Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Repelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir Repelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tabun anggaran 1991/1992 dan 1992/1993 cenderung mengalami penurunan. Bahkan dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp 487,6 miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 dapat dilihat dalam Tabel II.12.