• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1997/1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1997/1998"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

NOTA KEUANGAN

DAN

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 1997/1998

(2)

BAB I UMUM

Pendahuluan

Tahun anggaran 1997/1998 yang merupakan tahun keempat Repelita VI akan ditandai dengan beberapa peristiwa penting dalam bidang ketatanegaraan, diantaranya pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 1997, disusul dengan pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selanjutnya akan dilangsungkan Sidang Umum MPR yang akan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1998, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1998-2003. Ketiga peristiwa tersebut akan memberikan suasana baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam memasuki pergantian abad ini.

Memasuki abad ke 21 akan merupakan suatu peristiwa yang bersejarah dalam mengantarkan dunia memasuki millennium ketiga. Menghadapi pergantian abad tersebut, sebagai bangsa yang besar, sikap optimisme haruslah menjadi acuan setiap manusia Indonesia. Sikap optimisme ini harus dikembangkan dan dipupuk, karena hal itu merupakan modal penting bagi suatu bangsa untuk menatap masa depannya dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan. Pembangunan Indonesia yang telah dirumuskan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah memberikan dimensi etika dan moral, dan merupakan pegangan utama bagi bangsa di tengah-tengah peradaban dunia yang penuh dengan perbenturan dan persaingan, sebagai akibat dari zaman yang semakin terbuka dan berdimensi global.

Pembangunan nasional yang mulai dilaksanakan secara terarah dan terencana pada masa Orde Baru sejak tahun 1969, telah mencatat berbagai prestasi yang menggembirakan. Selama hampir tiga dekade ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan tingkat hampir 7 persen rata-rata per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut, dibarengi dengan keberhasilan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk ke tingkat yang relatif rendah, telah berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berarti, yang antara lain ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti makin membaiknya pendapatan per kapita,

(3)

menurunnya jumlah penduduk miskin, meningkatnya usia rata-rata harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi, serta membaiknya kesempatan memperoleh pendidikan.

Pada saat dimulainya pembangunan nasional pada tahun 1969, pendapatan per kapita baru mencapai sebesar US$ 70, dan pada tahun 1995 pendapatan per kapita tersebut telah meningkat menjadi sekitar US$ 1.024, suatu peningkatan hampir lima belas kali dalam kurun waktu 26 tahun. Hal ini diikuti pula oleh penurunan jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin, dari sekitar 60 persen dari jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 13,7 persen dalam tahun 1993. Diperkirakan dalam tahun 1995 angka jumlah penduduk miskin tersebut telah semakin mengecil. Demikian juga tingkat kematian bayi telah turun secara berarti, dari 145 per seribu kelahiran hidup dalam tahun 1967 menjadi 55 per seribu dalam tahun 1995. Sementara itu, usia rata-rata harapan hidup telah meningkat menjadi 63,5 tahun dalam tahun 1995. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga mengalami perbaikan, seperti ditunjukkan oleh angka partisipasi kasar untuk murid sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertarna, sekolah lanjutan tingkat atas, serta perguruan tinggi yang masing-masing telah mencapai sebesar 111,9 persen, 50,8 persen, 32,5 persen dan 10,3 persen dalam tahun anggaran 1995/1996.

Hasil-hasil pembangunan yang cukup menggembirakan tersebut merupakan hasil kerja keras dan saling bahu membahu dari seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah. Perlu disadari bahwa dalam melaksanakan pembangunan, berbagai tantangan dan hambatan akan selalu menghadang. Namun demikian, sebagai bangsa pejuang yang telah berpengalaman dalam berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semua tantangan dan hambatan sebesar apapun, akan selalu dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya. Kesatuan dan persatuan bangsa, kerja sama yang penuh pengertian, serta sikap yang tidak saling mencurigai dan apatis dari berbagai pelaku pembangunan, baik Pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dunia usaha swasta, koperasi serta masyarakat pada umumnya, merupakan syarat mutlak bagi berhasilnya pembangunan yang berkesinambungan, dalam menuju suatu masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai selama ini telah menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang mampu membangun dirinya untuk duduk sejajar dengan bangsa-bangsa terkemuka lainnya.

(4)

UUD 1945, Pemerintah telah menetapkan program pembangunan yang berkesinambungan yang berdimensi jangka panjang (PJP) dan menengah (Repelita) yang dijabarkan dalam rencana operasional tahunan dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) yang dimulai pada tahun anggaran 1969/1970 dan berakhir tahun anggaran 1993/1994 telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil, walaupun disadari bahwa masih ada hal-hal yang perin diperbaiki dan ditingkatkan. Hasil-hasil pembangunan PJP I telah berhasil menciptakan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia selanjutnya. Sebagai kelanjutannya, PJP II yang telah dicanangkan sejak 1 April 1994 dan akan berakhir tahun 2019, yang meliputi rangkaian Repelita VI sampai dengan Repelita X, diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan PJP I. Rasa optimisme ini didasarkan, antara lain pada semakin seimbangnya struktur ekonomi Indonesia, semakin baiknya kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta manajemen ekonomi makro yang lebih profesional.

Pelaksanaan pembangunan dua tahun pertama Repelita VI telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang melampaui target yang ditetapkan, sementara itu, tingkat inflasi juga lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Hasil-hasil yang dicapai dalam Repelita VI ini telah meningkatkan rasa percaya diri dan optimisme, bahwa dalam tahun anggaran 1997/1998 berbagai sasaran pokok pembangunan sebagaimana telah ditetapkan, akan dapat dicapai bahkan kemungkinan besar akan dapat terlampaui. Namun demikian, sikap optimisme dan percaya diri perlu dibarengi dengan sikap hati-hati dan waspada.

Dalam tahun anggaran 1997/1998, berbagai tantangan akan dihadapi baik itu bersumber dari dalam negeri (faktor internal) maupun dari luar negeri (faktor eksternal). Tantangan dari dalam negeri terutama bersumber dari masalah-masalah ekonomi yang belum dapat diselesaikan dalam tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pemerataan pendapatan, masalah kesenjangan pembangunan antar kawasan, dan masalah peningkatan peranan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi, serta masalah-masalah lainnya, sedangkan tantangan dari luar negeri terutama bersumber dari konsekuensi globalisasi ekonomi dunia. Globalisasi ini telah mengakibatkan interdependensi ekonomi Indonesia dengan negara lain semakin tinggi, sehingga kejadian-kejadian yang kurang menguntungkan yang terjadi di luar negeri dapat tertransmisikan ke ekonomi Indonesia. Hal ini perlu diwaspadai dan dicermati karena transmisi faktor eksternal

(5)

yang negatif akan dengan mudah dan cepat terjadi oleh adanya kemajuan yang pesat di bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatif tersebut, diperlukan suatu kebijaksanaan ekonomi makro yang proaktif dan hati-hati (prudent).

Walaupun tantangan yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 beraneka ragam dan semakin kompleks, namun peluang untuk melaksanakan pembangunan dengan baik dan berhasil, tetap terbuka lebar. Untuk itu dituntut setiap insan Indonesia terutama yang melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan agar selalu bekerja keras, berdisiplin serta berdedikasi tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan pembangunan tahun anggaran 1997/1998 akan menandakan bahwa Indonesia telah maju selangkah lagi dalam mencapai tujuannya.

Beberapa sasaran pokok pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998

Sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan yang tertuang dalam GBHN 1993, pelaksanaan pembangunan dalam tahun anggaran 1997/1998 tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Nuansa pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, perlu lebih diwujudkan sebagai filosofi dasar yang mewarnai setiap proses pengambilan keputusan politik, pengelolaan kebijaksanaan ekonomi, dan pemecahan berbagai permasalahan fundamental yang dihadapi dalam pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk mempercepat perubahan struktur perekonomian nasional menuju perekonomian yang seimbang dan dinamis, yang bercirikan industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, serta memiliki basis pertumbuhan sektoral yang seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan di bidang-bidang lainnya, sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, yang prosesnya dapat terjadi melalui pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Dalam tahun anggaran 1997/1998 sasaran pertumbuhan ekonomi adalah sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam Repelita VI, yakni sebesar 7,1 persen. Sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar itu adalah cukup realistis, baik dilihat dari sisi permintaan maupun penawaran.

(6)

Dari sisi permintaan, perkembangan pasar domestik yang cenderung menguat akan menjadi motor penggerak utama bagi pertumbuhan ekonomi, di samping peluang pasar luar negeri yang fenomenanya kini juga tengah menunjukkan perkembangan secara pesat. Sedangkan dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari adanya peningkatan investasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing dalam pengelolaan sumber daya ekonomi nasional, serta semakin meningkatnya peranserta masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Dalam tahun anggaran 1997/1998, kebutuhan investasi untuk pembangunan sektor pemerintah diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 38.927,9 miliar, diantaranya diharapkan dapat dibiayai melalui tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan penerimaan pembangunan sebesar Rp 13.026,0 miliar. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1 persen dan sasaran pertumbuhan penduduk sebesar 1,54 persen, maka pada akhir tahun anggaran 1997/1998 pendapatan per kapita diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 1.201.

Kondisi perekonomian nasional dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan berkembang secara dinamis dan mantap, melalui pembenahan aspek struktural ekonomi. Hal ini dilakukan dengan mengurangi dan menghapuskan berbagai distorsi yang menghambat proses produksi dan distribusi barang dan jasa, serta pengelolaan sektor finansial secara lebih akomodatif dan berhati-hati, diharapkan laju inflasi akan dapat dikendalikan, sehingga mendekati angka sasaran Repelita VI sebesar 6 persen per tahun. Namun demikian, dalam rangka untuk memelihara kestabilan ekonomi yang dinamis, tetap diperlukan adanya kebijaksanaan yang lebih berhati-hati, khususnya dalam menangani defisit transaksi berjalan. Dalam tahun anggaran 1997/1998 defisit transaksi berjalan diperkirakan mencapai sebesar US$ 9.798,0 juta, atau sedikit lebih tinggi dari angka tahun anggaran lalu. Peningkatan defisit transaksi berjalan ini terjadi seiring dengan makin meningkatnya kegiatan investasi di dalam negeri, sehingga kebutuhan impor barang modal dan bahan baku/ penolong juga makin meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa, pertumbuhan impor dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan pada tingkat 13,7 persen, sedangkan ekspor diperkirakan tumbuh sebesar 14,0 persen, terutama karena adanya kontribusi dari ekspor nonmigas yang pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai sebesar 16,9 persen.

(7)

Kebijaksanaan ekonomi makro dan dinamika ekonomi Indonesia

Kebijaksanaan ekonomi makro yang dilaksanakan selama ini dengan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, telah membawa perubahan yang mendasar dalam perekonomian Indonesia. Perubahan ini antara lain tercermin pada perubahan struktur ekonomi Indonesia dari suatu struktur yang kurang seimbang ke struktur yang lebih seimbang. Transformasi struktur ekonomi ke arah yang lebih seimbang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, terutama dalam berakomodasi dan berintegrasi dengan ekonomi global. Transformasi struktur ekonomi ini menyangkut antara lain struktur produk domestik bruto (PDB), struktur penerimaan negara, struktur ekspor, dan struktur investasi.

Perubahan atau transformasi struktur PDB Indonesia tercermin dari bergesernya peranan sektor tradisional (pertanian) ke sektor yang lebih modern, seperti sektor industri, perdagangan, dan jasa-jasa. Peranan sektor industri pengolahan dalam PDB telah meningkat dari 9,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 24,2 persen pada tahun 1995. Sedangkan peranan sektor pertanian menurun dari 49,3 persen dalam PDB tahun 1969, menjadi 17,2 persen dalam tahun 1995. Struktur PDB yang didominasi sektor pertanian mempunyai beberapa kelemahan, yaitu nilai tukar (terms of trade) produk pertanian relatif rendah dibandingkan dengan produk manufaktur, sehingga penerimaan devisa dari ekspor produk pertanian tidak dapat diandalkan sebagai penerimaan devisa untuk membiayai barang-barang modal yang diimpor. Selain itu, sektor pertanian tumbuh relatif lamban, sehingga tidak dapat diandalkan untuk menyerap tenaga kerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan memperhatikan beberapa kelemahan. ini, Pemerintah sejak awal pembangunan telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang bertujuan untuk menyeimbangkan alokasi sumber daya antara sektor pertanian dengan sektor industri.

Perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju keseimbangan antara sektor industri dan sektor pertanian semakin penting dewasa ini, sejalan dengan semakin tingginya integrasi ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia yang cenderung bergerak ke arah perdagangan sektor manufaktur dan jasa. Dengan struktur PDB yang telah mengarah ke sektor industri dan jasa, ekonomi Indonesia diharapkan akan dapat lebih mudah mengakomodasi peristiwa-peristiwa ekonomi internasional.

(8)

negeri. Sampai dengan awal tahun 1980-an, penerimaan dalam negeri sangat didominasi oleh penerimaan migas, misalnya dalam tahun anggaran 1981/1982 peranan penerimaan migas mencapai sebesar 70,9 persen dari total penerimaan dalam negeri. Struktur penerimaan yang semacam ini mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu sangat rentan terhadap fluktuasi harga migas di pasar internasional. Kenyataan menunjukkan bahwa harga migas di pasar internasional memang sangat fluktuatif, sehingga penerimaan negara dalam negeri juga menjadi tidak menentu. Keadaan semacam ini pada gilirannya akan mengganggu kestabilan kegiatan pemerintahan baik kegiatan yang bersifat rutin maupun pembangunan, sebagaimana terjadi pada tahun 1986, dimana harga minyak turun ke tingkat paling rendah, yaitu sekitar US$ 9 per barel pada bulan Agustus 1986. Di samping itu, dalam jangka panjang, harga minyak diperkirakan akan cenderung menurun, karena penemuan sumur-sumur minyak baru, penemuan teknologi baru yang hemat energi, serta penemuan teknologi pengganti energi minyak. Selain itu, tingkat produksi minyak Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan OPEC, sehingga tingkat produksi minyak nasional kurang leluasa untuk disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi perekonomian nasional.

Mengingat keadaan yang relatif kurang menguntungkan tersebut di alas, Pemerintah telah mengambil langkah antisipatif untuk merubah struktur penerimaan dalam negeri dengan membenahi sistem perpajakan nasional. Dalam kaitan ini telah diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sementara itu, dalam rangka menggali potensi pajak bumi dari bangunan telah pula diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dari Bangunan serta Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Selanjutnya undang-undang tersebut di atas telah disempurnakan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Selain itu, sejak 1 April 1996 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

(9)

Pemberlakuan undang-undang tersebut di atas telah berhasil mendorong penerimaan pajak secara berarti. Dalam tahun anggaran 1995/1996 penerimaan pajak mencapai sebesar Rp 48.420,4 miliar yang berarti kenaikan sebesar hampir 13 kali dari tahun anggaran 1982/1983. Di samping itu peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri juga mengalami peningkatan yang cukup berarti. Jika dalam tahun anggaran 1982/1983 peranan penerimaan pajak terhadap penerimaan dalam negeri adalah sebesar 30,5 persen, maka dalam tahun anggaran 1995/1996 telah meningkat menjadi sebesar 67,7 persen. Di sisi lain, peranan penerimaan migas terhadap penerimaan dalam negeri terus mengalami penurunan dari dalam tahun anggaran 1995/1996 hanya sebesar 20,8 persen.

Terlepas dari keberhasilan tersebut di atas, penerimaan pajak masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari angka tax ratio yaitu rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih relatif rendah. Dalam tahun anggaran 1995/1996 angka rasio ini mencapai sebesar 11,8 persen, sementara di negara-negara Asean seperti Singapura telah mencapai sebesar 16,2 persen, Malaysia sebesar 33,4 persen, dari Thailand sebesar 16,1 persen pada tahun 1994. Oleh karena itu, masih perlu ditingkatkan upaya-upaya ke arah peningkatan penerimaan pajak melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan integritas para petugas pajak, serta peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.

Perubahan struktur penting lainnya terjadi pada struktur ekspor Indonesia, yaitu dari suatu struktur yang didominasi migas ke struktur dimana peran nonmigas telah lebih dominan. Perubahan struktur ini sangat erat kaitannya dengan strategi kebijaksanaan yang dijalankan Pemerintah. Sebelum tahun 1986, kebijaksanaan yang dijalankan berorientasi ke pasar domestik (inward-looking policy), yaitu bertujuan mendorong industri dalam negeri yang memproduksi barang-barang yang menggantikan barang-barang impor, sehingga akan dapat menghemat devisa. Kebijaksanaan seperti ini dapat dilaksanakan dalam kondisi harga minyak di pasar internasional yang relatif tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan devisa untuk pembayaran transaksi internasional. Namun, turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an menyebabkan Pemerintah menempuh kebijaksanaan yang berorientasi ke pasar luar negeri (outward-looking policy). Untuk tujuan ini, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijaksanaan yang mampu menciptakan iklim investasi yang menarik, serta menjalankan kebijaksanaan nilai tukar yang kondusif untuk mendorong ekspor nonmigas.

(10)

Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain berupa paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 (Pakmei '86), paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 (Pakto '86), paket kebijaksanaan 28 Oktober 1988 (Pakto '88), paket kebijaksanaan 3 Juni 1991 (Pakjun '91), paket kebijaksanaan 6 Juli 1992 (Pakjul '92), paket kebijaksanaan 10 Juni 1993 (Pakjun '93), paket kebijaksanaan 23 Oktober 1993 (Pakto '93) dan paket kebijaksanaan 23 Mei 1995 (Pakmei '95) telah berhasil mendorong ekspor nonmigas berkembang dengan pesat. Dalam tahun anggaran 1995/1996 total ekspor mencapai sebesar US$ 46.296 juta, dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 36.121 juta (78 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 10.175 juta (22 persen) migas. Komposisi ini berbeda jauh dengan tahun anggaran 1985/1986 dimana total ekspor mencapai sebesar US$ 18.612 juta dengan komposisi ekspor nonmigas sebesar US$ 6.175 juta (33,2 persen) dan ekspor migas sebesar US$ 12.437 juta (66,8 persen).

Selain perubahan tersebut di atas basis ekspor nonmigas telah bergeser dari komoditi-komoditi primer (hasil alam) ke komoditi-komoditi-komoditi-komoditi sekunder. Bila pada tahun 1970-an hingga 1980-an ekspor nonmigas tergantung pada 5 komoditi utama, yakni minyak bumi, karet olahan, kopi, minyak kelapa sawit, dan timah, maka setelah akhir tahun 1980-an, nilai ekspor mulai didominasi oleh 10 jenis komoditi utama seperti udang (segar/beku), kayu lapis, kayu olahan lainnya, pakaian jadi, alat-alat listrik, karet olahan, alas kaki, kain tenun, tekstil lainnya, serta kertas dan barang dari kertas.

Pertumbuhan ekspor nonmigas dalam kurun waktu 1985-1994 cukup menggembirakan, yaitu tumbuh dengan tingkat rata-rata sebesar 18,3 persen per tahun. Namun, dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekspor nonmigas relatif mengalami penurunan. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan di pasar internasional sejalan dengan globalisasi ekonomi dunia. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya-upaya baik dari Pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan daya saing produk nasional di pasar internasional.

Perubahan mendasar berikutnya adalah perubahan struktur investasi. Pada awal tahun 1981 sebagian besar investasi dilakukan oleh Pemerintah dan peranan sektor swasta relatif kecil. Pada saat itu peranan investasi pemerintah dalam total investasi mencapai sekitar 59 persen, sedangkan swasta hanya sekitar 41 persen. Namun, dalam tahun 1995 peranan pemerintah telah menurun menjadi sekitar 22,7 persen dan sektor swasta menjadi sekitar 77,3 persen. Keadaan struktur yang demikian ini telah membuat ekonomi Indonesia lebih dinamis dan lebih

(11)

berorientasi ke mekanisme pasar yang terkendali, sehingga kegiatan ekonomi bukan lagi digerakkan oleh sektor publik, tetapi sebagian besar digerakkan oleh sektor swasta. Perubahan struktur investasi ini sangat berkait dengan upaya-upaya pemerintah dalam mendorong investasi swasta baik dalam negeri (PMDN), swasta asing (PMA), serta investasi masyarakat bukan PMDN dan PMA. Upaya ini diawali dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.

Struktur ekonomi Indonesia yang telah lebih seimbang tersebut di atas telah memberikan lingkungan yang lebih mudah dalam melaksanakan kebijaksanaan ekonomi makro dalam rangka mencapai Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Ketiga unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, walaupun dalam pelaksanaannya terjadi penyesuaian penekanan intensitas pada salah satu unsur sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dapat dicapai tanpa stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis. Sementara itu, stabilitas juga tidak akan dapat dicapai tanpa adanya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Demikian juga pemerataan pembangunan tidak mungkin tercapai tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

Kebijaksanaan ekonomi makro, yaitu kebijaksanaan fiskal, moneter, necara pembayaran, serta kebijaksanaan di sektor riil, yang dilaksanakan selama ini selalu diarahkan untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi dan neraca transaksi berjalan, serta untuk mencapai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan ekonomi makro tahun anggaran 1997/1998 akan diarahkan untuk mencapai target ekonomi makro dalam Repelita VI, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 7,1 persen per tahun, tingkat inflasi sebesar 6 persen per tahun, defisit transaksi berjalan dalam batas-batas yang aman, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang lebih baik.

Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran di satu pihak dan kebijaksanaan di sektor riil, seperti kebijaksanaan investasi, produksi, serta distribusi di pihak lain, ditujukan untuk mengendalikan perekonomian ke arah yang dikehendaki. Namun, kedua kebijaksanaan ini

(12)

digunakan dengan tujuan yang berbeda. Kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran dimaksudkan untuk mengendalikan perekonomian dari sisi permintaan (demand) dan pada umumnya terjadi dalam jangka pendek (short-term). Sedangkan kebijaksanaan di sektor riil dimaksudkan mengendalikan perekonomian dari sisi penawaran (supply) dan biasanya berdimensi waktu relatif lebih lama (long-term).

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dari masa lalu, sekarang dan masa datang. Oleh karena itu, isu-isu ekonomi yang dihadapi juga merupakan isu-isu yang saling berkaitan. Isu ekonomi dalam tahun anggaran 1996/1997 berkaitan dengan isu-isu ekonomi yang dihadapi dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya. Dalam tahun anggaran 1995/1996 demikian juga dalam tahun anggaran 1996/1997 isu-isu utama ekonomi makro yang dihadapi adalah masalah suhu ekonomi nasional yang relatif memanas (overheated economy), yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif besar. Dalam tahun anggaran 1994/1995 dan tahun anggaran 1995/1996 inflasi mencapai masing-masing sebesar 8,57 persen dan 8,86 persen, sementara defisit transaksi berjalan meningkat dari sebesar US$ 3.488 juta dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi US$ 6.987,0 juta dalam tahun anggaran 1995/1996 atau meningkat sebesar 100,3 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997, diperkirakan inflasi akan lebih rendah dari tahun anggaran 1995/1996, sedangkan defisit transaksi berjalan diperkirakan akan mencapai sekitar US$ 8.823 juta atau meningkat sebesar 26,3 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya. Secara makro, defisit transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1996/1997 mencapai 4 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Masalah pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan tetap merupakan masalah utama yang dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998. Oleh karena itu, kebijaksanaan ekonomi makro yang ditempuh terutama ditujukan untuk mengendalikan kedua masalah tersebut. Inflasi perlu dikendalikan ke tingkat yang serendah mungkin oleh karena inflasi menyangkut kesejahteraan seluruh rakyat. Inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli (purchasing power) dari masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan relatif tetap. Selain itu, inflasi juga menurunkan daya saing produk-produk nasional, karena inflasi yang tinggi berarti biaya produksi juga akan naik dan pada gilirannya akan tercermin pada harga produk yang tinggi. Sementara itu, defisit transaksi berjalan perlu terus dikendalikan oleh karena defisit transaksi

(13)

berjalan merupakan cerminan dari kewajiban suatu negara terhadap dunia luar. Hal ini terjadi karena nilai impor barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan kewajiban terhadap dunia luar lebih besar daripada nilai ekspor yang merupakan kemampuan untuk membiayai impor tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, kewajiban suatu negara terhadap dunia luar secara bertahap perlu diturunkan, yaitu dengan mengusahakan penurunan defisit transaksi berjalan, yang dicerminkan oleh nilai ekspor barang-barang dan jasa-jasa yang meningkat lebih tinggi dari peningkatan nilai impor barang-barang dan jasa-jasa.

Pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan sangat penting dan menentukan bagi suatu negara, oleh karena kedua unsur ini merupakan pencerminan dari kestabilan ekonomi internal dan eksternal. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali, berarti harga barang-barang dan jasa-jasa mengalami kenaikan yang tinggi dan tidak terkendali. Keadaan ini akan menciptakan ketidakpastian harga input dan output, yang selanjutnya akan dapat menghambat kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa, yang pada gilirannya akan membahayakan perekonomian masyarakat. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan yang meningkat terus dan tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai isu devaluasi. Isu devaluasi tersebut selanjutnya akan mendorong spekulasi di pasar valuta asing yang tercermin dalam bentuk ketidakstabilan dan kegoncangan di pasar valuta asing. Hal ini pada gilirannya akan mengganggu sektor produksi terutama barang-barang produksi untuk ekspor. Apabila ekspor terganggu berarti defisit transaksi berjalan akan semakin melebar, dan ini selanjutnya akan memperkuat goncangan yang telah terjadi di pasar valuta asing.

Tingginya inflasi dan meningkatnya defisit transaksi berjalan disebabkan terutama oleh meningkatnya permintaan agregat yang tidak dibarengi dengan meningkatnya penawaran agregat. Permintaan agregat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah uang beredar, dapat mengalami peningkatan dalam waktu sangat singkat, tetapi penawaran agregat yang ditunjukkan oleh besarnya arus barang relatif tetap dalam waktu singkat, karena menyangkut kapasitas produksi. Dengan demikian dalam jangka pendek, pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Peningkatan permintaan agregat terjadi karena adanya peningkatan belanja akan konsumsi dan investasi oleh masyarakat dan Pemerintah. Dalam kaitan ini, perilaku belanja pemerintah ditentukan oleh kebijaksanaan pemerintah sendiri, dengan memperhatikan batasan pendapatannya (budget constraint).

(14)

Sedangkan perilaku belanja masyarakat ditentukan oleh daya belinya yang terutama berasal dari jumlah uang yang dikuasainya. Oleh karena itu, secara garis besar, konsumsi dan investasi masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan moneter, sedang konsumsi dan investasi pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijaksanaan fiskal.

Upaya penurunan permintaan agregat masyarakat dilakukan dengan menurunkan tingkat pertumbuhan uang beredar melalui kebijaksanaan moneter, seperti ketentuan giro wajib minimum (GWM), pengaturan suku bunga diskonto, operasi pasar terbuka, serta melalui himbauan (moral suasion). Operasi pasar terbuka dilakukan Bank Indonesia setiap hari kerja dengan menjual sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menurunkan jumlah uang beredar, dan membeli surat berharga pasar uang (SBPU) untuk menambah jumlah uang beredar. Di samping itu, untuk menurunkan jumlah uang beredar, Bank Indonesia juga dapat melakukannya dengan menaikkan GWM atau sebaliknya untuk menaikkan jumlah uang beredar dilakukan dengan menurunkan GWM. Sebagaimana diketahui sejak 1 Februari 1996, GWM telah dinaikkan menjadi 3 persen dari yang berlaku sebelumnya yaitu sebesar 2 persen, dan akan dinaikkan lagi menjadi sebesar 5 persen mulai 1 April 1997.

Agar dapat mencapai tujuannya dengan efektif kebijaksanaan moneter yang ketat harus didukung oleh kebijaksanaan fiskal yang ketat (kontraktif) pula. Oleh karena itu, dalam tahun anggaran 1997/1998 akan dilaksanakan kebijaksanaan fiskal yang kontraktif, yaitu dengan mengintensifkan penerimaan negara dan diikuti dengan pengeluaran yang seefisien mungkin. Pengeluaran pembangunan akan diarahkan ke sektor-sektor yang strategis dan mempunyai dampak multiplier yang besar bagi perekonomian nasional, seperti pembangunan infrastruktur yang mendukung upaya pengembangan industri, terutama yang menghasilkan barang ekspor dan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Pengeluaran rutin akan dilaksanakan seefisien mungkin, tanpa mengurangi kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat. Kebijaksanaan fiskal yang kontraktif akan dapat meningkatkan tabungan pemerintah, serta diupayakan akan terbentuk sisa anggaran lebih (SAL) yang lebih besar, yang antara lain dapat dipergunakan untuk percepatan pembayaran hutang luar negeri pemerintah terutama yang berbunga relatif tinggi.

Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kebijaksanaan ekonomi makro diarahkan untuk mengendalikan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran

(15)

(supply) dari perekonomian. Dalam jangka pendek (short-term), pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan, sedangkan dalam rentang waktu yang lebih panjang (long-term) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh sisi penawaran seperti tingkat investasi, produktivitas, sumber daya manusia dan lainnya. Interaksi sisi permintaan dan sisi penawaran akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan demikian mengendalikan perekonomian harus dilakukan seeara hati-hati dan bijaksana, karena kedua besaran yaitu pertumbuhan dan inflasi dapat bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi akan dapat menghasilkan tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya upaya penekanan inflasi yang serendah mungkin, akan dapat berakibat tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Untuk mengendalikan perekonomian dalam jangka pendek (tahunan), Pemerintah telah menjalankan kebijaksanaan moneter dan fiskal yang berhati-hati dan proaktif. Kebijaksanaan moneter ditujukan terutama untuk mempengaruhi belanja masyarakat, baik untuk konsumsi maupun investasi yang penentu utamanya adalah jumlah uang yang dipegang masyarakat (jumlah uang beredar). Sedangkan jumlah uang beredar yang diukur dengan M2 (likuiditas perekonomian) ditentukan antara lain oleh jumlah kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan dan jumlah aliran dana dari luar negeri. Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting, karena di satu pihak merupakan penentu pertumbuhan atau kegiatan ekonomi nasional, dan di pihak lain sebagai penentu tingkat inflasi. Jumlah uang beredar yang terlalu sedikit akan menurunkan aktivitas perekonomian, namun jumlah uang beredar yang melampaui kebutuhan ekonomi nasional akan mendorong naiknya inflasi. Oleh karena itu, jumlah uang beredar ini perlu dikendalikan secara hati-hati dan tepat.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas sektor moneter dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi, sejak 1 Juni 1983 telah dikeluarkan kebijaksanaan yang antara lain memberi kebebasan bagi perbankan untuk menentukan suku bunga yang semula di bawah kendali pemerintah dan kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan bank, usaha asuransi, dana pensiun, serta lembaga pembiayaan. Dalam kaitan ini, telah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Selain itu melalui

(16)

Keppres Nomor 61 Tahun 1988 telah diletakkan dasar bagi pengembangan lembaga pembiayaan.

Kebijaksanaan tersebut di atas telah berhasil mendorong perkembangan industri perbankan, industri asuransi, dana pensiun, pasar modal dan lembaga pembiayaan. Sampai dengan bulan Oktober 1996 jumlah bank umum mencapai 239 buah, sedangkan bank perkreditan rakyat mencapai sebanyak 7.834 buah. Dana perbankan yang berhasil dihimpun sampai dengan bulan Oktober 1996 mencapai Rp 260.661,8 miliar, yang terdiri dari giro sebesar Rp 52.566,2 miliar, deposito sebesar Rp 150.047,7 mi1iar, dan tabungan sebesar Rp 58.047,9 mi1iar. Sementara itu, dalam periode yang sama kredit perbankan yang disalurkan telah mencapai Rp 278.099 miliar. Selanjutnya dalam tahun 1995 total aset industri asuransi mencapai Rp 17.269,8 miliar, dan nilai investasi sebesar Rp 13.441,5 miliar. Sedangkan total aset Dana Pensiun dalam tahun 1995 mencapai sekitar Rp 14.254,1 miliar, dan nilai investasi mencapai sekitar Rp 10.072,5 miliar. Total aset lembaga pembiayaan (tidak termasuk modal ventura) dalam tahun 1995 mencapai Rp 23.899,0 mi1iar, dan nilai investasi sebesar Rp 18.719,0 miliar. Dalam pada itu, peranan pasar modal dalam menghimpun dana, antara lain dapat dilihat dari nilai kumulatif emisi saham dan obligasi yang sampai dengan tanggal 27 Desember 1996 mencapai masing-masing sebesar Rp 49.801,4 miliar dan Rp 11.535,5 miliar.

Untuk mempengaruhi sisi penawaran, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan di bidang investasi, produksi, serta distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan distribusi barang. Kebijaksanaan untuk mendorong investasi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing membawa perubahan yang cukup menarik bagi investor asing, dimana dalam rangka usaha patungan investor asing diperbolehkan menguasai saham hingga 95,0 persen. Selain itu, bidang-bidang usaha yang vital seperti pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api, pembangkit tenaga atom dan media massa, dibuka untuk investor asing dengan persyaratan tertentu. Dalam rangka mendorong investasi, pada saat ini Pemerintah sedang berusaha menyempurnakan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.

(17)

terdiri dari tiga program pokok, yaitu program pengembangan industri rumah tangga, industri kecil dan menengah, program peningkatan kemampuan teknologi industri, dan program penataan struktur industri. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut telah ditetapkan program penunjang yang terdiri atas program pengendalian pencemaran lingkungan hidup, program pengembangan informasi industri, program pendidikan, pelatihan dan penyusunan industri, serta program penelitian dan pengembangan industri. Program-program tersebut dimaksudkan untuk mendorong industri nasional menjadi industri yang handal, efisien dan mempunyai daya saing di pasar internasional.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi perlu diikuti oleh pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah melaksanakan program pembinaan usaha kecil (PUK) mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berada dan tergantung pada usaha kecil. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan Pemerintah adalah berupa perluasan akses permodalan melalui skim perkreditan. Sampai dengan akhir tahun 1995, nilai kredit usaha kecil (KUK) yang disalurkan telah mencapai Rp 40,9 triliun kepada 6,5 juta pengusaha kecil. Sedangkan nilai kredit umum pedesaan (Kupedes) yang disalurkan dalam tahun anggaran 1995/1996 mencapai Rp 3,3 triliun kepada 2,3 juta pengusaha kecil di pedesaan. Selain itu, kemitraan usaha antara pengusaha kecil dengan BUMN juga mengalami kemajuan yang besar. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan laba BUMN yang disalurkan untuk pembinaan usaha kecil, yang dalam tahun 1995 mencapai sebesar Rp 397,5 miliar dengan jumlah pengusaha kecil yang menjadi mitra usaha besar mencapai 68.500 orang. Sementara itu, melalui program Inpres desa tertinggal (lOT) dalam tahun anggaran 1995/1996 juga telah diberikan bantuan langsung kepada 22.094 desa masing-masing sebesar Rp 20 juta per desa.

Keterkaitan ekonomi Indonesia dengan perkembangan ekonomi dunia

Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan perekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan yang terjadi dalam perekonomian dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa maupun arus modal. Sebagaimana halnya arus modal, arus barang dan jasa memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, seperti terlihat pada peranan (rasio) ekspor dan impor terhadap PDB, yang dalam tahun 1995 mencapai masing-masing sebesar 26,02 persen dan 25,23 persen.

(18)

Ekspor sangat penting dalam menunjang pembangunan perekonomian Indonesia, karena ekspor tidak saja sebagai sumber penerimaan devisa tetapi juga sebagai perluasan pasar bagi produksi barang domestik dan penyerap tenaga kerja. Selain tingkat daya saing barang-barang ekspor itu sendiri, faktor penting lainnya yang mempengaruhi kinerja ekspor nasional adalah tingkat pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara mitra dagang utama Indonesia. Data tahun 1995 menunjukkan bahwa sebesar 50,2 persen dari seluruh ekspor Indonesia ditujukan ke tujuh negara industri utama, sebesar 41 persen ke negara-negara berkembang, sedangkan sisanya sebesar 8,8 persen ke negara-negara-negara-negara dalam transisi. Sementara itu, lima negara yang merupakan tujuan utarna ekspor Indonesia antara lain adalah Jepang (27,1 persen), Amerika Serikat (14 persen), Singapura (8,3 persen), Korea Selatan (6,4 persen), dan Taiwan (3,8 persen). Diperkirakan distribusi tujuan utarna ekspor Indonesia tidak akan banyak mengalami perubahan dalam beberapa tahun mendatang.

Menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya negara-negara mitra dagang utama Indonesia, sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan naik turunnya permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia, maka perlu terus menerus dicermati perkembangannya dalam upaya mengarnbil manfaat yang sebaik mungkin, serta menghindarkan dampak yang merugikan. Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1994 dan 1995, cukup tinggi yaitu masing-masing sebesar 3,7 persen dan 3,5 persen. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1996 akan sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 3,8 persen. Negara-negara berkembang secara keseluruhan diperkirakan tetap meraih laju pertumbuhan yang paling kuat di antara kelompok-kelompok negara lainnya, yaitu sebesar 6,3 persen, dengan laju inflasi yang menurun menjadi 13,3 persen. Untuk kelompok negara-negara industri, dalam tahun 1995 mencapai laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen, sedangkan dalam tahun 1996 diperkirakan mengalami pertumbuhan yang sedikit menguat menjadi 2,3 persen, dengan tingkat inflasi sebesar 2,3 persen. Tingkat inflasi yang relatif rendah ini mengindikasikan bahwa masih cukup ruang bagi negara-negara maju untuk mendorong ekonominya untuk tumbuh lebih kuat.

Di sisi lain, situasi perekonomian di kelompok negara-negara transisi terus membaik dan aktivitas ekonomi dalam tahun 1996 cukup stabil setelah lima tahun mengalami kemerosotan. Sejumlah negara diperkirakan akan dapat mencapai laju pertumbuhan di atas 5 persen, seperti Republik Ceko, Polandia, Republik Slowakia, dan Georgia. Secara keseluruhan negara-negara

(19)

transisi dalam tahun 1996 ini diperkirakan mulai mampu mencapai laju pertumbuhan positif, yaitu sebesar 0,4 persen, setelah tahun-tahun sebelumnya selalu berada dalam pertumbuhan yang negatif. Inflasi rata-rata di negara-negara transisi dalam tahun 1996 diperkirakan mengalami penurunan menjadi 41,3 persen. Namun perlu diwaspadai, walaupun pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1996 diproyeksikan lebih baik dari tahun sebelumnya, volume perdagangan dunia diperkirakan mengalami penurunan dari 8,9 persen menjadi 6,7 persen.

Sementara itu, dalam tahun 1997 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan cukup tinggi, yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4, 1 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya dorongan dari pertumbuhan yang tinggi di kelompok negara-negara transisi, yang diproyeksikan sebesar 4 persen dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya mencapai 0,4 persen. Negara-negara industri secara kelompok, pertumbuhan ekonominya diproyeksikan meningkat menjadi 2,5 persen. Sedangkan negara-negara berkembang diproyeksikan akan meraih laju pertumbuhan yang hampir sama dengan tahun 1996, yaitu sebesar 6,2 persen. Seirama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, volume perdagangan dunia dalam tahun 1997 diramalkan kembali meningkat menjadi sebesar 7,2 persen. Membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia yang diikuti pula oleh meningkatnya volume perdagangan internasional, akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi perekonomian negara-negara berkembang pada umumnya dan Indonesia khususnya.

Sementara itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi Jepang mulai kelihatan pada tahun 1995. Meskipun produksi nasional selama tahun 1995 tumbuh sedikit di bawah 1 persen, namun pertumbuhan yang cukup kuat dalam kuartal pertama tahun 1996 telah mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu kini tampak semakin nyata. Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Jepang untuk memberikan rangsangan fiskal di samping penurunan tingkat bunga diskonto selama tahun 1995, telah memberikan sumbangan besar bagi pemulihan ekonomi negara tersebut, yang dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 3,5 persen. Amerika Serikat, yang melakukan pengetatan moneter dalam tahun 1994 untuk meredam inflasi yang dirasakan meningkat, mengalami perlambatan laju pertumbuhan menjadi sebesar 2 persen dalam tahun 1995 dibandingkan sebesar 3,5 persen dalam tahun sebelumnya. Namun demikian, di awal tahun 1996 tanda-tanda menguatnya pertumbuhan kembali telah mulai kelihatan. Hal ini tercermin dari respon perekonomian negara tersebut terhadap beberapa

(20)

kali penurunan tingkat bunga jangka pendek sejak pertengahan Juli 1995, dan juga oleh adanya penurunan tingkat bunga obligasi dalam tahun tersebut. Perekonomian Amerika Serikat dalam tahun 1996 diperkirakan tumbuh sebesar 2,4 persen.

Dalam pada itu, perekonomian di sejumlah negara-negara Asia yang menjadi mitra dagang penting Indonesia, seperti negara-negara ASEAN, Korea Selatan, Cina, dan Hongkong, diperkirakan tetap meraih tingkat pertumbuhan yang cukup baik dalam tahun 1996. Negara-negara tersebut telah melakukan langkah-langkah pengetatan kondisi moneter dan perkreditan, dalam upaya memperlambat laju pertumbuhan dan meredam tekanan-tekanan inflasi.

Selain dari arus barang dan jasa, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia terjadi melalui arus modal. Karena sifatnya yang sangat sensitif, baik yang disebabkan oleh faktor ekonomi maupun nonekonomi, menyebabkan arus modal tersebut dapat mempengaruhi kinerja pasar uang dan pasar modal setiap negara. Dalam semester pertama tahun 1996, setelah terjadinya krisis Meksiko, aliran modal neto ke negara berkembang pulih kembali, meskipun disparitas aliran modal di antara kawasan-kawasan negara berkembang tetap berlangsung. Selama tahun 1995, aliran modal neto ke negara-negara berkembang tercatat sebesar US$ 166,7 miliar, yang terdiri atas investasi asing langsung (FDI) sebesar US$ 73,6 miliar, investasi portofolio sebesar US$ 35,7 miliar, dan investasi lainnya sebesar US$ 57,4 miliar. Negara berkembang kawasan Asia tetap merupakan penerima aliran modal yang terbesar dengan nilai sebesar US$ 98 miliar, disusul kemudian oleh kawasan Amerika Latin sebesar US$ 38,9 miliar, Timur Tengah dan Eropa sebesar US$ 15,4 miliar, dan kawasan Afrika sebesar US$ 14,4 miliar. Sementara itu, arus modal neto ke Indonesia dalam bentuk investasi langsung, tidak termasuk investasi portofolio, selama tahun anggaran 1995/1996 tercatat sebesar US$ 5,4 miliar.

Tantangan ekonomi Indonesia dalam tahun anggaran 1997/1998

Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1994 mencapai sebesar 7,5 persen, dan tahun 1995 sebesar 8,2 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti ini, total PDB tahun 1995 telah meningkat menjadi Rp 452,4 triliun dibandingkan dengan tahun 1994 sebesar Rp 382,2 triliun. Dengan demikian jika PDB pada tahun 1995 dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 194 juta, maka pendapatan per kapita yang diukur berdasarkan angka PDB akan mencapai sekitar Rp 2.332,0 ribu, atau sekitar US$ 1.024 (sekitar

(21)

11,3 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 1994 sebesar US$ 920).

Walaupun berbagai indikator makro maupun mikro menunjukkan kecenderungan yang positif, sikap kehati-hatian dalam pengelolaan ekonomi makro masih mutlak dan harus terus dilanjutkan dalam menghadapi tantangan yang akan dihadapi dalam tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 7,1 persen rata-rata per tahun selama Repelita VI, diperkirakan tahun 1996, walaupun tidak setinggi tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1995, pertumbuhan ekonomi akan melebihi tingkat pertumbuhan yang ditargetkan. Sejalan dengan proses pendinginan ekonomi yang dilakukan selama tahun 1996, tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 diproyeksikan sebesar 7,1 persen yaitu sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam Repelita VI.

Dengan masih tetap tingginya perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka pemenuhan kebutuhan dana untuk investasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, perlu diupayakan seoptimal mungkin guna tercapainya sasaran pembangunan nasional yang berkelanjutan. Selanjutnya, dengan mengacu pada perkembangan ekonomi nasional tahun anggaran 1996/1997, dan dengan memperhatikan faktor eksternal, utamanya dalam menghadapi era globalisasi, maka ekonomi nasional menghadapi beberapa tantangan yang perlu dihadapi dan dipecahkan secara hati-hati dan bijaksana.

Di bidang fiskal, tantangan yang paling mendasar adalah upaya peningkatan tabungan pemerintah, khususnya melalui upaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Kendala yang menonjol dalam upaya meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut adalah masih relatif rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun demikian, melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (aparat) perpajakan, diharapkan peranan penerimaan pajak, yang rasionya terhadap PDB masih relatif kecil, akan semakin meningkat di masa-masa mendatang.

Sementara itu, pertumbuhan tabungan/dana masyarakat yang dihimpun oleh sektor perbankan, baik dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito berjangka, dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan tetap tinggi, sehingga tabungan masyarakat tersebut

(22)

dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan investasi. Kondisi ini antara lain didukung oleh semakin beragamnya produk simpanan yang ditawarkan, meluasnya jaringan kantor bank, dan penggunaan teknologi yang semakin canggih, serta pelayanan yang semakin profesional. Namun, upaya penghimpunan tabungan masyarakat ini perlu terus ditingkatkan, agar dana-dana masyarakat yang masih menganggur atau digunakan ke sektor-sektor yang kurang produktif, seperti spekulasi tanah dan spekulasi lainnya dapat dimobilisasi ke sektor-sektor produktif melalui perbankan.

Di bidang moneter, tantangan yang dihadapi pada tahun anggaran 1997/1998 adalah untuk tetap menjaga kestabilan moneter, terutama dalam hal pengendalian permintaan domestik untuk dapat tumbuh dalam batas-batas daya dukung kapasitas produksi nasional. Dengan demikian kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1997/1998 akan tetap dilakukan dengan hati-hati dan diarahkan untuk mengendalikan pertumbuhan besaran-besaran moneter seperti uang beredar (M1), likuiditas perekonomian (M2), kredit perbankan, laju inflasi, dan arus modal masuk dari luar negeri yang berlebihan.

Selain tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat yang dihimpun melalui sektor perbankan, tabungan masyarakat yang dihimpun melalui pasar modal juga semakin penting. Walaupun pasar modal Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang semakin baik dari tahun ke tahun, namun masih diperlukan upaya yang lebih giat dan keras untuk meningkatkan kinerja pasar modal Indonesia. Pasar modal sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu merupakan tantangan yang sangat serius bagi semua pihak yang berkaitan dengan pasar modal, untuk menjadikan pasar modal Indonesia menjadi suatu pasar modal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerataan pendapatan, serta mampu bersaing dengan pasar modal negara-negara lainnya.

Tantangan lain yang cukup berat dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah upaya untuk meningkatkan ekspor, khususnya ekspor nonmigas. Dalam tahun anggaran 1996/1997 tantangan yang dihadapi perekonomian nasional di sektor perdagangan luar negeri terasa berat, yang antara lain disebabkan melemahnya volume perdagangan dunia, meningkatnya persaingan di pasar dunia, serta makin banyaknya aturan atau persyaratan dalam perdagangan internasional. Kondisi tersebut perlu lebih dicermati lagi mengingat masih belum optimalnya pelaksanaan kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang pada

(23)

gilirannya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor secara keseluruhan, utamanya ekspor nonmigas. Untuk itu, selama tahun anggaran 1996/1997 telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ekspor seperti diluncurkannya paket deregulasi pada bulan Juni 1996 yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan sebelumnya di bidang impor, ekspor dan investasi. Selain itu, telah disederhanakan pula prosedur untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, pengembalian dan penangguhan pungutan negara bagi eksportir yang menggunakan bahan baku/penolong dan atau barang modal impor dalam memproduksi komoditi ekspor. Namun demikian, mengingat kompetisi perdagangan internasional cenderung semakin meningkat apalagi dengan makin mendekatnya pelaksanaan kesepakatan AFTA pada tahun 2003, maka tantangan untuk meningkatkan ekspor, khususnya nonmigas dalam tahun anggaran 1997/1998 akan menjadi perlu lebih diperhatikan dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.

Dalam skala yang lebih makro, dengan relatif turunnya laju pertumbuhan ekspor nonmigas, dan dibarengi dengan relatif menaiknya impor barang modal maupun barang konsumsi, dan transaksi jasa-jasa yang defisit, menyebabkan defisit transaksi berjalan menjadi relatif kurang menggembirakan. Defisit transaksi berjalan tahun anggaran 1995/1996 mencapai sebesar US$ 6.987 juta, atau telah meningkat menjadi sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan defisit tahun anggaran sebelumnya yang sebesar US$ 3.488 juta. Dengan kondisi yang demikian, maka dalam tahun mendatang tantangan untuk menjaga agar posisi transaksi berjalan tetap aman adalah suatu pekerjaan yang perlu lebih diperhatikan.

Sementara itu, dalam kaitannya. dengan terus berlangsungnya proses globalisasi di berbagai sektor yang dicerminkan dengan semakin intensifnya kerjasama antarbangsa, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), APEC di kawasan Asia Pasifik, dan AFTA di kawasan Asia Tenggara dalam mewujudkan arus lalu lintas perdagangan internasional yang bebas dari hambatan tarif dan nontarif, tentunya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi perekonomian Indonesia. Dalam era globalisasi tersebut, tantangan yang paling besar yang akan dihadapi adalah berbagai penyesuaian dan perubahan terhadap aturan atau kebijaksanaan nasional dalam rangka memenuhi komitmen internasional. Dewasa ini gejala ke arah itu sudah mulai terlihat, rnisalnya dengan semakin banyaknya pas-pas tarif barang impor yang diturunkan bea masuknya secara bertahap hingga mendekati nol persen, serta persyaratan tentang standarisasi mutu/kualitas dan ecolabelling. Sedangkan tantangan lainnya yang juga cukup meminta

(24)

perhatian dalam upaya meningkatkan ekspor nonmigas, adalah adanya tuduhan dari beberapa negara mitra dagang bahwa Indonesia telah melakukan kebijaksanaan dumping dalam upaya merebut pasar ekspor.

Tantangan lainnya yang sejalan dengan akan berlakunya komitmen tentang perdagangan bebas, adalah perlunya upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor usaha dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor nonmigas Indonesia di pasar luar negeri. Walaupun diketahui bahwa upaya meningkatkan daya saing tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah seperti dengan diluncurkannya berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang utamanya bertujuan untuk mengurangi "high cost economy" dan meningkatkan kemudahan berusaha, namun mengingat pada waktu yang bersamaan negara-negara pesaing, khususnya negara-negara-negara-negara di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan India juga mengeluarkan kebijaksanaan yang sama, maka tantangan peningkatan daya saing tersebut terasa akan semakin berat pada tahun mendatang.

Akhirnya, tantangan yang paling penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi pada tahun anggaran 1997/1998 dan tahun-tahun mendatang, khususnya dalam menghadapi abad ke-21 yang identik dengan era globalisasi adalah tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada abad mendatang, sebagai konsekuensi logis dari proses globalisasi, maka tingkat persaingan akan semakin tajam, baik di pasar domestik maupun internasional, dan tidak hanya terbatas pada persaingan dalam memasarkan barang, tetapi juga jasa. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik yang menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, dan perluasan kesempatan kerja adalah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.

RAPBN 1997/1998

RAPBN 1997/1998 disusun dengan hati-hati dan realistis, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Dengan memperhatikan berbagai faktor yang berkembang baik dalam dinamika ekonomi nasional maupun internasional, serta asumsi-asumsi yang diperkirakan akan terjadi, maka RAPBN 1997/1998 disusun secara berimbang pada tingkat Rp 101.086,7 miliar atau meningkat sebesar 11,6 persen dibandingkan APBN 1996/1997 yang sebesar Rp 90.616,4 miliar.

(25)

Di sisi anggaran pendapatan negara, penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan direncanakan masing-masing sebesar Rp 88.060,7 miliar (peningkatan sebesar 12,6 persen dari APBN 1996/1997) dan Rp 13.026,0 miliar (meningkat sebesar 4,9 persen dari APBN 1996/1997). Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang mencakup penerimaan migas dan penerimaan di luar migas diperkirakan mencapai masing-masing sebesar Rp 14.871,1 miliar dan Rp 73.189,6 miliar, yang berarti suatu kenaikan masing-masing sebesar 5,3 persen dan 14,2

persen dari tahun anggaran sebelumnya. .

Sementara itu, sektor penerimaan nonmigas terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan perpajakan yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn BM), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak ekspor, dan pajak lainnya, serta penerimaan bea masuk dan cukai, diperkirakan akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara yang direncanakan. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen, bagian pemerintah atas laba BUMN dan penerimaan dari laba bersih minyak diperkirakan juga akan dapat ditingkatkan. Komponen penerimaan perpajakan yang utama berasal dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 29.117,7 miliar dan Rp 24.601,4 miliar.

Selanjutnya, penerimaan pembangunan yang dalam tahun anggaran 1997/1998 diperkirakan akan mencapai Rp 13.026,0 miliar seluruhnya berbentuk bantuan proyek, sehingga sebagaimana halnya dengan beberapa tahun anggaran sebelumnya, dalam tahun anggaran 1997/1998 juga tidak terdapat penerimaan pembangunan yang berasal dari bantuan program.

Dari sisi belanja negara, pengeluaran rutin dan pembangunan dalam RAPBN 1997/1998 diperkirakan akan mencapai masing-masing sebesar Rp 62.158,8 miliar dan Rp 38.927,9 miliar. Dengan komposisi tersebut maka pengeluaran rutin dan pembangunan telah mengalami peningkatan sebesar 10,8 persen dan 12,8 persen dari APBN 1996/1997. Pengeluaran rutin tersebut akan dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar Rp 21.192,0 miliar atau naik sebesar 15,9 persen dibanding tahun anggaran sebelumnya, untuk belanja barang sebesar Rp 8.895,2 miliar, subsidi daerah otonom sebesar Rp 11.535,8 miliar, pembayaran bunga dan cicilan hutang sebesar Rp 19.570,9 miliar, dan untuk membiayai pengeluaran rutin lainnya sebesar Rp 964,9

(26)

miliar.

Pengeluaran pembangunan sebagai salah satu unsur utama RAPBN 1997/1998 diperkirakan akan mencapai sebesar Rp 38.927,9 miliar, yang berarti peningkatan sebesar 12,8 persen dibanding APBN 1996/1997. Pembiayaan pengeluaran pembangunan tersebut berasal dari tabungan pemerintah sebesar Rp 25.901,9 miliar dan bantuan proyek sebesar Rp 13.026,0 miliar. Pengeluaran pembangunan yang berupa pembiayaan rupiah dialokasikan pada departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (termasuk Hankam) sebesar Rp 14.914,6 miliar, bantuan pembangunan daerah (termasuk pembangunan daerah melalui penerimaan PBB) sebesar Rp 9.910,1 miliar, dan lain-lain pengeluaran pembangunan sebesar Rp 1.077,2 miliar. Penutup

Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, pembangunan nasional yang dijabarkan dalam RAPBN 1997/1998 bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan masyarakat dan antardaerah sebagai akibat dari adanya perbedaan laju kegiatan masing-masing sektor perekonomian. Tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan apabila program-program pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara baik dengan mengacu pada peningkatan efektivitas dan efisiensi. RAPBN 1997/1998 merupakan salah satu sarana yang menggerakkan roda perekonomian nasional, menuju terciptanya ekonomi nasional yang tangguh, stabil, dan efisien. Namun demikian, RAPBN 1997/1998 hanya merupakan sebagian instrumen dari upaya bangsa Indonesia membangun perekonomiannya dan mengalokasikan sumber-sumber daya ekonomi secara tepat dari sektor pemerintah, yang perlu didukung dengan partisipasi aktif sektor swasta.

Menyadari bahwa kemampuan anggaran negara masih terbatas, pembangunan nasional didasarkan pada skala prioritas yang ketat yaitu untuk melanjutkan program-program yang masih belum terselesaikan, seraya mempersiapkan landasan baru yang lebih kukuh bagi pelaksanaan pembangunan tahap berikutnya guna mencapai cita-cita nasional. Pembangunan nasional yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, terutama sektor swasta sebagai pelaku utama perekonomian nasional yang akan secara langsung menghadapi

(27)

arus globalisasi perdagangan dan investasi, akan lebih menampakkan hasil-hasil yang lebih positif. Penyempurnaan-penyempurnaan dan pembenahan-pembenahan dalam sektor-sektor yang lemah dalam perekonomian nasional perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di sektor riil maupun sektor finansial.

Kesemuanya itu didasarkan pada keinginan luhur untuk membawa bangsa Indonesia ke tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih tinggi agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah lebih maju, serta siap untuk memasuki arena persaingan global dengan kualitas sumber daya manusia yang lebih tinggi. Dengan demikian harapan bangsa Indonesia untuk menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih cerah akan dapat segera terwujud.

(28)

BAB II

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.1. Pendahuluan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rincian rencana kegiatan of erasion a.l. pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam rupiah, dan merupakan penjabaran dari GBHN dan Repelita. Oleh karena itu penyusunan anggaran dilakukan dengan cermat, dengan tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Namun demikian, walaupun telah disusun dengan cermat, dalam realisasinya masih menghadapi ketidakpastian, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluarannya.

Dengan keadaan itu, maka sejak awal Repelita I, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis. Namun dalam perkembangannya selama hampir lima tahun terakhir dalam pelaksanaan APBN dimungkinkan dibentuknya cadangan pada masa penerimaan negara melebihi yang direncanakan, dan dimanfaatkannya dana cadangan tersebut pada masa penerimaan negara kurang dari yang direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah direncanakan dan/atau yang sangat mendesak, sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas ekonomi yang mantap.

Dalam kerangka kebijaksanaan umum ekonomi makro selama masa Orde Baru, APBN yang merupakan alat kebijaksanaan fiskal disusun dan dilaksanakan secara serasi dan saling menunjang dengan alat-alat kebijaksanaan ekonomi makro lainnya, yaitu kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran. Hasil daripada pelaksanaan kebijaksanaan tersebut adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7,0 persen per tahun selama PJP I dan sekitar 8,0 persen dalam dua tahun pertama Repelita VI. Dalam fungsinya sebagai alat kebijaksanaan fiskal, APBN terdiri dari dua sisi, yaitu sisi pengeluaran yang menunjukkan

(29)

jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan Pemerintah dalam tahun tertentu, dan sisi penerimaan yang menunjukkan sumber-sumber dana yang diharapkan dapat diperoleh untuk membiayai pengeluaran tersebut. Dengan demikian, meningkatnya jumlah pengeluaran harus diikuti oleh meningkatnya jumlah penerimaan.

Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat prinsip yang harus ditaati dalam kaitannya dengan APBN, yaitu prinsip anggaran berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan sumber dana pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan pembangunan hanya merupakan pelengkap. Pengutamaan sumber pembiayaan pembangunan pada kemampuan dalam negeri mencerminkan semakin meningkatnya kemandirian dalam pembangunan. Dalam PJP I tabungan pemerintah mengalami pertumbuhan sebesar 29,4 persen per tahun, sedangkan pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 26,1 persen per tahun. Dengan lebih cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah tersebut, maka penerimaan pembangunan yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 22,5 persen merupakan pelengkap bagi dana pembangunan.

Selanjutnya, cepatnya pertumbuhan tabungan pemerintah berkaitan erat dengan lebih cepatnya pertumbuhan penerimaan dalam negeri daripada pertumbuhan pengeluaran rutin. Selama P1P I penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 25,4 persen per tahun, sedangkan pengeluaran rutin mengalami pertumbuhan sebesar 24,4 persen per tahun.

Sebagai gambaran mengenai kebijaksanaan Pemerintah di bidang APBN sejak Repelita I hingga Repelita VI dapat diikuti dalam Tabel II.1.

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 2.2.1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

Dalam rangka mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan, diperlukan kebijaksanaan fiskal yang tepat. Sehubungan dengan itu penerimaan negara terus diupayakan peningkatannya dengan menggali dan mengembangkan semua sumber penerimaan negara, terutama sumber penerimaan yang berasal dari perpajakan dan sumber lainnya, dengan tetap memperhatikan peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan oleh masyarakat dan dunia usaha. Selain itu pengeluaran rutin diupayakan lebih

(30)

efisien dan efektif, sedangkan bagi pengeluaran pembangunan direncanakan berdasarkan prioritas pemanfaatannya.

Penerimaan dari sektor migas tidak lagi menjadi andalan penerimaan dalam negeri, namun tetap merupakan salah satu penerimaan yang sangat potensial. Penerimaan rnigas masih memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu rata-rata per tahun sebesar 34,7 persen dalam Repelita V terhadap penerimaan dalam negeri, sedangkan dalain dua tahun pelaksanaan Repelita VI penerimaan rnigas telah memberikan kontribusi rata-rata sebesar 20,6 persen. Untuk meningkatkan penerimaan rnigas tersebut terus diupayakan peningkatan investasi dalam eksplorasi dan pengusahaan sumber rninyak bumi secara terus menerus, agar kontinuitas produksi rninyak mentah tetap terjaga.

Dalam pada itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak telah diupayakan secara terus -menerus melalui intensifikasi pemungutan pajak, dan juga melalui ekstensifikasi objek pajak dan wajib pajak. Intensifikasi pemungutan pajak dilakukan antara lain melalui upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum (law enforcement) dan penyuluhan perpajakan. Sedangkan untuk ekstensifikasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah wajib pajak yang belum terjangkau dan perluasan objek pajak.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi, demikian pula praktek penyelenggaraan kegiatan usaha, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang tidak/belum tertampung dalam undang-undang perpajakan tahun 1984, dalam tahun 1994 telah dilakukan penyempurnaan atas undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, undang-undang tentang Pajak Penghasilan, undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan dalam rangka semakin meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, telah ditempuh beberapa upaya antara lain melalui penyuluhan, penerbitan surat teguran, surat tagihan, dan pemeriksaan secara sederhana baik di kantor maupun di lapangan. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pembayar PBB dilakukan melalui himbauan sebelum jatuh tempo, surat teguran, surat tagihan pajak, dan sita lelang. Di samping itu juga melibatkan Pemda Tingkat II untuk melakukan pekan

(31)

pembayaran yang melibatkan para pejabat dan tokoh masyarakat yang dijadikan panutan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sementara itu, di bidang penerimaan bea masuk dan cukai yang merupakan bagian dari penerimaan perpajakan terus diupayakan peningkatannya untuk mendukung penerimaan dalam negeri. Penerimaan bea masuk berkaitan dengan arus impor. Oleh karena itu dalam menghadapi era globalisasi ekonomi, dalam tahun 1995 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam undang-undang tersebut ditetapkan basarnya tarif setinggi-tingginya 40 persen dari nilai pabean untuk penghitungan bea masuk. Sedangkan untuk kebijaksanaan penerimaan cukai, telah pula dilakukan penggantian perundang-undangan yang lama dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kedua Undang-undang ini mulai berlaku 1 April 1996.

Di bidang penerimaan bukan pajak, berbagai kebijaksanaan telah ditempuh antara lain melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, intensifikasi pemungutan, dan penyesuaian tarif yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan ekonomi saat ini. Sedangkan penerimaan yang berasal dari bagian pemerintah atas keuntungan BUMN, telah dilakukan perbaikan manajemen, pemantapan organisasi, penegasan fungsi dan penyempurnaan pola pengembangan BUMN, sehingga BUMN tersebut diharapkan semakin produktif, efektif dan efisien. Di samping itu untuk lebih menyehatkan BUMN, memeratakan pemilikan saham kepada masyarakat dan memberikan kesempatan bagi pengawasan oleh masyarakat secara langsung, beberapa BUMN yang cukup baik telah melakukan penjualan sahamnya kepada masyarakat (go public) baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Di bidang pengeluaran rutin, penggunaannya dilakukan dengan hati-hati dan cermat yang diarahkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan, sehingga dapat tercipta terus peningkatan efisiensi, efektivitas dalam pengeluaran, tanpa mengurangi mutu pelayanan kepada masyarakat. Pengeluaran-pengeluaran tersebut digunakan untuk mendukung keperluan belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam kaitan ini, untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil/PNS, ABRI, dan pensiunan, Pemerintah secara berkala telah menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan, yang terakhir telah dilakukan pada bulan April 1996 sebesar 10 persen. Kemudian di bidang pembayaran kembali hutang-hutang luar negeri, di samping terus diupayakan untuk memenuhi kewajiban

Gambar

Tabel II.2 1972 April 2,96 1993 B:U 1979 April 15,65 1986 Januari 25,13 1990 Januari 18,96 Tahun
Tabel II.5
Tabel II.8
Tabel II.9
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alokasi anggaran pada program peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan, antara lain: (i) Pembangunan dan pengembangan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang nomor 3 Tahun 1998 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1998/1999 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor

bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1988/ 1989 sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun kelima dalam rangka pelaksanaan Rencana

Yang dimaksud dengan Sisa Kredit Anggaran proyek-proyek yang masih diperlukan untuk penyelesaian proyek,meliputi Sisa Kredit Anggaran proyek yang berasal dari pelaksanaan

Dengan memperhitungkan pemasukan modal dari sektor swasta sebesar US$ 63 juta, pemasukan modal dari sektor pemerintah sebear US$ 480 juta serta dikurangi dengan pembayaran

Perkiraan sebesar Rp 123,4 milyar ini sumber-sumbernya ialah : nilai lawan rupiah BE Kredit, Project Aid dan bagian yang disisihkan dari penerimaan dalam negeri

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran.. 1998/1999 berdasarkan Perubahan sebagaimana dimaksud

Perhitungan Anggaran ini merupakan tahap akhir dari rangkaian siklus anggaran negara yang berkaitan erat dengan pelaksanaan kebijaksanaan anggaran berimbang yang