• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM)

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.2. Perkembangan pelaksanaan APBN sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 1. Kebijaksanaan pokok di bidang APBN

2.2.2. Penerimaan dalam negeri

2.2.2.2. Penerimaan perpajakan

2.2.2.2.2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM)

Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, serta atas impor barang kena pajak. Selain itu, PPN juga dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Terhadap berbagai kegiatan tersebut, tarif PPN yang dikenakan bersifat tunggal, yaitu sebesar 10 persen.

Di samping dikenakan PPN, juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) terhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Adapun tarif PPnBM ditentukan serendah-rendahnya 10 persen dan setinggi-tingginya 50 persen.

Berbagai macam kegiatan produksi yang merupakan objek PPN dan PPnBM, akan selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena itu, dengan menggunakan sistem pemungutan yang ada, jumlah penerimaan PPN dan PPnBM senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengingat pesatnya perkembangan kegiatan masyarakat yang pada gilirannya akan menyebabkan makin basarnya kebutuhan akan pembiayaan bagi kegiatan Pemerintah, sekaligus untuk mencapai tingkat kemandirian yang tinggi dalam pembiayaan pembangunan nasional, maka telah ditempuh berbagai kebijaksanaan di bidang perpajakan. Pada dasamya, dampak dari kebijaksanaan perpajakan akan terasa dalam jangka pendek yaitu secara langsung akan meningkatkan penerimaan pajak dalam tahun yang bersangkutan, dan dalam jangka panjang akan mendorong perkembangan ekonomi masyarakat yang berarti juga merupakan peningkatan potensi penerimaan di masa yang akan datang. Namun demikian, dua hal tersebut tidak selalu dijalankan secara seiring. Dalam kondisi tertentu, salah satu dari padanya bisa lebih diprioritaskan, dengan pertimbangan bahwa hasil netonya tetap positif.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, PPN dan PPnBM adalah merupakan pajak penjualan (PPn) atas barang dan jasa. Menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 1983, PPN dikenakan pada pertambahan nilai atas barang dan jasa yang diserahkan oleh pengusaha kena pajak. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selain dikenakan atas penyerahan barang dan jasa oleh pengusaha kena pajak, PPN juga dikenakan atas impor barang kena pajak, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak. Dalam PJP I, penerimaan pajak ini senantiasa berkembang dari tahun ke tahun, yaitu dari sebesar Rp 30,0 miliar dalam tahun anggaran 1969/1970 menjadi sebesar Rp 13.943,5 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994, atau mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 29,2 persen per tahun. Sementara itu, dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan PPnBM meningkat sebesar 10,9

persen, yaitu dari Rp 16.544,8 miliar dalam tahun 1994/1995 menjadi Rp 18.350,0 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996.

Dalam hubungannya dengan PPN dan PPnBM, telah ditempuh beberapa kebijaksanaan dalam rangka peningkatan penerimaan secara langsung, antara lain dengan meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak melalui peningkatan pelayanan yang lebih baik. Selain itu, juga dilakukan konfirmasi faktur pajak dan pelaksanaan uji silang antara data PPN dengan data pajak penghasilan. Selanjutnya, langkah tersebut didukung dengan pemeriksaan sederhana lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan PKP yang SPT masanya memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sederhana lapangan. Kemudian, untuk menguji kepatuhan pengusaha kena pajak, ditempuh langkah peningkatan kerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana lapangan.

Di samping berbagai kebijaksanaan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga ditempuh beberapa kebijaksanaan lain yang meskipun mengurangi penerimaan PPN dan PPnBM dalam jangka pendek, tetapi diharapkan akan dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak di masa depan. Kebijaksanaan tersebut antara lain dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 5 Januari 1996 yang mengatur tentang PPN yang ditanggung pemerintah atas impor barang kena pajak tertentu, yang meliputi kapal laut, kapal sungai, kapal danau, segala jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan pelayaran niaga nasional, kapal penyeberangan, kapal pandu, kapal lunda, dan kapal untuk menangkap ikan, tetapi tidak termasuk kapal pesiar perorangan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1996, dan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996, telah ditetapkan mengenai kegiatan-kegiatan yang PPN dan PPnBM terutangnya ditanggung oleh Pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi penyerahan kendaraan bermotor jenis sedan atau station wagon yang dibuat di dalam negeri dengan motor penggerak yang isi silindemya kurang dari 1600 cc, dan dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen. Selain itu, ketetapan tersebut juga berlaku untuk kendaraan berrnotor jenis jeep, camhi, minibus, van dan pick up yang dibuat di dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 60 persen, dan kendaraan bermotor nasional yang dibuat di dalam negeri dengan menggunakan merk yang diciptakan sendiri yang persentase kandungan lokalnya memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri

Perindustrian dan Perdagangan. Apabila kendaraan berrnotor nasional tersebut tidak memenuhi kandungan lokal sesuai dengan ketentuan tersebut, maka PPnBM terutang yang ditanggung Pemerintah akan ditagih kembali.

Selanjutnya dalam rangka mendorong peningkatan ekspor, dipandang perlu untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat di bidang kepabeanan dan perpajakan terhadap kegiatan ekspor yang dilakukan oleh eksportir tertentu. Pelayanan tersebut berupa percepatan pelayanan restitusi PPN atas pembelian bahan baku/penolong, komponen, mesin dari dalam negeri, sehingga dapat diselesaikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja.

Sementara itu, pemberian restitusi dilakukan melalui prosektor konfirmasi faktur pajak dan pemeriksaan sederhana lapangan. Sedangkan dalam upaya mempercepat penyelesaian restitusi, dapat dilakukan prosektor konfirmasi melalui faksimili dan penyelesaian restitusi dengan jaminan bank garansi bagi faktur pajak masukan yang belum dipertanggungjawabkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) penjual, dan faktur pajak masukan yang diduga fiktif atau berkaitan dengan PKP fiktif. Berkaitan dengan penyelesaian restitusi PPN, telah ditetapkan bahwa pemberian restitusi PPN yang diajukan permohonannya oleh PKP eksportir tertentu, diberikan pelayanan khusus dengan penyelesaian maksimal 10 (sepuluh) hari kerja. Pengusaha kena pajak eksportir tertentu tersebut terbatas pada eksportir yang namanya tercantum dalam daftar PKP yang diterima dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Kemudian, untuk lebih meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM, telah diupayakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, melalui pemeriksaan sederhana kantor, pemeriksaan sederhana lapangan, termasuk pemeriksaan sederhana lapangan dengan menggunakan tenaga kantor akuntan publik (KAP), dan pemeriksaan lengkap. Dengan dilaksanakannya berbagai kebijaksanaan di atas, dan sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yang menghasilkan peningkatan transaksi penyerahan barang dan jasa kena PPN dan PPnBM, maka penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 dianggarkan sebesar Rp 21.788,4 miliar. Bila dibandingkan dengan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun sebelumnya yang mencapai Rp 18.350,0 miliar, ini berarti terjadi peningkatan sebesar Rp 3.438,4 miliar atau 18,7 persen. Dalam hubungannya dengan penerimaan perpajakan secara keseluruhan, peranan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah sebesar 38,9 persen yang berarti lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 37,9 persen.