• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi

3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung

ROIMA:

Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah. JUMINI:

Hati-hati. Aku akan kehilangan kalian.... TURKANA:

Kita semua akan berpencar-pencar. Belum tahu lagi harus tinggal di mana.

(hlm. 120)

3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung

Tokoh lain yang mengalami kekerasan struktural adalah Abung. Abung merupakan penghuni kawasan kumuh yang tidak pernah bercakap-cakap dengan orang lain. Namun, sebenarnya Abung mengamati kehidupan kaumnya yang tidak pernah mendapat perbaikan nasib. Abung merasa kehidupan kaum urban miskin selalu dibatasi oleh pemerintah. Sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan struktural berbentuk ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan solidaritas, dan partisipasinya sebagai anggota masyarakat ditiadakan sehingga dia tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib diri sendiri. Abung merasa bahwa kaum urban miskin

tidak akan pernah mendapatkan perubahan nasib menjadi lebih baik karena pemerintah tidak memperhatikan mereka.

(179) ABUNG:

Dilemparkan di sini, tanpa penjelasan aku harus berbuat apa. Lalu aku ini apa, tokoh? Kalau tokoh, aku cuma tokoh tak keruan juntrungan.

Mana lakon yang harus kumainkan? Kapan aku harus bermain dan kapan harus istirahat di pinggir panggung?

(MARAH)

Aku capek. Aku capek tapi tak bisa berhenti. Begitu banyak orang dibiarkan hidup tanpa persiapan, tanpa bekal apa-apa. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol, bahkan sampai luka mengucurkan darah.

Berderet orang antri untuk mencari apa yang mereka pikir bisa membuat hidup bahagia. Tapi antreannya mandek, padahal yang antre

makin bertambah banyak. Setan kredit, menagih hutang-hutang kita tiap detik.

(hlm. 64) Abung merasakan dirinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah. Bahkan Abung tetap berusaha mencari kebahagiaan di dalam kemiskinannya, tapi dia tidak pernah menemukan. Dari kutipan di atas dapat diketahui Abung sangat mengamati keadaan kaumnya yang mengalami ketimpangan sosial ekonomi. Kaum urban miskin adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki kemungkinan untuk mengubah nasib mereka dengan meraih kesejahteraan hidup sebab mereka tidak pernah diberi kesempatan.

Dalam kutipan (179) dan (180) dapat diketahui bahwa kelompok masyarakat kelas bawah dan kelas atas mempunyai jarak yang sangat renggang dalam tingkat perekonomian sehingga hal itu mempengaruhi hubungan pada kehidupan sosial mereka. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan solidaritas antarkelas sosial. Kutipan (180) menunjukkan Abung sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasi kesulitan

perekonomiannya dan hal ini mengakibatkan Abung tidak dapat dengan leluasa menentukan nasibnya sendiri. Permasalahan kelas sosial membuat Abung harus mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi, termasuk mengikuti keinginan pihak pemerintah.

(180) ABUNG:

Aku ada di mana-mana, hadir dalam setiap peristiwa. Tapi apa peranan yang sekarang sedang kumainkan? Apakah aku pemeran utama, atau

cuma embel-embel pelengkap penderita? Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi cuma itu. Aku kan tidak boleh berbuat apa-apa, sebab memang tidak ada dalam rancangan. Lagipula aku selalu merasa ada di

luar peristiwa. Lama-lama tidak enak juga jadi penonton.

(KEPADA LANGIT)

Ke mana aku harus pergi dan bertanya. Ke mana, katakan. Ke mana? Brengsek. Brengseeek....

(hlm. 93) Abung melewati masa hidupnya di kawasan kumuh dengan selalu menanyakan guna keberadaan dirinya. Dalam hal ini Abung merasa tersisih sebagai anggota kaum urban miskin sebab masyarakat kelas atas tidak ada yang memperhatikan nasib kelas bawah. Dalam kutipan (181) Abung mempertanyakan nasibnya sebagai anggota urban miskin, tapi Abung tidak tahu bagaimana cara mengubah nasibnya sebab kebebasannya untuk menentukan hidup secara tidak langsung telah dibatasi oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Abung telah mengalami dampak kekerasan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi karena keuntungan hanya diperoleh pihak yang mendominasi kekuasaan, termasuk dominasi wewenang dalam pemerintahan.

(181) ABUNG:

Semua tahu, kita punya hak untuk bertanya. Punya hak untuk mendapatkan jawaban. Semua orang tahu, kalau kita bertanya itu tidak

berarti kita sedang menyulut api perang. Kalau kita bertanya, tidak berarti kita tidak setia.

Kalau kita tanyakan apa peranan kita sebetulnya, tidak berarti kita tidak percaya. Tapi sekarang, hampir semua orang tidak tahu kepada

siapa harus bertanya. (MENUTUP BUKU)

(hlm. 122) Kutipan (182) merupakan hari pelaksanaan penggusuran kawasan kumuh. Dalam penggusuran ini Abung sempat mempertanyakan nasib kaum urban miskin kepada Camat sebagai pemerintah daerah yang saat itu ikut mengawasi penggusuran. Ketika penggusuran sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan struktural. Kekerasan struktural yang pertama adalah penggusuran itu sendiri. Penggusuran merupakan pembatasan terhadap hak seseorang untuk memilih dan memakai tempat tinggalnya. Selain itu, penggusuran ini lebih tepat merupakan pengusiran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan para penghuni kawasan kumuh yang menjadi korban penggusuran tidak mendapat ganti rugi apapun. Kekerasan struktural yang lainnya adalah penipuan yang dilakukan oleh Camat kepada Abung. Dalam hal ini Camat berpura-pura tidak tahu tentang penggusuran ini dan lebih memilih melemparkan masalah tersebut kepada Gubernur. Padahal sebagai pemerintah daerah seharusnya Camat mengetahui hal-hal yang terkait dengan penggusuran ini dan mengusahakan agar penghuni kawasan kumuh yang menjadi korban penggusuran mendapat ganti rugi karena masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh pun masih menjadi tanggung jawab pemerintah.

(MELEDAK)

Dan inilah saatnya aku memperoleh jawaban. Siapa aku, siapa aku? Kenapa ada di sini, untuk apa aku di sini. Mengapa semua orang diberi

persoalan dan dihabiskan oleh persoalan mereka sendiri tapi aku tetap seperti wayang yang tinggal di kotak? Siapa aku ini, apa aku ini?

(TIBA-TIBA ABUNG MENGAMUK) KUMIS:

Wehh, ‘ngamuk lagi dianya. BLEKI:

Gawat... Komandan, kita tembak saja? (CAMAT LARI DIKEJAR-KEJAR ABUNG)

CAMAT:

Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa.

Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang. ABUNG:

Pak Gubernur? Orang yang ada di atas sana? Orang yang kerjanya cuma makan saja?

CAMAT:

Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak melihat ada orang di atas.

ABUNG:

Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak

mau. BLEKI:

Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan? KUMIS:

Nih, pestolnya. BLEKI:

Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT) ABUNG:

Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia. Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

(SEMUA TERDIAM) (ABUNG MATI)

(hlm. 137-138) Dalam kutipan di atas Abung sangat merasakan adanya ketimpangan sosial ekonomi antara kelas atas dan kelas bawah. Sampai pada saat penggusuran Abung tidak memperoleh perbaikan nasib sedikit pun. Dia sempat membandingkan antara kehidupan yang dijalani masyarakat kelas atas yang terkesan mudah dan serba tercukupi serta kehidupan yang harus dilalui masyarakat kelas bawah yang selalu dipersulit dan selalu kekurangan. Akhirnya Abung hanya bisa mengamuk sebab pemerintah tidak memberi jalan keluar untuk mengatasi kemiskinannya. Setelah mengamuk cukup lama, Abung ditembak mati oleh Bleki yang saat itu menjadi petugas penggusuran.