• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

2.2 Latar

2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) . 128

“Opera Kecoa” diawali dengan menampilkan secara khusus emperan Plaza Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah mereka menetap di desa selama lima tahun. Julini dan Roima kembali ke desa karena mereka belum mempunyai tempat tinggal yang tetap setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh lima tahun yang lalu.

(133) EMPERAN PLAZA MONUMEN. PAGI. (JULINI BANGUN TIDUR. ROIMA MASIH NGOROK)

JULINI:

Sesejuk embun pagi, seharum bunga melati, hmmm.... (MENGHIRUP UDARA, MENGGELIAT)

... hmmm. Sudah siang. Kang, bangun, bangun. Kita harus pergi sebelum diusir satpam.

(hlm. 151) Di sekitar emperan Plaza Monumen secara umum digambarkan dua kawasan yang sangat berlawanan, yaitu kawasan metropolitan bukti proses pembangunan yang

dilakukan pemda dan kawasan kumuh sebagai kawasan yang luput dari pembangunan. Kedua kawasan ini merupakan perbandingan antara kawasan yang biasa melingkupi masyarakat kelas atas dan kawasan yang melingkupi masyarakat kelas bawah.

(134) (BUMI MENGGELEPAR. TERKELUPAS.

ANGIN MENGGEDOR, MENYERET ROIMA DAN JULINI KE EMPERAN PLAZA MONUMEN. TERHAMPAR DUA KAWASAN

YANG KONTRAS)

(METROPOLITAN YANG LENGANG PENUH MONUMEN. JALAN LAYANG YANG RUWET MELINGKAR-LINGKAR SEPERTI USUS. JALAN TOL MEMBELAH KOTA. BANGUNAN

TINGGI DI LATAR BELAKANG, DAN IKLAN-IKLAN NEON MENGOTORI LANGIT KOTA. DI TAMAN MILIK PEMDA, NAMPAK PANGGUNG TEMPAT “TOPI BAJA CLUB BAND” MENGHIBUR PARA PENGUNJUNG TAMAN. ADA BANYAK

MONUMEN DI SITU. JAM RAKSASA TERHAMPAR DI RUMPUTAN. JARUMNYA MACET. MATI)

(SEBUAH KAWASAN KUMUH, DENGAN GUBUK-GUBUK SALING HIMPIT, ATAPNYA SANGAT RENDAH. GOT KOTOR,

JEMBATAN REYOT, MCK UMUM, POS HANSIP DAN PUSKESMAS, MELENGKAPI KAWASAN ITU. JEMURAN DI MANA-MANA. DI DEPAN PINTU GUBUK, IBU-IBU SALING CARI KUTU. KOMPLEKS KUMUH ITU MASIH DIBAGI DUA: KAWASAN RUMAH TANGGA BAIK-BAIK DAN KOMPLEKS

PELACURAN)

(hlm. 149-150) Kawasan kumuh merupakan kawasan yang ramai karena ada kompleks PSK yang dipimpin oleh Tarsih. Kawasan ini terletak di kolong jembatan, penuh dengan gubuk dan rumah yang ditempati oleh para PSK. Kompleks PSK kepunyaan Tarsih dan kawasan kumuh yang berisi orang baik-baik terletak bersebelahan dengan padang

golf. Selain padang golf, di dekat kawasan kumuh terdapat sebuah lahan luas sebagai kawasan proyek yang akan dibangun menjadi lokasi elit.

(135) LAHAN LUAS, KAWASAN PROYEK. PAGI. (DI TEMPAT ITULAH DANA BANTUAN KREDIT LUAR NEGERI DIRENCANAKAN AGAR DIGELAR MENJADI LOKASI

ELIT. PADAHAL SEBAGIAN BESAR KAWASAN ITU MASIH KUMUH. GUBUK-GUBUK DITUTUPI SELUBUNG KAIN PUTIH

OLEH SATPAM, SEBELUM PEJABAT DAN TAMU DATANG MENINJAU)

(hlm. 213) Lokasi lain yang dipakai para tokoh mewakili kaum urban miskin dalam “Opera Kecoa” adalah markas para bandit pimpinan Kumis yang pada kemudian hari diambil alih oleh Tibal dan Roima. Selain markas para bandit, ditampilkan juga daerah pelacuran para waria yang menjadi tempat insiden penembakan Julini. Setelah kematian Julini, beberapa latar yang dimunculkan berkaitan dengan kepahlawanan Julini adalah monumen Julini atau daerah di sekitar patung Julini serta Plaza Julini.

Latar lain yang berada di luar wakil kaum urban miskin adalah rumah Pak Pejabat. Peristiwa yang terjadi di rumah Pak Pejabat yaitu protes kaum urban miskin atas insiden penembakan Julini serta permintaan tanggung jawab Pejabat sebagai pemerintah dalam menangani kasus kematian Julini.

Dari penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan latar tempat dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua). Latar tempat tersebut antara lain emperan Plaza Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah kembali dari desa (133). Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu kawasan metropolitan hasil pembangunan yang dilakukan oleh pemda dan kawasan

kumuh yang luput dari pembangunan (134). Kawasan kumuh tersebut juga berdekatan dengan lapangan golf milik pemerintah (135). Latar tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah pelacuran para waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza Julini. Selain itu, ditampilkan juga rumah Pak Pejabat.

2.2.2.2 Latar Waktu

Latar waktu dalam “Opera Kecoa” digambarkan dalam penggalan-penggalan waktu terjadinya peristiwa yang didominasi oleh pagi, siang, sore, malam. Rentang waktu antara “Bom Waktu” dan “Opera Kecoa” adalah lima tahun. Latar waktu awal “Opera Kecoa” adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh.

(136) ROIMA:

Tunggu. Kalau tidak salah, gubuk kita dulu di sini. Di situ ada kali, jembatan, dan di sana gubuk Tarsih, gubuk Jumini dan Turkana di

mana ya? JULINI: Di sini ‘kali.

(MEMULAS BIBIRNYA DENGAN LIPSTIK) ROIMA:

Ditinggal pergi lima tahun, bisa jadi begini. Luar biasa. Ke mana mereka semua?

(hlm. 152) Peristiwa yang terdapat dalam “Opera Kecoa” merupakan peristiwa yang terjadi selama masa pembangunan. Bantuan dana kredit dari luar negeri adalah peristiwa yang terjadi sewaktu pembangunan sedang gencar dilaksanakan oleh bangsa Indonesia.

(137) TAMU:

(BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG) Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangasa Tuan yang berbunyi....

(hlm. 185) Latar waktu berupa tahun dapat diketahui melalui insiden penembakan Julini. Dalam insiden ini, seorang waria teman Julini menyebutkan bahwa Julini adalah “The Best Waria Tahun 1985” karena kepahlawanan Julini setelah kematiannya.

(138) WARIA-4:

Idola kita. Dia ‘The Best Waria Tahun 1985’.

(hlm. 251) Jadi, dapat diperkirakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam Opera Kecoa berlatar waktu tahun 1985. Jika dihitung mundur, maka peristiwa penggusuran yang terjadi lima tahun sebelum “Opera Kecoa” bisa dipastikan berlangsung pada tahun 1980.

Melaui analisis di atas dapat disimpulkan latar waktu dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) yaitu pagi, siang, sore, dan malam. Awal “Opera Kecoa” adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (136). Peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan (137). Dapat diperkirakan berbagai peristiwa dalam “Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985 (138). Jadi, terjadinya peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung lima tahun sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.

2.2.2.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam “Opera Kecoa” digambarkan dengan sikap para anggota dari keberadaan kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah dan kaum urban miskin. Pihak pemerintah diwakili oleh Pejabat. Kelompok urban miskin diwakili oleh Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah.

Pejabat adalah tokoh yang selalu ingin tampak baik di depan masyarakat. Dia tidak mau rahasia perselingkuhannya dengan Tuminah terbongkar di depan publik. Pejabat termasuk orang yang mengatasnamakan pembangunan untuk mendapat keuntungan pribadi dan simpati masyarakat tanpa mempedulikan ada rakyat yang harus tersingkir akibat program pembangunan ini. Di samping itu, Pejabat selalu ingin namanya bersih di depan masyarakat, termasuk ketika terjadi insiden penembakan Julini dan kebakaran di kompleks PSK. Ketika terjadi peristiwa penembakan Julini, Pejabat terpaksa mengikuti kemauan kaum urban miskin yang menuntut tanggung jawab Pejabat dalam menangani kasus tersebut. Hal ini bukan hanya dilatarbelakangi tuntutan dari kaum urban miskin saja, tapi juga karena Pejabat tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya. Sewaktu terjadi kebakaran kompleks PSK, Pejabat tidak ingin ikut campur terlalu banyak dalam mengusut pelaku pembakaran dan tidak mau dirinya dikaitkan dengan peristiwa kebakaran tersebut.

(139) TUMINAH:

Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok. PEJABAT:

Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran.

Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?....

(hlm. 158-159) (140) TUMINAH:

Cari istri lain, dong. PEJABAT:

Istri lain? Mau diturunkan pangkatnya, apa? Bagi orang penting macam Mas, tidak boleh punya istri dua. Atasan bisa marah-marah. Main-main di luaran boleh, tapi punya istri lagi? Nanti dulu. Persatuan

istri-istri pejabat pengaruhnya kua sekali. Dan itu pula yang membuat mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa

mengurut dada. Sudah, sekarang Mas pulang dulu ya?

(hlm. 175) (141) PEJABAT:

Persahabatan kami dengan bangsa Tuan, sudah sampai ke taraf yang saling menjanjikan. Perhatian dunia terbetot ke sini semua. Tawaran

Tuan untuk bersedia memberikan kredit bunga lunak, sungguh simpatik sekali. Dana yang Tuan sumbangkan itu, percayalah, pasti akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka akan

sangat berterimakasih.

(hlm. 185) (142) (MEMANG TERDAPAT PAPAN-PAPAN PLANG RENCANA

PEMBANGUNAN. TAPI YA CUMA ITU. SELEBIHNYA MASIH BERUPA LAHAN)

TAMU: (BASA-BASI)

Luar biasa. Wonderful. Great. Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan sangat tepat sekali. Semua ini akan

saya laporkan. PEJABAT:

Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong yang di depan sana itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadat dan pasar bagi pedagang modal kecil. Itulah realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan yang kita anut. Pendeknya,

semua demi kesejahteraan rakyat, demi pemerataan kue hasil pembangunan.

(hlm. 213) (143) PEJABAT:

Diam semua! Diam! Bagus. (PARA WARIA TERDIAM)

Baik. Laporan kalian akan dipelajari. Dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman.

Soal lain-lain tunggu putusan!

(hlm. 254) (144) PEJABAT:

Belum lagi 24 jam, dunia sudah ribut, Susah jadi pejabat. Kelihatannya saja enak, padahal tidurnya kurang dan selalu jadi sasaran omelan rakyat. Dan dalam kasus ini, jelas itu bukan kesalahan

saya. Ini kesalahan oknum. SATPAM-1:

(MASUK LAGI)

Pak, koran pagi memuat lengkap reportase peristiwa penembakan Julini.

PEJABAT:

Kurang sambel, begitu cepatnya jadi berita? Lihat, lihat! Aduh, foto ini bisa menambah kemarahan orang banyak. Bagaimana mereka bisa

mengambil foto sesadis ini? Saya curiga, jangan-jangan sebelumnya sudah ada skenarionya. Bisa jadi, ini rekayasa pihak-pihak tertentu.

He, kamu, usir wartawan-wartawan itu! SATPAM-1:

Baik, Pak. (PERGI KELUAR)

PEJABAT:

Apa waria itu betul-betul mati? SATPAM-2:

Betul, mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat. PEJABAT:

(MEMBACA KORAN)

“Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh....” Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.

Cepat amat dia merespons. Brengsek.

(hlm. 257-258) (145) SATPAM-2:

(MASUK DENGAN LEBIH BERGEGAS)

Paak! Utusan dari Menteri Sosial, datang bersama utusan dari Menteri Urusan Peranan Wanita, dan utusan dari Mendikbud dan Kejaksaan

Tinggi. PEJABAT:

(LEMAS)

Baik, baik. Saya menyerah.

Kita bikin patung, monumen, kalau itu yang mereka mau. Kita ciptakan martir. Kita ciptakan pahlawan waria. Sontoloyo!

(hlm. 260-261) (146) PEJABAT:

(MARAH)

Lho, memangnya saya serba tahu? Musibah, ya, musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang ini

musibah, mau bilang apa? Api kan sulit diduga. Percayalah, ini cuma musibah.

Pendek kata, saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti akan kita dirikan bangunan yang lebih baik lagi. Puas?

ROIMA:

Dan bangunan itu bukan untuk kami. Memang itu yang Bapak maui, kan? Kami sudah dikorbankan.

PEJABAT: (MARAH)

Setan, goblok. Jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boleh bercuriga dulu, selidiki dulu.

(hlm. 280) Kaum urban miskin pun masih tidak luput dari akibat proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa anggota urban miskin sempat tersebar

karena penggusuran kawasan kumuh lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pula Tarsih menabung uang dari hasil kerjanya sebagai PSK dan membeli tanah dan membangun kompleks PSK di sana. Kompleks PSK milik Tarsih pun terancam dipindah oleh petugas dinas sosial dengan alasan mengganggu keindahan dan ketertiban kota dalam rangka pembangunan.

(147) SATPAM-1:

Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran,eh, maaf, kompleks PSK ini ada di tengah-tengah kampung. Di sana ada masjid, di sana gereja, dan di sana kelenteng. Biar mereka belum protes tapi kami dari

dinas tata kota dan dinas sosial, memperhatikan. Ini kompleks harus dipindahkan.

TARSIH:

Ini kompleks sudah di pinggir kota. SATPAM-1:

Kota berkembang sangat pesat. Mulanya ya di pinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatif di kemudian

hari kalau kompleks ini tetap dipertahankan. TARSIH:

Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini,

semuanya dari tempat-tempat yang jauh.

(hlm. 156-157) Selama lima tahun itu pula Julini dan Roima kemali ke desa. Namun, mereka balik lagi ke kota dan mencari pekerjaan agar mereka bisa bertahan hidup. Julini kembali menjadi PSK dan Roima yang semula hanya seorang pengangguran sekarang ikut bekerja dalam kelompok bandit yang dipimpin oleh Kumis. Dari hasil pekerjaan

mereka, kini Julini dan Roima mampu memperbaiki sedikit perekonomian mereka. Julini dan Roima juga mempunyai cita-cita untuk membuka usaha sendiri.

(148) JULINI:

Yaa, untuk sementara saya jadi cabo lagi.

(hlm. 183)

(149) KUMIS:

Roima, kamu datang kepada lamat yang tepat. Banyak orang melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak

diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas.

Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya, tidak gampang jadi bandit.

TUMINAH: Jadi diterima?

BLEKI: Diterima dong.... (LARI MENGHINDAR) Nggak, Bang, maaf, kelepasan lagi.

TUMINAH: Diterima, Mas Kumis?

KUMIS: (ALOT)

Ya.

(hlm. 202) (150) TUMINAH:

Baju kamu bagus-bagus sekarang, ya? JULINI:

Ya, namanya rezeki. Roima sekarang juga sering pulang bawa uang. Nggak kayak dulu, gratisan melulu. Kita nabung, rencananya kalau uang sudah terkumpul, mau buka salon. Nggak di sini, di pinggiran.

Selama lima tahun Tibal harus tinggal di penjara karena telah membunuh petugas saat peristiwa penggusuran kawasan kumuh. Kini dia telah bebas dan tidak melanjutkan pekerjaannya sebagai petani kota serta belum mempunyai pekerjaan lain. Sementara Tuminah, adik Tibal, yang dulu hanya mengikuti pekerjaan kakaknya sebagai petani kini telah bekerja sebagai PSK profesional di kompleks PSK milik Tarsih dan menjadi PSK kesayangan Pejabat. Tuminah menjadi PSK karena dia tidak mempunyai keahlian lain untuk bekerja.

(151) TIBAL:

Bangsat. Bajingan. Cacing. Tidak punya sikap. Lalu untuk siapa aku membunuh orang? Untuk siapa aku dipenjara? Untuk apa? Anjing.

Sialan. Lebih baik kamu aku bunuh sekalian.

(hlm. 231) (152) TUMINAH:

Bukan. Akang dengar dulu ceritaku. Selama Akang dipenjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku hancur, tapi aku tidak ingin ikut hancur. Aku harus bisa berdiri, biar

untuk itu aku harus jadi cabo.

Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah, tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan

bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang kampung? Di mana kampung kita? Aku sebatang kara.

(hlm. 232) Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok pemerintah dan kelompok urban miskin, ada juga penggambaran secara simbolik tentang kelompok masyarakat yang menjadi bagian dalam pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pada saat itu. Pembangunan yang dikerjakan di Indonesia dan di kota Jakarta sebagai ibukota negara sewaktu itu masih sangat labil. Digambarkan secara gamblang bahwa negara Indonesia belum mempunyai sistem kehidupan yang teratur,

baik dalam pembangunan secara fisik maupun sistem pemerintahan yang dibandingkan dengan luar negeri.

(153) TK. SULAP:

(MELANJUTKAN PIDATONYA)

Kecoa ada di mana-mana, Saudara-saudara, di seluruh dunia. Coba bayangkan: di Amerika, yang kita sudah kenal kampiun dalam segala hal: sanitasinya bagus, demokrasinya berjalan mulus, tetap ada kecoa. Kata orang, satu orang Amerika berbanding 150 kecoa. Hitung berapa

penduduk Amerika. Wouww... serem.

Di negeri kita? Jangan tanya lagi. Di sini, sanitasinya buruk, demokrasinya sangat tidak mulus. Banyak teror, penculikan dan pembunuhan yang tidak terungkap. Wouww... bisa-bisa satu orang

berbanding 2000 kecoa. Masya Allah, Tuhan Maha Besar. Kalau penduduk kita 200 juta, maka ada 400 milyar kecoa di sekeliling kita. Gila, gila. Apa itu harus kita biarkan? Tidak, no, nehi, niet. Kita wajib

membasminya. Ini tugas kita semua.

(hlm. 166) Dari kutipan di atas terdapat penggambaran kemiskinan di suatu negara yang disimbolkan dengan kecoa. Di sebuah negara maju yang telah mempunyai sistem pemerintahan yang dapat dikatakan nyaris sempurna pun ternyata masih ada kemiskinan dalam sebagian kecil masyarakatnya. Hal ini dibandingkan dengan negara Indonesia. Indonesia tergolong sebagai negara yang sedang mengadakan pembangunan di sana-sini dan bisa dipastikan bahwa Indonesia mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Kemiskinan masih dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, apalagi di Jakarta yang seringkali menjadi kota tujuan para urban yang ingin mengadu nasib. Maka diperlukan kekuatan besar dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan yang semakin banyak tersebar di Indonesia.

Selain kemiskinan, negara Indonesia juga mempunyai kelabilan dalam bidang perekonomian walaupun pembangunan telah diadakan di mana-mana. Perekonomian di Indonesia dianggap belum cukup kuat untuk menyokong program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bantuan dari luar negeri dalam bentuk dana kredit untuk menopang pembangunan negara Indonesia.

(154) TAMU:

(BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG) Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa Tuan yang berbunyi....

(MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA DAN MEMBACA) “... yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya

bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek mercusuar akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya

ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia....”

(hlm. 185) Dari kutipan tersebut dapat diketahui juga bahwa negara Indonesia yang belum kuat perekonomiannya ini berani mengambil resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.

Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan latar sosial “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) melalui sikap para anggota dari keberadaan kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri atas Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah.

Pejabat merupakan tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan orang banyak (139), Pejabat termasuk orang yang suka mencari aman (140), mencari

simpati orang lain (141), (142); tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya (144), (145); dan tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa urban miskin (146).

Keadaan anggota kaum urban miskin dapat digambarkan melalui Tarsih yang telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini dianggap mengganggu keindahan kota (147). Julini yang baru saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota (148); Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam kelompok bandit (149) dan memperoleh penghasilan sendiri (150). Tibal adalah bekas napi yang belum mempunyai pekerjaan tetap (151) dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional sejak Tibal dipenjara (152).

Latar sosial juga ditampilkan melalui kemiskinan dalam pembangunan negara Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa (153). Indonesia yang memiliki perekonomian yang tergolong belum mapan berani mengambil resiko berhutang kepada luar negeri lewat dana kredit (154).

2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)