• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

2.2 Latar

2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)

2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa

Dalam drama “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) latar tempat terdiri dari tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk urban miskin, pepohonan sebagai “rumah” Abung, kantor hansip, dan kantor Camat.

Latar tempat dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) terdiri atas emperan Plaza Monumen sebagai tempat tinggal sementara Julini dan Roima sesudah kembali dari desa. Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu kawasan hasil pembangunan oleh pemda dan kawasan kumuh yang luput dari perhatian pembangunan. Dekat kawasan kumuh tersebut juga ada lapangan golf milik

pemerintah. Latar tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah pelacuran para waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza Julini; serta rumah Pak Pejabat.

“Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) mempunyai latar tempat jalanan ibukota dan kawasan kumuh Lokasari. Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, daerah sekitar Plaza Julini dan patung Julini.

2.2.4.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa

Pada latar waktu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) dapat diketahui bahwa ada waktu yang disebutkan dengan pagi, siang, sore, dan malam. Latar waktu lainnya ditandai dengan suatu peristiwa yaitu menjelang pemilu. Di samping itu, waktu juga dapat dirunut dengan penanggalan. Urutan tanggal ini dimulai dengan peristiwa pemberian mandat “pembersihan” kawasan kumuh oleh Camat kepada Kumis dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke kawasan tersebut. Kunjungan Gubernur akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret, sedangkan mandat ini diberikan tiga bulan sebelum kunjungan, yaitu tanggal 1 Desember. Kumis mengumumkan mandat dari Camat seminggu setelah mandat diturunkan atau semunggu sesudah tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember. Sebagai bentuk “pembersihan” kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta pindah paling lambat satu bulan sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah tanggal 8 Desember, yaitu

tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan penggusuran atau beberapa waktu pasca pemilu.

Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) disebutkan latar waktu adalah pagi, siang, sore, dan malam. Awal trilogi bagian kedua ini adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Berbagai peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan. Dapat diperkirakan bermacam kejadian dalam “Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985. Jadi, peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung mundur lima tahun sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.

Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) kebanyakan hanya disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Bermacam peristiwa dalam “Opera Julini” terjadi sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya, sepuluh tahun sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Selain itu, terdapat juga hitungan berupa hari yang dapat diketahui sejak Pejabat mengalami sakit mata, yaitu sembilan puluh sembilan hari. Selama itu pula wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya.

2.2.4.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa

Latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disimpulkan berdasar pada masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu pemerintah yang

terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kelompok urban miskin antara lain Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Dari pihak pemerintah Kumis dan Bleki sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh, termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan. Selain itu, Kumis dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni kawasan kumuh; memperoleh keuntungan untuk pribadi; dan menjaga otoritas sebagai aparat keamanan. Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat juga sering memakai jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama simpati dari kaum urban miskin.

Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota kaum urban miskin yang tidak memiliki pekerjaan, yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta, kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta serta Roima. Tarsih berprofesi sebagai PSK dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik sebagai istri muda Camat. Julini juga berprofesi sebagai PSK dan sering menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria. Tibal dan Tuminah berasal dari desa; mereka ingin menjadi petani kota; dan bercita-cita memiliki masa depan yang lebih baik.

Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak kawasan kumuh yang berada di sekitar tempat orang-orang kelas menengah ke atas. Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda. Para PSK juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih

cerah. Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka tempati.

Latar sosial dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) dapat dilihat melalui sikap para nggota kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri dari Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah.

Pejabat digambarkan sebagai tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan orang banyak; Pejabat juga termasuk orang yang suka mencari aman, mencari simpati orang lain, tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya, serta tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa para urban miskin.

Keadaan anggota kaum urban miskin dapat diketahui melalui Tarsih yang telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini terancam digusur sebab dianggap mengganggu keindahan kota oleh petugas. Julini yang baru saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota; Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam kelompok bandit dan memperoleh penghasilan sendiri. Tibal adalah bekas napi yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional untuk menghidupi dirinya sendiri sejak Tibal dipenjara.

Latar sosial juga ditampilkan lewat kemiskinan dalam pembangunan negara Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa. Indonesia yang termasuk

sebagai negara yang belum mapan perekonomiannya ternyata berani mengambil resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.

Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) terdapat penggambaran sikap para tokoh yang mewakili latar sosial. Para tokoh tersebut adalah pihak pemerintah yang diwakili oleh Pejabat serta kaum urban miskin yang terdiri dari Roima, Tibal, dan Tuminah. Pejabat diperlihatkan sebagai orang yang bertekat menghancurkan kelompok bandit. Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginannya untuk menumpas kelompok bandit tetap dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih wewenang Pejabat sebagai pimpinan. Pada akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para bandit dapat diatasi dengan bantuan tentara. Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat meminta untuk mengundurkan diri, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak oleh Menteri. Pejabat justru diberi kenaikan pangkat.

Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya. Roima yang hanya anak buah Kumis sekarang telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang sebelumnya cuma seorang pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan penataran P-6 oleh petugas. Dalam penataran tersebut, salah satu waria langganan Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas. Karena keberadaan kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat mulai mengetahui kelemahan mereka dan membuat rencana penumpasan kelompok bandit. Akhirnya kelompok bandit

benar-benar dihancurkan oleh pihak pemerintah sebab strategi kerusuhan para bandit dapat dikatakan kurang matang.

Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok dalam masyarakat, “Opera Julini” juga menampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas bawah dengan pemda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah tidak pernah menang dalam menghadapi pihak pemerintah. Pihak pemerintah dalam hal ini digambarkan sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dominan dalam kehidupan bersama suatu masyarakat, termasuk dalam memutuskan sesuatu.

BAB III

KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA

KARYA NORBERTUS RIANTIARNO

Dari analisis tokoh dan penokohan serta latar pada bab II dapat diketahui gambaran kehidupan orang-orang yang mewakili kelas-kelas sosial masyarakat di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa. Dalam bab III kehidupan masyarakat tersebut akan dianalisis lebih lengkap dengan cara mencari bentuk kekerasan struktural melalui pelaku dan korban kekerasan struktural, terutama kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin, sehingga dampak dari kekerasan struktural itu dapat dilihat secara langsung. Pelaku kekerasan struktural memang tidak dapat dilacak secara langsung oleh pihak yang menjadi korban, tapi bentuk kekerasan struktural dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh korbannya. Dalam drama trilogi Opera Kecoa pihak pemerintah yang seharusnya merupakan institusi yang bertugas membantu mengurangi permasalahan justru menimbulkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah cenderung menjadi sekelompok elit penguasa yang dalam berbagai kasus ternyata memiliki kepentingan sendiri. Kekerasan struktural muncul karena pertumbuhan kapital yang tidak merata dan berkembang tidak terbatas sehingga hanya menguntungkan sekelompok masyarakat saja. Biasanya kekerasan struktural bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, tidak menampakkan pelaku secara langsung

sebab kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur sehingga sering dianggap wajar, dan terwujud sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat. Akibat kekerasan struktural yang paling tampak adalah kemiskinan, pendapatan atau kekayaan yang tidak merata, ketidakadilan sosial, serta peniadaan individu karena proses penyeragaman warga negara. Analisis bentuk kekerasan struktural akan dilakukan sesuai dengan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Selanjutnya, akan diuraikan analisis bentuk kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian