• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi opera kecoa karya Norbertus Riantiarno tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi opera kecoa karya Norbertus Riantiarno tinjauan sosiologi sastra - USD Repository"

Copied!
343
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA NORBERTUS RIANTIARNO

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Airani Sasanti NIM: 034114011

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

selesaikan setiap hal yang telah kita mulai

terlintas dalam pikirku: seharusnya tak ada yang perlu

menjadi masalah

ketika menjalani hidup ini

yang ada hanya: sesuatu yang selalu kita tunda penyelesaiannya

atau

sesuatu yang sudah berada pada ruangnya

tapi letaknya kita ubah; tindakan kita mungkin benar, namun ternyata sering kurang tepat

kita merasa tidak bisa menyelesaikan suatu hal sebab menjadikannya beban dan terjebak oleh diri sendiri

_airani sasanti, 08082007_

(5)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, September 2007

Penulis

(6)

Miskin di Jakarta dalam Drama Trilogi Opera Kecoa Karya Norbertus Riantiarno: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa dengan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur dibatasi pada tokoh dan penokohan serta latar yang terkait dengan kehidupan para tokoh. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis unsur tokoh, penokohan serta latar; kemudian menggunakan hasil analisis struktur drama untuk lebih memahami kekerasan struktural dalam drama trilogi OperaKecoa.

Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut peran dalam perkembangan plot menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis; pembagian latar menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial; serta analisis kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa.

Tokoh protagonis yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, Abung; tokoh antagonis yaitu Kumis, Bleki, Camat, Pejabat. Latar tempat yaitu lokasi urban miskin di dekat tempat tinggal kelas menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk, pepohonan “rumah” Abung, kantor hansip, kantor Camat, emperan Plaza Monumen, kawasan pembangunan pemda yang bersebelahan dengan kawasan kumuh dan padang golf milik pemerintah, daerah mangkal para waria, sekitar patung Julini, Plaza Julini, rumah Pejabat, jalanan ibukota, kawasan kumuh Lokasari, markas besar dan markas rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima.

Latar waktu terdiri atas pagi, siang, sore, malam; masa pembangunan Indonesia antara 1980-1995; prapemilu hingga pascapemilu pada tahun 1980 dalam “Bom Waktu”; “Opera Kecoa” berlatar tahun 1985 atau lima tahun setelah “Bom Waktu”; “Opera Julini” berlatar tahun 1995 atau sepuluh tahun sesudah “Opera Kecoa”. Latar sosial berupa pembagian masyarakat berdasar kelas sosial menjadi kelas atas, yaitu pemerintah dan kelas bawah, yaitu kaum urban miskin. Pemerintah digambarkan sebagai pihak yang berkuasa dan merugikan kelas bawah; sementara kaum urban miskin adalah pihak lemah yang berusaha agar keberadaan mereka diperhatikan oleh pemerintah.

Kekerasan struktural disebabkan ketidaksamaan struktur sosial, perekonomian tidak merata, dan kekuasaan pemerintah yang berlebih. Bentuk kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap para urban miskin adalah kerusakan solidaritas, penipuan yang mengatasnamakan tingkatan sosial, pemaksaan, intimidasi, ancaman, eksploitasi

(7)

kekerasan struktural antara lain ketimpangan sosial ekonomi; kemiskinan; kekurangan dalam hal kesehatan, produktivitas, pendidikan, kekuasaan; hilangnya kemampuan untuk menentukan nasib diri sendiri; serta renggangnya hubungan antarkelas sosial.

(8)

People in Jakarta in the Trilogy Plays Opera Kecoa Written by Norbertus Riantiarno: a Literary Sociological Approach. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.

This research studies the structural violence by the government to the poor urban people in Jakarta in trilogy plays Opera Kecoa using a literary sociological approach. The structure analysis is limited by the character and characterization and the setting related with the life of the character. The method used in this study is descriptive method. The steps which are done is analysing the character, characterization, and the setting. After that, using results from analysis of plays structure to get deeper understanding about structural violence in trilogy plays Opera Kecoa.

The conclusion of this study is the division of the characters based on their role in the development of the plot, that is the protagonist and the antagonist; the setting is divided into setting of place, setting of time, and social setting; and the structural violence analysis on trilogy plays Opera Kecoa.

The protagonists are represented by Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, and Abung; the antagonists are Kumis, Bleki, Camat, and Pejabat. The setting of place are poor urban place near the residence of upper-middle class society, localization above the river bank, the huts, the trees of “Abung’s house”, hansip office, Camat office, the verandah of Plaza Monumen, the teritory of the district development which is side by side with the slum area and the golf-field owned by the government, homosexual teritory, near the Julini statue, Julini Plaza, the house of the ruler, the subway, Lokasari slum area, head-quarter and the criminal’s quarter, localization office owned by Tibal-Roima.

The setting of time is mostly happened in the morning, in the afternoon, in the night, and in the evening; the period of Indonesia development from 1980 until 1995; the period of “Bom Waktu” is before and after general election in 1980; “Opera Kecoa” is published in 1985 or five years after “Bom Waktu”; “Opera Julini” is published in 1995 or ten years after “Opera Kecoa”. The social setting is the division of society based on the social class, that is upper class consists of the goverments and lower class that is the poor urban people. The government describes as the party which has an authority and disadvantages the lower class; while the poor urban people is the weak party who struggle for getting the government attention toward their existence.

Structural violence causes by the difference in social structure, unequality in economic, and the excessment of the goverment power. The shape of structural

(9)

election, social class discrimination, intervention which disappears the autonomy of the society, injustice in law, power monopoly. The result of structural violence is the lameness in social economic; poverty; lack of healthiness, productivity, education, and authority; disable to determine his own life; and the social interclass relation is in space.

(10)

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada

Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman

penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran

dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan,

pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian

skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah

memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis

akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang secara tidak

langsung telah memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap semangat

dalam menyelesaikan skripsi ini.

(11)

4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra

Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan.

5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk

persahabatannya.

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra

untuk pelayanannya yang ramah.

7. Bapak, Ibu, Mas Asa, dan Mbak Arda. Terima kasih atas doa, semangat,

dukungan, cinta, dan pertanyaan “Wis tekan bab pira?” yang memotivasi

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh kawan seperjuangan di Sastra Indonesia 2003, terima kasih atas

pertemanannya selama empat tahun ini dan selalu menanyakan kabar

skripsiku.

9. Astri, Anton, Aning, Aic, Aji, Bayu, Bekti, Doan, Dhita, Diar, Eci, Gayung,

Jati, Rinto, Simpli, Vonny. Maturtengkyu untuk persahabatan,

cekakak-cekikik, cerita-cerita bahagia dan mengharukan, serta waktu luang untuk

nongkrong bareng di kantin. Terima kasih telah hadir dalam perjalanan

hidupku di Sastra Indonesia. Kapan kita kongkow lagi? Hehehe....

(12)

selalu memberikan semangat saat aku menyelesaikan skripsi. Terima kasih

untuk dukungannya.

12.Teman-teman Komisi Pemuda GKJ Condongcatur. Terima kasih atas

semangatnya dan pertanyaan-pertanyaan seputar skripsiku.

13.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan

skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih

yang mendalam.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan memiliki

banyak kekurangan. Seluruh kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini sepenuhnya

merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat

memberikan saran yang membangun bagi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata,

semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis

(13)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ... 7

1.6 Landasan Teori ... 14

1.6.1 Teori Struktural ... 15

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan ... 15

(14)

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ... 18

1.6.3 Teori Kekerasan Struktural ... 21

1.7 Metode Penelitian ... 23

1.7.1 Pendekatan ... 23

1.7.2 Metode Penelitian ... 24

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 24

1.7.4 Sumber Data ... 25

1.8 Sistematika Penyajian ... 25

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS RIANTIARNO ... 27

2.1 Tokoh dan Penokohan ... 27

2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama) ... 28

2.1.1.1 Julini ... 28

2.1.1.2 Roima ... 34

2.1.1.3 Tibal ... 38

(15)

2.1.1.7 Kumis ... 54

2.1.1.8 Bleki ... 59

2.1.1.9 Camat ... 61

2.1.2 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) ... 65

2.1.2.1 Julini ... 66

2.1.2.2 Roima ... 71

2.1.2.3 Tarsih ... 76

2.1.2.4 Tibal ... 79

2.1.2.5 Tuminah ... 81

2.1.2.6 Pejabat ... 84

2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga) ... 86

2.1.3.1 Roima ... 86

2.1.3.2 Tibal ... 89

2.1.3.3 Tuminah ... 92

2.1.3.4 Pejabat... 94

2.1.4 Rangkuman ... 99

(16)

Kecoa... 99

2.1.4.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Tri- logi Opera Kecoa... 104

2.2 Latar ... 107

2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama) 108

2.2.1.1 Latar Tempat ... 108

2.2.1.2 Latar Waktu ... 109

2.2.1.3 Latar Sosial ... 113

2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) . 128 2.2.2.1 Latar Tempat ... 128

2.2.2.2 Latar Waktu ... 131

2.2.2.3 Latar Sosial ... 133

2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga) .. 142

2.2.3.1 Latar Tempat ... 142

2.2.3.2 Latar Waktu ... 144

2.2.3.3 Latar Sosial ... 146

2.2.4 Rangkuman ... 156

2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa.. 156

(17)

BAB III KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH

TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM

DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS

RIANTIARNO ... 163

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)... 164

3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ... 165

3.1.2 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ... 171

3.1.3 Kekerasan Struktural terhadap Julini ... 173

3.1.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima ... 175

3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung ... 176

3.1.6 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ... 181

3.1.7 Kekerasan Struktural oleh Bleki ... 187

3.1.8 Kekerasan Struktural oleh Kumis ... 189

3.1.9 Kekerasan Struktural oleh Camat ... 200

3.2 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) ... 218

3.2.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ... 219

(18)

3.2.5 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ... 230

3.2.6 Kekerasan Struktural oleh Pejabat ... 231

3.3 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga) ... 261

3.3.1 Kekerasan Struktural terhadap Roima ... 262

3.3.2 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ... 265

3.3.3 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ... 267

3.3.4 Kekerasan Struktural oleh Pejabat ... 269

3.4 Rangkuman ... 285

BAB IV PENUTUP ... 294

4.1 Kesimpulan Hasil Analisis Drama Trilogi Opera Kecoa... 294

4.1.1 Kesimpulan Tokoh dan Penokohan dalam Drama Tri- logi Opera Kecoa... 294

4.1.1.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Per kembangan Plot ... 295

4.1.1.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Ope-ra Kecoa ... 295

(19)

4.1.2.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa.. 303

4.1.2.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa.... 304

4.1.2.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa... 305

4.1.3 Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilo gi Opera Kecoa... 309

4.2 Saran ... 311

DAFTAR PUSTAKA ... 312

DAFTAR TABEL Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa ... 105

Tabel 2: Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa ... 286

LAMPIRAN ... 315

SINOPSIS ... 316

BIOGRAFI PENULIS ... 324

(20)

1.1Latar Belakang

Karya sastra merupakan karya seni yang memuat kreativitas dan imajinasi

manusia yang diwujudkan dalam tulisan fiktif. Karena sifat rekaannya, karya sastra

secara tidak langsung mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak

menggugah kita untuk langsung bertindak (Luxemburg via Hartoko, 1989: 5). Karya

sastra memberi kesempatan kepada pembacanya untuk merenungkan dan

merefleksikan isi serta pesan-pesan dalam sebuah karya sastra. Dalam proses kreatif

penciptaan karya sastra, sastrawan seringkali tidak hanya mengandalkan

imajinasinya, tetapi sastrawan juga melakukan pengamatan terhadap lingkungannya.

Bahkan tidak jarang sastrawan mencipta karya melalui pengalaman yang dialaminya

secara langsung. Sebuah karya sastra sangat erat hubungannya dengan latar belakang

pengarangnya, baik lingkungan pengarang maupun kepribadian pengarang.

Salah satu bentuk kehidupan yang seringkali muncul dalam karya sastra

adalah gambaran tokoh dengan lingkungan sekitarnya atau masyarakat. Dalam

pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat

dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin

seseorang (Damono, 1978: 1). Keadaan seseorang dapat dipengaruhi atau

mempengaruhi keadaan suatu kelompok masyarakat. Dalam hubungannya dengan

masyarakat, karya sastra dapat berisi realitas atau kenyataan kehidupan manusia yang

(21)

tidak jarang menggunakan hubungan antarmanusia, antara manusia dengan kelompok

tertentu, atau antara kelompok dengan kelompok sebagai objek karya sastra yang

disajikan dalam bahasa imajiner.

Drama trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno (selanjutnya disebut

Riantiarno) adalah wujud kehidupan sosial yang disajikan pengarang berupa

hubungan antara kelompok tertentu dengan kelompok lain, yaitu antara pemerintah

dengan kaum urban miskin. Kedua kelompok ini biasa terlibat bersama dalam

berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Oleh

karena itu, peristiwa hubungan kemasyarakatan ini dimunculkan pengarang dengan

bahasa yang imajinatif dan sesuai kapasitas pengarang untuk memahami hubungan

sosial antara pemerintah dan kaum urban miskin.

Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya

tentang hidup (Wellek dan Austin Warren via Budianta, 1989: 110), sehingga karya

sastra dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat atau menjadi refleksi bagi

pembacanya. Georg Lukács menyatakan karya sastra mencerminkan realitas, tidak

dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan

memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih

lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” (Selden via Pradopo, 1991: 27). Pengarang

sering mendapat ide atau gagasan untuk karyanya dari pengamatan terhadap perilaku

masyarakat seperti halnya pengamatan pengarang terhadap kehidupan sosial antara

pemerintah dan kaum urban miskin. Ide atau gagasan pengarang juga muncul karena

(22)

bentuk ketimpangan sosial seperti tindakan sewenang-wenang pemerintah sebagai

penguasa, diskriminasi gender atau kelas sosial, penindasan yang tidak manusiawi.

Dalam trilogi Opera Kecoa kekerasan terjadi karena adanya ketimpangan

yang disebabkan oleh pihak pemerintah sendiri. Kekerasan itu tidak dapat dipisahkan

dari masalah sosial ekonomi. Akar dari kekerasan itu bukanlah kekerasan itu sendiri,

tetapi sesuatu di luar kekerasan seperti soal kesulitan, kekurangan, dan frustasi

material-ekonomis (Darmaningtyas dkk., 1996: 57). Penjelasan ini menyangkut

kegagalan negara memainkan perannya dalam kontrak sosial, dalam menyediakan

manfaat ekonomi atau layanan sosial. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa

stabilitas sosial secara implisit berpijak pada kontrak sosial antara rakyat dan

pemerintah: menurut kontrak ini rakyat menerima wewenang negara sepanjang

negara memberikan layanan dan menciptakan kondisi ekonomi yang memadai

(Stewart via Maris, 2005: 193). Dalam masyarakat, konflik yang tidak terpecahkan

atau tidak tertransformasi; fenomena yang ada di mana-mana dalam realitas manusia,

mudah menimbulkan frustasi karena tujuan-tujuan terhambat, mengejutkan, dengan

potensi untuk melawan pihak-pihak yang dipersepsikan sebagai penghambat (Galtung

via Maris, 2005: 401).

Sarjono dalam “Urban Poor Opera, Riantiarno”, pengantar trilogi Opera

Kecoa, menuliskan bahwa pembangunan yang berapi-api telah melahirkan kaum

urban miskin perkotaan yang tentu saja setelah pembangunan gedung-gedung

pencakar langit itu tidak bisa ikut bernaung di sana (Riantiarno, 2004: vi). Oleh sebab

(23)

telah dilakukan di mana pun. Kaum urban miskin tetap menjadi kelompok yang

tersisih dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah.

Johan Galtung (Galtung via Lubis, 1988: 150) mengelompokkan kekerasan

menjadi dua. Yang pertama adalah kekerasan personal, yaitu kekerasan yang bisa

dilihat sebagai suatu hal yang menimbulkan perubahan dan dinamis, memperlihatkan

fluktuasi yang hebat sepanjang masa, dan akan diperhatikan masyarakat. Yang kedua

adalah kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang selalu dianggap wajar dalam

masyarakat, suatu hal yang memperlihatkan stabilitas tertentu. Alasan utama peneliti

memilih trilogi Opera Kecoa karena terdapat hubungan kemasyarakatan yang justru

menimbulkan permasalahan sosial berupa kekerasan personal dan kekerasan

struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta. Peneliti akan

mengkhususkan pembahasan mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta sebagai kekerasan yang dominan

terjadi dalam trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

Untuk meneliti karya sastra, pertama-tama penulis mencari unsur-unsur

pembangun karya sastra tersebut atau menganalisis secara struktural. Dalam

penelitian ini, analisis struktural yang diteliti adalah unsur tokoh dan penokohan,

serta latar yang berkaitan erat dengan permasalahan yang terjadi dalam drama trilogi

ini. Penulis memilih meneliti unsur tokoh dan penokohan serta latar untuk

menganalisis lebih jauh mengenai para tokoh yang terlibat konflik serta menentukan

tempat dan waktu kejadian serta keadaan sosial masyarakat yang menjadi penyebab

(24)

dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam

hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terkandung di dalamnya (Nurgiyantoro,

1998: 37). Untuk membatasi penelitian terhadap para tokoh yang mewakili kondisi

masyarakat dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno, maka akan

dipaparkan teori kekerasan struktural. Selain itu, penulis juga menggunakan

pendekatan sosiologi sastra yang beranggapan bahwa sastra merupakan cermin

masyarakat.

1.1Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama

trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?

1.2.2 Bagaimanakah bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi

Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah:

1.3.1 Mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama

(25)

1.3.2 Mendeskripsikan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi

Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan di atas, maka manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap studi sastra

khususnya dalam bidang sosiologi sastra, yaitu mengenai kekerasan

struktural dalam hubungan sosial masyarakat.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca dan sastrawan

untuk mengetahui peran sosiologi sastra dalam karya sastra dan dalam

kehidupan bermasyarakat.

1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan

untuk menafsirkan karya sastra dalam permasalahan sosial yang

berupa kekerasan struktural serta relevansinya terhadap zaman yang

sedang berlangsung.

1.4.4 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan

untuk lebih peka dalam mengenali dan menggunakan bentuk kritik

(26)

1.5 Tinjauan Pustaka

Seni Apriliya dalam http://www.isola-pos.upi.edu dengan tulisannya yang

berjudul “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-angan”

mengulas tentang garis besar cerita trilogi Opera Kecoa dan permasalahan sosial

yang diangkat dalam drama tersebut. Apriliya secara tidak langsung menyatakan

bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Dalam hal ini Apriliya menunjukkan

keadaan rakyat Indonesia pada pertengahan 1980. Kondisi pemerintah dan kaum

urban miskin di Jakarta terlihat sangat kontras karena situasi sosial yang sangat

timpang. Hal seperti ini juga terbaca dalam drama trilogi Opera Kecoa yang

menceritakan penindasan pemerintah sebagai penguasa negara terhadap kaum urban

miskin di Jakarta. Apriliya membandingkan sebuah situasi yang sama dalam dunia

yang berbeda, yaitu dunia sastra dan dunia nyata, seperti dalam kutipan berikut.

“Drama sebagai sastra berakar dari kehidupan manusia, tragedi dan komedi yang dialaminya. Demikian halnya dengan Opera Kecoa; drama fenomenal dramawan Riantiarno. Berlatar kehidupan bangsa Indonesia pertengahan tahun 1980-an, di mana negeri ini giat mengatasnamakan pembangunan untuk setiap proyek yang didirikan. Di Jakarta yang metropolis, hidup tak selalu manis, terutama bagi kaum urban miskin yang memang tidak mempunyai keahlian sebagai sandaran untuk mencari penghidupan. Kemiskinan yang seperti diwariskan terus-menerus membuat mereka sulit untuk keluar dari kungkungan penderitaan. Hidup mereka seperti yang dilontarkan tokoh Julini, yaitu ‘hidup-hidupan’ (Riantiarno, 2004: 178).” (Apriliya, 2005).

Dalam tulisannya, Apriliya juga memaparkan beberapa bentuk kekerasan

yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin dalam trilogi Opera

Kecoa, seperti terlihat dalam kutipan berikut.

(27)

derita dan kelaparan, mimpi-mimpi yang tak kunjung jadi kenyataan. Bermacam-macam tragedi, berbagai keputusasaan. Mengingatkan kita dari lupa, tentang nasib sebagian dari manusia seperti Julini dan Roima tengah bergulat dan memperjuangkan kehidupan mereka. Hidup di ujung razia para petugas negara. Dikejar-kejar, diabaikan haknya, dicaci dan dihina perilakunya, menjadi tontonan tanpa memperoleh tuntunan nyata dan solusi nyata dari kegetiran dan nasib buruk mereka.” (Apriliya, 2005).

Ketimpangan hubungan sosial antara pemerintah dan rakyat kecil pun disorot

Riantiarno seperti yang ditulis Soni Farid Maulana dengan judul “Kita dan Teater

Koma” dalam http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui artikel ini juga ditegaskan

bahwa Riantiarno merupakan penulis lakon teater yang memiliki perhatian mendalam

terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah yang tidak pernah mempunyai

kesempatan melakukan apapun selama masa pembangunan.

“Setidaknya dengan menulis lakon teater trilogi Opera Kecoa perhatian Riantiarno terhadap kehidupan orang-orang kecil yang selalu jadi korban pembangunan, tak putus-putusnya diutarakan dari berbagai sisi. Apa yang disajikan Nano juga mempunyai perhatian demikian besar terhadap masalah tersebut, tidak bisa dianggap angin lalu. Mengapa? Karena di dalam naskah yang sering membuat kuping pemerintah jadi merah itu ada suara kebenaran yang mengharap pihak-pihak terkait siapa pun ia, untuk senantiasa bersikap adil terhadap nasib orang-orang kecil atau rakyat pada umumnya yang posisinya semata-mata diletakkan sebagai korban dalam gerak pembangunan dewasa ini.” (Maulana, 2005).

Riantiarno dalam pengantar Cermin Merah yang berjudul “eM dan iM”

menceritakan tentang kehidupan salah satu anggota kaum urban miskin di Jakarta,

yaitu kehidupan para waria. Menurut pengamatan Riantiarno, waria di Jakarta

merupakan kaum yang sering dianggap sebagai pengganggu ketertiban kota, sehingga

(28)

pengamatan ini, Riantiarno memperoleh motivasi untuk melahirkan karya trilogi

Opera Kecoa.

“Pada 1968 hingga 1973, saya sering nongkrong di sepanjang rel kereta api Jalan Krakatau, sekarang Jalan Latuharhary Jakarta. Pekerjaan saya hanya mengamati. Saya menyerap impian mereka, kaum yang tersisih dari pergaulan sopan kota besar Jakarta. Kadang saya ikut lari lintang pukang jika ada razia dari polisi pemda. Dalam sebuah razia, seorang waria nekat terjun ke Kali Malang (yang mengalir di sepinggir rel kereta api), demi menghindari kejaran para petugas. Celakanya, si waria tidak bisa berenang. Mayatnya yang biru dan kaku ditemukan keesokan harinya. Peristiwa itu sering disebut sebagai ‘Tragedi Kali Malang’. Yang menjadi korban selalu orang kecil. Dari pengamatan itu, kemudian lahir pula tiga karya drama panggung, trilogi Opera Kecoa. Ketiganya sudah dipentaskan.” (Riantiarno, 2004: x-xi).

Naskah Riantiarno seringkali menampilkan orang-orang kelas menengah ke

bawah di Indonesia yang mempunyai kehidupan tergolong miskin. Riantiarno sebagai

salah satu penulis drama yang hidup pada masa Orde Baru tidak jarang mengambil

kehidupan orang-orang miskin dan keadaan pemerintahan di Indonesia sebagai latar

dalam naskah dramanya. Oleh karena itu, tidak jarang pula Riantiarno dianggap

sebagai penyusup dalam dunia politik di Indonesia. Indra Tranggono melalui

tulisannya yang berjudul “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah” dalam

Fresh Magazine menyatakan bahwa Riantiarno seringkali dianggap sebagai musuh

pemerintah karena naskah-naskah dramanya sarat dengan kritik sosial, termasuk

dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua).

(29)

cerita Nano. Beberapa pementasan Koma pun akhirnya dicekal. Misalnya Opera Kecoa dan Suksesi.” (Tranggono, 2007: 87).

Sebuah artikel yang dimuat dalam http://www.kompas.co.id (2003) dengan

judul “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu” mengungkapkan bahwa

“Opera Kecoa”, trilogi bagian kedua, merupakan bukti bahwa pemerintah tetap

memperlakukan rakyat kecil dengan tidak adil. Riantiarno menyatakan hal ini terlihat

dari pelarangan pementasan “Opera Kecoa” yang dianggap pemerintah sebagai

gangguan karena menceritakan masalah penggusuran yang pada kenyataannya telah

marak terjadi di Jakarta pada masa pembangunan, seperti kutipan berikut.

“Kisah Opera Kecoa sendiri sebetulnya bercerita seputar masalah penggusuran. Apabila Opera Kecoa lolos sensor ketika pertama kali dipentaskan di tahun 1985, barangkali penggusuran masih belum terlalu populer. Tapi seperti kita ketahui bersama, setelah itu penggusuran kawasan miskin untuk hotel dan lapangan golf merebak sedemikian rupa. Ketika tahun 1990 dipentaskan, Opera Kecoa menjadi semacam tamparan bagi penguasa karena penggusuran telah menjadi hiasan warga ibukota.” (www.kompas.co.id, 2003).

Penggusuran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan

pemerintah terhadap rakyat kecil karena setelah penggusuran terjadi, rakyat kecil

tidak pernah mendapat jaminan perbaikan hidup dari pemerintah. Bahkan tidak jarang

nasib rakyat kecil menjadi bertambah buruk setelah mengalami penggusuran.

Achmad Syaiful Anwar dalam tesisnya yang berjudul “N. Riantiarno: Dari

Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)” mengatakan, “Penulisan jenis

trilogi berlanjut, yaitu Bom Waktu (trilogi 1), ditulis tahun 1982. Periode ini diakui

oleh Nano adalah periode mengekspresikan ‘penderitaan’ menjadi daya kreatif di

(30)

1985, dan Opera Julini (trilogi 3) ditulis tahun 1986. Naskah Opera Kecoa dianggap

sebagai naskah yang kuat menampilkan gaya penulisan Nano secara khusus.

Keberpihakannya terhadap masalah ‘wong cilik’ dan mengangkat tema sosial yang

sarat kritik terhadap penguasa menjadi model penulisan Nano yang khusus tersebut.

Lakon Opera Kecoa bercerita tentang gelandangan, pelacur, dan masyarakat yang

biasa disebut ‘sampah’” (Anwar, 2004: 180-181). Pernyataan Anwar tersebut

menggambarkan latar belakang penulisan trilogi Opera Kecoa beserta nasib para

tokoh sebagai rakyat kecil sebagai cermin masyarakat pada masa pembangunan di

Jakarta. Anwar juga berpendapat bahwa Nano merupakan penulis naskah drama yang

peka terhadap keberadaan kaum urban miskin dan penguasa yang mengatur

semuanya tanpa memikirkan nasib urban miskin.

Menurut Anwar, ketimpangan sosial antara kaum urban miskin dengan

penguasa yang disebabkan tindak sewenang-wenang penguasa dalam mengatur

keuangan negara juga digambarkan dengan jelas oleh Riantiarno dalam trilogi Opera

Kecoa. Hal ini terlihat dalam pernyataan berikut.

“Perubahan nasib seolah sesuatu hal yang mustahil buat mereka (kaum urban miskin), sebab posisi mereka tetap di bawah selamanya. Demikian pula dengan para pejabat penguasa, posisi mereka selalu berada di atas. Menentukan dan mengatur segalanya secara absolut. Hal ini diungkap Nano melalui dialog antara tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam kutipan berikut.

PEJABAT:

Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan? Kami sangat membutuhkan, lho.

TAMU:

(31)

PEJABAT:

Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak penting. Tapi, kalau bisa,

yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....

(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)

TAMU: Baik, baik.

(PARA HADIRIN BERTEPUKTANGAN)

Untuk sekadar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-daerah yang Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan.

PEJABAT: Oo, bisa, bisa.

(MEMANGGIL PETUGAS, BISIK-BISIK. PETUGAS KE WARTAWAN-WARTAWAN)

PETUGAS:

Saudara-saudara, acara resmi telah selesai. Bapak dan Yang Mulia tamunya hendak menikmati acara yang sifatnya lebih pribadi. Mohon maaf.

Press-release akan dibagikan secara tertulis. Juga amplopnya sekalian.

(WARTAWAN-WARTAWAN BUBAR TANPA PROTES)

(Riantiarno, 2004: 186-187) Adegan pada bagian ini jelas menunjukkan kejelian Nano memotret kondisi realitas penguasa kita yang korup tanpa malu-malu lagi. Mengatasnamakan kepentingan kesejahteraan rakyat demi kepentingan dan kekayaan sendiri” (Anwar, 2004: 183-185).

Kutipan dialog tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam pernyataan Anwar di

atas memperlihatkan bahwa para penguasa telah mengalami kelemahan mental

sebagai aparat negara sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menggunakan hak

rakyat sebagai penunjang kesejahteraan pribadi. Mental penguasa telah menjadi

mental orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi tanpa

(32)

penguasa menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan struktural dalam drama

trilogi Opera Kecoa.

Selain pemenuhan kepentingan pribadi oleh penguasa, hal lain yang dapat

dilihat dari drama trilogi Opera Kecoa adalah sikap penguasa dalam menghadapi

kaum urban miskin sebagai anggota masyarakat. Drama Riantiarno ini pada

hakikatnya hendak menggambarkan tiga kelompok masyarakat (orang kaya,

penguasa, pelaksana) dalam menyikapi para gelandangan dan kehidupan para

gelandangan itu sendiri. Dalam drama Bom Waktu (trilogi bagian pertama)

tokoh-tokoh yang berinteraksi ialah “gepeng”, kaum gelandangan dan pengemis, dengan

para aparat pemerintah daerah (pemda) (Sitanggang dkk., 1995: 64, 69). Drama ini

menggambarkan penguasa yang tidak mempedulikan keberadaan kaum urban miskin

dalam masyarakat perkotaan sebagai warga yang juga memiliki kepentingan untuk

hidup di kota. Di tengah kesulitan mencari penghidupan di kota, ternyata kaum urban

miskin justru mendapat tekanan dari pemerintah. Tekanan dari pemerintah dapat

berupa paksaan untuk meninggalkan “rumah” mereka, pembatasan tempat kerja utuk

mencari nafkah bagi para gelandangan, pemanfaatan tenaga manusia untuk

memenuhi kebutuhan pribadi, dan adanya anggapan bahwa kaum urban miskin

merupakan pengacau yang harus segera disingkirkan dari kota. Pemerintah tidak

berusaha menciptakan lapangan kerja maupun tempat tinggal yang layak bagi kaum

urban miskin. Mereka (kaum urban miskin) harus tergusur oleh rencana

(33)

masalah spiritual seperti bagaimana mengangkat si lemah pada taraf kehidupan yang

lebih baik belum mendapat perhatian (Sitanggang dkk., 1995: 73).

Dari keseluruhan sumber tinjauan pustaka di atas, penulis memperoleh

gambaran berbagai pandangan mengenai drama trilogi Opera Kecoa, terutama tema

besar drama trilogi ini, yaitu tentang kehidupan kaum urban miskin. Selain itu,

penulis juga lebih dapat memahami latar belakang kemunculan drama trilogi ini serta

relasi kelas-kelas sosial yang menjadi penyebab konflik dalam drama trilogi Opera

Kecoa.

1.6 Landasan Teori

Di dalam penelitian sebuah karya sastra terdapat beberapa model pendekatan

yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah pendekatan struktural. Pendekatan

struktural menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang

bersangkutan. Analisis struktural karya yang bersifat fiksi dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur

intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 37). Struktur karya sastra

dipaparkan dengan tujuan agar sebuah karya sastra lebih mudah dipahami.

Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,

dengan mekanisme antarhubungan, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu

dengan yang lainnya, di pihak lain antarunsur (unsur) dengan totalisnya (Ratna, 2004:

91). Tujuan pemaparan unsur-unsur struktur karya sastra adalah mengenal kerangka

(34)

Hasil analisis tokoh, penokohan, serta latar memberi referensi pada penulis untuk

memahami bentuk kekerasan struktural yang dilakukan pemerintah terhadap kaum

urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

Penulis akan memaparkan teori sosiologi sastra sebagai dasar pembahasan

hubungan kemasyarakatan yang terjadi antara pemerintah dengan kaum urban miskin.

Selain teori sosiologi sastra, penulis juga akan memaparkan teori kekerasan struktural

menurut Johan Galtung. Teori struktural, teori sosiologi sastra, dan teori kekerasan

struktural akan dijelaskan sebagai berikut.

1.6.1 Teori Struktural

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori struktural berupa tokoh dan

penokohan serta latar untuk menganalisis tokoh, penokohan, serta latar dalam drama

trilogi Opera Kecoa. Dengan menganalisis unsur-unsur tersebut, penulis dapat

mengetahui hubungan antara para tokoh dalam kehidupan sosial mereka serta konflik

yang terjadi dalam drama trilogi Opera Kecoa berupa kekerasan struktural.

1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan 1.6.1.1.1 Tokoh

Definisi tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1988: 16). Pembedaan tokoh

dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh

(35)

mendukung jalan cerita. Protagonis yaitu tokoh yang pertama-tama berparakarsa dan

dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena perannya itu, protagonis

adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam

kesukaran-kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Protagonis merupakan peran utama yang

menjadi pusat cerita (Harymawan, 1988: 22). Tokoh yang selalu menentang tokoh

protagonis disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis mempunyai konflik dengan

tokoh protagonis. Antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi

musuh yang menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Citra tokoh itu disusun

dengan memadukan berbagai faktor, yakni apa yang difokalisasinya (hubungan antara

unur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut), bagaimana ia

memfokalisasi, oleh siapa dan bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai

pelaku dalam deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis

di dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh

(Hartoko dan Rahmanto, 1986: 144). Seorang tokoh selalu merupakan hasil dari

penjelmaan fisik dan pengaruh-pengaruh lingkungannya (Oemarjati, 1971: 67),

sehingga tokoh dianggap mampu menggambarkan lingkungan yang melingkupinya

dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menganalisis

tokoh protagonis dan antagonis dalam drama trilogi Opera Kecoa untuk menentukan

konflik yang dipicu oleh tokoh-tokoh antagonis terhadap para tokoh protagonis.

Dalam penelitian ini tokoh-tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis

karena tokoh protagonis menampilkan hal-hal yang sesuai dengan pandangan serta

(36)

Melalui hubungan antara protagonis dan antagonis, maka konflik yang terjadi dalam

karya sastra lebih dapat dipahami dengan jelas.

1.6.1.1.2 Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya

menyebutkan siapa nama tokoh, tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak

tokoh. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya

yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Penokohan

memerikan ciri lahir (fisik) maupun batin (watak) tokoh (Sudjiman, 1988: 25).

Penokohan diperlukan untuk membantu memahami ciri fisik, perilaku dan sikap

tokoh dalam menghadapi lingkungan sekitarnya. Selain itu, penokohan satu tokoh

dapat membantu menjelaskan penokohan tokoh lain sehingga karakter tokoh-tokoh

dapat diketahui dengan lebih rinci di dalam sebuah karya sastra.

1.6.1.2Latar

Latar atau setting biasanya menyaran pada waktu, tempat, dan lingkungan

sosial tokoh. Dalam penelitian ini akan dipakai latar tipikal atau latar yang memiliki

dan menonjolkan sifat khas latar tertentu; baik yang menyangkut unsur tempat,

waktu, maupun sosial (Nurgiyantoro, 1998: 78). Peristiwa-peristiwa di dalam cerita

tentulah terjadi pada suatu waktu atau di dalam suatu rentang waktu tertentu atau

(37)

masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya; sedangkan latar fisik adalah

tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman,

1988: 41). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk,

pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa

dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1986: 46). Berdasarkan

penjelasan tersebut, penulis akan menganalisis latar tempat, waktu, dan sosial dalam

drama trilogi Opera Kecoa. Latar tempat berfungsi untuk mengetahui lokasi-lokasi

yang biasa dipakai sebagai tempat beraktivitas suatu kelompok masyarakat sehingga

menunjukkan kelas sosial kelompok masyarakat tersebut dan mengetahui tempat

terjadinya konflik antarkelas sosial. Latar waktu digunakan untuk merunut berbagai

peristiwa dalam drama trilogi Opera Kecoa dan membuktikan bahwa konflik

antarkelas sosial berupa kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas atas terhadap

kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa terjadi terus-menerus sejak awal

hingga akhir drama trilogi ini. Latar sosial berfungsi mengetahui kehidupan beberapa

kelompok masyarakat sebagai dasar untuk memahami hubungan dan konflik yang

terjadi antarkelas sosial dalam drama trilogi Opera Kecoa.

1.6.2 Teori Sosiologi Sastra

Segi-segi kemasyarakatan dalam sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan

sosiologi sastra. Hal ini mencakup hubungan antarmanusia, antara manusia dengan

sekelompok orang, dan antarkelompok manusia. Kehidupan sosial menjadi picu

(38)

sosiologi tidak akan bisa lepas dari perilaku masyarakat. Dalam sosiologi manusia

dalam masyarakat dapat dikaji mengenai keberadaannya dalam lingkungan, lembaga,

ataupun proses sosial. Manusia menjadi anggota masyarakat dan mempengaruhi

pergerakan sistem masyarakat sehingga manusia diharuskan mampu menyesuaikan

diri dengan keberadaannya dalam lingkungan sosial. Di samping itu, manusia juga

ikut andil dalam proses budaya yang menyebabkan manusia mempunyai kapasitasnya

sendiri sebagai anggota masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan gabungan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra.

Persamaan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra adalah kedua ilmu tersebut selalu

berkaitan dengan masyarakat dan manusia sebagai objeknya sehingga ilmu itu tidak

pernah bisa dikaji tanpa memperhatikan latarnya. Sosiologi sastra mempunyai

beberapa definisi, antara lain pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai

dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya atau pemahaman

terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya

(Ratna, 2003: 2). Sosiologi yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat

menjelaskan permasalahan sosial yang termuat dalam karya.

Pemakaian pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji suatu karya sastra

membantu pembaca lebih peka dengan permasalahan sosial yang terjadi pada masa

karya itu dibuat. Dengan sosiologi sastra juga sikap pengarang dapat terlihat dalam

menanggapi kondisi sosial masyarakat yang sedang berlangsung. Penulis akan

menggunakan analisis mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah

(39)

terjadi di antara kelas-kelas masyarakat yang terdapat pada drama trilogi Opera

Kecoa karya Riantiarno. Kelas tidak harus diidentifikasikan dengan sumber

penghasilan ataupun kedudukan fungsional di dalam pembagian kerja (Giddens via

Kramadibrata, 1985: 45). Kapitalisme membuat kebanyakan orang mengesampingkan

kepentingan bersama demi kepentingan individual serta mengubah kehidupan

masyarakat. Pertumbuhan ekonomi kapitalis-liberal, yang motornya adalah egoisme

dan individualisme, telah membuat hidup masyarakat makin terdeferensiasi, makin

terorganisasi, bagian-bagiannya menjadi terpisah satu sama lain (Sindhunata, 1997:

14). Ketimpangan sosial yang terjadi dalam trilogi Opera Kecoa disebabkan adanya

kelompok yang menggunakan kekuasaan secara berlebih, dalam hal ini termasuk

penguasaan terhadap perekonomian masyarakat serta pembatasan kemampuan tiap

individu. Pihak yang berkuasa akan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil

keuntungan dari pihak yang lemah. Kekerasan, kerusuhan hanyalah akibat lanjut dan

menyeluruh dari brutalisasi yang diakibatkan oleh pembangunan (“pertumbuhan”)

ekonomi yang demikian cepat (Sindhunata, 1997: 17). Pengarang drama trilogi Opera

Kecoa juga menekankan ideologi yang sering diungkapkan selama masa

pembangunan sekitar tahun 1980-an, yaitu penekanan bahwa semua yang dilakukan

pemerintah semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat, walaupun pada

kenyataannya pembangunan yang dilakukan pemerintah pada masa itu justru

cenderung merugikan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama rakyat kecil

yang seringkali tidak mendapat pemerataan hasil pembangunan karena perekonomian

(40)

itu sendiri menjadi semacam lingkungan ideologis. Hanya lewat lingkungan itu dan

dengan pertolongannya kesadaran manusia mencapai persepsi dan penguasaan

terhadap eksistensi sosio-ekonomik dan alamiahnya (Faruk, 2005: 128). Dalam

penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena ada hubungan

yang erat antara sosiologi dengan sastra. Sastra merupakan cermin tingkah laku

masyarakat dan dapat menampilkan fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan suatu

masyarakat. Melalui teori sosiologi sastra, penulis berharap dapat menganalisis dan

menemukan fakta-fakta terjadinya kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas

atas terhadap kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa.

1.6.3 Teori Kekerasan Struktural

Kekerasan menurut Galtung (via Windhu, 1992: 64) terjadi bila manusia

dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya (nyata)

berada di bawah realisasi potensialnya (mungkin). Dengan kata lain bila yang

potensial lebih tinggi dari yang aktual, terjadilah kekerasan. Kekerasan telah terjadi

dalam masyarakat terutama karena tujuan memperebutkan aset ekonomi. Menurut

Johan Galtung, kekerasan struktural (kekerasan tidak langsung) merupakan kekerasan

yang bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak (Santoso,

2002: 169). Kekerasan struktural cenderung tidak menampakkan pelaku manusia

secara langsung karena kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur dan terwujud

sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat, serta sering dianggap

(41)

terutama dalam distribusi kekuasaan yang dipengaruhi oleh pelaku, sistem, struktur,

kedudukan, dan tingkat dalam masyarakat. Kekerasan model ini terjadi dalam

kasus-kasus penggusuran, ketimpangan sosial ekonomi, persoalan korupsi, kolusi,

manipulasi, ketidakadilan dalam hukum, kemiskinan, dan rendahnya upah buruh

(Darmaningtyas dkk., 1996: 58). Struktur tidak memungkinkan mereka (pelaku yang

berkedudukan paling rendah) membangun kekuatan, mengorganisir dan mewujudkan

kekuasaannya berhadapan dengan “pihak yang kuat”. Galtung (via Windhu, 1992:

70) juga menyatakan bahwa kekerasan struktural ini juga mencuatkan “situasi-situasi

negatif” seperti ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian,

pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi

sumberdaya pun tidak merata. Pokok yang terakhir itulah yang paling penting, karena

kekuasaan untuk memutuskan dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Idealnya

bahwa setiap orang, khususnya dari massa bawah, mempunyai akses yang sama

untuk menentukan kehidupan bersama.

Kekerasan struktural timbul akibat pertumbuhan kapital yang tidak merata dan

berkembang tidak terbatas. Bentuk kekerasan struktural antara lain eksploitasi yang

harus dipahami dalam relasi pertukaran antara dua orang, kelompok atau dua negara.

Secara umum, eksploitasi terjadi bila totalitas keuntungan kegiatan dalam pertukaran

ekonomi berbagai kelompok berbeda sehingga beberapa kelompok memperoleh

keuntungan lebih banyak daripada yang lain. Bentuk lain kekerasan struktural adalah

rusaknya solidaritas, campurtangan kekuatan luar yang menghilangkan otonomi

(42)

mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Selain itu, beberapa bentuk lain

kekerasan struktural yang memiliki dimensi karakteristik psikologis antara lain

kebohongan, intimidasi, serta ancaman. Karakter kekerasan struktural dapat juga

berupa pendekatan negatif dan positif yang mengacu pada sistem orientasi imbalan.

Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah, tetapi

juga dengan memberi imbalan. Dalam sistem imbalan terdapat pengendalian, tidak

bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif. Pengendalian merupakan

pembatasan terhadap realisasi potensi-potensi yang dimiliki individu (Sihombing,

2005: 9).

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan struktural adalah

kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan

alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga negara

(Sihombing, 2005: 9).

1.7 Metode Penelitian

Dalam metode penelitian akan dikemukakan pendekatan, metode, teknik

pengumpulan data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

1.7.1 Pendekatan

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi

sastra. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah gambaran

(43)

dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan

seseoarang dengan orang lain atau masyarakat (Damono, 1978: 1). Pendekatan ini

mempertimbangkan aspek-aspek kenyataan sosial atau kemasyarakatan. Penelitian ini

menggunakan sosiologi sastra yang mengutamakan naskah sastra sebagai bahan

telaah. Naskah sastra terlebih dahulu dianalisis strukturnya, kemudian analisis

struktur tersebut dipakai untuk memahami gejala sosial yang ada dalam masyarakat.

1.7.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan

fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004: 53). Pendeskripsian

fakta-fakta di sini bertujuan untuk memaparkan gambaran atas suatu hal sampai sejelas

mungkin.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka.

Dalam teknik ini, peneliti akan menggunakan data yang terdapat dalam drama trilogi

Opera Kecoa; yang terdiri dari tiga bagian, yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian

pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian

ketiga); maupun sumber pustaka lain yang berupa buku-buku, karya tulis, atau

(44)

1.7.4 Sumber Data

Data adalah bahan penelitian. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian

dapat dijelaskan karena di dalam bahan terdapat objek penelitian yang dimaksud

(Sudaryanto, 1988: 9-10). Sumber data adalah tempat data diambil atau diperoleh

yang berupa karya sastra, buku-buku, karya tulis, serta data dari internet yang

berkaitan dengan objek penelitian. Karya sastra yang menjadi objek dalam penelitian

ini adalah naskah drama dengan identitas sebagai berikut.

Judul : Opera Kecoa (Drama Trilogi)

Pengarang : Norbertus Riantiarno

Tahun terbit : 2004

Penerbit : Mahatari

Tebal : xii + 446 halaman

Cetakan : Pertama

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Keempat bab tersebut adalah:

Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, serta sistematika penyajian.

Bab II berupa pembahasan struktur karya drama trilogi Opera Kecoa yang

(45)

Bab III berupa pembahasan analisis kekerasan struktural yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa

karya Riantiarno.

Bab IV berupa kesimpulan hasil analisis data dan saran, serta diakhiri dengan

(46)

BAB II

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS

RIANTIARNO

Dalam bab II penulis akan menganalisis beberapa unsur intrinsik drama trilogi

Opera Kecoa yang meliputi tokoh dan penokohan, serta latar. Analisis unsur intrinsik

akan dilakukan berdasarkan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi

bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi

bagian ketiga). Analisis unsur intrinsik yang berupa tokoh dan penokohan, serta latar

sebagai unsur pembangun karya diperlukan untuk mengetahui penggambaran suatu

kondisi sosial masyarakat tertentu dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan fungsinya,

dalam drama trilogi Opera Kecoa akan dianalisis unsur intrinsik berupa tokoh yang

meliputi tokoh protagonis dan antagonis; sedangkan analisis latar meliputi latar

tempat, waktu, dan sosial. Selanjutnya, akan diuraikan analisis unsur intrinsik dalam

drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.

2.1Tokoh dan Penokohan

Salah satu unsur penting dalam karya sastra adalah tokoh. Pembedaan tokoh

dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Protagonis merupakan tokoh yang pertama-tama

(47)

perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan

terlibat dalam kesukaran-kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Tokoh

antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi musuh yang

menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Penokohan adalah pelukisan

gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita

(Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya menyebutkan siapa nama tokoh,

tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak tokoh. Yang dimaksud dengan

watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan

tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Jadi, penokohan dapat membantu mengetahui

dengan jelas perilaku, sifat, dan ciri fisik para tokoh.

2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)

Tokoh protagonis dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) yang akan

dianalisis adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih; sedangkan tokoh

antagonis yaitu Kumis, Bleki, dan Camat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Julini,

Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih, Kumis, Bleki, dan Camat akan dibahas dalam

penokohan tiap tokoh.

2.1.1.1 Julini

Julini, seorang waria, merupakan salah satu penghuni kawasan kumuh yang

(48)

Julini mempunyai seorang kekasih, yaitu Roima. Saat menjadi penghuni kawasan

kumuh, Julini yang berprofesi sebagai PSK sudah tinggal dalam satu gubuk dengan

Roima dan hidup selayaknya suami-istri walaupun mereka sebenarnya sama-sama

lelaki.

(1) JULINI:

Ampun, Bang, ampun. Jangan jewer saya. Aduh, aduh....

ROIMA:

Nginap di mana semalem? Nginap di mana?

JUMINI:

Kejem betul? Masa sama pacar begitu?

ROIMA:

Tak usah ikut-ikut campur, ini urusan pribadi.

(hlm. 28)

(2) JULINI:

Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS dengan sertifikat.

JUMINI:

Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta?

JULINI:

Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi Te.

(hlm. 30)

(3) (SEMINGGU KEMUDIAN. ROIMA DAN JULINI DI DEPAN GUBUKNYA)

ROIMA:

Setelah kita tidak omong selama seminggu, sekarang saya mau tanya, apa sebetulnya mau kamu?

Begini salah begitu salah, apa kamu pikir enak tiggal satu atap sama patung bau?

(49)

Julini emang patung bau, kenapa situ mau. Dari dulu kan saya sudah bilang, berikan kepastian.

(hlm. 99)

Julini adalah seorang waria yang sering menggunakan istilah khas waria

dalam percakapannya dengan tokoh lain; misalnya istilah bencong ‘banci’, cewong

‘cewek’, wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’ seperti dalam kutipan (4) dan (5). Selain

itu, sebagai seorang waria Julini memiliki sifat genit dan suka merayu. Kebiasaan

Julini yang suka merayu lelaki lain seringkali membuat Roima menjadi cemburu

sebab Julini melakukannya langsung di depan Roima.

(4) ROIMA:

Sialan, cobeek ....

JULINI:

Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.

Oh, Tuhan ... kasihanilah Juli yang sebatang kerong ....

(hlm. 29)

(5) JULINI:

Jadi Abang mau pukul Julini?

ROIMA: Tidak di sini.

JULINI:

Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa saja. Bukankah kita belum suami-isteri. Kita tidak punya ikatan apa-apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong

lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.

(50)

JULINI: Capek dong.

TIBAL: Ya.

JULINI:

Butuh dukun urut dong.

TIBAL:

Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.

JULINI:

Saya pintar mengurut ....

ROIMA:

(MEMBEKAP MULUT JULINI) Brengsek, genit.

(hlm. 50-51)

Julini merupakan waria yang pasrah dan perasa. Julini pasrah kepada nasib,

pasrah terhadap keadaannya sebagai waria yang mendambakan cinta sejati dan sangat

mencintai Roima. Julini juga tidak ingin hanya menjadi waria yang berperan menjadi

pemuas kebutuhan seks lelaki, tapi dia juga sangat mengharapkan cintanya dibalas

oleh Roima. Julini seorang yang perasa karena merasa dirinya hanyalah seorang

waria yang kesepian tanpa mendapat perhatian Roima serta selalu merasa disakiti

hatinya oleh Roima.

(7) KASIJAH:

Selalu kemari, kalau sedang gawat sama Roima.

JULINI:

Lari ke mana lagi kalau bukan kemari? Aku sebatang kerong. Tak ada tempat mengadu. Aku bagai bunga kering dihembus angin dan selalu

jatuh ke comberan. Kapankah bisa memiliki laki-laki yang kucintai dan mencintai, bukan hanya melulu bernapsu karena layananku di atas

(51)

Hidupku ‘kan bukan hanya melulu persoalan kasur...

KASIJAH: Ranjang...

JULINI:

Ya, ranjang kan ada kasurnya. Biarpun kita masih belum mampu beli kasur, cuma tikar. Oh, tikar... Roima tidak pernah paham, feelingku

juga peka. Oh, cintaku selembut salju. Dia selalu menyakiti hatiku karena tahu tak mungkin aku lari dari genggamannya. Minggat ke mana juga, lambat atau cepat aku pasti mendarat tepat di pangkuannya

lagi. Nasib, ya nasib....

(hlm. 23)

Karena cintanya sangat dalam kepada Roima, Julini memiliki impian untuk

menikah dengan Roima walaupun Julini menyadari bahwa dirinya adalah seorang

waria dan pria tidak boleh menikah dengan sesama pria. Julini ingin membangun

rumahtangga dan hidup sebagai istri Roima yang sah secara hukum. Beberapa kali

Julini meminta kepastian Roima untuk menikahinya, tapi beberapa kali juga Roima

belum memberikan kepastian kepada Julini. Hingga pada akhirnya Roima

menyanggupi permintaan Julini.

(8) JULINI:

Ah, masa? Tapi Roima memang jantan kok, pria mandom. Ibarat petani, cangkulannya ahli dan jitu. Itu yang bikin Juli jatuh cinta setengah mati. Sayangnya dia tidak mau kawin syah sama Juli.

JUMINI:

Kawin syah bagaimana? Apa bisa? Boleh?

JULINI:

Kalau memang cinta, semuanya bisa ditembus.

(hlm. 34)

(9) JULINI:

(52)

apa-apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.

ROIMA: Jadi maunya apa?

JULINI:

Kawini Julini sekarang juga, Julini akan setia sepanjang masa. (hlm. 85)

(10) JULINI:

Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?

ROIMA: Siapa bilang?

JULINI: (TERKESIMA) Hah? Jadi sudi?

ROIMA: Tentu dong.

JULINI: Tidak malu?

ROIMA: Tidak dong.

JULINI: Beneran nih?

ROIMA: Sumpah.

JULINI: Kapan?

ROIMA: Terserah.

(53)

Abang, inilah kalimat paling romantis yang baru Julini dengar selama kita pacaran. Seakan-akan, suaranya datang dari surga. Abang

sungguh-sungguh, tidak mempermainkan saya?

ROIMA:

Aturlah persiapannya. Kita adakan pada hari yang baik.

JULINI:

(MELUAPKAN KEGEMBIRAANNYA)

Aduhai, Julini mau kawin. Julini mau kawin. Jumini, Turkana, Sawil, Bilun, Julini mau kawin. Julini ketiban bulan. Ibarat menang lotre, Julini cuma bisa bilang: horeee... Julini mau dikawinin sama Roima....

(hlm. 100-101)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan penokohan tokoh

Julini adalah Julini adalah seorang waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki

yaitu Roima (1); berprofesi sebagai PSK (2); tinggal dalam satu gubuk dengan Roima

(3); serta seringkali menggunakan istilah kaum waria dalam percakapannya dengan

tokoh lain (4), (5). Julini juga memiliki sikap genit dan suka merayu lelaki lain (6);

bersifat pasrah dan perasa (7). Selain itu, Julini juga mempunyai satu keinginan, yaitu

menikah dengan Roima (8), (9), (10).

2.1.1.2 Roima

Roima, seorang pengangguran, adalah pacar Julini yang tinggal segubuk

dengan Julini di kawasan kumuh. Roima merupakan lelaki yang pemarah; gegabah

dalam mengambil keputusan; sering berkata-kata kasar; bersikap kasar bukan hanya

kepada Julini, tapi juga kepada penghuni kawasan kumuh lainnya.

(11) ROIMA:

(54)

JULINI:

Ogah, kalau Abang kasar begitu.

ROIMA:

Pulang, Neng. Aku sudah mencarimu sedari tadi.

JULINI:

Asal Abang tidak pukul dia.

ROIMA:

Mengapa harus dipukul. Yang merayu kan kamu, bukan dia.

JULINI:

Jadi Abang mau pukul Julini?

(hlm. 84-85)

(12) JULINI:

Apa bicara Abang tentang perkawinan kita.

ROIMA:

Kita bicarakan di rumah, cobek. Kalau tidak mau, kuseret kamu biar jadi tontonan anak-anak kampung.

JULINI: Ogah, ogah, ogah.

ROIMA: Terpaksa.

(KEPADA TIBAL)

Dan kamu, bandot kecil, jangan coba-coba lagi mendekati Julini. Dia bukan jodohmu.

TIBAL: Jodohmu?

ROIMA:

Bukan urusanmu, brengsek. Apa mau adu tonjok?

JULINI:

Jangan, jangan. Juli ikut pulang kalau begitu.

(55)

(13) JUMINI:

Kejem betul? Masa sama pacar begitu?

ROIMA:

Tak usah ikut-ikut, ini urusan pribadi. Nginap di mana semalam? Jawab monyong, kampret, mak-di....

JULINI:

Aduh, duh duh duh, jangan marah dulu, Bang, jangan marah dulu, jangan gampar.

(hlm. 28)

Sebagai pacar Julini, Roima termasuk lelaki yang mudah cemburu. Roima

akan cepat tersinggung ketika Julini membicarakan lelaki lain atau jika Julini merayu

lelaki lain di depan Roima. Roima cemburu karena merasa dirinya selama ini ternyata

belum cukup memuaskan Julini.

(14) JULINI:

Mereka selalu bertengkar, seperti kita. Padahal Juli tahu, Turkana mencintai Jumini. Cinta setengah mati. Ibaratnya, disuruh terjun ke sumur juga mau. Kalau Abang seperti Turkana, alangkah bahagianya

Juli.

ROIMA:

Kurang puas sama aku?

JULINI:

O, puas, puas. Abang adalah segala-galanya buat Julini. Ibaratnya, Abang adalah Qais dan saya Laila.

(hlm. 50)

(15) JULINI:

Capek dong.

TIBAL: Iya.

JULINI:

(56)

TIBAL:

Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.

JULINI: Saya pintar ngurut....

ROIMA:

(MEMBEKAP MULUT JULINI) Brengsek, genit.

(hlm. 50-51)

Roima merupakan orang yang pasrah pada nasib seperti penghuni kawasan

kumuh lainnya. Ketika kawasan kumuh terancam digusur, Roima masih bingung

menentukan nasib sendiri dalam mencari tempat tinggal lain karena merasa tidak bisa

mengubah keadaan.

(16) JULINI:

Kalau tidak pergi lantas mau ke mana. Tapi meski Juli sama Roima pergi bareng, tujuannya berbeda-beda.

JUMINI:

Lho, Roima ke mana, Julini ke mana?

ROIMA:

Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah.

(hlm. 120)

Roima sebenarnya sangat mencintai Julini. Hal ini dibuktikan dengan

kesanggupan Roima dalam memenuhi permintaan Julini untuk menikah, walaupun

Roima tahu bahwa dia dan Julini sama-sama lelaki.

(17) JULINI:

Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?

ROIMA: Siapa bilang?

(57)

(TERKESIMA) Hah? Jadi, sudi?

ROIMA: Tentu dong.

(hlm. 100-101)

Dari analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Roima yaitu Roima

merupakan seorang pengangguran yang menjadi pacar Julini dan bersifat pemarah,

gegabah dalam mengambil keputusan, senang berkata-kata serta bersikap kasar (11),

(12), (13). Roima juga merupakan orang yang mudah cemburu karena Julini merayu

lelaki lain (14), (15). Selain itu, Roima mudah pasrah pada nasib (16) dan sangat

mencintai Julini sehingga bersedia menikahi Julini (17).

2.1.1.3 Tibal

Tibal, kakak kandung Tuminah, merupakan seorang lelaki yang berasal dari

udik (desa). Karena hanya mampu bertani, Tibal bercita-cita menjadi petani kota

dengan menggarap tanah kosong di pinggir sungai di Jakarta. Tibal merupakan lelaki

yang lugu, jujur, pasrah pada nasib, pekerja keras, dan mempunyai keinginan

sederhana untuk mengubah nasib dengan cara mengolah lahan. Agar bisa

memperoleh lahan untuk digarap, Tibal harus meminta izin kepada aparat pemda

setempat. Karena sifatnya yang masih lugu dan belum tahu banyak tentang cara hidup

di kota besar, Tibal terpaksa mengikuti semua kemauan Kumis yang saat itu menjabat

sebagai kepala keamanan daerah calon lahan Tibal.

(18) KUMIS:

Gambar

Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
Tabel 2: Rangkuman Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Informasi Monitoring Longsor Berbasis Web merupakan sistem informasi yang menyediakan informasi mengenai longsor yang dilengkapi dengan menampilkan

[r]

Dapat disimpulkan bahwa Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan

Penjelasantentang metode pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini merupakan penelitian pengembangan.Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui analisis dan perhitungan kerugian piutang jika perusahaan menggunakan metode saldo piutang dinaikan dan

Menurut Pranowo dkk (2007), jalan pendekat adalah struktur jalan yang menghubungkan antara suatu ruas jalan dengan struktur jembatan; bagian jalan pendekat ini dapat terbuat

Dinas/Unit Kerja dapat melaksanakan Program Kerjanya sesuai dengan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sserta memungkinkan pengendalian anggaran per program/kegiatan.

Pandangan Zamakhshary dalam surah al-Hujurat ayat 12 dapat diambil kesimpulan bahwa agar manusia menjauhi buruk sangka apapun yang dapat menjerumuskannya ke