• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi

3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih

Tarsih merupakan salah satu anggota kaum urban miskin yang mengalami kekerasan struktural. Selama hidupnya, Tarsih belum pernah mengalami perbaikan nasib, terutama perekonomian dan keberadaannya sebagai anggota kelas bawah dalam kehidupan bersama kelas atas. Tarsih mengalami kekerasan struktural dalam bentuk ketidakpedulian pihak pemerintah untuk mengusahakan perbaikan nasib perekonomian Tarsih dan kaumnya sehingga timbul ketimpangan sosial ekonomi dengan perbedaan kesejahteraan yang tajam antara kelas bawah dan kelas atas. Bahkan dalam hal ini Tarsih tidak dapat mengetahui secara langsung pihak yang terus-menerus membuatnya tetap berada dalam kemiskinan, tapi dampak dari kemiskinan ini benar-benar dapat dialami Tarsih. Dampak kemiskinan yang dirasakan Tarsih antara lain ketimpangan pendapatan, terbatasnya produktivitas, dan tidak memperoleh pendidikan yang seharusnya bisa dia dapatkan. Tarsih merasa bahwa kemiskinan akan menjadi nasibnya seumur hidup, tapi di sisi lain justru kemiskinan itu membuat Tarsih merasa harus mempertahankan kehormatannya sebagai manusia.

(172) TARSIH:

Julini benar, seumur hidup kita tak akan kebagian apa-apa lagi. Sudah nasib kita untuk selalu memberi, berapa lama bisa tahan? Kita bukan

laut yang tak bisa kering. KASIJAH:

Tapi apa bisa berbuat lain? TARSIH:

(MENGGELENG. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MATANYA BERCAHAYA)

Mengapa tidak bisa. Apa beda kita dengan mereka yang hanya bisa makan di atas sana. Yang tidak mau berbuat apa-apa padahal

sebetulnya mereka bisa. Apa beda kita dengan mereka, yang punya mata tapi tidak melihat. Yang punya mulut tapi tidak mau bicara. Yang punya otak tapi tak mau peduli. Yang punya kekuasaan untuk

mengubah keadaan tapi sontoloyo? KASIJAH:

Tarsih, Tarsih. Kau sehat? TARSIH:

Aku sehat. Sehat. Aku hanya ingin supaya kita berbuat sesuatu: mengubah keadaan masa depan kita sendiri.

KASIJAH:

Dengan cara apa, mengangkat senjata? Senjata yang kita punya cuma kehormatan diri sendiri.

TARSIH:

Kehormatan. Kalau seumur hidup cuma berkubang di comberan, mana bisa punya kehormatan. Makin lama kita hanya akan makin jadi sisa.

(hlm. 61-62) Dengan adanya kelas-kelas sosial yang masing-masing mempunyai kesejahteraan hidup berbeda jauh, Tarsih juga merasakan hilangnya kemampuan untuk menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini Tarsih dibatasi oleh kemiskinan untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sekarang dijalaninya, terutama dalam memperoleh pekerjaan yang lebih layak yang mampu meningkatkan perekonomiannya. Tarsih memiliki tekat untuk mengubah masa depannya menjadi lebih baik, tapi untuk mewujudkan hal tersebut Tarsih akan kesulitan sebab kedudukannya sebagai anggota masyarakat kelas bawah akan membuatnya tidak diberi kesempatan oleh kelas sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat.

Tarsih sebagai anggota urban miskin merasa tidak mempunyai masa depan, tidak mempunyai kesempatan untuk mengubah nasibnya menjadi orang dengan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Bahkan ketika sedang tanya jawab dengan Camat sewaktu Camat meninjau kawasan kumuh, Tarsih mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan dirinya mengalami kekerasan struktural. Hal ini dapat diketahui ketika Tarsih mengatakan bahwa dia dan kaumnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah. Pekerjaan layak yang mampu memperbaiki perekonomian seseorang seakan-akan hanya milik masyarakat kelas atas. Tarsih menganggap pekerjaannya selama ini tidak akan memberinya kesejahteraan di masa depan walaupun dia sudah bekerja keras. Pernyataan Tarsih tersebut menunjukkan adanya kekerasan struktural yang berbentuk pembatasan masyarakat dengan meniadakan partisipasi anggota urban miskin dalam mengambil keputusan tentang nasib diri sendiri dan adanya ketimpangan pendapatan sebab keuntungan hanya dapat dirasakan oleh pihak lain, bukan oleh Tarsih sendiri. Anggota kelas bawah terbatas oleh kemiskinan sehingga mereka seolah-olah tidak berhak mendapat pekerjaan yang layak untuk memperbaiki kehidupan. Namun, dalam kekerasan struktural yang dialaminya, Tarsih tidak dapat melacak pelaku yang membuatnya miskin terus-menerus. Kekerasan yang dialami Tarsih ini dianggap wajar oleh Tarsih karena Tarsih sebagai korban kekerasan tidak merasa bahwa hal yang dialaminya adalah suatu kekerasan.

(173) CAMAT:

TARSIH: (MULAI DENDAM)

Tarsih tidak punya masa depan. Semua orang tahu, kita yang ada di sini tidak punya masa depan. Hanya Bapak dan orang-orang semacam

Bapak saja yang punya masa depan. (BERPUISI)

Pelacur-pelacur kota Jakarta, bersatulah!

(PARA PELACUR BERTEPUK TANGAN. MERIAH) CAMAT:

Lho, kok gitu. TARSIH:

Memang begitu. Bapak masih punya harapan naik pangkat, kalau kerja bagus. Kita? Makin tua umur kita semakin berkurang langganan. Padahal kita terus dipajaki. Padahal kerja setengah mati. Goyang kanan, goyang kiri. Mana dikejar-kejar oleh orang-orang macam

Kumis yang sering minta imbalan aneh-aneh. Kalau kita berhenti, lantas mau kerja di mana?

(hlm. 77-78) Dari kutipan (173) Tarsih juga membandingkan nasib yang dialami antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Tarsih mengungkapkan bahwa kesempatan memperoleh kehidupan layak akan lebih mudah didapat oleh masyarakat kelas atas dibandingkan masyarakat kelas bawah. Tarsih sebagai anggota masyarakat kelas bawah merasa bahwa pihak pemerintah saja yang akan memperoleh kesempatan perbaikan hidup lewat pekerjaan, pendapatan, dan pangkat. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan kekerasan struktural yang berbentuk kerusakan solidaritas sebab ada perbedaan kesempatan hidup layak antarkelas sosial. Pemerintah sebagai pihak yang mempunyai struktur sosial lebih tinggi telah mengadakan pembatasan terhadap masyarakat berstruktur sosial lebih rendah. Dalam kekerasan struktural berupa

kerusakan solidaritas ini sekali lagi kaum urban miskin tidak bisa merasakannya secara langsung sebagai sebuah bentuk kekerasan karena kekerasan tersebut tidak dapat diamati secara jelas, tapi dampak dari kerusakan solidaritas dapat dirasakan oleh masyarakat kelas bawah.

Tarsih sebagai wakil para PSK menyatakan bahwa selama ini dia merasa tidak diberi keahlian apapun oleh pemerintah walaupun Camat sudah menyatakan nasib kaum urban miskin akan diperhatikan. Tidak adanya usaha dari pihak pemerintah untuk membantu kaum urban miskin dalam memperbaiki kehidupan menyebabkan nasib membawa Tarsih tetap menjadi PSK. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa kekerasan struktural terjadi terhadap Tarsih dalam bentuk pembatasan kemampuan individu. Seandainya Camat sebagai pihak pemerintah peduli dengan keadaan urban miskin, setidaknya Camat akan mengadakan pemberian keahlian lain kepada para PSK, yaitu keahlian sesuai dengan kemampuan individu agar dapat digunakan dalam pekerjaan yang lebih layak.

(174) CAMAT:

Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris? TARSIH:

Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang

tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah.... (SUITAN-SUITAN)

CAMAT:

Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang.... TARSIH:

(SUDAH MEMUNCAK)

Apa gunanya kalian datang. Meninjau? Untuk apa? Berikan kami kerja yang layak dan dengan sendirinya kami akan berhenti jadi cabo. Jangan cuma ngomong, meninjau, ngomong. Tidak habis-habis.

Diperhatiken, nasib kami diperhatiken, tai babi semuanya. (hlm. 78-79) Dalam kutipan (174) diketahui bahwa Tarsih merupakan anggota urban miskin yang tidak mempunyai keahlian apapun. Hal ini membuat Tarsih harus tetap berprofesi sebagai PSK. Tarsih juga merasakan kedatangan Camat dalam rangka meninjau kawasan kumuh tidak ada gunanya karena kunjungan tersebut tidak membawa perubahan apa-apa bagi kaum urban miskin, termasuk perubahan nasib anggota masyarakat kelas bawah penghuni kawasan kumuh. Dalam hal ini sebenarnya Camat sebagai pemerintah daerah telah melakukan kekerasan struktural, yaitu penipuan kepada urban miskin dengan cara mengatakan bahwa pemerintah memperhatikan nasib urban miskin. Namun, pernyataan Camat terbukti sebagai kebohongan karena selama kunjungan ke kawasan kumuh Camat datang hanya untuk menyaksikan keberadaan urban miskin serta menarik simpati rakyat; bukan memberikan tindak nyata untuk membantu memperbaiki kehidupan kaum urban miskin.

(175) TARSIH:

(MENYANYI) Mereka selalu datang Dan pura-pura peduli Sambil mengintip kesempatan

Mereka selalu datang Hanya bikin jurang pemisah Semakin bertambah renggang

Apa manfaatnya mereka datang?

(hlm. 79-80) Tarsih sempat merasakan jarak yang sangat lebar antara kaumnya dengan anggota masyarakat kelas atas. Dari nyanyian Tarsih di atas dapat diketahui bahwa pihak pemerintah; yaitu Camat, Kumis, dan Bleki; seringkali meninjau kawasan kumuh, tapi kedatangan mereka hanya sekadar formalitas agar pemerintah daerah tidak dikira telah mengabaikan masyarakat urban miskin. Sebenarnya Camat tidak peduli dengan keadaan kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Tarsih telah mengalami kekerasan struktural berupa kerusakan solidaritas antara pihak pemerintah dengan masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan renggangnya hubungan antarkelas sosial.