• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini”

Tokoh protagonis dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) yang akan dianalisis yaitu Roima, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis yaitu Pejabat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat akan dibahas dalam penokohan tiap tokoh.

2.1.3.1 Roima

Setelah kematian Kumis, Roima diangkat menjadi ketua kelompok bandit yang semula dipimpin oleh Kumis. Bersama dengan Tibal, Roima menjalankan rencana-rencana kelompok bandit. Roima merupakan pemimpin yang sangat

berhati-hati dalam merencanakan sesuatu dan berusaha menjaga kerahasiaan kelompok. Roima juga masih memiliki impian bahwa suatu saat dia dan kelompok bandit serta anggota kaum urban miskin lainnya punya kehidupan yang lebih baik dibanding dengan kehidupan mereka sekarang. Namun, sebenarnya di dalam memimpin kelompok bandit, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal yang juga pemimpin kelompok bandit karena keduanya sama-sama keras kepala.

(81) ROIMA:

Kami sedang merencanakan sesuatu yang besar. Kalau berhasil keuntungannya bakal berlipat. Kalian sebagai para kepala cabang harus simpan rahasia ini rapat-rapat. Bocor sedikit saja, kita semua

mampus.

(hlm. 312)

(82) ROIMA:

Aku belum selesai omong. Kita ini orang rendah, karena kita bandit-bandit kasar yang hanya mengandalkan tinju dan belati. Kehormatan?

Apa itu tidak penting untuk orang-orang macam kita yang selama ini ‘ngumpet di dalam comberan?

TIBAL: Sudah, sudah.

ROIMA:

Apa kamu tidak ingin suatu saat nanti, kita bisa bergaul dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan golf, lukisan dan turunnya

harga minyak di pasaran dunia? Aku ingin.

Aku ingin suatu saat nanti, kita satu meja makan dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan macam-macam soal, tanpa malu-malu. Kita sedang bergerak ke arah itu. Masa kita tidak mau belajar? Kita orang bodoh, tapi kita punya kesempatan untuk jadi pintar. Jangan sia-siakan. Kita punya uang sebagai modal. Kita tidak ingin terus-menerus

jadi kuda tunggangan. Kita harus jadi majikan.

(hlm. 336)

(83) ROIMA:

TIBAL:

Betul, kita memang tidak sepaham.

(PERGI DENGAN MARAH, DIIKUTI OLEH BAJENET DAN BLEKI)

(hlm. 396) Roima sebenarnya masih mencintai Julini. Setelah ditinggal mati oleh Julini, Roima masih selalu teringat kepadanya. Roima memang pernah dekat Tuminah, tapi hal itu tidak membuat Roima melupakan Julini. Sebenarnya yang dicintai oleh Roima bukan Tuminah, tapi Roima hanya mencintai Julini. Bahkan Roima seringkali merasa bersalah atas kematian Julini.

(84) ROIMA:

Aku masih tetap ingat kamu, aku tidak tahu kalau itu yang dinamakan cinta. Kamu tidak ada bandingannya. Biar kamu jelek seperti celepuk.

JULINI:

Aih, ini yang Julini suka. Abang selalu terus terang. Julini memang jelek, tapi servis, servis kan memuaskan?

ROIMA:

Jul, kamu mau memaafkan? Aku selalu merasa bersalah. JULINI:

Abang tak pernah salah. Tidak ada yang perlu Julini maafkan. Abang bersih di mata Julini.

ROIMA: (MENANGIS)

Peristiwa itu dulu. Aku penyebabnya. Kalau kamu tidak mati, kita pasti sudah bahagia. Kita cari duit supaya kamu bisa operasi ganti kelamin. Lalu kita pergi ke penghulu, menikah. Dua kali kita gagal

menikah. Sekarang kamu jangan pergi. Aku tidak mau gagal lagi. (hlm. 415-416) Kesimpulan penokohan tokoh Roima dari penjelasan di atas adalah Roima menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima selalu bertindak

hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan yang lebih baik (81), (82). Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal (83). Roima juga masih mencintai Julini walaupun Roima dekat dengan Tuminah (84).

2.1.3.2 Tibal

Tibal merupakan pemimpin kelompok bandit yang merasa sangat berkuasa atas para anak buah dan mengharuskan anak buahnya setia. Tibal termasuk orang yang tidak suka dengan pengkhianatan, tapi dia seringkali gegabah dalam merencanakan sesuatu, berpikir terlalu pendek, dan memanfaatkan para anak buahnya demi membalas dendam kepada banyak orang yang dianggap pernah merusak masa depannya.

(85) TIBAL:

Tidak bisa kuterima, tidak bisa. Masa ada mata-mata dalam kelompok kita? Ini akibat kamu terlalu lemah. Dunia kita dunia keras, dunia penuh darah, tidak bisa kita bersikap seperti pendeta. Bandit-bandit

harus dikendalikan dengan tangan besi. ROIMA:

Betul, tangan besi. Tapi jangan sewenang-wenang. TIBAL:

Mereka harus takut kepada kita. Dengan darah kita rebut kelompok ini, dengan darah pula kita harus pertahankan kelompok ini di bawah

perintah kita. Aku pikir, rencanamu terlalu bertele-tele. ROIMA:

Bagaimana? TIBAL:

Kita harus segera wujudkan rencana itu, lurus, tanpa belok-belok. Kekuatan adalah kekuasaan. Siapa kuat, dia kuasa. Tenaga para bandit

ROIMA:

Tibal, kamu terlalu dikuasai dendam masa lalu. Dulu, Kumis mengobrak-abrik masa depanmu. Kemudian kamu bunuh Kumis. Dan

sekarang, kamu punya rencana mengobrak-abrik masa depan banyak orang. Kamu selalu buru-buru, tidak mau pakai otak.

(hlm. 333-334) Dalam memimpin kelompok bandit, ternyata Tibal mengalami ketidakcocokan dengan Roima. Tibal merasa sudah tidak sepaham dan dendam kepada Roima sebab Roima tidak mau mengikuti keinginan Tibal serta menganggap Roima tidak menghormati Tibal sebagai pemimpin kelompok bandit. Dendam Tibal berlanjut menjadi rencana untuk membunuh Roima. Tibal menganggap dalam sebuah kelompok bandit tidak boleh ada dua pemimpin sehingga akhirnya Tibal memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Roima.

(86) TIBAL:

Siapa yang membunuh Kumis? Siapa yang seharusnya mewarisi komplotan yang dulu dipimpin Kumis? Siapa yang seharusnya jadi pemimpin besar? Tibal, Tibal, Tibal. Tapi apa kenyataannya? Roima

mengambil alih semuanya. Aku tidak boleh berbuat semaunya. BAJENET:

Kapal memang tidak boleh punya dua kapten. BLEKI:

Bunuh saja dia, Bos. BAJENET: Apa? Bunuh siapa?

BLEKI:

Eh, nggak. Kelepasan. Saya omong apa tadi?

TIBAL: Bleki, sini! (BLEKI KETAKUTAN)

Jangan takut. Kadang-kadang kamu punya pikiran cemerlang. Betul kata kamu Bajenet, kapal yang punya dua kapten selalu oleng. Apa

kamu berdua bisa dipercaya?

BAJENET:

Saya selalu setia sama Bos. BLEKI:

Saya juga. TIBAL:

Bagus. Kalau begitu, mari kita susun rencana untuk membunuh Roima.

(hlm. 400-401)

(87) TIBAL:

(MASUK BERGEGAS DENGAN PISAU BELATI DI TANGAN) Di sini aku pernah membunuh Kumis. Dan di sini juga aku membunuh

kamu, Roima. Mampus kamu, mampus. (MENUSUK ROIMA BERTUBI-TUBI)

Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa mencegah aku. Akulah pemimpin, akulah yang terbesar, kepala bandit yang berkuasa. (MENYINGKAP SELUBUNG KAIN YANG MENUTUP KEPALA

ROIMA)

Lihat mukaku baik-baik. Lihat. Inilah dunia kita, penuh kekerasan, pengkhianatan, penuh darah. Kamu tidak mungkin bisa mengubahnya.

Kita orang kasar, orang bodoh, orang kampung. Hidup kita ada di ujung belati. Dan siapa kuat, dia berkuasa.

ROIMA:

(TERENGAH-ENGAH)

Kamu salah Tibal, salah. Sebentar lagi kamu akan menyaksikan kelompok kita hancur berantakan. Kamu berangasan. Cuma dendam

yang ada di kepalamu. Kamu tidak pantas jadi pemimpin. Kamu serakah. Kamu akan terima akibatnya nanti.

(MENYANYI PERLAHAN)

Siapa bisa membendung kecoa-kecoa yang bersatu ...

Dia sudah sekarat, Bos. BLEKI:

Habisi, Bos.

(TIBAL MENUSUK LAGI) TIBAL:

Selamat jalan, Roima, mampus kamu. (ROIMA MATI)

(hlm. 417-418) Bersama Bleki dan Bajenet, akhirnya Tibal berhasil membunuh Roima. Dengan demikian Tibal sekarang menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit.

Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal merupakan pemimpin kelompok bandit dan termasuk orang yang gegabah dalam memutuskan sesuatu (85). Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan Roima dan akhirnya membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit (86), (87).

2.1.3.3 Tuminah

Setelah menjadi PSK profesional, Tuminah mulai mengalami banyak perubahan. Dia mulai gemar berdandan dan berfoya-foya. Tuminah juga dipercaya sebagai pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Cara hidup seperti ini membuat Tuminah cenderung tidak peduli pada situasi yang terjadi di sekitarnya.

(88) TUMINAH: Duing. DUING:

Ya, Zus Tuminah? TUMINAH:

Jangan lupa kopor alat-alat riasku.

(hlm. 319) (89) TUMINAH:

Memang aku ingin hidup senang, apa tidak boleh? Aku ingin menikmati apa saja yang kita miliki sekarang, apa tidak boleh? Sepuluh tahun jadi cabo, pengalaman jelek untukku. Apa sekarang setelah kaya, kita juga harus tetap sengsara? Lalu untuk apa ini semua,

ditabung? Siapa nanti yang akan menikmati? Aku makan rezeki yang ada di tangan, aku tidak mengharapkan yang masih di angan-angan.

Apa itu salah?

Masa bodoh, bagaimana cara kalian memperoleh kekayaan atau kekuasaan. Yang penting, aku tidak ganggu kalian. Aku makan bagianku sendiri. Lebih baik kamu ngomong blak-blakan daripada terus menyindir. Tanyakan pada dirimu sendiri, untuk apa kamu kerja

keras.

(hlm. 335) Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima. Tuminah menganggap bahwa yang dilakukannya selama ini sia-sia sebab ternyata Roima hanya mencintai Julini dan Tuminah tidak berhasil merebut hati Roima selama kedekatan mereka.

(90) TUMINAH:

(SADAR. MENANGIS LAGI)

Duing, Roima tidak benar-benar mencintaiku. Dia tetap masih ingat Julini. Sakit hatiku, Duing. Apa yang kulakukan ini sebetulnya hanya

untuk menarik perhatiannya. Tapi dia tidak menyadari.

(hlm. 339) Dari analisis di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tuminah adalah Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya sehingga cenderung tidak peduli pada keadaan di sekitarnya (88), (89). Tuminah juga merasa tidak lagi dicintai oleh Roima (90).

2.1.3.4 Pejabat

Pejabat sebagai tokoh masyarakat ternyata selama ini tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban miskin yang sebenarnya. Pejabat sempat terkejut ketika melewati daerah tempat tinggal kaum urban miskin. Ketika selesai melewati kawasan kumuh tersebut, mata Pejabat tiba-tiba buta. Kebutaan Pejabat yang sangat tiba-tiba tidak dapat diketahui penyebabnya. Pejabat yang mendadak sakit mata ternyata dulu juga pernah menjadi langganan Tuminah. Bahkan ketika mata Pejabat sedang sakit, peristiwa perselingkuhan Pejabat dengan Tuminah yang terjadi bertahun-tahun lalu tetap saja membuat istri Pejabat merasa cemburu hingga sekarang.

(91) PEJABAT:

Ya sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.

(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)

Apa yang ada di depan kita, Paijo? ASPRI:

Sampah yang menggunung, Pak. PEJABAT:

Di samping kiri kita? ASPRI: Jembatan roboh, Pak.

PEJABAT:

Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya? ASPRI:

Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP. PEJABAT:

Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju? Apa tidak kedinginan?

ASPRI:

Makan saja sulit, apalagi beli pakaian. PEJABAT:

Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran? ASPRI:

Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada

di dalam rumah mereka sendiri, Pak.

(hlm. 297-298) (92) PEJABAT:

Aduh, Paijo. Aduh, mataku tiba-tiba jadi gelap. Ada apa ini? Aduh, nyeri. Paijo, aku buta.

ASPRI:

Ah, Bapak main-main. Masa joging bisa bikin buta? PEJABAT:

Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aduh. Sakit. Paijo, mataku sakit. Gelap tiba-tiba. Paijo.

(hlm. 300) (93) PEJABAT:

Bu, aku sakit, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mataku sakit. Aku cuma minta tolong, kompres mataku, siapa tahu bisa lebih baik.

ISTRI:

Kompres sendiri. Atau minta tolong sana sama Tuminah. PEJABAT:

Aduh, nama itu lagi, nama itu lagi. Sudah sepuluh tahun yang lalu aku tobat, aku akui kesalahan itu, kekhilafan itu. Maklum namanya juga lelaki, sering jalannya melenceng. Tapi kan cuma sebentar, dan sudah

kuakui. Aduh, mataku, aduuh.

Pejabat ternyata merupakan tokoh yang kalah terhadap istri. Ketika sakit mata dia kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin masyarakat karena semua wewenang untuk memerintah bawahan dan memecat petugas diambil alih oleh istrinya. Selain itu, Pejabat juga terpaksa mengikuti semua keputusan yang diambil oleh istrinya, termasuk keputusan menyangkut penumpasan kelompok bandit yang seharusnya tidak terlalu menjadi urusan istri Pejabat.

(94) ISTRI:

Tumpas sampai habis komplotan itu. Kalian boleh pakai biaya tanpa batas. Ini perintah dari Bapak. Seret yang namanya Tuminah kemari, aku ingin tahu kayak apa muka badak betina yang tidak tahu malu itu.

Sekarang kalian pergi. Laksanakan perintah dengan baik! POLISI-1:

Perintah Bapak bagaimana? PEJABAT:

Lho, sudah dengar tadi kan? Ya seperti tadi, seperti yang sudah diucapkan Ibu.

(hlm. 372) (95) ISTRI:

Petugas macam apa kalian? Sudah jelas banci yang melarikan diriitu ada hubungannya dengan komplotan bandit. Kok dibiarkan lolos? Kelalaian ini harus kalian bayar mahal. Catat nomor stambuk mereka

dan urus pemecatan mereka nanti. ASPRI:

Sudah dicatat. ISTRI:

Coba, sekarang di mana lagi kamu bisa memperoleh informasi? Hah? Siapa bisa ditanya di mana markas para bandit itu? Hah? Di mana

Tuminah bersaudara itu ngumpet? Hah? Jawab! POLISI-2:

PEJABAT: (MARAH)

Tutup mulut kamu. Suara istriku sama seperti suaraku. Dia penyambung lidahku selama aku sakit. Patuhi dia.

(hlm. 402) Setelah sekian lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui kesalahan selama menjalankan tugas sebagai pemerintah. Pejabat menganggap bahwa selama dirinya menjalankan tugas sebagai pemerintah, dia tidak pernah peduli dengan keadaan masyarakat urban miskin sehingga matanya menjadi sakit. Pejabat menganggap sakit matanya ini karena selama ini dia tidak pernah mau melihat keadaan rakyat kecil.

(96) PEJABAT:

Lalu, apa yang selama ini sudah aku lakukan? Sibuk dengan berkas-berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa sekarang? Dan

pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku

buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada dalam gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa

itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-besarkan. Sekarang aku sudah melihatnya, dan langsung buta karena

sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus kumanfaatkan semata-mata demi keutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku

cuma wayang. Demikian yang terjadi, baru sekarang kusadari. Dan kamu, tidak mungkin sanggup mengobati aku. Sakitnya sudah parah,

aduuuuh....

(hlm. 331) Pada akhir cerita “Opera Julini” Pejabat memutuskan untuk mengundurkan dari jabatannya, tapi permintaan pengunduran diri tersebut ditolak oleh Menteri.

Pejabat justru diberi penghargaan dan kenaikan pangkat serta wewenang untuk mengurus ibukota.

(97) PEJABAT:

Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab

tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.

ISTRI:

Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau-balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung

jawab terhadap segala macam urusan suami saya. Sayalah tulang punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah dia....

MENTERI:

Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah

menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok

selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.

(hlm. 440) Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat merupakan tokoh masyarakat yang tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban miskin yang sebenarnya (91). Pejabat tiba-tiba mengalami sakit mata setelah melewati kawasan kumuh (92), (93). Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pimpinan masyarakat (94), (95). Sesudah beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui kesalahannya selama menjalankan tugas pemerintahan (96) dan mengundurkan diri dari jabatan, tapi justru pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri (97).