• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR

2.2 Latar

2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)

2.2.1.3 Latar Sosial

2.2.1.3 Latar Sosial

Latar sosial dalam “Bom Waktu” dapat diketahui melalui keadaan masyarakat. Keadaan masyarakat dalam “Bom Waktu” terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu pemerintah dan kaum urban miskin. Dalam hal ini pihak pemerintah diwakili oleh Kumis, Bleki, dan Camat. Pihak kaum urban miskin diwakili oleh Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.

Sebagai bagian dari pemerintah, Bleki dan Kumis dikenal sebagai aparat keamanan yang harus menjaga daerah kumuh tempat tinggal kaum urban miskin. Mereka berdua diberi wewenang untuk melakukan pengamanan kawasan kumuh dengan cara mereka sendiri. Karena merasa sebagai aparat keamanan yang harus menjaga ketertiban kawasan kumuh, mereka menggunakan senjata api secara sembarangan tanpa melihat situasi yang terjadi ketika melakukan tugas aparat keamanan, bahkan terkesan tidak memikirkan resiko jika senjata api tersebut melukai salah satu penghuni kawasan kumuh. Selain itu, Kumis dan Bleki merasa sebagai penguasa kawasan kumuh. Kumis dan Bleki sering tidak segan-segan menyebut diri mereka sebagai petugas dengan tujuan agar mereka dihormati penghuni kawasan kumuh. Mereka sering menggunakan kekuasaan untuk mencari keuntungan dari para

penghuni kawasan kumuh dan mengatasnamakan jabatan untuk melakukan kekerasan kepada anggota urban miskin.

(106) (PARA PENGEMIS MENJERIT BERBARENGAN LALU BUBAR. CALON PENYANYI BERHENTI MENYANYI, MENUTUP

JENDELA. ABUNG LEMAS)

(TEMBAKAN TERDENGAR BERTUBI-TUBI, MAKIN MENDEKAT)

(PARA PATUNG TETAP TENANG MELAHAP SANTAPAN, SEAKAN TAK TERJADI APA-APA. MUNCUL DUA HANSIP:

KUMIS DAN BLEKI) KUMIS: Bubar! Bubar! Bubar!

BLEKI: Sudah bubar. (MEMASANG PETASAN)

KUMIS:

Dari jauh aku kira ada banyak orang. Dilihat dari suaranya, mungkin lebih dari sepuluh ribu orang yang terkumpul. Kalau terjadi apa-apa, aku bisa dipersalahkan. Jadi kambing hitam. Kena marah, kena mutasi.

Keamanan daerah ini sepenuhnya ada di bawah tanggung jawabku, kan?

(hlm. 15) (107) BLEKI:

Hoii, stop dulu musiknya. Berhenti dulu ronggengannya. Hoii, gua tembak lu kalau kagak mau berhenti....

(hlm. 103) (108) BLEKI:

Eh, jangan bercanda sama petugas, ya? Jangan main-main, tidak serius. Kalian pikir kami ini apa, hah? Tempe? Ditanya serius malah muter-muter. Nanti kami angkut kalian semua ke markas, baru nyaho.

(hlm. 25)

(109) BLEKI:

Kalau komandan saya memerlukan malam ini, siapa itu kingkong yang berani menggaet Tarsih. Katakan sama Bleki cepat, siapa itu bangkong

yang berani membawa.... KUMIS:

(MENYERET KELUAR) BLEKI:

... Tarsih. Siapa yang begitu berani mati mau bersaing sama petugas yang berseragam. Ya, Komandan. Ya. Ampun, Komandan....

(hlm. 26-27)

(110) KUMIS:

Apa dehem-dehem. Aku komandan keamanan daerah sini, kalau aku sedang ada urusan sama perempuan ini, kamu boleh minggir. Atau

datang sesudah aku selesai urusan.

(hlm. 89)

(111) KUMIS:

[...]

Dan sogokan! Apa-apaan ini? Kamu kira saya aparat yang gampang disogok apa? Enak saja. Ini namanya sudah menuduh. Dan kamu yang

sudah kasih saya amplop begini, bisa saya bawa ke markas untuk diproses verbal. Tapi ini amplop, tetap akan saya bawa sebagai barang

bukti. Jangan main sogok sembarangan lagi, ya? Awas! .... (hlm. 105)

(112) TIBAL:

Terus terang saja, Om Hansip, bener kita tidak boleh lagi tinggal di sini, ya? Ya?

KUMIS:

Saya tidak bilang begitu. Saya hanya diperintahkan untuk melakukan pembongkaran.

TIBAL:

Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit? Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.

KUMIS:

(PURA-PURA TAK MENDENGAR) Ini setorannya?

TIBAL:

Ya, bagian Mas Kumis itu.

(hlm. 109)

(113) KUMIS:

Menyesal? Bagaimana? Tentara, polisi, hansip akan tetap ada. Kekuasaan puncak boleh pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tapi polisi, tentara, dan hansip tetap akan diperlukan. Tetap akan ada. Mungkin dengan sebutan yang berbeda, tapi inti tugasnya tetap sama:

menegakkan tramtibmas!

Kalau bukan aku yang jadi hansip, tentu orang lain. Dan demi ketertiban, hansip boleh bersikap keras.

(hlm. 136) Sama halnya dengan Camat yang juga merupakan bagian dari pemerintah. Camat merupakan orang yang menggunakan jabatannya untuk menarik simpatik rakyat dan mendapat keinginannya serta seringkali berpura-pura memperlihatkan rasa simpatiknya sebagai pemerintah yang ikut prihatin terhadap keadaan kaum urban miskin.

(114) CAMAT:

Luar biasa, pemandangan ini luar biasa. Kalau mereka yang di atas sana seakan menutup mata terhadap nasib kalian, maka aku, camat kalian, akan segera turun tangan. Akan kubongkar kawasan ini, akan

kubongkar semuanya! Handuk....

(hlm. 13)

(115) CAMAT:

Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris? TARSIH:

Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang

tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah.... (SUITAN-SUITAN)

Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang.... (hlm. 78-79) (116) (ORANG-2 YANG JUGA BERKERUDUNG MAJU MENDEKATI

KUMIS DAN MENGANGKAT SEDIKIT KERUDUNGNYA. KUMIS KAGET)

Ya, ampun. Siap, Pak. ORANG-2:

Besok kita ketemu di kantor. KUMIS:

Siap, Pak. ORANG-2:

Sekarang kamu pergi, jangan bikin kacau. KUMIS:

Ya, Pak. Siap, Pak. Ayo, Bleki kita ronda keliling. BLEKI:

Siapa orang itu, komandan. Apa perlu bogem mentah saya? KUMIS:

(MENYERET BLEKI)

Jangan membantah, tolol. Ayo, goblok.

(PERGI BERSAMA BLEKI, DIIRINGI SUITAN PARA PELACUR) ORANG-2:

(MENGGANDENG TARSIH MASUK GUBUK)

(hlm. 90) Keberadaan pemerintah dalam mengendalikan kawasan urban miskin dapat dikatakan terlalu berlebihan. Demi menegaskan kedudukannya, pihak pemerintah kadang tidak sungkan mengatasnamakan tanggung jawab agar tetap mendapat kepercayaan rakyat, bahkan aparat keamanan pun tidak segan lagi menggunakan ancaman untuk menunjukkan otoritas mereka.

Kaum urban miskin sendiri digambarkan sebagai kaum yang tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Beberapa dari mereka tidak memiliki pekerjaan seperti Roima dan Abung. Mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang jelas. Abung digambarkan sebagai urban yang berasal dari luar Jakarta, yaitu dari daerah di Pulau Jawa, kemungkinan sekitar Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari bahasa yang digunakan Abung, yaitu bahasa Jawa ngoko yang bercampur dengan bahasa Indonesia.

(117) ABUNG:

Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok nggak mau.

BLEKI:

Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan? KUMIS:

Nih, pestolnya. BLEKI: Aduh, tugas berat.

(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK, ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG

KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT) ABUNG:

Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia. Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.

(hlm. 138) Dalam kutipan di atas Abung menggunakan istilah bahasa Jawa ngoko, antara lain kowe ‘kamu’, wudel ‘pusar’ dan beberapa kata khas dalam bahasa Jawa yang

tidak mempunyai arti tapi sering diucapkan dalam kalimat; yaitu lha wong, mbok. Ada juga kata yang diucapkan dengan logat bahasa Jawa, yaitu njawab yang seharusnya dalam bahasa Indonesia diucapkan “menjawab”. Selain itu, Abung juga mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa; yaitu “Aku iki opo? Opo aku iki?” ‘Aku ini apa? Apa aku ini?’.

Tarsih dan Julini harus bekerja sebagai PSK, padahal mereka seharusnya bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak. Bahkan Tarsih yang sudah dijadikan istri muda oleh Camat dan tidak perlu bekerja lagi pada akhirnya tetap tidak memperoleh kehidupan yang lebih baik.

(118) TARSIH: Dia jatuh cinta.

(MELIHAT KUMIS DAN BLEKI DATANG)

Ah, mereka lagi. Meminta banyak tapi selalu ingin gratis. Jah, bilang aku sedang dibuking.

(hlm. 24)

(119) TARSIH:

Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang

semuanya bukan milikku lagi. KASIJAH:

Kenapa? TARSIH:

Waktu isteri tua Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu

aku diperlakukan seperti pengemis....

(hlm. 127) (120) JULINI:

Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS dengan sertifikat.

JUMINI:

Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta? JULINI:

Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi Te.

(hlm. 30) Julini digambarkan sebagai wakil dari kaum waria yang berprofesi sebagai PSK. Julini sering mengucapkan istilah yang sering digunakan dalam kelompok waria ketika melakukan percakapan dengan tokoh lain. Penggunaan istilah dari kelompok waria menunjukkan bahwa waria termasuk anggota urban miskin yang juga tinggal di kawasan kumuh dan berinteraksi dengan penghuni kawasan kumuh lainnya. Istilah tersebut antara lain wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’, bencong ‘banci’, cewong ‘cewek’.

(121) JULINI:

Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.

Oh, Tuhan... kasihanilah Juli yang sebatang kerong....

(hlm. 29)

(122) JULINI:

Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa saja. Bukankah kita belum suami-istri. Kita tidak punya ikatan apa-apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong

lain, Julini juga tidak akan ambil pusing. ROIMA:

Jadi maunya apa?

Tibal dan Tuminah pun digambarkan sebagai kaum urban miskin yang baru saja datang dari desa dan tidak punya keahlian apapun kecuali bertani. Mereka jauh-jauh datang ke kota cuma untuk menggarap lahan di pinggir sungai kota Jakarta dan belum mengenal keadaan Jakarta yang sebenarnya bagi pengadu nasib seperti mereka. Selain itu, mereka hanya bisa memiliki sumber penghasilan dari bertani. Bahkan dari hasil bertani itu pun Tibal bercita-cita bisa menabung untuk perkawinan Tuminah.

(123) KUMIS: Bagus. (KEPADA TIBAL)

Bagus, kamu datang seperti cahaya matahari pagi – penuh harapan. Jakarta, makin lama makin gersang. Sehari-hari yang kita lihat cuma

gubuk-gubuk, sampah, mobil dan motor dengan asap knalpotnya, gedung-gedung tinggi dan monumen. Sayur-mayur? Brrrr... kita cuma

bisa lihat di... pasar. Di tengah-tengah sliweran mobil-mobil metropolitan, kamu berniat jadi petani. Kenapa tidak ingin jadi kenek atau tukang parkir? Atau jaga malam? Duitnya lebih banyak, kerjanya

lumayan enak.... TIBAL:

Saya cuma bisa bertani.

(hlm. 45)

(124) KUMIS:

Juga mau jadi petaniwati? TUMINAH:

Saya ikut apa yang kakak saya kerjakan. KUMIS:

Tidak ingin jadi pelayan restoran, pramuniaga, pramuria? TUMINAH:

(MALU-MALU)

(hlm. 46)

(125) JULINI:

Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya? TIBAL:

Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan. TUMINAH:

(NONGOL DI PINTU GUBUK) Beli rok bagus untuk aku, Kang?

TIBAL:

Ya. Kalau cukup, kita nabung untuk hari kawinmu. TUMINAH:

Jangan, Kang, lebih baik uangnya belikan kalung atau giwang. Kalau kita kehabisan uang, bisa dijual lagi.

(hlm. 69) Perbedaan kelas sosial juga dibedakan secara tegas dalam “Bom Waktu” melalui keadaan tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat tinggal kelas menengah ke atas. Selain itu, dalam rencana pembangunan tempat tinggal kaum urban miskin akan dirombak menjadi tempat yang berkelas lebih tinggi atau menjadi tempat yang sangat sulit dijangkau oleh kaum urban miskin.

(126) (DI SUDUT BAWAH JEMBATAN NAMPAK TEMARAM. PARA GELANDANGAN TENGAH BERMIMPI TENTANG MASA

DEPAN DAN NASIB BAIK)

(JUMINI MENATAP BULAN. ABUNG TERMENUNG, MERENUNG. GUBUK-GUBUK MEREMANG DI LATAR

BELAKANG. DI BALIK JENDELA HOTEL MURAHAN, SEORANG CALON PENYANYI SEDANG BERLATIH. DI

RUANG MAKAN GOLONGAN KAYA, LIMA SOSOK MENYANTAP HIDANGAN TANPA BICARA. MEREKA BAGAI

PATUNG-PATUNG)

(127) CAMAT: (MENANGIS)

Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus. Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus

lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak Presiden.

(hlm. 12) Para PSK sebagai anggota kaum urban miskin biasa bersikap tidak sopan walaupun sedang berhadapan dengan Camat sebagai pemerintah daerah. Ketika Camat meninjau kawasan kumuh, para PSK malah seringkali bertingkah kurang sopan karena memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari orang-orang penghuni kawasan kumuh. Bukan hanya sikap yang kurang sopan, perkataan mereka pun seringkali melewati batas sopan.

(128) CAMAT:

Saudariku mengapa jadi seperti ini? KASIJAH:

Jadi seperti apa, Pak Camat? CAMAT:

Seperti ini, ya, seperti ini.... PELACUR-1: Jadi cabo gitu, susah amat.

KASIJAH: (HABIS SABAR)

Sialan, lu, cabo lu. Comberan, lu, loncer amat mulutnya. Gua cakar lu, biar muka belang-bonteng. Gua jambak rambut lu biar gundul kayak

Kojek.

(hlm. 75)

(129) KUMIS:

TARSIH: (MELENGGANG)

Mau buking nih? KUMIS:

Huss, sopan dong, sopan.... TARSIH:

Lepaskan tanganmu yang jorok, nanti kulaporkan baru nyaho. KUMIS:

Sialan, disopani malah.... CAMAT:

Tarsih, kok mau jadi wanita seperti ini. TARSIH:

Kok tahu nama saya.... CAMAT:

(MALU) Ya, ya.... KASIJAH: Baca di koran kali, Sih.

TARSIH:

Terkenal amat ya kita ini. PELACUR-1:

Hahahaha, Pak Camat kemaluan. TARSIH:

Huss, kemalu-maluan.

(hlm. 76-77) Para PSK mempunyai anggapan bahwa dengan belajar bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, bisa mengubah kelas sosial mereka yang semula hanya sebagai anggota masyarakat kelas bawah menjadi kelas sosial yang lebih tinggi atau menjadi bagian masyarakat kelas atas. Pada hari-hari tertentu para PSK belajar bahasa Inggris

di kawasan tempat tinggal mereka. Mereka berharap jika sudah menguasai bahasa Inggris, maka kehidupan mereka kelak akan menjadi lebih baik atau mendapat pekerjaan yang lebih terjamin.

(130) GURU:

(TERIAK)

Salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup adalah mempelajari bahasa dan kebudayaan asing. Jangan cuma puas jadi cabo. Mengapa tidak kita impikan sekali waktu nasib baik mampir,

dan kita jadi bini orang gedean... bini pejabat... MURID:

Bini ketujuh, Bu Guru? GURU:

(TERIAK)

Bini ketujuh juga tetap bini namanya. Kesejahteraan terjamin. Coba kita ulangi pelajaran kemarin....

(MENGEJA) Ini sa-pii. MURID: I-niii sa-piiiiiii.... GURU: This is cow. MURID: This is cooooowww.... (hlm. 18-19) (131) MURID:

Ndat aaarrr piiiig. GURU: This is kerbauu....

MURID: This is kerbauuuuu....

GURU:

Bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan, bahasa internasional. Kita, sebagai pekerja sosial, akan melayani semua bangsa tanpa pandang bulu. Bahasa Inggris penting untuk kita. Supaya kita jangan ditipu.

MURID: Ya, Bu Guruuuu....

(hlm. 56) Pada akhir “Bom Waktu” kaum urban miskin dianggap sebagai orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Tanah di kawasan kumuh yang mereka tempati selama ini dilegalkan sebagai milik negara dengan alasan di tempat tersebut akan dilakukan pembangunan dan mengubahnya menjadi kawasan yang elit dan hal ini sudah diprogramkan oleh pemerintah. Dalam peristiwa penggusuran kawasan kumuh, para urban miskin diharuskan pergi meninggalkan gubuk-gubuk mereka sebab mereka berada di posisi lemah, yaitu tidak mempunyai sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan sebagai bukti. Di samping itu, kaum urban miskin tidak diberi tempat tinggal yang baru oleh pemerintah. Mereka dibiarkan tersebar dan mencari tempat tinggal sendiri, serta beberapa di antara anggota kaum urban miskin ada yang terpaksa dibawa ke kantor polisi untuk diamankan karena dianggap telah membuat kekacauan.

(132) KUMIS:

[...]

Kalian datang dan tinggal di sini, kemudian mengaku ini semua punya kalian. Kami tidak boleh mengganggu gugat. Apa dasarnya kami tidak boleh mengusir kalian? Ini semua tanah milik negara tahu? Dari dulu

tanah ini bukan milik kalian. Minggat! Pergi, bawa dia pergi! Juga perempuan itu, serahkan saja kepada polisi.

Dari analisis di atas dapat disimpulkan latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) berdasarkan keadaan masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok yaitu pemerintah yang terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kaum urban miskin antara lain Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.

Kumis dan Bleki sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh, termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan (106), (107). Selain itu, Kumis dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni kawasan kumuh (108), (109), (110); memperoleh keuntungan untuk pribadi (111), (112); dan menjaga otoritas sebagai aparat keamanan (113). Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat sering menggunakan jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama kaum urban miskin (114), (115), (116).

Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota urban miskin yang tidak memiliki pekerjaan yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta, kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta (117) dan Roima. Tarsih berprofesi sebagai PSK (118) dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik sebagai istri muda Camat (119). Julini juga berprofesi menjadi PSK (120) dan sering menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria (121), (122). Tibal dan Tuminah berasal dari desa (123); mereka ingin menjadi petani kota (124); dan bercita-cita mempunyai masa depan yang lebih baik (125).

Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak kawasan kumuh yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas

(126), (127). Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda (128), (129). Para PSK juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih baik (130), (131). Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka tempati (132).

2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)