• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Tinjauan Pustaka

Seni Apriliya dalam http://www.isola-pos.upi.edu dengan tulisannya yang berjudul “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-angan” mengulas tentang garis besar cerita trilogi Opera Kecoa dan permasalahan sosial yang diangkat dalam drama tersebut. Apriliya secara tidak langsung menyatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Dalam hal ini Apriliya menunjukkan keadaan rakyat Indonesia pada pertengahan 1980. Kondisi pemerintah dan kaum urban miskin di Jakarta terlihat sangat kontras karena situasi sosial yang sangat timpang. Hal seperti ini juga terbaca dalam drama trilogi Opera Kecoa yang menceritakan penindasan pemerintah sebagai penguasa negara terhadap kaum urban miskin di Jakarta. Apriliya membandingkan sebuah situasi yang sama dalam dunia yang berbeda, yaitu dunia sastra dan dunia nyata, seperti dalam kutipan berikut.

“Drama sebagai sastra berakar dari kehidupan manusia, tragedi dan komedi yang dialaminya. Demikian halnya dengan Opera Kecoa; drama fenomenal dramawan Riantiarno. Berlatar kehidupan bangsa Indonesia pertengahan tahun 1980-an, di mana negeri ini giat mengatasnamakan pembangunan untuk setiap proyek yang didirikan. Di Jakarta yang metropolis, hidup tak selalu manis, terutama bagi kaum urban miskin yang memang tidak mempunyai keahlian sebagai sandaran untuk mencari penghidupan. Kemiskinan yang seperti diwariskan terus-menerus membuat mereka sulit untuk keluar dari kungkungan penderitaan. Hidup mereka seperti yang dilontarkan tokoh Julini, yaitu ‘hidup-hidupan’ (Riantiarno, 2004: 178).” (Apriliya, 2005).

Dalam tulisannya, Apriliya juga memaparkan beberapa bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin dalam trilogi Opera Kecoa, seperti terlihat dalam kutipan berikut.

“Drama ini bercerita sisi lain dari peradaban kota yang gemerlap. Tentang kecoa-kecoa di gorong-gorong yang gelap. Di pinggiran itu tersimpan banyak

derita dan kelaparan, mimpi-mimpi yang tak kunjung jadi kenyataan. Bermacam-macam tragedi, berbagai keputusasaan. Mengingatkan kita dari lupa, tentang nasib sebagian dari manusia seperti Julini dan Roima tengah bergulat dan memperjuangkan kehidupan mereka. Hidup di ujung razia para petugas negara. Dikejar-kejar, diabaikan haknya, dicaci dan dihina perilakunya, menjadi tontonan tanpa memperoleh tuntunan nyata dan solusi nyata dari kegetiran dan nasib buruk mereka.” (Apriliya, 2005).

Ketimpangan hubungan sosial antara pemerintah dan rakyat kecil pun disorot Riantiarno seperti yang ditulis Soni Farid Maulana dengan judul “Kita dan Teater Koma” dalam http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui artikel ini juga ditegaskan bahwa Riantiarno merupakan penulis lakon teater yang memiliki perhatian mendalam terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah yang tidak pernah mempunyai kesempatan melakukan apapun selama masa pembangunan.

“Setidaknya dengan menulis lakon teater trilogi Opera Kecoa perhatian Riantiarno terhadap kehidupan orang-orang kecil yang selalu jadi korban pembangunan, tak putus-putusnya diutarakan dari berbagai sisi. Apa yang disajikan Nano juga mempunyai perhatian demikian besar terhadap masalah tersebut, tidak bisa dianggap angin lalu. Mengapa? Karena di dalam naskah yang sering membuat kuping pemerintah jadi merah itu ada suara kebenaran yang mengharap pihak-pihak terkait siapa pun ia, untuk senantiasa bersikap adil terhadap nasib orang-orang kecil atau rakyat pada umumnya yang posisinya semata-mata diletakkan sebagai korban dalam gerak pembangunan dewasa ini.” (Maulana, 2005).

Riantiarno dalam pengantar Cermin Merah yang berjudul “eM dan iM” menceritakan tentang kehidupan salah satu anggota kaum urban miskin di Jakarta, yaitu kehidupan para waria. Menurut pengamatan Riantiarno, waria di Jakarta merupakan kaum yang sering dianggap sebagai pengganggu ketertiban kota, sehingga tidak jarang mereka menjadi sasaran razia petugas keamanan pemda. Melalui

pengamatan ini, Riantiarno memperoleh motivasi untuk melahirkan karya trilogi Opera Kecoa.

“Pada 1968 hingga 1973, saya sering nongkrong di sepanjang rel kereta api Jalan Krakatau, sekarang Jalan Latuharhary Jakarta. Pekerjaan saya hanya mengamati. Saya menyerap impian mereka, kaum yang tersisih dari pergaulan sopan kota besar Jakarta. Kadang saya ikut lari lintang pukang jika ada razia dari polisi pemda. Dalam sebuah razia, seorang waria nekat terjun ke Kali Malang (yang mengalir di sepinggir rel kereta api), demi menghindari kejaran para petugas. Celakanya, si waria tidak bisa berenang. Mayatnya yang biru dan kaku ditemukan keesokan harinya. Peristiwa itu sering disebut sebagai ‘Tragedi Kali Malang’. Yang menjadi korban selalu orang kecil. Dari pengamatan itu, kemudian lahir pula tiga karya drama panggung, trilogi Opera Kecoa. Ketiganya sudah dipentaskan.” (Riantiarno, 2004: x-xi).

Naskah Riantiarno seringkali menampilkan orang-orang kelas menengah ke bawah di Indonesia yang mempunyai kehidupan tergolong miskin. Riantiarno sebagai salah satu penulis drama yang hidup pada masa Orde Baru tidak jarang mengambil kehidupan orang-orang miskin dan keadaan pemerintahan di Indonesia sebagai latar dalam naskah dramanya. Oleh karena itu, tidak jarang pula Riantiarno dianggap sebagai penyusup dalam dunia politik di Indonesia. Indra Tranggono melalui tulisannya yang berjudul “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah” dalam Fresh Magazine menyatakan bahwa Riantiarno seringkali dianggap sebagai musuh pemerintah karena naskah-naskah dramanya sarat dengan kritik sosial, termasuk dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua).

“Perjalanan Koma tidak mudah, ternyata. Di era Orde Baru, Koma menjadi salah satu grup yang “dibidik” penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam. Dikelilingi intel dan diinterogasi polisi atau tentara sudah menjadi hal biasa bagi Nano. Pelarangan pentas juga menjadi sangat akrab. “Penguasa Orba selalu bertanya, apa motif pertunjukan Koma? Siapa yang berada di belakang saya? Partai apa yang menjadi afiliasi saya? Saya cuma tertawa, wong saya ini cuma seniman yang mencoba jujur merefleksikan realitas,”

cerita Nano. Beberapa pementasan Koma pun akhirnya dicekal. Misalnya Opera Kecoa dan Suksesi.” (Tranggono, 2007: 87).

Sebuah artikel yang dimuat dalam http://www.kompas.co.id (2003) dengan judul “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu” mengungkapkan bahwa “Opera Kecoa”, trilogi bagian kedua, merupakan bukti bahwa pemerintah tetap memperlakukan rakyat kecil dengan tidak adil. Riantiarno menyatakan hal ini terlihat dari pelarangan pementasan “Opera Kecoa” yang dianggap pemerintah sebagai gangguan karena menceritakan masalah penggusuran yang pada kenyataannya telah marak terjadi di Jakarta pada masa pembangunan, seperti kutipan berikut.

“Kisah Opera Kecoa sendiri sebetulnya bercerita seputar masalah penggusuran. Apabila Opera Kecoa lolos sensor ketika pertama kali dipentaskan di tahun 1985, barangkali penggusuran masih belum terlalu populer. Tapi seperti kita ketahui bersama, setelah itu penggusuran kawasan miskin untuk hotel dan lapangan golf merebak sedemikian rupa. Ketika tahun 1990 dipentaskan, Opera Kecoa menjadi semacam tamparan bagi penguasa karena penggusuran telah menjadi hiasan warga ibukota.” (www.kompas.co.id, 2003).

Penggusuran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat kecil karena setelah penggusuran terjadi, rakyat kecil tidak pernah mendapat jaminan perbaikan hidup dari pemerintah. Bahkan tidak jarang nasib rakyat kecil menjadi bertambah buruk setelah mengalami penggusuran.

Achmad Syaiful Anwar dalam tesisnya yang berjudul “N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)” mengatakan, “Penulisan jenis trilogi berlanjut, yaitu Bom Waktu (trilogi 1), ditulis tahun 1982. Periode ini diakui oleh Nano adalah periode mengekspresikan ‘penderitaan’ menjadi daya kreatif di bidang penulisan naskah drama. Kemudian Opera Kecoa (trilogi 2) ditulis tahun

1985, dan Opera Julini (trilogi 3) ditulis tahun 1986. Naskah Opera Kecoa dianggap sebagai naskah yang kuat menampilkan gaya penulisan Nano secara khusus. Keberpihakannya terhadap masalah ‘wong cilik’ dan mengangkat tema sosial yang sarat kritik terhadap penguasa menjadi model penulisan Nano yang khusus tersebut. Lakon Opera Kecoa bercerita tentang gelandangan, pelacur, dan masyarakat yang biasa disebut ‘sampah’” (Anwar, 2004: 180-181). Pernyataan Anwar tersebut menggambarkan latar belakang penulisan trilogi Opera Kecoa beserta nasib para tokoh sebagai rakyat kecil sebagai cermin masyarakat pada masa pembangunan di Jakarta. Anwar juga berpendapat bahwa Nano merupakan penulis naskah drama yang peka terhadap keberadaan kaum urban miskin dan penguasa yang mengatur semuanya tanpa memikirkan nasib urban miskin.

Menurut Anwar, ketimpangan sosial antara kaum urban miskin dengan penguasa yang disebabkan tindak sewenang-wenang penguasa dalam mengatur keuangan negara juga digambarkan dengan jelas oleh Riantiarno dalam trilogi Opera Kecoa. Hal ini terlihat dalam pernyataan berikut.

“Perubahan nasib seolah sesuatu hal yang mustahil buat mereka (kaum urban miskin), sebab posisi mereka tetap di bawah selamanya. Demikian pula dengan para pejabat penguasa, posisi mereka selalu berada di atas. Menentukan dan mengatur segalanya secara absolut. Hal ini diungkap Nano melalui dialog antara tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam kutipan berikut.

PEJABAT:

Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan? Kami sangat membutuhkan, lho.

TAMU:

Pasti. Pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen. Bagaimana?

PEJABAT:

Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak penting. Tapi, kalau bisa,

yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....

(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA) TAMU:

Baik, baik.

(PARA HADIRIN BERTEPUKTANGAN)

Untuk sekadar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-daerah yang Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan.

PEJABAT: Oo, bisa, bisa.

(MEMANGGIL PETUGAS, BISIK-BISIK. PETUGAS KE WARTAWAN-WARTAWAN)

PETUGAS:

Saudara-saudara, acara resmi telah selesai. Bapak dan Yang Mulia tamunya hendak menikmati acara yang sifatnya lebih pribadi. Mohon maaf.

Press-release akan dibagikan secara tertulis. Juga amplopnya sekalian. (WARTAWAN-WARTAWAN BUBAR TANPA PROTES)

(Riantiarno, 2004: 186-187) Adegan pada bagian ini jelas menunjukkan kejelian Nano memotret kondisi realitas penguasa kita yang korup tanpa malu-malu lagi. Mengatasnamakan kepentingan kesejahteraan rakyat demi kepentingan dan kekayaan sendiri” (Anwar, 2004: 183-185).

Kutipan dialog tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam pernyataan Anwar di atas memperlihatkan bahwa para penguasa telah mengalami kelemahan mental sebagai aparat negara sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menggunakan hak rakyat sebagai penunjang kesejahteraan pribadi. Mental penguasa telah menjadi mental orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama. Pemenuhan kepentingan pribadi oleh

penguasa menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa.

Selain pemenuhan kepentingan pribadi oleh penguasa, hal lain yang dapat dilihat dari drama trilogi Opera Kecoa adalah sikap penguasa dalam menghadapi kaum urban miskin sebagai anggota masyarakat. Drama Riantiarno ini pada hakikatnya hendak menggambarkan tiga kelompok masyarakat (orang kaya, penguasa, pelaksana) dalam menyikapi para gelandangan dan kehidupan para gelandangan itu sendiri. Dalam drama Bom Waktu (trilogi bagian pertama) tokoh-tokoh yang berinteraksi ialah “gepeng”, kaum gelandangan dan pengemis, dengan para aparat pemerintah daerah (pemda) (Sitanggang dkk., 1995: 64, 69). Drama ini menggambarkan penguasa yang tidak mempedulikan keberadaan kaum urban miskin dalam masyarakat perkotaan sebagai warga yang juga memiliki kepentingan untuk hidup di kota. Di tengah kesulitan mencari penghidupan di kota, ternyata kaum urban miskin justru mendapat tekanan dari pemerintah. Tekanan dari pemerintah dapat berupa paksaan untuk meninggalkan “rumah” mereka, pembatasan tempat kerja utuk mencari nafkah bagi para gelandangan, pemanfaatan tenaga manusia untuk memenuhi kebutuhan pribadi, dan adanya anggapan bahwa kaum urban miskin merupakan pengacau yang harus segera disingkirkan dari kota. Pemerintah tidak berusaha menciptakan lapangan kerja maupun tempat tinggal yang layak bagi kaum urban miskin. Mereka (kaum urban miskin) harus tergusur oleh rencana pembangunan kota yang sebenarnya hanya sampai pada pembangunan fisik dan

masalah spiritual seperti bagaimana mengangkat si lemah pada taraf kehidupan yang lebih baik belum mendapat perhatian (Sitanggang dkk., 1995: 73).

Dari keseluruhan sumber tinjauan pustaka di atas, penulis memperoleh gambaran berbagai pandangan mengenai drama trilogi Opera Kecoa, terutama tema besar drama trilogi ini, yaitu tentang kehidupan kaum urban miskin. Selain itu, penulis juga lebih dapat memahami latar belakang kemunculan drama trilogi ini serta relasi kelas-kelas sosial yang menjadi penyebab konflik dalam drama trilogi Opera Kecoa.