• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Jenis Bacaan 161

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

5.5.   Kemampuan Membaca Pemahaman

5.5.1.   Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Hasil Tes Lokal

5.5.1.1.   Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Jenis Bacaan 161

Hasil tes membaca pemahaman terhadap siswa kelas IV SD berdasarkan tes lokal secara singkat dapat dipaparkan sebagai berikut. Kondisi pemahaman siswa terhadap teks bacaan informasi dan sastra secara keseluruhan relatif rendah. Dari 12 sekolah yang diteliti, hanya ada 1 sekolah yang persentase rata-rata kemampuan siswanya dalam pemahaman membaca mencapai 50%, selebihnya kurang dari 50%. Persentase kemampuan siswa dalam memahami bacaan (informasi dan sastra) per sekolah merentang mulai 21,30% sampai dengan 50,23%, dengan rata-rata pemahaman 35,64%. Kemampuan siswa terendah 7% memahami bacaan, sedangkan kemampuan tertinggi adalah 68%.

Kondisi pemahaman siswa terhadap teks bacaan informasi juga relatif rendah. Dari 12 sekolah yang diteliti, hanya ada 1 sekolah yang persentase rata-rata kemampuan siswanya dalam pemahaman membaca informasi mencapai 50%, selebihnya kurang dari 50%. Persentase kemampuan maksimal hanya 50,43%. Persentase rata-rata kemampuan siswa dalam memahami bacaan merentang mulai 23,81% sampai dengan 50,43%, dengan rata-rata pemahaman 37,52%. Hal ini berarti kemampuan siswa secara rata-rata dalam

memahami bacaan sangat rendah. Siswa hanya dapat memahami 37,52% isi bacaan. Secara individual, kemampuan membaca pemahaman siswa terendah adalah 5%, sedangkan kemampuan tertinggi adalah 76%.

Dilihat dari segi pemahaman terhadap teks bacaan sastra, kondisi pemahaman siswa terhadap teks bacaan sastra relatif rendah. Dari 12 sekolah yang diteliti, hanya ada 1 sekolah yang persentase rata-rata kemampuan siswanya dalam pemahaman membaca sastra mencapai 50%, selebihnya kurang dari 50%. Persentase kemampuan siswa dalam memahami bacaan sastra merentang mulai 19,00% sampai dengan 50,04%, dengan rata-rata pemahaman 33,70%. Hal itu berarti, persentase kemampuan siswa secara rata-rata dalam memahami isi bacaan hanya 1/3 isi bacaan. Secara individual, kemampuan siswa terendah dalam membaca sastra adalah 0%, sedangkan kemampuan tertinggi adalah 74% memahami bacaan. Secara garis besar, gambaran kemampuan membaca siswa kelas IV SD dapat dipaparkan pada tabel berikut.

Tabel 5. 1 Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Tes Lokal Jenis Bacaan rerata minimal maksimal % pemahaman

Informasi 7,88 1 16 37,52

Sastra 7,75 0 17 33,70

Total 15,68 3 30 35,64

Kondisi kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV SD sebagaimana dipaparkan di atas tergolong sangat lemah. Kondisi tersebut boleh dikatakan sangat memprihatinkan. Lemahnya kemampuan membaca itu dapat dilihat dari berbagai sudut. Dari sudut kemampuan rata-rata sekolah, hanya ada satu sekolah yang memiliki persentase rata-rata kemampuan membaca pemahaman lebih dari 50% dan itu pun hanya 50,23%, selebihnya kurang dari 50%. Rata-rata kemampuan siswa dalam membaca per sekolah hanya merentang dari 21,30% sampai dengan 50,23%.

Lemahnya kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV juga tampak dari persentase pemahaman setiap individu siswa. Pada tes sastra ada

siswa yang memiliki persentase pemahaman 0%, yang berarti sama sekali tidak dapat menjawab pertanyaan dengan benar; sedangkan pada tes bacaan informasi siswa terendah memiliki persentase pemahaman 5%, yang berarti hanya dapat menjawab dengan benar 1 pertanyaan. Rata-rata pemahaman siswa dalam membaca hanya 35,64%. Jumlah siswa terbesar (mode) memiliki persentase pemahaman 38,64%.

Pemberlakuan KTSP mengindikasikan perlu adanya ketuntasan dalam belajar. Seorang siswa dikatakan berhasil kalau siswa tersebut tuntas dalam belajar. Jika standar ketuntasan minimal (SKM) ditentukan 70, maka tidak ada

satu siswa pun yang masuk kategori tuntas, di antara 341 siswa. Siswa

tertinggi (hanya 2 siswa) hanya mencapai ketuntasan 68%, di bawahnya (hanya 3 siswa) mencapai ketuntasan 66%.

Kondisi lemahnya kemampuan membaca siswa kelas IV ini memperkuat temuan PIRLS 2006 (IEA, 2007) dan penelitian International

Association for the Evaluation of Education Assessment (Depdikbud, 1997

yang memasukkan Indonesia pada peringkat bawah dalam membaca pemahaman. Penelitian ini juga sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu, misalnya World Vision (2006).

Kondisi tersebut perlu segera dicari penyelesaiannya agar tidak berlarut-larut. Hal yang perlu segera dicari adalah faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab rendahnya kemampuan membaca pemahaman. Hasil penelitian ini juga menunjukkan rendahnya kemampuan guru dalam membelajarkan membaca pemahaman.

5.5.1.2. Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Kebiasaan Berbahasa

Berdasarkan paparan 4.5.1.4 dapat diketahui bahwa persentase kemampuan memahami bacaan siswa kelas IV yang memiliki kebiasaan berbahasa Indonesia adalah 32,11% dengan skor minimal 3 dan skor maksimal 30. Siswa yang memiliki kebiasaan berbahasa lain (selain bahasa Indonesia) memiliki tingkat pemahaman 38,23% dengan skor minimal 4 dan skor maksimal 29.

Dari data tersebut tampak bahwa rentangan skor siswa yang memiliki kebiasaan berbahasa Indonesia berbeda dengan rentangan skor siswa yang memiliki kebiasaan berbahasa selain bahasa Indonesia. Siswa yang memiliki kebiasaan berbahasa Indonesia memiliki rentangan skor yang lebih panjang dibandingkan dengan rentangan skor siswa yang tidak terbiasa berbahasa Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kebiasaan berbahasa Indonesia lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang tidak terbiasa berbahasa Indonesia.

Persentase kemampuan membaca siswa yang terbiasa berbahasa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan membaca siswa yang terbiasa berbahasa selain bahasa Indonesia. Kalau dilihat dari segi skor membaca, perbedaan keduanya adalah 2,69. Kalau setiap soal rata-rata memiliki skor 1, berarti perbedaan keduanya hampir sama dengan perbedaan menjawab dua soal tes.

Secara normal, kondisi tersebut tergolong aneh. Siswa yang terbiasa berbahasa Indonesia memiliki skor lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang tidak terbiasa berbahasa Indonesia. Seharusnya siswa yang terbiasa berbahasa Indonesia akan lebih terbantu saat membaca teks bacaan soal yang juga berbahasa Indonesia. Siswa yang tidak terbiasa berbahasa Indonesia secara normal akan terkendala dengan teks bacaan yang berbahasa Indonesia.

Argumen yang mungkin dapat dikemukakan untuk menjelaskan temuan penelitian ini (lebih rendahnya skor kemampuan membaca pemahaman siswa yang terbiasa berbahasa Indonesia) adalah sebagai berikut. Kebiasaan berbahasa Indonesia siswa kelas IV di luar kelas menggunakan ragam bahasa Indonesia yang tidak resmi. Bahkan, bisa jadi bahasa Indonesia yang digunakan siswa adalah bahasa Indonesia kedaerahan (register tertentu) yang struktur dan kosa katanya menjadi tidak jelas karena bercampur. Struktur bahasa Indonesia yang digunakan siswa adalah struktur yang tidak baku. Kosakata yang digunakan juga bukan kosakata baku. Dengan kondisi yang demikian itu, akan akan kebingungan (ada permasalahan) pada saat berbahasa Indonesia secara benar.

Siswa yang terbiasa berbahasa selain bahasa Indonesia hanya ber-bahasa Indonesia pada saat situasi formal di sekolah. Pada saat seperti itu (di sekolah dalam situasi formal) anak akan terbiasa berbahasa Indonesia secara formal. Kondisi ini menyebabkan siswa bisa memisahkan antara berbahasa Indonesia secara formal dan berbahasa selain Indonesia. Hal itu menjadikan siswa yang tidak terbiasa berbahasa Indonesia memiliki skor lebih tinggi daripada siswa yang terbiasa berbahasa Indonesia.

Di sisi lain, penelitian ini sebatas menelaah 12 sekolah. Kondisi 12 sekolah tersebut bisa jadi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Oleh sebab itu, simpulan ini sifatnya sangat kasar dan sangat memungkinkan hanya berlaku pada 12 sekolah tersebut. Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kebenaran simpulan tersebut. Penelitian lanjutan hendaknya diarahkan pada sekolah yang beragam dan jangkauan yang lebih luas lagi.

Berdasarkan paparan 4.5.1.6 di atas dapat dinyatakan bahwa secara umum skor kemampuan membaca informasi berkorelasi secara signifikan dengan skor kemampuan membaca sastra dan skor kemampuan membaca secara keseluruhan. Korelasi skor kemampuan membaca informasi dengan skor kemampuan membaca sastra sebesar 0,602, sedangkan korelasi kemampuan membaca informasi dengan skor kemampuan membaca secara keseluruhan sebesar 0,873. Korelasi skor kemampuan membaca sastra dengan skor kemampuan membaca secara keseluruhan sebesar 0,915.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman bersifat umum. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam membaca pemahaman dengan bacaan informasi banyak kemungkinan juga memiliki kemampuan tinggi dalam membaca sastra. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam membaca sastra juga memiliki kecenderungan berkemampuan tinggi dalam membaca secara keseluruhan. Demikian juga sebaliknya.

Hasil tersebut memperkuat teori membaca yang menyatakan bahwa kemampuan membaca pada hakikatnya merupakan kemampuan yang bersifat holistik. Kemampuan membaca tidak hanya terkait dengan kemampuan mengenali lambang-lambang/unsur-unsur linguistik, tetapi juga terkait

dengan pemahaman terhadap konteks. Apapun jenis bacaan yang digunakan sebagai alat untuk mengukur kemampuan membaca, hasilnya relatif sama.

Di sisi lain, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pembinaan kemahiran membaca tidak harus terpaku pada jenis bacaan tertentu. Guru dapat memilih bacaan secara bervariasi untuk menghindari kejenuhan siswa. Di samping itu, variasi jenis bacaan akan meningkatkan pengetahuan siswa secara makro.

5.5.1.3. Kemampuan Membaca Pemahaman Berdasarkan Kebiasaan