• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejalan dengan uraian sebelumnya dapat direkomendasikan hal-hal

berikut.

1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan guru membelajarkan membaca pemahaman relatif rendah. Rendahnya kemampuan guru tersebut ditunjukkan oleh pemakaian strategi pembelajaran yang tidak memungkinkan siswa meningkatkan kemampuan membaca. Langkah-langkah pembelajaran membaca yang dilakukan guru tidak mengarah pada upaya mempertajam dan meningkatkan kemampuan membaca. Rendahnya kemampuan guru tersebut berimplikasi pada rendahnya kemampuan siswa dalam membaca pemahaman (literasi). Oleh sebab itu, direkomendasikan kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan kemampuan guru dalam pembelajaran membaca.

Peningkatan kemampuan guru sebaiknya diarahkan pada peningkatan aktivitas pokok pembelajaran membaca pemahaman yang meliputi kegiatan pramembaca, saat membaca, dan pascabaca. Ketiga kegiatan pokok tersebut perlu dikemas dalam strategi pembelajaran yang bervariasi.

Upaya peningkatan tersebut dapat dimulai dengan mengembangkan model-model pembelajaran membaca yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan membaca pemahaman. Pengembangan model pembelajaran membaca pemahaman sebaiknya diarahkan pada upaya mempertajam dan meningkatkan kemampuan membaca pemahaman. Pengembangan model yang direkomendasikan adalah pengembangan model-model pembelajaran membaca pemahaman yang dituangkan dalam bentuk rekaman audio visual (misalnya, VCD) dan panduan teknis pembelajaran membaca pemahaman. Melalui model audio visual tersebut, guru dapat dengan mudah meniru/mencontoh, mengadaptasi, dan mengembangkan pembelajaran membaca pemahaman sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing sehingga tidak ada alasan bagi guru untuk menyatakan tidak tahu contohnya. Akan lebih baik lagi jika model yang dikembangkan sangat bervariasi dan disesuaikan dengan KD sehingga guru tidak perlu berpikir banyak untuk mengembangkan/ mengaplikasikannya dalam pembelajaran di kelas.

Melalui model dan panduan tersebut diharapkan sosialisasinya dapat dilakukan secara mudah, murah, cepat, dan efisien. Sosialisasi dapat dilakukan mengirimkan model-model tersebut ke sekolah. Jika sangat diperlukan pelatihan, pelatihan untuk guru dapat dilakukan per wilayah dengan durasi yang sangat singkat.

2) Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman siswa sangat rendah, baik diukur dengan tes PIRLS maupun dengan tes lokal. Di samping disebabkan kemampuan guru yang rendah, rendahnya kemampuan siswa juga disebabkan lemahnya pembudayaan

membaca. Pembudayaan membaca secara terbimbing tampak lemah. Pembudayaan membaca dilakukan guru hanya dengan memberikan saran kepada siswa untuk membiasakan membaca di rumah, tetapi guru tidak memberikan petunjuk cara membacanya dan buku apa yang selayaknya dibaca. Termasuk di dalamnya, guru tidak mengecek hasil aktivitas membaca di rumah. Lemahnya pembudayaan membaca di sekolah juga dimungkinkan karena sangat terbatasnya buku bacaan yang cocok untuk siswa secara berjenjang.

Sejalan dengan hal tersebut direkomendasikan dua hal berikut. Pertama, kepada Departemen Pendidikan Nasional direkomendasikan untuk memberikan fasilitas bahan/buku bacaan kepada sekolah sehingga guru dapat membudayakan membaca bagi siswanya. Bahan/buku bacaan yang diberikan kepada sekolah (dalam jumlah yang cukup) hendaknya betul-betul dirancang bergradasi sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa untuk membacanya dan pada akhirnya dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan membacanya. Dengan cara tersebut, tuntutan dalam Standar Isi yang menyebutkan bahwa pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra dapat dilaksanakan di sekolah. Di sisi lain, tersedianya buku bacaan juga akan merangsang guru untuk memanfaatkannya dalam pembelajaran di kelas.

Kedua, kepada Depdiknas direkomendasikan untuk memberikan arahan dan petunjuk yang jelas tentang pelaksanaan dari tuntutan Standar Isi tersebut. Termasuk di dalamnya adalah cara mengukur keterlaksanaan tuntutan membaca sembilan buku tersebut. Guru perlu penjelasan tentang buku apa saja yang layak dibaca siswa kelas tertentu dan berapa buku yang harus dibaca pada kelas tersebut. Dengan adanya petunjuk tersebut, guru akan lebih mudah melakukan pembinaan membaca dan sekaligus memudahkan guru dalam mengukur ketercapaian pembinaan membaca.

3) Lemahnya kemampuan siswa dalam membaca pemahaman yang diukur dengan tes PIRLS disebabkan perbedaan formulasi KD (kompetensi dasar)

dalam Standar Isi dengan kisi-kisi tes PIRLS. Bacaan dalam tes PIRLS lebih panjang dan lebih kompleks dibandingkan dengan bacaan yang dikehendaki dalam KD. Demikian juga, pertanyaan dalam tes PIRLS memiliki tingkat kerumitan lebih tinggi daripada tes yang biasa digunakan dalam pembelajaran membaca.

Sejalan dengan hal tersebut, direkomendasikan kepada Depdiknas untuk menyelaraskan KD dengan tes PIRLS. Salah satu bentuk penyelarasan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan tambahan penjelasan terhadap rambu-rambu pembelajaran membaca. Rambu-rambu tersebut hendaknya mencakup cakupan bahan bacaan dan tuntutan jenjang kemampuan membaca yang dikehendaki. Bahan bacaan hendaknya disusun bergradasi sesuai dengan jenjang kelas, baik dari segi panjang karangan, kompleksitas isi bacaan, maupun tingkat kesukaran bahasa yang digunakan. Kemampuan membaca yang dikehendaki hendaknya berjenjang mulai dari yang sederhana ke hal yang kompleks, dari kemampuan membaca literal, inferensial, kritis, sampai kemampuan membaca kreatif.

4) Penelitian ini termasuk penelitian kasus karena hanya melibatkan 12 sekolah. Oleh sebab itu, disarankan kepada Depdiknas untuk melakukan penelitian sejenis yang lebih luas. Dengan penelitian yang lebih luas diharapkan akan diperoleh hasil yang dapat digeneralisasikan.

5) Penelitian ini hanya melibatkan 12 sekolah yang dipilih tidak random dan tidak proporsional. Oleh sebab itu, kepada pembaca (termasuk pejabat) untuk bersikap hati-hati dalam memahami dan memanfaatkan hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan untuk SD di seluruh Indonesia.

Daftar Pustaka

BSNP. 2006. Standar Isi. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Keterampilan Dasar untuk Hidup.

Literasi Membaca, Matematika, & Sains. Laporan Program for

International Student's Assessment. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.

Depdiknas. (2003). Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Entwistle, Noel. (1980). Styles of Learning and Teaching. New York: John Willy & Son.

Fokus CM 31. (2008). Mengenal Tipe Gaya Belajar. Jakarta: Wikipedia [Online]. (http://lead.sabda.org/mengenal_tipe_gaya_belajar_0, diakses 16 Sepember 208).

Gagne, Robert M. (1992). Principle of Intructio. San Diego: Harcout Baree Jovanovic College Publishers.

Hasanah, M. 2006. Pembelajaran Kemampuan Berbahasa Indonesia Berdasarkan Cerita Fiksi Kontemporer Anak-anak untuk Kelas 5 Sekolah Dasar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs Universitas Negeri Malang.

Hidayah, Nurul. (2007). Analisis Preposisi dalam Karangan Siswa Kelas IV SD Negeri Kasin Kota Malang Tahun Ajaran 2006/2007. Skripsi. Malang:

Universitas Negeri Malang.

Komisi Nasional Pendidikan. (2001). Menuju Pendidikan yang Bermutu dan Merata. Departemen Pendidikan Nasional.

Mulyani dan Syaodih, N. (2007). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Nasution, S. (1984). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Rahim, Farida. (2007). Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmat, J. (1998). Psikologi Komunikasi Intra Personal. Bandung: Rosda Karya.

Subyakto-Nababan, S.U. (1993). Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suwignyo, A. (2000). Style Learning. Jakarta: Blogsome [Online].

(http://agussuwignyo.blogsome.com/2007/09/17/artikel-artikel-teaching-and-learning-styles/, diakses 18 September 2008).