• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurangnya Pemahaman Akan Ajaran Islam

Dalam dokumen An Nahdhah Vol 10 Edisi Januari Juni 2016 (Halaman 126-132)

PANDANGAN ULAMA TENTANG TABARRUJ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

F. Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Tabarruj

3. Kurangnya Pemahaman Akan Ajaran Islam

Fenomena tabarruj dikalangan umat Islam sekarang, diantaranya juga disebabkan karena kurangnya pemahaman umat Islam akan ajaran agamanya sendiri, sehingga makna penting menutup aurat kurang disadari. Karena faktor inilah, terjadi praktek emansipasi yang berlebihan, dan menjadi rapuh dalam mempertahankan identitas budaya Islam di tengah tantangan globalisasi.

Akibat dari kurangnya pemahaman itu, sehingga sebagian besar umat Islam dewasa tidak merasakan arti penting dari menggunakan jilbab dan justru melakukan praktek tabarruj seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah, baik di masa lalu maupun di masa modern ini. Mereka lebih cenderung melakukan taklid, dengan meniru tingkah laku dan perilaku masyarakat Barat.

29 Ibid.

Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia mempunyai efek samping yang positif dan negatif sekaligus. Efek positif yang paling terasa adalah bahwa bangsa Indonesia dikenal dengan budaya masyarakatnya yang toleran, karena terlatih untuk hidup dalam berbagai aneka budaya. Hal ini masih sulit ditemukan di negara-negara lain, terutama negara yang komposisi penduduknya cenderung homogen.

Tapi akibat dari budaya yang beraneka ragam itu pula, sehingga masyarakat Indonesia cenderung menjadi pemisif, yaitu serba membolehkan berbagai sikap, pandangan dan tingkah laku. Jika yang ditolerir atau dibolehkan adalah hal-hal yang tidak bersifat prinsipil, maka budaya itu sangat positif. Tapi yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, batas-batas toleransi budaya itu sudah tidak jelas lagi, sehingga seringkali melanggar norma-norma tertentu dalam agama, terutama menyangkut masalah berpakaian. Maka dengan mudah dapat disaksikan bahwa praktek tabarruj yang berlangsung di Indonesia, yang semakin hari semakin buruk keadaannya, adalah akibat dari terbukanya pintu toleransi secara keliru.

Polemik sekitar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) memperlihatkan dengan jelas kenyataan tersebut. Kelompok yang menolak RUU APP pada umumnya menggunakan asas toleransi atas keanekaragaman budaya sebagai argumen dasarnya. Padahal dari sudut pandang agama Islam, tidak ada toleransi atas segala bentuk pelanggaran norma-norma kesusilaan, termasuk dalam hal ekspos aurat, yang telah menjadi wabah umum pada masyarakat Indonesia. Argumen ini pada umumnya dikemukakan oleh para pendukung RUU APP.

Namun demikian, karena budaya masyarakat Indonesia telah menjadi sedemikian permisif terhadap berbagai budaya, sehingga suara yang menolak RUU APP lebih unggul dibandingkan dengan para pendukung Rancangan Undang-Undang tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah terperosok ke dalam praktek tabarruj, paling tidak melalui sikap mayoritas penduduknya yang

membiarkan praktek tersebut terus berlangsung dan menyebar semakin luas.

Budaya yang permisif terhadap tabarruj itu tidak hanya didasarkan pada asas toleransi atas keanekaragaman budaya yang disalahartikan, tapi lebih menyedihkan lagi sering dilakukan atas nama seni. Sehingga banyak seniman yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu menjadi boleh dalam karya-karya seni, sekalipun hal itu melanggar norma dan etika. Lebih buruk lagi, sebagian mereka berkeyakinan bahwa acuan-acuan moral dan etika, terlebih lagi agama, akan mematikan ekspresi-ekspresi seni, dan karenanya, semua itu tidak boleh masuk ke dunia seni. Dengan kata lain, tidak akan ada seni, jika menuruti ajaran-ajaran moral, etika dan agama.

Kenyataan yang menyedihkan di Indonesia ini sesungguhnya merupakan gambaran yang lebih menyedihkan dari kenyataan bangsa- bangsa di dunia, yang digambarkan oleh Al-Maududi sebagai wujud dari ketamakan persepsi moral individual dan rasa haus seks manusia- manusia modern. Abu Al-A’la Al-Maududi menyatakan sebagai berikut:

”Iklan-iklan merasa belum cukup tanpa gambar wanita setengah telanjang, atau telanjang bulat. Tak ada hotel atau ruang pameran serta restoran yang tidak mempunyai pelayan wanita, untuk mengikat laki-laki yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya dan hanya bisa menjamin kepentingannya dari satu segi saja, berdasarkan ketamakan persepsi moral individual dan rasa haus seks.

G. Kesimpulan

Menurut pengamatan penulis sendiri, kurangnya pemahaman itu pada dua kelompok masyarakat muslim, yaitu :

1. Kelompok Islam Abangan, yaitu kelompok umat Islam yang hanya menjadikan Islam sebagai identitas sosial, karena faktor keturunan. Mereka menjadi muslim karena faktor budaya dan geografis, yaitu

terlahir sebagai anak seorang muslim dan hidup di lingkungan muslim. Pada umumnya, mereka ini kurang memahami esensi ajaran Islam, dan kurang menyadari pentingnya mempelajari seluk- beluk ajaran Islam secara mendetail. Gairah keagamaan merek ahanya muncul ketika terjadi perayaan-perayaan dalam lingkungan sosial mereka, seperti merayakan Hari-Hari Besar Islam, atau ketika kepentingan kelompok sosial mereka (Islam) terganggu oleh pihak luar non muslim).

2. Kelompok Umat Islam yang memahami ajaran Islam secara parsial, dan tidak utuh. Mereka ini lazimnya hanya mempelajari Islam secara sepintas dan dari kulitnya saja, dan tidak mempelajari Islam secara mendalam dan tuntas. Kelompok ini sangat rentan dimasuki oleh berbagai kepentingan, baik kepentingan diri sendiri, maupun kepentingan luar. Kelompok yang menggunakan Islam untuk kepentingan diri sendiri, biasanya terjadi pada praktisi politik yang ingin mendapatkan pengaruh atau popularitas. Sedangkan kelompok yang tereksploitasi oleh kepentingan luar, adalah masyarakat muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan modern yang tanpa disadari merusak pemahaman keagamaan mereka yang masih dangkal.

Keberadaan dua kelompok umat Islam yang kurang pemahamannya terhadap ajaran Islam ini menjadi salah satu faktor cepatnya terjadi penyebaran praktek tabarruj di kalangan umat Islam, karena pada kenyataannya, dua kelompok tersebut adalah mayoritas dalam tubuh umat Islam. Hal ini ditambah lagi oleh kelompok intelektual muslim yang terdidik secara Barat, yang kurang pemahamannya akan ajaran- ajaran Islam yang prinsipil.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Hijab dan Status Wanita Islam (Terjemah Purdah and The Satatus of Women in Islam), Bandung : Risalah, 1984, h. 302

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Dalam Syirkat Al-Baramij Al- Islamiyah Al-Dauliyyah, op. Cit. Hadits No. 3686

Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dalam Syirkat Al-Barajmij Al- Islamiyah Al-Dauliyyah, Mausu’;at Al-Hadits Al-Syarif 9Gisco, 1991-1997), Hadits No. 6554

Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia. H. 76

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid VIII, (Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1963), h. 6

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, Beirut : Al-Makatabah Al- Katsulikiyah, 1956, cet. Ke-18, h. 31

Muhammad Hasan Al-Hamshi, Qur’an Majid : Tafsir wa Bayan, (Beirut: t.t), h. 422

Ibn Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Migbas Min Tafsir Ibn Abbas. (Kairo : Maktabah Musthafa Al-Babi Al-Halabi Wa Awladih, 1951), cet. Ke-2, h. 261

Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Zinat Wa Al-Libas, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah. Op. Cit. Hadits No. 3971

Imam Malik, Muwattha Malik, Kiab ”Ma Yukrahu Li Al-Nisa Labsuhu Min Al-Tsiyab”, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al- Dauliyyah, Op. Cit, Hadits No. 1421

Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab ”Fitnat At-Nisa”, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah, Op. Cit. Hadits No. 3991.

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, h. 180

Syamsuddin. Pendidikan Kelamin Dalam Islam. Semarang : CV. Ramadani, 1966

Tim Penterjemah / Pentafsir Al-Quran (TPPA) Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Madinah : Majma al-Malk Fahd, 1418)(, h. 672

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH YANG EFEKTIF

Dalam dokumen An Nahdhah Vol 10 Edisi Januari Juni 2016 (Halaman 126-132)