• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan hukum

Dalam dokumen An Nahdhah Vol 10 Edisi Januari Juni 2016 (Halaman 151-155)

DINAMIKA LEMBAGA DAN PRANATA HUKUM Randhy, S.H, M.H

C. Penegakan hukum

Penegakan hukum adalah suatu sistem, yaitu terkaitnya beberapa sub sistem hukum dan antara sub sistem hukum tersebut saling mempengaruhi, namun demikian merupakan satu kesatuan dalam mencapai tujuannya. Sistem itu sendiri terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Ia merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti pengertian hukum dan peraturan-peraturan hukum. Masing-masing bagian harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian- bagian lain secara keseluruhannya. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik pertentangan atau kontradiksi antara bagian- bagian. Bila sampai terjadi konflik maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu dan jawabannya terdapat dalam sistem itu sendiri.5

Hukum sebagai suatu sistem tidak hanya dalam pengertian

substance, structure dan legal culture.6 Hukum dalam berkorelasi dengan lingkungan untuk dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah

5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.115.

6 Lawrence M. Friedman & Stewart Macauly, Law and Behavioral Science, Second Edition, Bobs Merill Company Inc, New York, P. 1004.

ditentukan, ada hubungannya dengan faktor-faktor di luar hukum yaitu sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa hukum di dalam implementasinya tidaklah independent tetapi bersifat

dependent, dan dapat menyebabkan hukum di dalam pelaksanaannya menjadi berbeda dengan norma-norma yang berlaku secara umum. Dengan kata lain terdapat kesenjangan antara law in book dengan law in action.

Dalam kerangka ini berarti pemahaman terhadap penegakan hukum tidak cukup dengan pendekatan yuridis dogmatis sebagai konskuensi dari faham positive legalistik tetapi juga pemahaman terhadap penegakan hukum haruslah bersifat yuridis historis sosiologis dan merupakan suatu pendekatan fungsional. Berdasarkan hal demikian maka hukum tidak lagi sebagai suatu sistem formal yang tertutup tetapi bersifat open system.

Penegakan hukum dapat juga dikatakan sebagai usaha anggota masyarakat untuk mempertahankan kesepakatan yang telah diberikan oleh anggota masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban, kesatuan atau integrasi masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam pengertian penegakan hukum tersebut, termasuk di dalamnya kesepakatan agar prosedur penegakan hukum menjamin hak- hak dan kewajiban yang telah diberikan oleh hukum ke pada masyarakatnya. Konkritnya dalam proses penegakan hukum hak dan kewajiban yang telah disepakati diberikan kepada individu-individu ataupun kepada masyarakat, tidak boleh dilanggar secara sewenang- wenang. Pelanggaran atas kesepakatan tersebut dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap undang-undang, sehingga menimbulkan perpecahan atau desintegarasi di kalangan masyarakat pendukung hukum tersebut karena hukum dianggap tidak berfungsi. Di dalam konteks ini hukum berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk

mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib dan masyarakat dengan sistem sosial yang tertentu akan memberikan pedoman-pedoman kepada para anggotanya tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan.7

Apabila hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana tersebut di atas, maka solidaritas masyarakatnya akan terganggu. Masyarakat tidak lagi memperhatikan perangkat kerja sistem sosial tersebut, sehingga masyarakat meragukan hukum dan sekaligus merugukan lembaga hukum maupun penegak hukum, maka akibatnya masyarakat tersebut akan mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan masalah hukum.

Pembahasan mengenai konteks sosial hukum, khususnya penegakan hukum di dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari tujuan menegakkan hukum secara konsisten berdasarkan supremasi hukum. Supremasi hukum harus benar-benar diwujudkan, oleh karena itu hukum harus berperan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Yang dimaksud dengan hukum disini adalah sebagai pranata yaitu seluruh peraturan perundang-undangan, maupun sebagai lembaga yaitu organisasi penegak dan bekerjanya organisasi penegak hukum. Sehubungan itu diperlukan adanya perumusan hukum yang benar-benar dapat mengatur birokrasi serta pertanggungjawabannya. Jika aparat birokrasi terbukti melanggar tugas dan kewajibannya maka organisasi penegak hukum secara konsekuen harus menindaknya tanpa pandang bulu.

Penyimpangan penegakan hukum dapat terjadi karena substansi hukum mengandung keterbatasan atau aparat penegak hukum yang memiliki keterbatasan dan mungkin masyarakat pencari keadilan yang memiliki keterbatasan. Di samping itu terdapat faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Penyimpangan dalam penegakan hukum yang tidak berdasar sama sekali akan terlihat sebagai penegakan hukum yang bersifat represif. Sedangkan penyimpangan penegakan

hukum yang memiliki dasar atau alasan tertentu merupakan sesuatu yang mungkin tidak dapat dihindari dalam melakukan usaha mengisi kekosongan hukum. Hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak terpisah. Hukum tidak memiliki kemampuann untuk bertindak dan memaksakan ditaatinya kaedah-kaedah tertentu bila tidak dalam kerangka bernegara. Negara tanpa hukum diyakini akan cenderung untuk sewenang-wenang dan totaliter. Hukum dan negara dianggap sebagai dua lembaga penjelmaan kesepakatan antara rakyat dan penguasa dalam masyarakat. Hukum merupakan produk politik, sedangkan negara adalah perwujudan dari organisasi politik itu sendiri yang kekuasaannya dapat dibatasi oleh hukum.

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), demikian diyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 ketika menguraikan sendi-sendi Sistem pemerintahan negara. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tidak merinci apa unsur-unsur rechtsstaat Indonesia.

Dalam kepustakaan hukum tata negara Eropa dapat diketahui, bahwa wawasan rechsstaat memang berkembang dari waktu ke waktu. Menurut Zippelius, prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum merupakan alat untuk membatasi perluasan dan penggunaan kekuasaan negara secara totaliter dan secara tidak terkontrol. Prinsip-prinsip itu ialah jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi asas, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan pemeirntahan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yustisial terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut.8

Gagasan negara berdasarkan atas hukum (rechtstaats), sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum adanya perubahan, muncul dari pendiri negara dengan dilandasi oleh oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Dalam

8 A. Hamid S. Attamimi, Peranan keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan pemerintahan Negara, suatu studi analisis mengenai keputusan presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, Naskah Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 86.

kerangka ini artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian direfleksikan ke dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri negara tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.

Dalam rentang waktu panjang kesejarahan bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini seringkali berhadapan dengan arus perubahan dan kepentingan tertentu.

Dalam dokumen An Nahdhah Vol 10 Edisi Januari Juni 2016 (Halaman 151-155)