• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi

C. Perdebatan tentang tafsir Sufi

2. Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi

Dasar yang dipegang oleh para sufi dalam memahami ayat bahwa mereka sangat mengakui setiap ayat mengandung makna zahir dan batin. Seperti dijelaskan

82

Kautsar, Memahami Sufisme; Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan (Bandung:Penerbit Angkasa–UIN Jakarta, 2003), Cet. Ke–1, 91

83

Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1427/2006), Cet.ke-2,19.

adh–Dhahabi, para sufi mengakui akan makna zahir ayat sebagaimana mereka juga mengakui makna batin ayat. Ketika menafsirkan makna batin mereka berpijak pada amalan ibadah yang dilakukan. Berkenaan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan

Daylami dari Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Nabi mengatakan Alquran berada dibawah ‘arsh, ia memiliki makna zahir dan batin.84 Adapun yang dimaksud dengan zahir Alquran adalah lafaz Alquran yang tersusun dalam bahasa Arab, ini bisa dipahami secara umum oleh yang mengerti bahasa Arab. Sedangkan batinnya adalah maksud yang dikehendaki Allah diluar lafaz} dan struktur ayat.85 Untuk yang terakhir hanya dapat dilakukan dengan menakwilkan ayat. Pernyataan yang disampaikan adh–

Dhahabi diatas dan juga disepakatinya bahwa para mufasir tidak akan meninggalkan makna zahir dalam mengambil makna batin.

Persoalan mengenai makna batin dan zahir bersinggungan dalam hal porsi yang diberikan masing–masing mufasir dalam mengakomodir makna zahir. Ada diantara mereka yang memberikan perhatian besar pada makna zahir ayat ada pula yang sebaliknya. Sehubungan dengan itu ada yang mengakui makna zahir tapi dalam tafsirnya tidak diterapkan. Seperti diakui oleh as–Sulami dalam tafsirnya, bahwa ia tidak menolak makna zahir tapi tafsir yang disusunnya hanya menghimpun berbagai pendapat ahli hakikat.86

Untuk menafsirkan Alquran seseorang tidak dapat meninggalkan makna zahirnya, bagaimana bisa memahami makna batin bila tidak memahami pengertian lahirnya atau arti lafz}inya. Ibaratnya seperti kata ulama kalau ingin berada dalam masjid tentu melewati pintunya, tidak mungkin langsung ada di masjid. Artinya kalau mengaku berada dalam masjid tapi tidak melalui pintu berarti samahalnya menafsirkan ayat meninggalkan makna zahir.

Adh–Dhahabi menegaskan, penafsiran tanpa melihat makna zahir adalah termasuk kelompok tafsir bat}iniyyah. Aliran batiniyah tidak mengakui makna zahir

84 د ع ا حي طب ظ ه ع ا تحت ا ق ا Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 262 dan 4

85

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 265

86

Alquran, mereka hanya mengakui makna batin saja. Disamping itu penafsiran bat}iniyyah dalam menafsirkan Alquran juga bersandar hanya pada yang disepakati aliran mereka. Bentuk tafsir seperti ini digolongkan adh-Dhahabi tafsir sesat dan bid‘ah.87

Senada dengan itu, an–Nasafi menjelaskan dalam kitab al–‘Aqa>id yang diberi komentar oleh Taftazani mengatakan bahwa para ahli batiniyah mengakui makna secara batin dan meninggalkan makna zahir. Sementara ahli hakikat memahami ayat secara batin dan zahir, itulah yang sempurna iman dan memperoleh pengetahuan ‘irfa>ni.88

Uraian diatas memberi kejelasan bahwa kekeliruan mufasir bat}iniyyah terletak pada penolakan mereka terhadap makna zahir. Ini berbeda sekali dengan metode tafsir sufi yang masih mengakui makna zahir. Alasan ini pula yang dapat kita tangkap bahwa penafsiran sufistik tidak bisa dikatakan tafsir batiniyah. Tafsir sufi lebih cenderung dikatakan dengan tafsir isha>ri untuk membedakan dengan tafsir bat}ini. Karena penafsiran sufistik mengungkap makna batin sesuai dengan isyarat yang terselubung yang dipahami oleh pelaku sulu>k disebutlah dengan tafsir sufi isha>ri. Disamping itu penafsiran sufistik yang mengungkap makna batin melalui kajian dan nalar maka disebut dengan tafsir sufi naz}ari.

Berkaitan dengan makna batin dalam tafsir sufi, dijelaskan oleh Ahmad Abdurraziq al-Bakri sebagai muhaqqiq dalam tafsir at}-T{abari bahwa orientasi mufasir sufi dan bat}ini dua hal yang berbeda. Orientasi sufi lebih kepada dhauq ( pengalaman ruhani, ibadah) yang bersandar pada zahir ayat.89 Sementara bat}ini tidak melandaskan pada zahir ayat.

Ada tiga hal yang harus dipenuhi terkait dengan makna batin. Pertama, bahwa makna batin masih sesuai dengan pemahaman secara makna zahir Alquran. Kedua ada ayat atau dalil shar‘i lain yang mendukung akan makna batin tersebut sehingga

87

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264

88

Adh–Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 264

89

Ahmad Abdurraziq al-Bakri, dkk,. Dalam Ibnu Jari>r at}-T}abari, Ja>mi’ al–Baya>n fi> Tafsi>r al-Quran (Kairo: Darussalam, 1425/2005), Cet.Ke-1,ii

makna batin tersebut tidak berlawanan dengan aturan shara‘. Ketiga, makna batin tidak memberikan takwil menyimpang (jauh).90

Berkenaan dengan makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi melahirkan tafsir sufi naz}ari dan isha>ri. Secara umum tafsir sufi memahami ayat tidak saja berdasarkan pengertian lahir tapi juga menakwilkan ayat diluar makna zahir. Dalam mneggunakan takwil muncul dua jenis penerapan, pertama terkait dengan teori filsafat, kedua berangkat dari latihan rohani. Kalau dianalisis perkembangan tafsir sufi maka yang pertama melahirkan tafsir sufi naz}ari yang menafsirkan ayat berdasar teori filsafat dan pembahasan tasawuf bisa dikatakan ia kelompok sufi falsafi. Kedua, kelompok yang menafsirkan ayat berdasar riya>d}ah ru>h}ani atau menjalankan tarekat berarti ia dikatakan sufi isha>ri. Identifikasi ini dapat saja dilakukan simultan dialami oleh para sufi artinya disamping mereka membahas konsep tasawuf sekaligus juga sebagai pelaku tasawuf (pengamal tarekat).