• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal

Dalam shighat bahasa Arabnya disebut dengan tawakkul192 artinya bersandar pada janji dan ancaman Allah dengan menghilangkan keinginan pada selainnya.193 Dikatakan oleh Ibnu Masruq tawakal berarti tunduk terhadap ketentuan hukum Allah

191

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, 159

192

Asal kata (derivasinya) اك ت - ك تي – ك تtawakkala– yatawakkalu–tawakkulan.

193

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65

yang ditetapkanNya.194 Pengertian tawakal ini masing–masing sufi memiliki pemahaman hampir sama yang secara umum disimpulkan yaitu menyandarkan kepada Allah dengan menerima segala bentuk kejadian yang berlaku dan yakin terhadap hukum Allah.

Beberapa ayat yang sangat terkait dengan tawakal sebagai bentuk penyerahan diri, dalam rangka membersihkan rohani maka dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Ayat 159 surat Ali Imran (3)

Pada ayat 159 surat Ali Imran, Allah menjelaskan keberadaan tawakal bagi manusia dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap tawakal dalam ayat ini mengandung unsur yang disebut sebelumnya yaitu ‘azam pada ayat tersebut sebagaimana terlihat berikut ini.

Dijelaskan oleh Sa‘id Hawwa terkait dengan tawakal dalam ayat;

أ

:

هئ ضم ىف ها ى ع ك تف ا عب ئيش ى ع أ ا تعطق ا ف

.

196

Apabila keputusan dalam musyawarah sudah ditetapkan maka bertawakallah kepada Allah mengenai hasilnya.

Tawakal yang diperintahkan dalam ayat dilakukan setelah ada ‘azam sebagai wujud dari harapan dan tekad yang kuat. Keputusan yang diambil sebelum bertawakal sudah melalui berbagai usaha pemikiran dan pertimbangan.

194

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65

195

Artinya; Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (‘azam) ع maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang bertawakal kepadanya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

196Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,916

Selanjutnya dijelaskan Sa‘id H{awwa bahwa orang yang betul-betul bertawakal adalah;

أ

:

هي مه مأ يض ف ا هي ع ي تع ا

,

مأ يف ت ها قحب م قي سا ب خأي

ها ى ع ا تعي ا ق ط ا ب عس ا د ف تس ب

.

197

Orang-orang yang menyandarkan dan menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah. Mereka memahami hukum sebab-akibat, melaksanakan (memenuhi) hak Allah, melaksanakan perintahnya dengan menghabiskan kekuatan (maksimal), mengerahkan segala kemampuan dan Mereka hanya menyandarkan kepada Allah.

Inti tawakal menurut Sa‘id H{awwa adalah hanya kepada Allah bersandar dan menyerahkan segala perkara (urusan) yang dikehendaki. Pengertian ini sejalan dengan at-Tustari, dikatakannya sebagai sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah dan hanya kepadaNya berkehendak tidak kepada selainnya مأ عي ج هي ف

dan يغ د هي قتفا. 198 Makna ini terkandung dalam pengertian para ahli sufi seperti terdapat dalam mu‘jam istilah sufi.199

Menurut Sa‘id H{awwa beberapa hal seperti disebut diatas harus dipenuhi dalam menjalankan tawakal. Dalam bertawakal menunjukkan akan hubungan yang dekat dengan Allah. Maknanya, adanya pengakuan yang tulus dalam menjalankan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Seseorang yang bertawakal, akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam kondisi apapun ia berada. Ibadah-ibadah yang dilakukan menjadi pengikat batin antara ia dan Tuhan ( ها قحب م قي). Seperti ditegaskan al-Ghazali bahwa dalam bertawakal mengandung unsur tauhid yang harus

197Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,916. Dalam bahasa lain, dinyatakan juga yaitu dengan; مأ ك ىف ها ى ع د تعاا menyandarkan segala perkara kepada Allah. Lihat juga, Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876

198

Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

199

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alah}a>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 65

dirasakan.200 Hal itu dapat menyucikan jiwa dari pengaruh syirik sekecil apapun, apabila jiwa suci maka hidayah Allah mudah diserap. Demikian makna tawakal berdasarkan penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa.

Penafsiran Sa ‘id Hawwa diatas menunjukkan kepada pandangan tasawufnya dalam memahami ayat secara sufistik. Makna yang dikemukakannya menggali isyarat yang tersembunyi dari semangat ayat tentang bentuk tawakal.

Adapun perintah tawakal dalam ayat, dijelaskan Sa‘id H{awwa bahwa contoh dalam menjalankan tawakal yaitu tentang musyawarah. Ketetapan berbagai pendapat mengenai sesuatu yang telah diputuskan setelah musyawarah, maka kesudahan hasilnya diserahkan (tawakal) kepada Allah. Ini merupakan hasil sebagai konsekuensi keputusan tersebut.201 Keputusan dalam musyawarah merupakan salah satu upaya

)’azam) yang dilakukan dalam bertawakal. Dalam tawakal tersimpan makna pengakuan bahwa Allah sebagai tumpuan yang menguasai hal gaib termasuk hasil akhir dari apa yang diusahakan. Penyerahan total kepada Allah mengikat diri untuk tidak bergantung kepada selainnya. Tidak ada yang bisa menentukan apa yang akan berlaku masa berikut, manusia hanya bisa mengambil sebab seperti disebut Sa‘id H{awwa.202

Mengenai tawakal ini at-Tustari juga memahami bahwa musyawarah dalam ayat tersebut sebagai contoh bentuk ‘azam. Adapun keputusan yang telah diambil dalam musyawarah maka diserahkan kepada Allah sebagai konsekuensi. 203 Selanjutnya pengaruh bagi orang tawakal disebutkan Tustari yaitu Allah

200 ه كي ش ا ح ها ا ه ا :ك ق ه ج تي ا يح ت ا ه ك ت ا هي ع ى م ى تح Al-Ghazali, Ih}ya’ Ulum ad-Din (Mesir: Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-H{alabi wa Aula>dihi, 1939/1358) Jilid 4, 240

201Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6, 916

202

Surat Luqma>n ( 31 ) ayat terakhir ( 34 ) menjelaskan 5 perkara dimana hanya Allah yang mengetahui, diantaranya sesuatu yang akan terjadi masa nanti; ا غ س ت ا م سف ت م ( Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa saja yang akan diusahakannya besok ).

203

Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

menyingkapkan (ف ي ( dalam hatinya berbagai ilmu sehingga antara hamba dan Allah tidak ada perantara يف طسا اب karena itu wajib menggunakan akal dan merenung untuk mendapatkan hikmah disebabkan kekuasaan Tuhan dan juga supaya memperoleh tambahan ilmu (11 : هط( ع ى د ىب ق 204.

Dengan menjalankan tawakal maka Allah akan membuka hijab bagi hambanya di dunia dengan berbagai ilmu sehingga pertolongan Allah bagi orang yang bertawakal sangat dekat. Berkaitan dengan datangnya pertolongan Allah atau tidak menurut Sa‘id H{awwa manusia tetap bertawakal. Tawakal itu sifatnya meliputi setiap keadaan baik dalam menghadapi pertolongan Allah atau tidak adanya pertolongan, baik dalam kecelakaan atau keselamatan. Harus dipahami dalam tawakal bahwa pertolongan atau tidak diberi pertolongan itu semua datangnya dari Allah.205 Bagi orang yang tawakal harus meyakini bahwa bila Allah memberi pertolongan maka tidak ada yang dapat menggagalkannya namun bila Allah (membiarkan) tidak memberi pertolongan siapa yang dapat menolong selainNya.206 Artinya kalimat “ tidak memberi pertolongan”

terbantahkan dengan kalimat setelahnya yaitu siapa yang sanggup mendatangkan pertolongan selain kekuasaan Allah. Kalimat tersebut menambah keyakinan bagi orang yang bertawakal dan memberikan motivasi untuk berserah diri kepada Allah bahwa hanya kekuatan Allah yang dapat menolongnya.

Pada dasarnya penafsiran Tustari dengan Sa‘id H{awwa terdapat satu pandangan mengenai keberadaan tawakal. Adapun akibat dari tawakal bagi seseorang, Tustari memaknai dengan terbukanya kashaf dari Allah dengan memperoleh berbagai ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba dengan Allah. Sedangkan bagi Sa‘id H{awwa pengaruh tawakal menjadikan seseorang semakin menambah ketundukkan diri kepada Allah sehingga dalam

204

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

205Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6, 921

206

Sesuai penjelasan Alquran ayat 160 surat Ali Imran sebagai motivasi dalam bertawakal.

عب م مك ص ي اا ف م ي م غ اف ها مك ص ي

. Artinya; Jika Allah menolong mu

maka tiada yang dapat mengalahkan mu dan jika Allah membiarkan mu maka siapa yang dapat menolong mu setelah itu (melainkan kekuasaan Allah).

bertawakal tidak menghiraukan kondisi yang dirasakan apakah baik atau tidak menyenangkan karena semua datang dari sisi Allah. Artinya dengan tawakal tidak ada penyesalan dalam menerima konsekuensi dari ‘azam yang telah diputuskan. Bahkan bila dirujuk kepada penjelasan Tustari bahwa tidak datangnya pertolongan Allah hanya menimpa orang yang berdosa, karena dosa yang dilakukanlah maka ia dibiarkan. 207 Pertolongan inilah yang dimaksud sebagai hidayah dalam pandangan

Sa‘id Hawwa. Hidayah ini hanya akan diperoleh oleh orang yang konsisten melaksanakan hak Allah ( هقحب ها م قي ).

Tampak dari penafsiran Sa‘id H{awwa dalam hal ini bahwa pemaknaan yang dinyatakannya sesuatu yang mungkin dicapai orang secara umum dan mudah dipahami. Penafsiran Sa‘id H{awwa mengandung unsur yang sejalan dengan pandangan para sufi tentang makna tawakal. Perbedaan istilah dengan at-Tustari yaitu tentang mendapatkan berbagai pancaran ilmu dari Allah. Sementara itu Sa‘id H{awwa memahami demikian sebagai anugerah yang diperoleh berkat kedekatan dengan Allah dengan senantiasa melaksanakan hak-hakNya.

Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan tawakal dalam ayat itu mengaitkannya dengan musyawarah seperti peperangan. Tawakal yang dilakukan setelah melihat berbagai kondisi yang meliputi pengetahuan, kekuatan, kecerdasan kemudian diterapkan makna tawakal dan tauhid dalam perbuatan. Artinya bila telah membulatkan tekad maka serahkan perkara itu kepada Allah dengan tawakal dan dengan memperhatikan segala faktor yang mempengaruhinya ك ت ب ها ى مأا فف

عفأا عي ج ي 208

. Tawakal dan tauhid menurut Ibnu Arabi dijalankan serentak dan tidak terpisah. Dalam tawakal mengandung nilai tauhid yang murni sebagaimana dijelaskan Sa‘id H{awwa dengan; ها قحب قي penyandaran yang utuh kepada Allah dalam melaksanakan hak–hak Allah. Tawakal disini sangat dinamis artinya tidak semata–mata menyerahkan kepada Allah tapi setelah melihat seluruh daya upaya.

207

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 51

208

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut: Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2,152

Bila diperhatikan penafsiran sufistik Ibnu Arabi dalam hal ini sesuai dengan makna zahir seperti yang dipahami oleh Sa‘id H{awwa diatas. Bahkan Ibnu Arabi menyatakan juga secara eksplisit dalam tafsirnya contoh musyawarah dalam peperangan yang sesuai dengan sejarah turun ayat. Dengan mengemukakan contoh musyawarah tersebut menunjukkan pemahaman ayat sangat dekat dengan zahir ayat. Dari beberapa bentuk penafsiran yang dikemukakan Ibnu Arabi dan at-Tustari diatas

yang sejalan dengan makna yang dijelaskan Sa‘id Hawwa, mendukung akan keberadaan orientasi sufistik penafsiran Sa‘id Hawwa.

2. Ayat 58 surat al–Furqa>n (25)

Perintah untuk bertawakal diungkapkan dengan lebih tegas lagi sebagaimana terdapat dalam surat al–Furqa>n (25): 58. Ayat ini tidak mengaitkan kepada suatu objek sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran diatas dimana yang secara tidak langsung perintah tawakal yang dikandungnya mengarah kepada keputusan bulat

)’azam) dalam musyawarah.

Kandungan ayat ini menuntun untuk menguatkan keyakinan supaya bertawakal kepada Allah semata dalam hal apa saja. Makna tawakal dijelaskan Sa‘id

H{awwa disini adalah; 210

مأ ك ىف ها ى ع د تعاا

Makna tawakal yang disebutkan Sa ‘id Hawwa ini sangat dasar dalam istilah ajaran

agama. Ada dua hal yang ditekankan dalam pengertian tersebut; pertama, menjadikan Allah sebagai tempat bersandar, kedua, tawakal menyangkut segala macam persoalan.

Makna tawakal diterangkan lebih lanjut bahwa;

209

Artinya; Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memujinya. Dan cukuplah Dia maha mengetahui dosa–dosa para hambaNya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

210Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876