• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud

B. Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud

Dalam urutan yang dikemukakan terdahulu, zuhud merupakan jenjang kedua setelah maqa>m tobat. Secara umum menurut para sufi, zuhud maksudnya berpaling dari kenikmatan dunia, meninggalkan kesenangan dunia demi mencari kesenangan akhirat. Abu Sulaiman ad–Darani menyatakan zuhud adalah meninggalkan apa saja yang melalaikan dari mengingat Allah. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang

59

Makna ini dipaparkan dalam bukunya, lihat; Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 2007 / 1428), Cet. Ke–9, 4. Lihat juga; Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi, Madkhal ila at–Tasawwuf al–Islami ( Kairo: Darul Hadis, tth), Cet. Ke–2, 29. Ia menjelaskan Sa’id H{awwa termasuk pengkaji tasawuf yang berupaya menjadikan tasawuf agar berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

zuhud, katanya jangan anda pedulikan terhadap keenakan dunia.60 Beberapa penjelasan tentang zuhud memberi pengertian bahwa kehidupan akhirat menjadi lebih utama dari kepentingan dunia. Berkaitan dengan istilah kata zuhud ditemukan dalam surat Yusuf (12) ayat 20.61 Sekalipun dalam Alquran disebutkan hanya pada ayat tersebut bukan berarti prilaku zuhud sebagai maqa>m dalam tasawuf tidak ada anjuran dalam petunjuk ajaran agama. Bahkan melihat dari pengertian pokok dari zuhud diatas banyak ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dasar untuk mendukung tentang prilaku zuhud tersebut. Diantaranya berbicara tentang keutamaan memperhatikan akhirat dari kehidupan dunia, juga celaan Alquran terhadap orang yang lebih mementingkan dunia.

1. Ayat 17 surat al –A‘la (87)

Ayat Alquran sering mendorong manusia lebih memperhatikan kehidupan akhirat dari pada larut dalam kehidupan dunia dan bahkan kecintaan dunia dapat melalaikan dari perintah agama. Ayat 17 surat al –A‘la (87) menggambarkan pilihan orang yang terhadap kehidupan dunia.

Sa‘id Hawwa menyatakan dalam tafsirnya pendapat an-Nasafi dan Ibnu Kathir;

ىفس ا ق

,

أ

:

ح فت هب م عفت اف خاا ى ع

.

ي ك با ق

:

مأ ى ع م قت أ

م ش عم ىف م حاص م عف هيف م ى ع ت خاا

.

م يخ خاا ا ا ىف ها ا ث

60

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{u>fiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 94, Lihat juga al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab

Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3,115

61

Ayat ini menerangkan sikap orang yang tidak berkecenderungan hati pada sesuatu dinyatakan dengan pengertian zuhud secara bahasa. Bunyi ayat; ا ك د عم مها د س ب ب ش

ي ها ا م هيف , artinya; Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya pada Yusuf.

62

Artinya; Tetapi kamu memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik Fahd Madinah al-Munawwarah, 1415 H

يق ب في ش خاا ي ف ي اد ي ا ف ىقبأ ي ا

,

م ى ع ى في م ق ع ث ي في ف

ىق ي

.

63

Artinya; Kamu mengutamakan kehidupan dunia dari pada akhirat maka hal yang kamu lakukan itu tidaklah memberikan keuntungan bagimu. Sementara itu Ibnu Kathir menyebutkan arti ayat; Kamu mendahulukan kehidupan dunia dari urusan akhirat dan kamu tonjolkan kehidupan dunia yang memberikan manfaat dan kebaikan dalam penghidupanmu. Pahala yang dijanjikan Allah di akhirat lebih baik dari dunia dan lebih kekal. Sesungguhnya dunia ini sifatnya sementara dan hancur (lenyap), sedangkan akhirat itu mulia dan kekal. Mengapa orang yang berakal justeru mengutamakan sesuatu yang akan lenyap dari pada yang kekal.

Demikian pandangan an-Nasafi dan Ibnu Kathir yang menjelaskan bahwa manusia yang lebih mengutamakan perhatian kehidupan dunia karena merasakan kesenangan sesaat yang cepat dirasakan. Sedangkan kebaikan di akhirat yang dijanjikan bagi orang yang memperhatikan urusan akhirat sifatnya kekal dan melebihi kesenangan dunia.

Sa‘id Hawwa menegaskan akibat dari orang yang lebih mementingkan

kehidupan dunia sebagai berikut;

ي ا يح ا ي ه اص ا يك ت ا يك ت ا ف يسيئ ا ع ا

64

Alasan utamanya karena meninggalkan zikir, penyucian diri dan s}alat, itulah yang menjadi penyebab kecenderungan untuk mengutamakan kehidupan dunia.

Sebagai akibat dari perhatian dalam kehidupan dunia melebihi urusan akhirat adalah akan melalaikan diri dari upaya menyucikan diri, berzikir dan s}alat. Dalam

penafsiran Sa‘id H{awwa ini dipahami bahwa ayat diatas mendorong manusia agar lebih memperhatikan urusan akhirat dari pada kehidupan dunia. Orang yang mengutamakan kepentingan akhirat senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan merasakan supaya dekat dengan Allah. Untuk selalu merasakan dekat dengan Allah

63Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6482

64Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6482

ditunjukkan dengan berzikir dan s}alat. 65 Bila manusia lalai dari hal ini dan lebih disibukkan dengan dunia, berarti ia menghijab dirinya dengan Tuhan.66 Sifat yang dijelaskan diatas merupakan cerminan dari sikap zuhud.

Dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa, kandungan ayat ini menerangkan tentang nafsu (jiwa) bashariyyah

ي ا سف ا

yang dimiliki oleh setiap manusia.67 Nafsu68 bashariyah harus dibersihkan yaitu dengan s}alat, karena dengan s}alat banyak aspek terkandung didalamnya termasuk zikir, bertasbih (sesuai dengan bunyi ayat pertama surat ini, menyucikan Allah, sucikanlah nama Tuhanmu) dan sekaligus jalan untuk menyucikan diri.69 Penafsiran Sa‘id H{awwa diatas menekankan tentang nafsu bashariyyah yang punya kecenderungan kepada kehidupan dunia sehingga melupakan kehidupan akhirat yang lebih utama. Disamping itu, Sa‘id H{awwa mementingkan penyucian diri manusia yang memberikan pengaruh positif pada prilaku.

Nafsu bashariyyah jangan dibiarkan untuk memperturutkan keinginan rendah dan fana itu, justru harus dapat dikendalikan dan ditahan. Nafsu bashariyyah harus dibersihkan dari kecenderungan demikian agar meyakini akan kehidupan akhirat yang kekal.70 Bertasbih dan kesucian manusia saling terkait, dengan selalu bertasbih menjadikan kesucian tetap pada nafsu bashariyyah. Nafsu bashariyyah merupakan

65

Hasan Sharqawi,Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1,143

66

Hasan Sharqawi,Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah (Kairo: Muassasah Muhktar, 1987) Cet.ke-1,143

67Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6483

68

An-Nafsdisebutkan oleh Sa‘id H{awwa, adalah roh setelah bercampur (bergabung) dengan jasad. Nafs memiliki kecenderungan pada kekal hissi (materi/fisik) atau maknawi. Karena itu nafs harus disucikan agar kembali ke sifat aslinya. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 49

69

Bertasbih, menyucikanlah Allah supaya manusia berusaha meneladani kesucianNya dengan memperbaiki ibadah dan berzikir. Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6483

70

Dilihat dari keadaan nafspada manusia, dikatakan oleh Sa‘id Hawwa terbagi dua yaitu س م (kotor) dan ك م (suci). Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 51

lawan dari nafsu hayawa>niyyah

ي ا يح ا سف ا

, artinya nafsu bashariyyah sebagai dorongan keinginan jiwa dalam diri manusia yang apabila tidak dikendalikan dapat jatuh kepada nafsu hayawa>niyyah.71 Nafsu hayawa>niyyah tidak peduli akan kehidupan akhirat.

Berkaitan dengan ayat diatas, Tustari menjelaskan bahwa tidak layak bagi mukmin untuk memiliki kecenderungan kepada dunia. Bila ini terjadi, ia bagaikan orang yang memegang (berada) pada sebatang kayu ditengah lautan sambil berseru wahai Tuhan!, wahai Tuhan! Berharap semoga Tuhan menyelamatkannya dengan tompangan kayu tersebut.72 Perumpamaan yang dikemukakan Tustari menggambarkan kedudukan orang yang mengutamakan kehidupan dunia berada pada posisi yang lemah dan membahayakan bagi keselamatan dirinya. Bila diperhatikan penafsiran Tustari dan Sa‘id H{awwa sama berpijak pada makna zahir ayat bahwa mementingkan kehidupan dunia akan mengotori jiwa manusia dan kedudukannya tidak akan selamat. Kemegahan dunia menjadikan ia lalai dan terlena jauh dari kesucian diri dan di akhirat hidupnya celaka.

Selanjutnya Tustari menjelaskan, bagi seorang hamba mukmin yang zuhud pada dunia maka Allah mewakilkan untuknya malaikat yang bijaksana yang menanam dalam hatinya bermacam–macam hikmah. Gambaran orang tersebut seperti seseorang petani yang menanam banyak pohon di kebun–kebunnya.73 Ini suatu keistimewaan yang dirasakan orang yang zuhud terhadap dunia, ia memperoleh sebagian rahasia hikmah gaib seperti rahasia sunnatullah. Semakin menjauh ia dari kesenangan duniawi akan bertambah hikmah yang diperolehnya yang membuat hatinya dikelilingi dan dipenuhi pohon hikmah bagaikan petani yang menanam pohon pada setiap kebunnya semakin lama akan berkembang. Begitupula seorang hamba

71

Jika nafs (jiwa) h{ayawaniyyah yang bergantung pada manusia maka ia bisa menyerupai hewan, demikian Ibnu Sina yang dijelaskan oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke–8, 37

72

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I,192

73

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I,192

yang zuhud dari dunia akan dimudahkan Allah menangkap rahasia kejadian alam. Orang seperti ini dapat dikatakan senantiasa mendapat taufik, artinya harapannya selalu bersesuaian dengan takdir Allah karena telah dibukakan tabir oleh Allah untuk memahami rahasia sunnatullah.

Zuhud dalam hal ini salah satu pembuka untuk dapat dapat berhubungan lebih dekat dengan Allah karena hati dan rohani telah disucikan seperti penjelasan Sa‘id H{awwa. Kalau rohani telah suci maka untuk berhubungan langsung dengan yang maha suci lebih terbuka. Karena Tuhan itu suci maka ia dapat didekati oleh yang suci pula.74

Surat al–A‘ala diatas tentang orang yang memilih kehidupan dunia lalu tentang keutamaan akhirat dari dunia ditafsirkan oleh Ibnu Arabi dengan orang yang lalai dan terhalang (terhijab) hatinya dari mengingat Allah dan s}alat. Mereka dilalaikan oleh kehidupan lahir (dunia), kenikmatan dan keindahannya karena rohani mereka tidak bersih (li‘adami at-tazkiyah). Kecenderungan mereka pada dunia melebihi kecintaan pada kehidupan ru>h}a>niyyah yang hakiki dan kekal di akhirat.75 Dalam tafsirnya tersebut, Ibnu Arabi menafsirkan tentang dua jenis kehidupan dalam ayat itu dengan kehidupan h}issiyyah (lahir / dunia) berhadapan dengan kehidupan ru>h}a>niyyah (akhirat / kekal). Nyata tersebut dalam penafsirannya bahwa kehidupan diakhirat bersifat rohani dan kekal dan inilah kehidupan yang sesungguhnya bagi rohani yang suci.

Mengenai gambaran kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia dan kecenderungan manusia lebih pada dunia menunjukkan tidak ada perbedaan diantara Sa‘id H{awwa, Tustari dan Ibnu Arabi. Mereka memaknai kecenderungan manusia mencintai kehidupan dunia membuat rohaninya tidak bersih. Sa‘id H{awwa menyebut kecenderungan demikian dengan nafsu bashariyyah yang jatuh menjadi nafsu h}ayawa>niyyah. Oleh sebab itu nafsu bashariyyah harus senantiasa disucikan

74

Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-2, 161

75

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 398 - 9

dengan s}alat, bertasbih, berzikir76 karena semua itu bermuara pada kesucian rohani. Bila nafsu bashariyyah dijaga selalu suci maka prilaku zuhud akan tercermin dalam kehidupannya. Dalam istilah Tustari diatas orang yang zuhud demikian mendapat kemuliaan dengan mengetahui bermacam hikmah gaib dalam perbuatan Allah di alam ini yang dikenal sebagai sunnatullah. Sedangkan Ibnu Arabi sebagaimana ia jelaskan dalam tafsirnya menyebut orang yang mencintai kehidupan dunia atau kehidupan h}issiyyah berarti membuat hijab sendiri antara ia dengan Tuhan. Rohani kotor dalam istilah Ibnu Arabi disebut sebagai Rohani yang terhijab artinya bila rohani itu suci tentu hijab menjadi terbuka untuk berzikir dan berkomunikasi dengan Allah. Kemudian yang lebih sempurna lagi diakhirat hijab tersebut tiada lagi bagi rohani yang suci.

Berkaitan dengan sikap zuhud ini, Nabi pernah menganjurkannya agar seseorang dapat dicintai oleh Allah dan disukai oleh manusia. Berdasarkan hadis diriwayatkan oleh Sahal bin Sa‘ad –ra– ia berkata, seseorang pernah bertanya kepada Nabi tentang amal yang dengan itu ia menjadi dicintai oleh Allah dan Manusia. Nabi menjawab zuhudlah kamu.

س ا ى حأ ها ى حأ هت ع ا ع ى ع ى د ها س ي

,

قف

:

ها ك حي ي ا ىف ه ا

س ا ك حي س ا ع يف ه ا

.

يغ هج م با ا

.

77

Hai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amal yang bila dikerjakan maka aku dicintai Allah dan disukai manusia. Jawab Nabi: Zuhudlah kamu pada dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia niscaya manusia menyukaimu.

Penafsiran–penafsiran diatas pada dasarnya memberikan inti yang sama terkait dengan kesucian rohani. Sa‘id H{awwa lebih tampak menekankan pada aspek tingkah laku dimana sikap zuhud sebagai cerminan rohani yang suci, disamping itu

76

Dengan zikir akan merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati, makanya hati akan membuka tabir dengan zikir. Sebagaimana dikatakan al-Jailani; Lidah merupakan anaknya hati dan ia selalu mengikutinya (hati). Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqi>q: Shaikh Anas Mihrah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1424/2003), Cet.ke-2, 102,

77

Ibnu H{ajar al-Asqalani (L. 773 H), Bulu>ghul Maram (Bandung: Mat}ba’ah al-Ma’a>rif, t.th), 301

Tustari menekankan aspek kara>mah yaitu menerima berbagai hikmah ilahi yang dialami bagi orang yang zuhud. Pemahaman kesucian rohani demikian juga ditemukan dalam tafsir Ibnu Arabi yang menekankan pada istilah terbukanya h}ijab bila mengabaikan kesenangan dunia.

Jika diperhatikan lebih teliti penafsiran Sa‘id H{awwa mempunyai dimensi sosial dan memberikan contoh prilaku yang mengajak orang lain untuk memperbaiki diri menuju kesucian rohani. Bedahalnya dengan Tustari yang dipahami lebih condong kepada perbaikan kualitas diri sendiri agar merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan hikmah ilahi. Begitu pula Ibnu Arabi, yang lebih menonjolkan pengertian perbaikan pribadi bahwa orang yang mencintai dunia terh}ijab dari mengingat Allah dan s}alat, sebaliknya dengan mencintai akhirat membawa pada kesucian rohani dan terbuka hijab mendorong untuk selalu berzikir. Perbedaan diatas memberikan kesan bahwa Sa‘id H{awwa berupaya memperjuangkan kesucian rohani menjadi suatu gerakan massal dalam bertasawuf, tidak terbatas perbaikan diri sendiri tapi harus dirasakan secara kolektif.

Penafsiran Sa‘id H{awwa yang memaknai cinta dunia dengan nafsu bashariyyah yang tercemar oleh keinginan buruk. Makna ini sebagai pemahaman dari keinginan manusia yang lebih terikat dengan kepentingan dunia sehingga tidak dipikirkan kehidupan akhirat yang lebih utama. Nafsu bashariyyah beda dengan nafsu h}ayawa>niyyah bahkan lebih tinggi namun bila nafsu bashariyyah tidak dikendalikan dapat membawa manusia kepada prilaku hewan. Derjatnya turun menjadi makhluk yang hina bahkan lebih rendah dari hewan.78 Hewan menjalani hidup dunia tanpa memperdulikan kehidupan setelah ini. Dalam kaitan dengan zuhud maka nafsu bashariyyah jangan diperturutkan namun harus diisi dengan zikir.

Tampak dari penafsiran Sa‘id H{awwa terhadap ayat diatas dengan nafsu bashariyyah sejalan dengan makna zahir ayat dan didukung oleh hadis yang dikemukakan diatas. Dengan mengutamakan kehidupan akhirat, itu menunjukkan perilaku zuhud pada dunia. Penjelasan Sa‘id H{awwa di atas, didukung juga oleh

78

penjelasan Tustari yang sama–sama berpegang pada makna zahir ayat. Kenyataan

demikian memperkuat tafsir Sa‘id Hawwa sebagai penafsiran berorientasi sufistik. Selain itu, Ibnu Arabi dalam hal ini juga menafsirkan dengan tidak meninggalkan makna zahir. Sekalipun ia menggunakan istilah lain tapi memiliki semangat yang sama. Dengan demikian dari aspek pemikiran tafsir beberapa penafsiran diatas termasuk pada pendekatan isya>ri yang berlandaskan makna zahir.

2. Ayat 4 surat ad}–D{uh>a (93)

Selanjutnya berkaitan dengan kelebihan akhirat dari dunia ditunjukkan juga dalam surat ad}–D{uh>a (93) ayat 4;

.

79

Makna keutamaan kehidupan akhirat menurut ayat ini ditafsirkan Sa‘id H{awwa dengan mengutip an-Nasafi sebagai berikut;

م يخ د ع ا ي ا د ا ح ا د ح ا ق ا م خاا ىف ك ها عأ م أ

ي ا ىف ك جعأ

.

80

Artinya diantara yang disiapkan Allah diakhirat seperti kedudukan yang terpuji (maqa>m mahmu>da), telaga yang disediakan dan kebaikan yang dijanjikan adalah lebih baik dari apa yang mengagumkanmu di dunia.

Disebutkan oleh Sa‘id Hawwa bahwa keadaan yang dialami nabi Muhammad yang mampu berhubungan dengan Allah lewat wahyu, yang disebut juga dengan habibullah itu adalah kemuliaan yang paling agung yang tiada lagi kemuliaan dunia lebih dari itu. Adapun di akhirat posisi nabi Muhammad memiliki derjat yang paling tinggi diantara para Nabi begitu pula umat Muhammad menjadi saksi atas umat nabi lain. Kemegahan dan kemuliaan yang dirasakan siapapun di dunia tidak sebanding

79

Artinya; Kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan dunia. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

80Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6568

dengan kemuliaan yang disiapkan Allah di akhirat.81 Keutamaan akhirat itu karena berada pada posisi maqa>m mah}mu>da yang diperoleh sebagai ganjarannya bagi orang yang tidak cenderung pada kesenangan dunia. Bagi yang ingin mencapai maqa>m mah}mu>da harus meyakini bahwa kebaikan akhirat melebihi apa yang ada di dunia. Orang yang menjadikan kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia merupakan perwujudan sikap zuhud.

Sementara itu Tustari menafsirkan ayat diatas bahwa keutamaan akhirat disamping sebagai maqa>m mah}mu>da juga sebagai tempat (

ع ف ا حم

) shafa>‘at. Hal demikian lebih tinggi dari predikat kenabian dan risalah yang diberikan Allah di dunia.82 Prilaku zuhud pada dunia menjadikan diri sangat mulia di akhirat. Kemuliaan akhirat menurut at-Tustari bila dibandingkan dengan kedudukan sebagai nabi, masih mulia kehidupan akhirat yaitu maqa>m mah}mu>da tersebut.

Seterusnya Sa‘id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya, prilaku nabi Muhammad menunjukkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari kehidupan dunia. Ia adalah orang yang paling zuhud pada dunia dan jauh dari kemegahan hidup duniawi. Nabi pernah mengatakan bahwa perumpamaan kehidupan dunia baginya seperti petualang berkuda yang singgah dibawah pohon rindang untuk beristirahat kemudian ia pergi meninggalkan pohon itu.83 Kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang kekal di akhirat. Tidak patut seseorang menjadikan tempat singgah sebagai tujuan dan menumpahkan kesenangan padanya sehingga melupakan tujuan yang sebenarnya.

Penafsiran Sa‘id H{awwa dan Tustari menjadikan maqa>m mah}mu>da sebagai kedudukan tertinggi di akhirat. Pemahaman sufistik ini diambil dari makna

81Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6568. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh al-Alusi tentang kedudukan nabi Muhammad yang memberikan shafa‘at yang meninggikan derjat orang mukmin. Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi>

Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‘Imran )Kairo: Darul Hadis, 1426/2005), Jilid 15, 478.

82

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I,197

83Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid11, Cet. Ke–6, 6571

zahir ayat yang menyatakan kehidupan akhirat yang kekal lebih tinggi dari dunia yang fana ini. Artinya penafsiran diatas tetap memperhatikan makna zahir ayat yang mengandung bahwa akhirat lebih tinggi dari dunia. Dengan sikap zuhud demikian kedudukan nabi sendiri di dunia, nanti mendapat tempat lebih mulia maqa>m mah}mu.da yang lebih tinggi dari kehidupan dunia sekarang.

Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi ayat diatas menjelaskan tentang keadaan hidup di akhirat lebih baik dari hidup yang pertama (dunia) sebab ketenangan hidup di akhirat dengan wujudnya yang kekal. Keadaan di akhirat maksudnya adalah tercapainya tajalli84 setelah lama terhijab dan didorong kerinduan yang dalam terhadap Allah.85 Selama di dunia masih merasakan h}ijab maka diakhirat tajalli betul dapat dirasakan dan disadari. Inilah makna dari keutamaan hidup akhirat dari dunia.

Penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini lebih tegas menyatakan keutamaan akhirat yaitu tidak sekedar menempati posisi mulia (maqa>m mah}mu>da) tapi kemuliaannya terletak pada tajalli yang dirasakan manusia. Tajalli merupakan proses tertinggi tasawuf dan merupakan idaman para pelaku tasawuf. Kedudukan seperti inilah yang dalam istilah Sa‘id H{awwa dan Tustari menyebutkan dalam tafsirnya sebagai maqa>m mah}mu>da. Sedangkan Ibnu Arabi tidak menyebut istilah maqa>m mah}mu>da tapi dengan makna tajalli.

Memang bila diperhatikan istilah maqa>m mah}mu>da oleh Sa‘id H{awwa dan Tustari masih bersifat umum, bahkan Sa‘id H{awwa menambahkan sebagai kebaikan yang disiapkan ( khair mau‘u>d ), hawd} mauru>d - telaga yang disediakan (

د ا ح ا

) atau disebut juga oleh Tustari sebagai tempat munculnya shafa‘at. Disini terdapat perbedaan mendasar antara Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‘id

84

Ada tingkatan-tingkatan tertentu sebagai proses dalam latihan ruhani yang dikenal di kalangan sufi yaitu: takhalli (lepaskan diri dari pengaruh dunia) – tah}alli (isi jiwa dengan akhlak mulia) – tajalli (terbuka hijab antara hamba dengan Tuhan). Penjelasan ini dipetik dari; Barmawie Umarie, murid langsung Prof. Dr. Hamka dalam ilmu tasawuf. Barmawie Umarie, Systematik Tasawuf ( Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966), Cet. Ke-2, 12

85

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Darulkutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 411

H{awwa dalam memaknai “ Sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu dari dunia”.

Bila dicermati lebih jauh maka Ibnu Arabi menafsirkannya dengan tajalli, Tustari dengan adanya shafa‘at, sedangkan Sa‘id H{awwa kebaikan atau telaga yang indah. Artinya Ibnu Arabi tidak lagi memahaminya sebagai kebahagiaan h}issiy tapi merupakan kebahagiaan ruhani. Pemahaman Ibnu Arabi ini mendukung penafsirannya pada surat al–A‘la terdahulu tentang kehidupan rohani yang hakiki di akhirat. Berdasarkan pandangan demikian, rohani yang suci akan terbuka h}ijab