• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir tentang Ayat-Ayat Tobat

A. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tobat

Tobat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat, kembali dari nafsu kepada haq (jalan kebenaran).4 Dalam kitab ta’rifa>t dijelaskan bahwa tobat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang membungkus hati (mengekang) kemudian bangkit menuju ( memenuhi ) hak Rab (Tuhan semesta alam).5 Sementara itu zunnun al-Misri membaginya bahwa tobat orang awam dari dosa, tobat orang khusus dari kelalaian dan tobat para nabi ketika melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapai.6 Sahl at-Tustari pernah ditanya; apakah tobat itu ? jawabnya; Tobat itu maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu.7 Jawaban Sahl ini mengisyaratkan bahwa dalam bertobat kita harus menyadari sungguh–sungguh akan dosa yang dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.

4

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64

5

Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifa>t (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1988/1408 H), Cet. Ke–3, 70. Terdapat juga dalam; Abi Khazam, Mu’jam …, 64

6

Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At-Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388/1969), Cet.ke-1,111

7

Abi Khazam, Mu’jam …, h. 64. Dari pengertian ini ditegaskannya tobat itu wajib setiap saat, maka inilah yang disebut at–ta>ib ئ ت ا , Lihat juga; Sahl at-Tustari, At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74

Sejalan dengan pemahaman tobat diatas, ditemukan dalam Alquran berbagai bentuk penjelasan tentang tobat. Penulis akan uraikan penafsiran Sa’id H{awwa tentang ayat–ayat yang terkait dengannya.

1. Ayat delapan surat at- Tah}ri>m ( 66)

Sehubungan dengan perintah bertobat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah kepada orang beriman dengan menekankan tentang tobat murni yang terdapat dalam ayat 8 surat at- Tah}ri>m ( 66 ).

.

Mengenai makna tobat nas}u>ha dikemukakan dalam tafsir Sa‘id Hawwa;

أ

:

ص خ أ قد ص ب ت

.

ي ك با ق

:

يس ا م ق م ح ت م ج قد ص ب ت

,

م ت

اء ا م ط عتي ك ع ف ت هع جت ئ ت ا ثعش

.

9

Artinya: tobat yang benar atau yang murni. Ibnu Kathir mengatakan dengan tobat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.

Istilah tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa‘id H{awwa yaitu tobat s}a>diqah (jujur, benar) dan kha>lis}ah (murni, bersih, tulus). Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kathi>r bahwa taubat nas}u>h}a> adalah tobat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus

8

Artinya; Hai orang yang beriman tobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya (

ح ص ب ت

), Tuhanmu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai–sungai dibawahnya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

9Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004

dengan tobat.10Artinya tobat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus kesalahan. Tobat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang dikehendaki dari tobat nas}u>ha.

Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa dengan mengutip tafsir an-Nasafi;

أ س ا حص ت ب ت دا ي

:

ج ا ه عتسا ح ص ىف ه ثأ ظ م ى مه ع ت

ت يضتقم ى ع ع ا ىف ي ع ا

.

11

Dan yang dimaksud juga adalah tobat yang memberi pengaruh pada manusia lain. Artinya dengan bertobat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang yang bertobat itu sendiri. Merealisasikan tobat dalam prilaku yang ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat. Tobat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena pengaruhnya jelas bagi pelaku tobat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul–betul bertobat tidak hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan tobat. Pengertian dari penafsiran Sa‘id H{awwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan

menurut Sa‘id H{awwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah.12

10Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004

11Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 10, Cet. Ke–6, 6004

12

Disebutnya bahwa Ia bukan merusak hubungan para pelaku tarikat dengan shaikh. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan dengan tarikat. ىسف يقأ ا أ ف صت ا ى ع تط تشا

قي طب . م خ يش ع س ا ف ي أ ى ع صي ح تس

. , Lihat; Sa‘id Hawwa, Tarbiyatuna> ar–Ru>h}iyyah (Kairo: Darussalam, 1428 H/2007 M), Cet. Ke–9, 12.

Tobat yang berimplikasi pada orang lain sehingga tercermin dalam prilaku sehingga secara tidak langsung terbangun tobat secara kolektif. Selain itu, terlihat

juga bahwa Sa‘id H{awwa tidak menginginkan terkonsenterasi pada satu sistem seperti guru tarikat. Artinya tasawuf dapat dilakukan oleh individu-individu tapi bermakna kolektif. Bila masing-masing orang menjalankan aspek-aspek tasawuf tentu akan tercipta gerakan tasawuf massal. Keinginan Sa‘id H{awwa ini tercermin dalam

tafsir sufistiknya yang menekankan aspek praktis dalam memahami ayat. Salah satu indikatornya adalah dengan berpegang pada makna zahir ayat ketika menjelaskan makna sufistiknya dan ia menghindari penjelasan yang abstrak.13

Seterusnya penjelasan mengenai janji Allah sebagaimana tercantum dalam ayat bahwa Allah akan memasukkan orang yang bertobat kedalam surga, menurut Sa‘id H{awwa hal itu terjadi jika melakukan tobat nas}u>h}a>.14 Sementara itu Tustari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa tobat nas}u>h}a> tidak berbuat kembali kesalahan. Ibaratnya; Orang yang suka ( muh}ib / hamba ) tidak mau menghampiri pada sesuatu yang tidak disukai kekasihnya (Allah). Tanda orang bertobat menurut Tustari tidak menghiraukan bumi atau langit tapi jiwanya menempati posisi berada di ’arsh dan disisi Allah sampai ia meninggal dunia. Bila orang jarang bertobat, ketika saat didatangi malaikat maut maka ia akan berkata tinggalkan aku, berikan aku kesempatan hidup untuk dapat berbuat baik. Selanjutnya bagi orang yang bertobat mukhlis} ketika menghadapi maut, dikatakan baginya; Alangkah cepatnya engkau datang, jawabnya; kami datang sekira / sebagaimana engkau datang. 15

Selanjutnya ditegaskan Sa‘id H{awwa terkait taubat nas}u>h}a> dengan mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa dalam bertobat artinya seseorang tobat dari dosa kemudian tidak mengulanginya atau tidak ada keinginan kembali lagi pada

13

Salah satu syarat tafsir sufi isha>ri adalah tidak keluar dari makna zahir ayat. adh– Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2,279.

14Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6005

15

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 171

dosa untuk selamanya.16 Menurut Sa‘id H{awwa tobat yang paling tinggi adalah yang dilakukan secara istimra>r (berkelanjutan) sampai berpisah dengan dunia. Ini sesuai dengan kandungan dari riwayat yang dikemukakan bahwa makna tobat tidak ingin kembali pada dosa artinya bertobat terus menerus sehingga hati tertutup untuk berbuat dosa. 17 Tidak saja terhadap dosa yang lewat, bahkan untuk berbuat dosa yang baru tidak ada celah lagi karena dalam pikiran selalu ingat dosa.18

Dalam tafsirnya, Sa‘id H{awwa mengemukakan pandangan ulama terkait dengan proses bertobat. Pertama, harus meninggalkan atau mencabut sedalamnya akan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan salah pada masa lalu dan bertekad untuk tidak melakukan pada masa datang. Ketiga, berkenaan dengan hak dan kesalahan dengan manusia harus diselesaikan haknya. Jadi tobat itu memutus kesalahan masa lalu sebagaimana Islam memutus ajaran sebelumnya (jahiliyah).19 Penafsiran Sa‘id H{awwa dan Tustari dalam memaknai tobat nas}u>h}a> sebagai maqa>m yang tetap pada seseorang sampai ia meninggal dan ditegaskan bahwa ia tidak bakal kembali lagi. Hal beginilah yang menjadikan sesorang masuk surga sesuai janji Allah pada ayat tersebut sebagai balasan dari tobat nas}u>h}a>.

Penafsiran Sa‘id H{awwa tentang tobat pada ayat ini lebih kepada perubahan prilaku dan dapat ditunjukkan dengan amal saleh. Prilaku dan amal saleh bertujuan agar kesadaran orang yang bertobat dapat berpengaruh pada orang lain. Nas}u>h}a> dalam hal ini adalah tobat yang dilakukan sepanjang hayat. Sebab dengan tobat begitulah dapat merasakan hubungan yang dekat dengan Allah. Disamping merasa dekat juga menyucikan rohani, bila rohani senantiasa bersih dengan tobat maka dapat

16Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013

17 ا بأ هيف د عي ا مث ا ى ك ى ع ا تساا ص ا ب ت ا ط ش مSa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–

Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013

18 ك ىس ت ا أ ب ت ا Tobat itu adalah kamu tidak lupa terhadap dosa. Sahl at-Tustari, At– Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut:Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 74

19Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6014

membuka tabir antara hamba dengan rahasia gaib yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan kashaf. 20

Makna tobat yang dijelaskan Sa‘id H{awwa sejalan dengan konteks ayat secara zahir. Ia kemukakan juga riwayat serta pandangan ulama untuk mendukung penafsirannya, seperti riwayat Umar bin Khat}t}ab, pandangan at-Tustari, Ibnu Kathir dan an-Nasafi. Tobat yang berkelanjutan demikianlah yang bisa menghapus kesalahan–kesalahan. Kesamaan pandangan Sa‘id H{awwa dengan at-Tustari dalam penafsiran tersebut, menjadi indikasi bagi ciri sufistik penafsiran Sa‘id Hawwa.

Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Arabi bahwa tobat nas}u>h}a> berfungsi memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat, sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali dengan tobat. Tobat inilah yang disebut dengan tobat kha>lis}ah yaitu murni dari ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal–hal yang mengandung dosa kepada posisi ia bertobat (

ه ع ت ا ق ا ى ي ا ش ع ص خ ب ت )

.21 Penafsiran Ibnu Arabi terkait dengan tobat nas}u>h}a> menegaskan bahwa dengan tobat nas}u>h}a> seseorang terlepas dari dosa, naik (taraqqi) dari maqa>m yang masih tercemar dengan dosa ke maqa>m tobat yang membuka hijab antara hamba dengan Tuhan. Maqa>m ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari kesalahan dan dosa.22

Inti dari penafsiran Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa‘id H{awwa sama–sama berlandaskan pada makna zahir, tobat nas}u>h}a>. Artinya penafsiran sufistik mereka dalam hal ini masih tetap memperhatikan zahir ayat. Dengan tobat nas}u>h}a> mereka sepakat bahwa kesalahan dan dosa yang diperbuat dapat bersih dan membuat jiwa suci untuk kembali kepada Tuhan. Karena tobat dilakukan terus

20

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 147.

21

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 333

22

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 2, Cet. Ke–2, 333

menerus maka kedekatan dengan Tuhan dapat dirasakan yang diwujudkan dengan terbuka h}ijab oleh Ibnu Arabi. Hanya dengan jiwa yang suci itulah menjadikan hamba masuk surga sejalan dengan kandungan ayat diatas.

Menurut tafsir Ibnu Arabi, surga yang disiapkan tersebut mempunyai tingkatan sesuai dengan tingkatan tobat seseorang. Awal dari tingkatan tobat menurutnya adalah meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah, sedangkan tingkatan terakhir adalah kembali kepada Allah dari menjauhi dosa apapun sesuai pemahaman ahli hakikat yaitu dosa–dosa yang merupakan bagian dari induk dosa besar.23 Disamping itu Sa‘id H{awwa juga mengenal tingkatan tobat bahwa yang paling tinggi adalah istimra>r dalam bertobat dimana tidak terbatas pada tujuan penghapusan dosa yang lalu tapi terus menerus bertobat sampai badan berpisah dengan dunia.24 Kualifikasi tobat demikian berimplikasi kepada upaya menghindari dosa–dosa lain (tidak semata–mata menutup dosa lampau) sehingga membentuk jiwa yang suci yang selalu merasa dekat dengan Tuhan.

Makna utama dari penafsiran Tustari dan Ibnu Arabi tentang tobat nas}u>h}a> dalam ayat diatas yaitu terbuka hijab antara hamba dan Allah. Tustari memaknainya dengan berhubungan langsung dengan Allah dimana hamba tidak merasa bergantung kepada bumi dan langit tapi melampaui keduanya yaitu berada dekat disisi Allah. Adapun Ibnu Arabi menjelaskan bahwa tobat demikian membukakan hijab dimana hamba naik menuju Tuhan dengan istilah taraqqinya. Pandangan demikian tidak ditemukan dalam tafsir Sa‘id H{awwa baik istilah taraqqi ataupun hijab. Tampak disini bahwa Sa‘id H{awwa lebih dekat pada makna zahir dalam mengemukakan makna isha>rinya dibanding seperti yang ditunjukkan oleh Tustari dan Ibnu Arabi. Satu sisi Sa‘id H{awwa dengan Ibnu Arabi dan Tustari mempunyai kesamaan dalam tujuan dan implikasi tobat nas}u>h}a> serta tingkatan tobat tapi pada sisi taraqqi dan hijab Sa‘id H{awwa tidak tegas menyatakan demikian, padahal dengan istilah istimra>rnya dalam bertobat sebetulnya

23

Ibnu Arabi, Tafsir, Jilid 2, h. 333

24Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid10, Cet. Ke–6, 6013

menunjukkan jiwa yang bersih dan merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan.25 Disini Sa‘id H{awwa tidak memberikan istilah demikian untuk menunjukkan makna tobat supaya pengertiannya tidak abstrak. Karena makna abstrak tersebut sulit bagi orang umum memahami dan mengamalkan apalagi tidak didukung oleh keterangan lain sehingga maknanya terlihat jauh dari zahir ayat.

2. Ayat tiga surat Hud (11)

Perintah tobat pada ayat lain seperti surat Hud (11) ayat 3;

هي ب ت مث م ب ا فغتسا أ

Makna ayat ini dinyatakan oleh Sa‘id Hawwa yaitu;

أ هي ا ب ت مث

:

ع ط ب هي ا عج ا مث ا م فغتسا

26

.

Tobatlah kamu kepadaNya (Allah) maknanya adalah Mohon ampunlah kepadaNya dari dosa kemudian kembalilah kepadaNya dengan ketaatan.

Tobat dalam pengertian Sa‘id Hawwa dalam hal ini sama dengan yang

dikemukakan dalam istilah para sufi. Seperti dijelaskan oleh Abi Khazam yaitu kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat.27

Pengertian mendalam dijelaskan oleh Sa‘id Hawwa bahwa tobat tidak cukup

hanya mohon ampun terhadap dosa yang lalu saja tapi dilakukan berkelanjutan;

ك ى ع ا تست أ ه قتست يف ج ع ها ى ا م ب ت ا

.

28

Tobat dari segala dosa yang akan kamu hadapi masa datang dan lakukanlah olehmu secara terus-menerus.

Penafsiran ini mengandung makna bahwa manusia dalam menjalani kehidupan akan selalu menghadapi berbagai kesalahan dan kealpaan maka sudah sewajarnya tobat dilakukan setiap hari (istimra>r). Dengan melakukan tobat demikian, maka kesalahan-kesalahan dan maksiat lebih mudah terhindari terlebih

25

Dengan terhapusnya dosa, sesuai dengan makna ayat QS. At-Tah}ri>m: 66

26Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2532

27

Anwar Fuad Abi Khaza>m, Mu’jam al–Mus}t}alaha>t as}-S{ufiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan, 1993), Cet. Ke–1, 64

28Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 5, Cet. Ke–6, 2532

dahulu karena selalu ingat akan dosa. Dengan sering melakukan tobat, akan meningkatkan kesucian jiwa dan terasa semakin dekat dengan Allah. Makna isha>ri

yang dikemukakan Sa‘id Hawwa diatas sejalan dengan kandungan zahir ayat. Tujuan bertobat supaya menjadikan seseorang kembali kepada Allah dengan ketaatan yang dicerminkan dengan tobat terus menerus. Penafsiran Sa‘id H{awwa tersebut didukung oleh pengertian yang diberikan at-Tustari, ia menjelaskan dengan membuat urutan pertama istighfa>rina>bah taubat ; istighfa>r sifatnya secara zahir, ina>bah dengan hati sedangkan taubat maknanya istighfa>r yang berkekalan (tetap) dari dari pada kesalahan dan lalai.29 Penjelasan Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya memiliki kesamaan makna dengan yang dikemukakan at-Tustari. Penafsiran mereka sama-sama menghendaki tobat dilakukan terus-menerus. Sementara itu makna tobat dalam tafsir Ibnu Arabi

هي ا ب ت

berarti kembalilah kepada Allah dengan fana>’

dha>ti (meleburkan diri).30 Pengertian yang dikemukakan Ibnu Arabi ini sangat

berbeda dengan yang dipahami oleh Sa‘id H{awwa atau at-Tustari. Ibnu Arabi dalam tafsirnya juga tidak menyertakan riwayat atau pandangan lain yang mendukung penafsirannya.

Dari beberapa penafsiran tentang perintah tobat ini dipahami bahwa Sa‘id H{awwa dan Tustari masih terlihat menafsirkan sufistik ayat sangat dekat berpegang pada makna zahir. Makna tobat bagi mereka harus dilakukan terus menerus kekal melekat pada hati yaitu dengan istighfa>r. Artinya mohon ampunan dari dosa yang lalu dan tobat daripadanya kepada Allah terhadap apa yang dihadapi masa datang artinya tobat terus menerus. Sedangkan Ibnu Arabi menafsirkannya dengan sikap fana>’, artinya kembali kepada Allah dengan meleburkan diri yang merupakan proses wus}u>l menuju baqa>’ dan sampai kepada Allah. Pendekatan ishari yang digunakan Ibnu Arabi melampau pendekatan isha>ri Sa‘id H{awwa dan at-Tustari dalam menafsirkan ayat secara sufistik. Penafsiran demikian mengandung kajian

29

Sahl At–Tustari, Tafsi>r at–Tustariy (Beirut: Da>rul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 78

30

Ibnu Arabi, Tafsi>r Ibnu Arabi (Beirut:Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M), Jilid 1, Cet. Ke–2, h. 316

teoritis tasawuf dan mencerminkan kepada ajaran filsafat yang dianutnya. Bahwasanya dengan kembali kepada Allah dalam fana’ sehingga membentuk kesatuan dengan Tuhan. Berdasar teori filsafat demikian maka jenis penafsiran tersebut termasuk tafsir sufi naz}ari.

3. Ayat tujuh belas surat an–Nisa>’`

Dalam ayat 17 surat an–Nisa>’` dijelaskan tentang jenis tobat terkait dengan dosa yang dilakukan. Tobat yang terkandung dalam ayat tersebut, terkait dengan yang dilakukan oleh orang yang berbuat salah karena kejahilan.

Terkait dengan orang yang bertaubat dengan segera ( min qari>b ) dijelaskan:

Mereka melakukan tobat pada bagian waktu yang dekat dalam artian masa bertobat berada diantara mengerjakan maksiat dan sebelum datangnya kematian.

Berkenaan dengan tobat bagi orang yang berbuat dosa dilakukan sebelum datangnya kematian, ini termasuk dalam pengertian qari>b. Artinya tobat itu masanya sepanjang waktu sebelum nyawa sampai dikerongkongan. Menurut Sa‘id H{awwa tobat harus muncul dari kesadaran atau merupakan ikhtiar (pilihan) bukan karena terpaksa seperti muncul tanda–tanda dekatnya kematian. Makna tobat dalam

penjelasan Sa‘id Hawwa diatas, menunjukkan kesadaran bagi orang yang merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang menangguhkan tobatnya

31

Artinya; Sesungguhnya tobat disisi Allah hanyalah tobat bagi orang–orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertobat dengan segera maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H

32Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke 6, 1018. Lihat juga; Al-Alu>si, Ru>h}ul Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az}i>m wa as-Sab‘i al-Matha>n, Tah}qi>q: Sayyid ‘Imran )Kairo: Darul Hadis, 1426/2005(, Jilid 2,620.

sampai timbul dekatnya kematian atau berhadapan dengan malaikat maut maka tobatnya tidak diterima.33 Selanjutnya dijelaskan,

Orang yang bertobat kepada Allah berarti ia mengharapkan kehidupan, karena itu tobatnya diterima.

Orang yang bertobat kepada Allah sebagai implikasi dari pilihannya berarti ia mengharapkan kehidupan bukan karena mendekati kematian atau ingin mati. Ini memberi kesan bahwa tobat itu harus dilakukan setiap saat tidak terbatas pada waktu atau pengaruh kondisi apa pun. Sekalipun batasnya menjelang ajal menjemput tetapi tiada seorangpun yang mengetahui akan ajalnya. Mengenai ini, Al-Jailani pernah menyebutkan, manfaatkanlah pintu tobat dan masuklah kedalamnya selama pintu itu terbuka untukmu. Pergunakanlah pintu doa maka ia dibukakan untukmu.35 Ungkapan al-Jailani diatas mengisyaratkan bahwa bertobat jangan ditunda-tunda sebab pintunya akan tertutup secara tiba-tiba sedangkan pintu doa sengaja dibuka kesannya tidak terbatas. Ihwal bertobat seperti tergambar dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aghar bin Yasa>r al–Muza>ni yang berbunyi :

م ئ م ي ا ىف فغتسأ ها ى تأ ف فغتسا ها ى ا ب ت س ا يأ ي

.

Artinya; Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampunanNya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari semalam sebanyak seratus kali.36

Nabi Muhammad saw sendiri yang jauh dari dosa senantiasa melakukan tobat dan menyuruh kita umatnya juga berbuat demikian, artinya tobat bukan karena hanya

33

Termasuk tobatnya orang kafir yang tetap dalam kekafirannya, atau orang yang murtad dan ingin kembali pada iman tapi sudah terlambat karena datangnya tanda kematian. Sa‘id H{awwa, al–

Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet. Ke–6,1018. Demikian juga, M. Husein T{abat}aba-i, Al–Mi>za>n fi> Tafsi>r al–Quran (Beirut: Muassasah al–A’lami, 2006 M/1428 H), Juz 3-4, Cet. Ke-1, 466

34Sa‘id H{awwa, al–Asa>s fi at–Tafsi>r (Kairo: Darussalam, 1424 H/2003 M), Jilid 2, Cet.