• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Contoh Macam–macam Corak Tafsir Sufi

1. Tafsir sufi isha>ri

B. Contoh Macam–macam Corak Tafsir Sufi

Untuk melihat corak sufistik dalam penafsiran sangat terkait dengan perkembangan paham tasawuf. Adh–Dhahabi membagi corak tafsir sufi berdasarkan kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf amali dan tasawuf naz}ari. Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isha>ri dan tafsir sufi naz}ari.56

1. Tafsir sufi isha>ri

Tafsir sufi isha>ri merupakan pengungkapan makna isha>ri ayat oleh para sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa;

س ا ب أ ظت يفخ ا ش ىضتق ب م ظي م فاخ ى ع مي ا ا ق ا يا ي أت ه , ي دا ا ها ظ ا يب يب قي طت ا . 57

Definisi diatas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isha>ri adalah menjelaskan ayat Alquran dengan jalan menakwilkan ayat diluar makna zahirnya yang dipahami

56

Adh–Dhahabi,at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 251. Tafsir isha>ri disebut juga tafsir fayd}iy> ىضيف , artinya berlimpah, mengalir sendiri ibarat berita tersebar dengan sendirinya, muncul (ide) dari hatinya. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan penyelenggara Penterjemah Alquran, 1973), 327. Maksud kata tersebut dikaitkan dengan tafsir berarti tafsir isha>ri adalah penafsiran yang muncul, mengalir dari hati para sufi karena latihan dan pengalaman kerohaniannya bukan berdasarkan nalar semata. Penafsiran mereka bisa berupa pemahaman ayat yang disesuaikan dengan pengalaman kerohanian dalam ibadah yang dilakukan atau bisa juga penafsiran lewat ilham yang diterima.

57

oleh pelaku tasawuf (suluk) melalui isyarat yang terkandung (terselubung) didalam susunan ayatnya. Disamping itu selain memahami ayat secara isha>ri diambil juga makna zahirnya. Proses menafsirkan ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan rohani dan memperoleh pengetahuan rabba>ni, sehingga ia mampu menangkap isyarat suci dari ayat. Bila dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi, tidak sama dalam implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir serta makna isha>rinya, ada yang dominan pendekatan makna zahirnya bahkan ada yang mengabaikan makna zahirnya.

Diantara penafsiran sufistik yang dikenal sebagai corak isha>ri adalah at-Tustari (w.283 H)58 dengan tafsirnya Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m, as–Sullami (330–412 H)59 dengan tafsirnya H{aqa>iq at–Tafsi>r, Shairazi (w.666 H) dengan tafsirnya ‘Ara>is al–Baya>n fi> H{aqa>iq al–Qura>n, Najmuddin Da>yah (w.654 H) dengan tafsir at–Ta’wi>la>t an–Najmiyyah, Naisaburi (+ abad VIII H) dengan Ghara>ib al–Quran wa Ragha>ib al–Furqa>n, al–Alu>si (w.1270 H) dengan Ru>h{ al–Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al–Qura>n al–‘Az}i>m wa as–Sab‘i al-Matha>ni.60

Contoh, penafsiran Tustari ayat 92 Ali Imran (3).

حت م ا قف ت ىتح اا ت ..

Artinya, Kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebajikan sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.

Dinyatakan dalam tafsirnya;

حت م عبا قف تف م سف أ ا ب حت ىتح ك قت ا ا غ ت أ 61

Tafsirannya, kamu tidak akan dapat mencapai ketaqwaan sempurna sebelum kamu memerangi dirimu sendiri. Untuk itu infakkanlah sebagian harta yang kamu cintai. Dalam memberikan infak harus ikhlas semata–mata mencari keridhaan

58

Sufi yang mengakui ada makna zahir dan menggunakannya juga dalam penafsirannya seperti at-Tustari dan Najmuddin Da>yah

59

Tokoh Sufi yang dalam penafsirannya tidak menonjolkan makna zahir seperti; as–Sullami, Shairazi, artinya mereka lebih tampak menggunakan makna isha>ri.

60

Dua tafsir terakhir merupakan tafsir yang tetap berpegang pada makna zahir dalam pendekatan isha>rinya. Demikian disimpulkan oleh adh-Dhahabi, at–Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Tp, 1396/1976),juz 2, 281

61

Allah.62 Orang yang hatinya ragu-ragu dalam memberikan sebagian harta yang disukainya menurut Tustari orang tersebut belum bisa terlepas dari keterikatan dengan harta. Karena taqwa yang sempurna harus bisa mencintai orang lain dari pada mencintai harta sendiri.

يعش ا ى ع ا ي اص ا ص ب ا يعتسا

(al–Baqarah: 45) .

Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya yang demikian itu sunguh berat kecuali bagi orang yang khushu‘.

ص ا ه ه ص ا ,

ف ع ا ص اص ا 63

Tafsirannya, sabar yang dimaksud dalam ayat ini adalah puasa (s}aum) sedangkan s}alat adalah media untuk menuju ma‘rifah. Bagi orang yang benar dalam mendirikan salat maka ia akan sampai kepada ma‘rifah. Untuk sampai kepada ma‘rifah memang tidak mudah seperti diisyaratkan dalam ayat. S{alat, untuk sampai kepada ma‘rifah sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu‘.64 S{alat yang khushu‘ bisa mengantarkan seseorang mencapai ma‘rifah seperti yang pernah dilakukan oleh para sufi. Orang yang sampai pada ma‘rifah menurut pandangan sufi berarti sudah merasa dekat dengan Allah. Oleh sebab itu doa yang dimohonkan kepada Allah sudah tidak ada lagi penghalang antara hamba dengan Kha>liq. Dalam

pandangan sufi, ma’rifah merupakan satu indikator yang membuktikan hubungan yang dekat antara hamba dengan Tuhan.

Contoh penafsiran as–Sullami, surat ar–Ra‘d (13) ayat 3.

ا أ سا يف عج أا م ا ه ,

Artinya; Dialah Allah yang telah membentangkan bumi dan menjadikan gunung–gunung serta sungai–sungai padanya.

Menurut para ahli hakikat,

ىف ض ف ج ا م ب أج ا م ي ف ي ع م د س هئ ي أ م اد ت أ يف عج أا طسب ا ه ج ف مه صقي أا , سخ خ مه يغ هيتغب ك م . 62

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 49

63

At–Tustari, Tafsir at–Tustari, (Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 2002/1423), Cet. Ke–I, 31

64

Allah telah menghamparkan bumi dan dijadikan pula pilarnya dari para wali orang pilihan. Mereka menjadi tempat berlindung dan penyelamat bagi manusia. Siapa yang berjalan dimuka bumi menuju mereka maka ia akan beruntung dan selamat, kemudian siapa yang memusuhinya maka ia akan merugi.65 As–Sullami mengungkapkan pandangan dari para sufi dalam tafsirnya bahwa Allah memilih dari hambanya yaitu para wali untuk membimbing manusia di muka bumi. Wali Allah merupakan tiang bumi yang diciptakan Allah sebagai menjaga keseimbangan bumi. Posisi wali menurut penafsiran as–Sullami diatas berfungsi bagaikan gunung yang menjadi penyangga bumi. Demikian contoh penafsiran isha>ri oleh as-Sullami yang jauh dari makna zahir ayat sehingga sulit dipahami orang awam. Makna seperti ini yang menjadikan tafsirnya disamakan dengan tafsir batiniyah.

Penafsiran ini termasuk menggunakan makna isha>ri yang tidak berlandaskan pada makna zahir dan tidak didukung pula oleh pengertian ayat lain atau Sunnah.

Sa‘id Hawwa pernah menyatakan bahwa para sufi amali ada yang sejalan dengan Sunnah dan ada pula yang melanggar Sunnah. 66 Bila diperhatikan makna gunung dengan para wali sebagai penyeimbang bumi barangkali sulit dimengerti. Karena itu

sinyalemen Sa‘id H{awwa diatas boleh jadi ada benarnya.