• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hampir semua keluarga mengaku, bahwa penanaman nilai tanggung jawab yang berhubungan dengan tanggung jawab pribadi yang sederhana, seperti: mandi sendiri, berpakaian sendiri, melepas pakaian sendiri, makan sendiri, mau tidur sendiri, dan buang air kecil sendiri, mulai tampak mendapat respons ketika anak sudah mulai mengerti berinteraksi dengan orang lain. Misalnya kemampuan anak memahami perintah dan larangan, serta kemampuan anak yang semakin berkuasa melakukan secara fisik. Anak usia 3 tahun dalam penelitian ini sudah semakin ingin melakukannya sendiri. Orang tua merasa terbantu, ketika anak-anak mereka masuk Play Grouf (PG), dan masuk Taman Kanak-Kanak (TK), serta masuk Sekolah Dasar (SD).

Keluarga Hr, Sy, dan Sh yang berpenghasilan menengah dan tinggi serta berpendidikan tinggi, memilih untuk menitipkan anak-anak mereka ke PG.

Kemudian menceritakan kegembiraan anak-anak ketika menjalaninya. Anak merespons positif stimulus orang tua, terutama melatih kebiasaan anak untuk bisa bangun pagi, mandi pagi, dan sarapan. Pelaksanaannya tidak lepas dari kendala, sebagaimana ungkapan istri Sy:

Terkadang harus sabar untuk membangunkan, biar bagaimanapun mengganggu kesenangannya sedang enak-enak tidur, tetapi karena ini

sebuah pilihan yang harus dilakukan untuk kepentingan anak juga pada akhirnya. Kami beri pengertian, dirayu. Karena anak senang bermain di sekolah bersama teman dan pembimbingnya, anak mau saja memaksakan dirinya untuk bangun.

Sy melanjutkan penjelasan istri bahwa semua anak mereka demikian pada awalnya, tetapi gampang dilakukan setelah melalui proses pembiasaan. Cara ini juga sering dilakukan oleh Sh dan istri terhadap anak-anak mereka ketika awal masuk PG. Cara yang sering ampuh kata Sh, “memintakan komitmen saat anak mau tidur”, meskipun harus sering dan berulang-ulang, karena anak biasanya sering lupa jika sudah beberapa hari. Istri Sh menimpali penjelasan suaminya,

“bahwa melakukannya harus dengan cara ceria dan bervariasi”, misalnya dikageti, digendong, berlomba ke luar kamar, digelitiki, terkadang juga meminta anak yang mengageti saudaranya yang lain, seolah-olah anak bangun sendiri tanpa dibaguni.

Keluarga di atas memiliki peluang kembali melanjutkan upaya pengembangan rasa berkuasa anak ketika masuk TK, terlebih lagi masuk SD.

Alasan orang tua karena berpakaian merah putih pakai dasi, ada upacara yang berbaris dengan orang-orang lebih dewasa dari usianya. Anak-anak juga mengerti bahwa mereka bukan lagi bermain seperti di TK, tetapi sudah betul-betul belajar.

Demikian juga dengan anak keluarga Dr, Me, dan Bd, memiliki pengalaman yang sama ketika anak-anak mereka masuk TK dan masuk SD. Orang tua juga sering memotivasi anak-anak dengan kalimat harus rajin sekolah supaya nanti bisa jadi guru/ustad, jadi dokter, jadi pilot, dan semacamnya kepada anak-anak mereka.

Semua orang tua juga menceritakan kegembiraan ketika anak-anak menyambut hari-hari pertama masuk PG, TK dan SD. Sebelumnya mereka kondisikan agar anak-anak yang terlebih dulu yang menyampaikan komitmen,

jika sudah sekolah harus bangun pagi, harus sarapan pagi, dan lain-lain, sebagaimana ungkapan istri Sy, “pada awalnya harus bersabar”, demikian juga diungkapkan oleh orang tua lainnya, jika harus dilakukan dengan berbagai cara, pada akhirnya rasa gembira anak masuk sekolah akan memunculkan rasa berkuasa anak menjalaninya, tetapi rasa berkuasa anak tersebut sangat dipengaruhi berbagai faktor yang dapat merusaknya, misalnya rasa malas, rasa jenuh, rasa ketergantungan. Orang tua di atas dapat membantu memanfaatkan peluang dari keinginan anak yang senang menyambut sekolah baru, akhirnya bisa dilalui anak, sampai berpindah jenjang kelompok bermain, dari PG ke TK serta ke SD.

Anak-anak memulai sekolah dengan keyakinan positif mengenai kemampuan dan kapasitas mereka untuk mengikuti kegiatan sekolah termasuk belajar. Anak-anak di tahun pertama meyakini bahwa semua anak dapat belajar dan yang mereka butuhkan adalah usaha, mereka yang mendapat hasil terbaik adalah mereka yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh. Orang tua di atas memanfaatkan peluang tersebut dengan memberikan kembali peluang-peluang lain, yang menjadikan proses awal bagi anak untuk bertanggung jawab. Orang tua sanggup menyediakan sarapan lebih awal, mengantar anak, menyediakan keperluan sekolah, dan sebagainya, ini merupakan respons balik orang tua terhadap pemanfaatan rasa senang anak bersekolah dan ini merupakan peluang penanaman nilai tanggung jawab.

Sedikit berbeda dengan yang dialami oleh istri Ng, jika anak-anak mereka semuanya bersemangat dan rajin pada hari-hari pertama masuk, tetapi lama-kelamaan mulai kurang semangat, dan banyak alasan untuk tidak turun ke TK,

dan lebih suka menonton televisi di rumah. Pengalaman keluarga Ng yang berpendidikan rendah ini dibenarkan oleh guru TK Pembina Kumpai Batu Atas tempat anak Ng bermain dan belajar, bahwa anak meraka jarang masuk dan sering ketinggalan informasi. Termasuk anak-anak Ng yang lebih dewasa, juga pernah masuk TK di tempat yang sama.

Ng dan istri juga tidak merasa keberatan jika anak mereka yang berusia 6 tahun ini, tidak melakukan sendiri urusan sederhana sebagaimana yang dilakukan kebanyakan anak-anak lain, karena menganggap anak mereka masih terlalu kecil dan belum bisa. Setelah masuk TK kurang lebih satu bulan, orang tua kembali melayani anak sebagaimana anak mereka ketika belum masuk TK.

Seyogyanya keluarga Ng bertahan dengan memanfaatkan dan memotivasi anak untuk senang bersekolah yang dapat dengan mudah menjadikan anak bertanggung jawab mulai hal-hal kecil, serta rasa gembira dan keinginan anak untuk terus mau bertanggung jawab terhadap sekolah, karena ini yang nyata ada pada kebanyakan anak seusianya. Jika tanggung jawabnya untuk sekolah sudah melekat dalam diri anak, orang tua akan memiliki peluang untuk menambah tanggung jawab lainnya. “Tentu saja perilaku anak dipengaruhi oleh tekanan akibat perubahan sosial, tetapi banyak di antara masalah mereka dirangsang oleh pengalaman dari hari ke hari di samping bercikal bakal dari pengalaman sejak dini dalam keluarga”.13

Berdasarkan deskripsi upaya orang tua memanfaatkan peluang rasa senang anak bersekolah di atas dapat disimpulkan, bahwa orang tua melakukannya

13Harris Clemes dan Reynold Bean, Bagaimana Mengajar Anak…, h. 6.

dengan upaya memanfaatkan motivasi dalam diri anak: a) keluarga yang berpendidikan tinggi dan menengah, mampu mengondisikan dan memotivasi anak; dan, b) keluarga berpendidikan rendah dan religius rendah tidak dapat memanfaatkan rasa senang anak dan tidak dapat memotivasi anak.