• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semakin terlihat ketidakterikatan orang tua dalam pengambilan keputusan anak bagi anak dari keluarga berpendidikan tinggi, orang tua memberikan kesempatan sepenuhnya kepada anak usia ini untuk memutuskan sendiri pilihan yang dianggapnya baik berdasarkan tolok ukur yang sudah dimiliki anak, misalnya pilihan anak keluarga Hr untuk menambah ayam peliharaannya. Setelah berdiskusi tentang cara membersihkannya, waktu membersihkannya, cara memanfaatkan hasilnya, cara memasarkannya, dan peruntukkan hasilnya. Anak tetap pada pilihannya ingin menambah jumlahnya. Orang tua memfasilitasi keinginan anak, awalnya hanya supaya anak menyayangi binatang dan kurang yakin dengan keputusan yang diambil anak, orang tua tetap menghargai dengan memberikan sumber daya yang dibutuhkan anak, yaitu: menyediakan kawat dan kayu untuk kandang baru, bibit anak ayam, pembuangan kotoran yang lebih mudah dibersihkan, pengadaan alat kebersihan, lampu penghangat, tempat makan, dan lain-lain untuk merealisasikan keputusan anak. Bapak Hr menjelaskan:

Kami awalnya hanya niat supaya anak menyayangi binatang, belum yakin jika anak betul-betul bisa melakukannya sesuai planning anak dan targetnya untuk jadi pengusaha nantinya. Tapi, tetap kami penuhi, andai keputusannya salah, biarkan dia belajar dari kesalahannya, mengevaluasinya, dan melakukan perbaikan.

Berdasarkan pengalaman di atas, sikap yang dilakukan orang tua adalah tidak memaksakan anak untuk mengikuti pendapat orang tua, pendapat orang tua pun belum tentu kebenarannya. Anak usia ini sering ingin mengetes kebenaran pendapatnya juga kebenaran pendapat orang tua, jika memiliki pendapat yang

berbeda. Anak usia ini sudah semakin matang karena telah banyak pengalaman yang dilalui. Bantuan orang tua dengan memberikan rasa berkuasa pada anak untuk memberikan keputusannya tentang sesuatu, tentu setelah anak mengenali masalah dan memberi pertimbangan alternatif pilihannya.

Tidak hanya sampai di sini, keluarga Hr lanjutkan membantu mengevaluasi hasil keputusan anak, agar anak lebih menyadari proses pengambilan keputusan tersebut. Keputusan anak berhasil dengan mengajarkannya untuk menjual hasil peliharaan ayamnya yang berjumlah 3 kali lipat setelah satu tahun berikutnya, karena keputusan anak dinilai benar dan tepat, maka pemberian persetujuan orang tua terhadap putusan anak, memberi kekuatan dan menekankan keberhasilan anak. Kalau pun keputusan anak ada di antaranya yang tidak menghasilkan keputusan terbaik, prosesnya sudah membantu anak meninjau kembali alternatif yang dipilih dan memahami kesalahan-kesalahan yang diambil.

Masih pada keluarga Hr, juga sangat dirasakan hasilnya ketika orang tua membimbing anak-anak memutuskan untuk memilih hari dalam pembagian tugas mencuci piring dan menyapu rumah ketika pulang sekolah. Semua tugas-tugas yang diberikan berjadwal yang diatur sendiri oleh anak-anak untuk memutuskannya, orang tua terkadang menjadi fasilitator, terkadang juga anak pertama yang menggantikan orang tua, terkadang juga hanya menerima hasilnya saja karena sudah biasa dilakukan anak-anak, sebagaimana dijelaskan anak ketiganya dan diiyakan oleh MUG anak pertama keluarga ini,

Mas menyapu pilih hari Rabu dan Sabtu, mencuci piring hari Selasa dan Kamis, Teteh pilih hari Senin dan Selasa untuk menyapu, dan hari Rabu

serta hari Jumat untuk mencuci piring. Ana pilih hari Kamis dan hari Jumat untuk menyapu, dan hari Senin dan hari Sabtu untuk mencuci piring.

Semua diserahkan anak-anak mereka yang menyesuaikan dengan jadwal sekolah, misalnya pilih yang tugas sekolah pada besok harinya sedikit, dan lain-lain pertimbangan anak-anak mereka yang lebih tahu agendanya di luar rumah.

Mengupayakan anak-anak agar mengambil keputusan sendiri memerlukan berbagai upaya yang harus dilakukan orang tua sebagaimana upaya yang dilakukan oleh keluarga di atas. Tugas orang tua dalam hal ini adalah mengondisikan suasana agar anak terbiasa mengambil keputusan dan memberikan alternatif serta alasan yang seharusnya bagi anak. “Mengambil keputusan perlu menjadi proses yang disadari anak. Mereka harus menyadari bahwa mereka sedang mengambil keputusan dan hal itu diharapkan dari mereka”.38

Ikka Yarliani mengambil pendapat Stienberg, bahwa seperti anak-anak keluarga di atas menunjukkan perkembangangan nilai kemandirian remaja, di antara tandanya adalah: cara memberi pertimbangan semakin abstrak;

keyakinannya semakin mengakar pada prinsip-prinsip umum yang berbasis idelogis; dan, keyakinannya semakin tinggi dalam nilai mereka sendiri.39

Berbeda dengan keluarga Ng yang berpendidikan rendah, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk menetapkan keputusan, tetapi karena ketidaktahuan orang tua membantu anak sebagai sebuah strategi mendidik anak.

Anak mereka bingung ingin melanjutkan sekolah ke SMA atau SMK. Anak

38Harris Clemes dan Reynold Bean, Bagaimana Mengajar Anak…, h. 22.

39Ikka Yarliani, “Pengaruh Gaya Pengasuhan Orang Tua Terhadap Kemandirian Remaja”, dalam Jurnal Komunikasi dan Informasi Antar PTAIS-Kopertais XI “ITTIHAD”, Vol. 8, No. 13, April (2010): h. 6.

meminta pendapat orang tua, tetapi orang tua tidak bisa menjelaskan masalah yang dihadapi anak, karena tidak mengerti perbedaan antara keduanya, dan tidak punya pengetahuan untuk menyampaikan akibat dari pilihan tersebut, akhirnya menyerahkan sepenuhnya pada anak, sebagaimana pernyataan Ng berikut:

Kami tidak pernah sekolah sampai SMP, jadi terserah anak mau masuk SMA atau SMK, katanya terserah bapak, saya juga tidak tahu bedanya apa, bagi saya yang penting anak sekolah, dari pada diam di rumah atau keluyuran tidak ada tujuan, disuruh kerja cari uang juga belum bisa.

Orang tua di atas terpaksa harus menurunkan target, seharusnya menginginkan agar anak sukses dengan pendidikan yang menopang keberhasilannya, turun menjadi yang penting anak sekolah. Penanaman nilai tanggung jawab pada anak di atas menuntut pada orang tua untuk memiliki wawasan dan memiliki strategi yang tepat untuk dapat membantu anak mengambil keputusan terbaik. Anak tidak hanya dituntut untuk dapat mengungkapkan dengan bebas perasaannya, tetapi harus sampai pada mengenali dan memahami perasaannya. Kemampuan selanjutnya untuk dapat mengambil keputusan dengan tepat, jika anak memahami perasaannya, meskipun harus berulang-ulang dan membutuhkan waktu yang lama. Proses pengulangan dan waktu yang lama merupakan proses penanaman nilai bagi anak. Semakin banyak dan kompleks kemampuan anak, semakin siap anak berhadapan dengan masalah yang dihadapi.

Lain lagi dengan pengalaman keluarga Ag yang berpendidikan rendah, menganggap pilihan sementara bagi anaknya aneh dan tidak masuk akal, sehingga ditanggapi orang tua dengan pernyataan yang sama. Setiap orang tua bertanya atau orang lain bertanya termasuk penulis sendiri tentang cita-citanya, anak

dengan tegas menjawab “mau jadi artis”, orang tuanya kembali menjelaskan

“mulai dari kecil setiap ditanya, itu jawabannya”. Penulis lanjutkan bertanya “mau jadi artis apa?” Artis Dangdud jawabnya.

Orang tua kembali penulis saksikan mematahkan pilihan anak dalam rangka membuat keputusan. Orang tua melarang, menghina dan tidak mengizinkan anak untuk berusaha terhadap apa yang menjadi pilihan anak, tidak boleh ikut lomba, tidak boleh berlatih menyanyi di luar rumah, bahkan tidak boleh menyanyi dalam rumah. Padahal anak ini memiliki suara yang merdu dan tinggi, sering diminta menyanyi di sekolah jika ada acara intern sekolah, anak juga sering bersenandung dan menyanyi sambil mengiringi aktivitasnya mandi, mencuci dan di setiap ada kesempatan bersenandung atau menyanyi di rumah meskipun orang tua melarangnya bahkan sampai marah-marah. Bapak Ag menuturkan:

Menyanyi terus tidak tahu waktu bekerja, belajar, apalagi jika sudah menjelang Magrib. Kami tidak suka, karena tidak bagus anak perempuan pamer suara apalagi sekarang sudah remaja. Maunya jadi artis, itu tidak mungkin, biayanya dari mana?

Alternatif yang diusulkan anak mungkin kedengarannya lucu atau tidak masuk akal bagi Ag, tetapi mungkin masih dapat membantu mendorong anak bahwa mereka sedang berusaha mengambil keputusan. Bahkan pilihan orang tua pun bisa jadi tidak mampu setiap kali memberikan keputusan atau alternatif yang terbaik bagi anak. Kembali lagi pada permasalahan kompetensi dalam bentuk wawasan orang tua dalam membantu anak mengambil keputusan, bahwa anak sebenarnya sedang belajar mengambil keputusan, dengan alasan Ag bahwa biaya tidak mendukung karena menyesuaikan dengan kondisi ekonomi meraka sekarang

pada tingkat ekonomi lemah, tetapi paling tidak orang tua dapat memberikan alternatif lain.

Orang tua harus memahami bahwa anak sebenarnya memiliki kemampuan luar biasa, tugas orang tua seharusnya mendukung dengan cara memotivasi, memberi solusi, mengalihkan kecenderungan jika membahayakan dengan memberikan sumber daya yang dapat meraih atau mengalihkan keputusan anak.

Orang tua yang dapat membantu anak mewujudkan keputusan, menjadikannya memiliki kepekaan ganda dalam memahami diri dan alam lingkungan. Pendekatan yang tidak tepat bahkan keliru sangat tidak baik bagi perkembangan anak. Jika orang tua dapat membantu anak dengan strategi yang tepat, bisa menjadikan anak meledakkan kemampuan dan kelebihannya yang dahsyat.40

Bapak Sy menegaskan bahwa mendidik anak usia ini harus banyak akal atau banyak strategi, karena semakin tambah kecerdasan dan kemampunnya.

Anak mereka tidak mau lagi diajak untuk bertanya jawab materi pelajaran selama masuk SMP. Orang tua meminta anak untuk ditanya sama bapak atau sama ibu seperti ketika anak masih SD, tetapi anak tetap memilih untuk belajar sendiri.

Alternatif lain ditawarkan orang tua untuk mendatangkan guru les. Anak juga menolak dengan alasan lebih enak belajar sendiri. Orang tua memberikan warning agar peringkat akademiknya bertahan pada rangking I. Keputusan yang dipilih anak untuk belajar sendiri, dipakai anak sebagai usahanya untuk bertanggung jawab terhadap target diri dan orang tua, cara tersebut dibiarkan orang tua sebagai

40Asef Umar Fakhruddin, “Pendidikan Anak Usia Dini Sebagai Alas Pendidikan”, dalam Jurnal “INSANIA” Pemikiran Alternatif Pendidikan, Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto, Vol.

14, No. 2, Mei-Agustus (2009): h. 7.

bentuk persetujuan selama dua semester. Keputusan ini dibuktikan anak dengan tetap meraih rangking I.

Berdasarkan deskripsi upaya orang tua membantu anak mengambil keputusan dengan memberi kesempatan kepada anak untuk mewujudkan keputusan di atas dapat disimpulkan, bahwa: a) orang tua berpendidikan tinggi mengupayakannya dengan memberi kesempatan untuk membuktikan keputusan anak, memberi kesempatan untuk mengevaluasi, memberi kebebasan sebagai lanjutan pembiasaan dengan kesadaran; dan, b) keluarga berpendidikan rendah melakukannya dengan cara memberi kebebasan tanpa disadari, bahkan menghambat mewujudkan keputusan anak.