• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan karena Alah swt., dan mendapat dosa bagi seseorang yang sudah usia mukallaf Jika tidak melaksanakannya. Bagi anak-anak yang belum taklif, sudah harus dipersiapkan melalui proses pendidikan sehingga siap di saatnya memasuki usia taklif.

Kewajiban yang akan disorot dalam penelitian ini dibatasi pada penanaman nilai ibadah salat, puasa, menutup aurat dan belajar Alquran.

Semua orang tua mengaku telah mengajarkan salat kepada anak sejak anak bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan berjalan dan berlari, misalnya melakukan gerakan takbiratulikhram sambil mengucapkan kalimat takbir, sujud—meskipun sepotong-sepotong dari gerakan dan bacaan salat. Semua orang tua menceritakan masa lalu anak-anak bahwa semua anak gembira dan suka ikut-ikutan melakukannya, walaupun dengan bermain-main awalnya. Pendidikan nilai

salat yang sudah ditanamkan orang tua di atas mulai usia sedini mungkin. Sudah menjadi keharusan bagi umat Islam.

Anak kecenderungannya meniru dan identifikasi di dalam jiwa anak akan membawanya kepada meniru orang tuanya. Bahkan, anak usia 1 tahun, mungkin akan ikut-ikutan salat bersama orang tuanya hanya sekadar meniru gerakan.

Mereka mengucapkan kata-kata tayyibah dan doa-doa atau membaca surah-surah pendek dari Alquran.77

Semua orang tua dalam penelitian ini sudah mengajarkan anak-anak mereka tentang nilai-nilai yang terdapat dalam pelaksanaan amaliah agama.

Misalnya yang penulis amati dalam keluarga Sh dan Hr. Anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun sering mengingatkan orang tuanya jika murattal Alquran lewat pengeras suara di musala mulai terdengar, itu pertanda kurang lebih 15 menit lagi tiba waktunya salat Magrib. Berarti sudah jadi kebiasaan mereka untuk bersama-sama melaksanakan salat Magrib berjamaah ke masjid. Bahkan anak Sh mengatakan “Ayo… Abi belum mandi, sudah ngaji tuh di masjid”. Sh segera mohon diri untuk segera mandi, dan berterima kasih kepada anak dengan mengatakan “terima kasih anak saleh yang pintar”.

Penulis pernah ikut menjadi makmum bersama tiga anak perempuan keluarga Sh ketika melaksanakan salat Magrib berjamaah di rumahnya—diimami oleh istri Sh. Selesai salat Magrib anggota keluarga ini tidak ada yang melepaskan pakaian salat sampai melaksanakan salat Isya. Di antara waktu salat diisi dengan murajaäh Alquran dan menambah hafalan ayat Alquran bagi tiga anak

77Zakiah Daradjad, Pendidikan Islam dalam Keluarga…, h. 62.

perempuannya. Lalu belajar membaca buku Iqra’ bagi anak laki-laki mereka sepulang melaksanakan salat Magrib berjamaah di musala. Kegiatan ini rutin dilakukan. Bapak Sh menjelaskan:

Anak laki-laki sengaja diajak salat berjamaah ke masjid, supaya tahu bahwa laki-laki memang harus berjamaah di masjid dan terbiasa nantinya, tetapi seandainya tidak mau setelah dirayu, saya tawarkan salat di rumah saja dengan anak-anak perempuan yang sengaja dikondisikan salat di rumah bersama uminya.

Penulis menyaksikan anak ini salat sebagaimana orang lain salat pada awalnya, setelah bangkit dari sujud rakaat pertama, tiba-tiba ia mengambil bola plastik, dan meletakkan di sampingnya sambil ikut salat dan jika duduk sambil memainkan bola permainannya. Menjelang salam ia pun kembali khusu’

sebagaimana orang lain yang mau mengakhiri salat, ketika orang sujud ia juga ikut sujud. Anggota keluarga yang lain sama sekali tidak merasa terganggu dengan sikap anak ini. Istri Sh hanya tersenyum sambil menerima jabatan tangan anak, sembari memuji dengan kalimat doa, “anak saleh penghuni surga”. “Semua kakaknya juga sambil main-main salat ketika usia segini, kurang lebih 2 tahun lagi insya Allah sudah mengerti bahwa salat harus tertib”, kata istri Sh.

Sh menimpali penjelasan istrinya, bahwa ia sering mengingatkan anak laki-lakinya untuk tidak berisik, tidak berlari-lari, dan tidak bergurau jika sedang melaksanakan salat berjamaah di musala. Apalagi jika terlihat banyak anak-anak seusianya, Sh lebih memilih shaf berdekatan dengan anak di belakang dan menyilahkan orang lain menjadi imam.

Strategi yang dilakukan Sh juga dilakukan oleh Hr, bahkan sering ikut membantu mengondisikan anak-anak yang salat di musala dan mengingatkan

semua anak untuk menjaga kekhusukan salat. Hr menceritakan pengalamannya di media facebook yang penulis komfirmasi langsung, bahwa pada saat mau melaksanakan salat Asar, Hr mengajari anak-anak menyusun shaf yang benar, yaitu mengisinya mulai dari tengah ke kanan dan ke kiri belakang imam. Selama beberapa waktu salat mereka lakukan dengan tertib. Suatu ketika anak-anak tersebut berisik pada saat salat, Hr meminta anak-anak untuk mengulang salatnya masing-masing. Khusus anak Hr diminta ulang sekali lagi karena masih belum sungguh-sungguh, maksudnya untuk memberikan efek jera agar anak tidak mengulanginya. Hr menuturkan:

Kecilnya anak pertama dulu masih tinggal di kos, musala di sana tidak banyak anak-anak, jadi salatnya tidak sambil main. Sekarang anak yang keempat banyak sekali teman-temannya seusia PG dan TK, saya harus ekstra mengajarinya, meskipun anak saya tidak ribut, tetapi rawan sekali ikut-ikutan temannya, jadi harus saya amankan semuanya.

Terlihat juga bagi anak laki-laki keluarga Ys, sering mengajak ibunya untuk salat berjamaah di rumah. Pada saat salat Magrib hari Kamis tanggal 14 Mei 2014, terdengar pembicaraan Ys kepada anaknya “cepat besar, nanti kalau sudah besar gantian mengimami mama ya…”. Di kesempatan lain Ys menuturkan masih belum menyuruh anaknya usia ini untuk salat, tetapi jika tahu ibunya mau salat—ia cepat-cepat ikutan salat, terkadang juga ikut abangnya salat ke masjid, Ys juga kurang menekankannya karena takut mengganggu jamaah lain. Berbeda jika bapaknya masih ada, anak ini selalu dibawa meskipun hanya duduk di sebelah bapaknya, yang penting anak tahu bahwa salat berjamaah seperti yang anak lihat.

Semua orang tua juga sudah memfasilitasi anak mereka dengan busana khusus untuk salat beserta sajadah sebagai alas untuk sujud, semua anak yang

penulis wawancarai merasa bangga dan senang menunjukkan kepemilikannya.

Penulis juga melihat terdapat jam dinding pada tiap rumah, fasilitas ini memberikan kemudahan anak mencocokkan waktu salat dengan bunyi pengeras suara membaca Alquran atau azan di masjid/musala.

Khusus anak keluarga Ng yang religius rendah dan berpendidikan rendah, menuturkan jika orang tuanya tidak pernah salat, dan anak keluarga Me, Hn, Sg, dan Ng lebih suka salat berjamaah ke masjid ikut bersama teman-teman seusia di sekitar rumah. Anak-anak keluarga ini menuturkan jika orang tua mereka terkadang salat di rumah, kadang-kadang juga salat di masjid.

Zakiah Daradjad berpendapat bahwa anak punya kecenderungan meniru karena setiap hari bersama orang tua, dan orang tua yang paling anak lihat, maka sudah barang tentu anak-anak meniru orang tuanya, apalagi seusia ini belum mampu membedakan dengan tolok ukur nilai yang ada pada kebanyakan orang lain.78 Anak-anak di atas yang orang tuanya disiplin salat berjamaah ke masjid dengan mengajak anak mereka ikut serta, maka anak juga melakukannya bersama orang tua, tetapi jika orang tua yang kadang-kadang salat berjamaah di masjid, anak juga menunjukkan seperti yang dilakukan orang tuanya.

Berdasarkan deskripsi upaya memanfaatkan kewajiban anak usia 3-7 tahun dengan mengajarkan salat di atas dapat disimpulkan, bahwa: a) semua orang tua mengajarkan tentang salat kepada anak ketika anak-anak mereka dapat berinteraksi dengan orang lain, anak bisa berbicara mereka ajarkan kalimat takbir,

78Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Bandung: Ruhama, 1993), h. 62.

anak bisa duduk dan berdiri mereka ajarkan ruku dan sujud, dan murah memberikan pujian kepada anak yang mau dan melaksanakan salat, serta memfasilitasi keperluan salat; b) keluarga yang religius tinggi sudah rutin membawa anak laki-laki usia ini berjamaah ke masjid.