• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selanjutnya, semakin variatif lagi cara orang tua mengajarkan anak usia ini belajar Alquran, sebagaimana pengakuan istri Hn yang religius menengah dan berpendidikan agama menengah pertama:

Anak kami harus mau belajar mengaji, biar saja saya kasih uang jajan tambahan, karena siapa lagi yang diharap mengajari di rumah, saya ngurus anak, suami cari uang. Madrasah tempatnya ngaji itu yang sudah menjadikan saya dan suami bisa ngaji, bisa salat dan belajar agama.

Kalau belajar di sekolah tidak cukup, karena terbagi dengan mata pelajaran umum.

Mengajarkan anak membaca Alquran memiliki tantangan bagi orang tua, sebagaimana mengajarkan anak mengenal ajaran agama lainnya, untuk sampai pada dapat membaca saja membutuhkan waktu paling tidak enam bulan jika anak belajar ke TPA/TPQ, karena anak tidak hanya belajar membaca dan menulis saja, tetapi ada pengetahuan lain yang menjadi tujuannya. Orang tua harus memiliki berbagai alternatif untuk anak jika mengalami kendala sebagaimana anak keluarga Dr yang religius menengah dan pendidikan menengah atas, anak ini sudah belajar ke TPA/TPQ bersama-sama dengan kakaknya, ketika kakaknya masuk SMP dengan alasan tidak punya waktu, karena sore jadwalnya harus latihan bola di club junior kabupaten, les di sekolah dan les di rumah guru, juga kegiatan ekstrakurekuler di sekolah, anak ini juga ikutan berhenti dengan alasan tidak ada teman. Padahal menurut keterangan istri Dr, “Banyak saja teman-temannya yang melewati rumah jika berangkat belajar mengaji di sana”.

Istri Dr berusaha mengajari anak ini di rumah tetapi tidak bertahan lama, alasannya karena tidak sabar mendidik anak dan kurang bisa menerapkan metode Iqra’, meskipun sudah mengikuti petunjuk mengajar yang ada di bagian belakang buku. Akhirnya menawarkan untuk belajar ke rumah guru mengaji yang berjarak kurang lebih 100 meter dari rumah bersama anak pertamanya. Sempat belajar dua minggu, kemudian memutuskan untuk berhenti, alasan karena gurunya kejam dan harus diulang-ulang sampai bosan. Orang tua berharap anak pertamanya dapat memotivasi adiknya, tetapi dua minggu kemudian—anak pertama pun berhenti dan sampai sekarang tidak belajar mengaji.

Ada berbagai faktor yang memberikan pengaruh bagaimana anak memikul tanggung jawab dan apakah orang tua akan mengajarnya secara efektif.

Mengetahui apa yang mengganggu dalam proses mengajar anak memikul tanggung jawab secara efektif akan membantu orang tua melihat perspektif hubungan orang tua dan anak. Memahami hambatan orang tua sebagai guru yang efektif, dan menyiapkan orang tua menghadapi perasaan bersama dengan anak.95

Istri Dr di atas sudah berupaya memberikan solusi dengan menasihati dan mencarikan guru pengganti kepada anak, tetapi belum sesuai dengan akar permasalahannya. Sebenarnya alasan anak karena “tidak ada teman, dan gurunya kejam”, merupakan tingkah anak yang mengambinghitamkan saja. Orang tua harus memahami perasaan anak dan hambatan yang menjadi permasalahannya, serta menggunakan komunikasi yang tepat. Anak tersebut belum memiliki motivasi dari dalam dirinya, motivasi dalam dirinya akan tumbuh jika anak sudah

95 Harris Clemes dan Reynold Bean, Bagaimana Mengajar Anak…, h. 37.

memahami nilai membaca Alquran. Orang tua dapat memberikan wawasan tentang manfaatnya, melalui kisah-kisah hikmah dan model-model yang ada di lingkungan anak, model orang yang pintar membaca Alquran, juga model orang yang tidak bisa membaca Alquran.

Istri Dr sudah memberikan nasihat agar anak mau belajar, tetapi belum sesuai dengan cara-cara memberi nasihat, padahal cara memberi nasihat jauh lebih penting dari isi nasihat yang disampaikan. Sebelumnya harus menjalin hubungan baik dengan anak, memberi nasihat seperlunya dan jangan terlalu banyak apalagi berulang-ulang, dan kondisikan terlebih dulu bahwa anak siap menerima nasihat.

Terjadi juga pada anak keluarga Ng yang religius rendah dan pendidikan rendah, anak usia 10 tahun belum bisa mengenal huruf hijaiyah, padahal TKA/TPQ berada di kiri rumahnya, setiap hari anak-anak Ng melihat anak-anak seusianya belajar mengaji, bahkan ikut bermain bersama di halaman rumah yang menyatu dengan halaman musala tempat belajar mengaji tersebut, juga suara anak-anak yang menghafal surah-surah pendek Alquran, bacaan salat, menyanyi bersama lagu-lagu islami dan suara guru yang mengajarkan Alquran terdengar dari rumahnya, anak-anak keluarga Ng tetap tidak berminat belajar.

Keluarga Ng sudah meminta anak untuk belajar sebagaimana yang dilakukan istri Dr, dan sudah menggunakan model diri mereka sendiri supaya jangan ditiru karena malu tidak bisa mengaji, tetapi anak tetap tidak berminat untuk belajar mengaji, sementara anak keluarga Sh, Hr, dan Sy dengan usia yang sama, sudah melanjutkan pada membaguskan bacaan anak menurut tajwidnya, dan menghafal ayat-ayat Alquran yang menjadi target sekolah anak, yaitu harus hafal

minimal juz 30 ketika lulus SD. Orang tua merasa terbantu dengan target dan program sekolah yang mewajibkan anak-anak untuk menambah hafalan ayat Alquran setiap 2 hari sekali langsung dibimbing guru mereka di sekolah.

Target di atas menjadikan anak-anak rajin melakukan murajaáh di rumah agar semakin kuat hafalanya. Orang tua juga berkewajiban memantau kemajuan anak dengan memberikan paraf pada buku prestasi anak, jika melakukan murajaáh atau menambah hafalan di rumah. Dengan demikan, orang tua selalu mengetahui tiap-tiap perkembangan prestasi bacaan dan hafalan Alquran anak.

Anak-anak mereka selalu bersahut-sahutan bersenandung melakukan murajaáh dan menghafal ayat Alquran, sambil mengganti pakaian, sambil jalan dalam rumah, sambil berbaring, terkadang saling minta simakkan dengan saudara lainnya terhadap kebenaran bacaannya. Penulis perhatikan suatu saat anak ini hafal, tiba-tiba mengeluarkan suara dengan nada nyaring “alhamdulillah, asy-syik sudah hafal, yes yes hafal, besok setor lagi” supaya diketahui saudara dan orang tuanya. Pengakuan bangga dari istri Sy juga diasakan oleh keluarga Sh dan Hr.

Semua anak dari keluarga di atas sudah bisa membaca Alquran, mengaku memiliki Alquran sendiri yang dbelikan orang tua, setelah menamatkan belajar Iqra’. Semua juga memiliki baju muslim pembelian orang tua sebagai motivasi anak supaya gemar belajar mengaji ke TPA/TPQ dan ke rumah guru mengaji.

Berdasarkan deskripsi upaya penanaman nilai tanggung jawab anak usia 8-12 tahun, dengan mewajibkan anak belajar Alquran di atas dapat disimpulkan, bahwa semua orang tua sudah memfasilitasi dan mengajarkan nilai-nilai Alquran dengan belajar membacanya, a) keluarga yang religius tinggi dan berpendidikan

tinggi tidak hanya membaca tetapi juga menghafal dan menyempurnakan tajwidnya dan memantaunya serta mengajarkan sendiri serta menitipkan ke rumah guru mengaji dengan pemantauan rutin; b) keluarga religius menengah dan pendidikan menengah meminta anak belajar dengan mengupayakan berbagai solusi serta menitipkan anak belajar ke TPA/TPQ; dan c) keluarga religius rendah dan pendidikan rendah meminta anak belajar tetapi tidak diiringi dengan strategi yang tepat.

Upaya orang tua menanamkan nilai tanggung jawab dengan memanfaatkan kewajiban dan ketaatan salat anak usia 8-12 tahun, dapat dilihat dalam matrik pada tabel berikut:

Tabel 4.23: Upaya Orang Tua Memanfaatkan Kewajiban dan Ketaatan Anak Usia 8-12 Tahun

Mewajibkan anak salat lima waktu Semua keluarga Mendukung anak melaksanakan

Meminta anak melaksanakan salat Religius rendah dan pendidikan

No. Memanfaatkan