• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjelaskan Masalah dan Mengenalkan Alternatif Pilihan Penulis mengamati upaya keluarga Sh yang berpendidikan sarjana

keguruan membantu anak mengambil keputusan anak mereka MFH yang berusia 3 tahun. Selesai salat Magrib jadwal keluarga adalah membaca doa-doa Alma’tsur. Anak tersebut meminta untuk main laptop tetapi orang tua tidak mengizinkan karena takut menjadi kebiasaan memainkan sesuatu di luar jam yang dibolehkan. Orang tua mencoba mengalihkan perhatian anak dengan menyarankan belajar menggambar sambil mengatakan “bapak ada gambar baru yang bagus”, posisi menggambar dikondisikan ibu disebelahnya yang sedang membaca doa-doa Alma’stur bersama anggota keluarga yang lain, dengan maksud agar anak tetap mengikuti, meskipun sambil bermain dengan coretan gambarnya.

Selesai membaca Alma’stur, masing-masing melanjutkan dengan murajaáh hafalan ayat Alquran. Tugas orang tua mengajarkan membaca buku Iqra’ pada anak mereka yang tadinya mau menggambar. Anak tersebut menolak bahkan mengajak bapaknya untuk main bola dalam rumah. Bapak menjelaskan masalah bahwa mengganggu kakak-kakaknya yang sedang menghafal. Anak menawarkan untuk main dalam kamar, bapak meminta ditunda besok. Anak tetap maunya pada saat itu, akhirnya bapak memberikan pilihan lain untuk belajar membaca buku Iqra’ dulu, anak menyetujui dengan syarat setelah itu main bola, bapak menyetujui dengan menayakan berapa kali tendangan? Anak menyebut 3 kali dan disetujui bersama keputusan tersebut.

Sh mengingatkan ketika saatnya main bola, agar sesuai janji yaitu 3 kali tendangan. Sh sengaja menjelaskan masalah dengan mengharap anak

mengomunikasikan terus kepada orang tua, supaya terbiasa juga ketika berhadapan dengan orang lain jika menemui masalah yang sama, dan sudah memiliki wawasan jika menemui masalah-masalah berbeda.

Orang tua di atas baik suami maupun istri dalam banyak hal sangat terlihat membantu menggiring anak untuk mengambil keputusan, dan menerimanya menjadi keputusan bersama dalam rangka membangun sebuah sistem nilai keluarga. “Sistem nilai dalam keluarga terbentuk dari sistem nilai tiap individu, yang terbentuk menjadi sistem nilai baru. Sistem nilai tersebut akan menjadi acuan perilaku dan perbuatan anggota keluarga. Sistem nilai keluarga tersebut akan berkembang seirama dengan meningkatnya kebutuhan dan interaksi keluarga dalam rumah tangga”.33

Sangat dibutuhkan kepiawaian orang tua sebagaimana keluarga Sh di atas, untuk mengikuti pikiran anak dan mengarahkannya dengan mencari alternatif sebagai pilihan yang harus diputuskan. Hal ini membutuhkan wawasan yang luas dalam pendekatan dan perbendaharaan kata yang tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan orang tua, dalam menciptakan sebuah sistem nilai keluarga, anak juga mengalami proses pengambilan keputusan, maka anak akan memiliki strategi pengambilan keputusan yang tepat, dan menjadikan anak percaya diri, karena sudah terbiasa berhadapan dengan masalah-masalah dalam kehidupan anak, dan sanggup megendalikannya.

Upaya yang dilakukan keluarga Hr baik suami maupun istri, sama dengan yang dilakukan istri Hr kepada anak dalam banyak hal, misalnya ketika MHF

33Muslimah, “Hakikat dan Sistem Nilai…, h. 44.

anak mereka usia ini meminta segera main ke rumah tetangga yang sedang menonton film sejarah perjuangan Rasul, pada saat yang sama penulis meminta tolong pada istri Hr untuk meminta waktu bersama anak ini. Istri Hr menjelaskan maksud penulis kepada anak dengan kalimat, “ini ibu guru yang mau ngajari permainan sama adek”. Kalimat ini dinyatakan ibunya karena baru mendengar jika penulis memiliki film yang sama.

Ibu di atas menciptakan opini-opini agar anaknya sendiri yang menawarkan diri untuk menonton film dekat dengan penulis, agar maksud ibunya dan penulis terpenuhi. Kepiawaian menggiring anak seperti yang dilakukan istri Hr dan keluarga Sh, penulis perhatikan terdapat sedikit perberbedaan dalam proses menggiring anak sampai mengambil keputusan, dengan cara yang dilakukan orang tua lain dalam penelitian ini.

Keluarga dan orang tua berlatar belakang belakang keguruan melakukan strategi seperti di atas, karena pelajaran pedagogik yang mereka dapatkan semenjak kuliah dan terbiasa memimbing siswa di sekolah formal. Interpretasi penulis dibenarkan oleh tiga orang di atas, masing-masing mengaku sangat terbantu mendidik anak dari ilmu keguruan yang mereka ketahui dan mereka praktikkan di sekolah, mengingat mereka sekarang adalah menjadi guru aktif di sekolah masing-masing.

Bantuan yang diberikan orang tua agar anak mengambil keputusan, penulis perhatikan lebih banyak memberikan stimulus dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang menggiring, mengarahkan dan tidak jarang kehabisan cara sehingga meminta bahkan memaksa anak untuk memilih yang dipilihkan orang

tua. Apabila cara terakhir yang hanya dilakukan orang tua, maka anak akan kehilangan kesempatan untuk dapat belajar memahami bahwa sebuah keputusan itu didahului dengan pertimbangan-pertimbangan yang tepat dan bahwa tiap keputusan ada risiko. Padahal tujuan membantu anak agar mengambil keputusan, adalah agar anak terbiasa berhadapan dengan masalah hidup yang pasti ada bagi siapa saja, dan harus memilih pilihan yang minimal risiko. Karena setiap pilihan pasti mengandung risiko yang harus dihadapi.

Tidak sedikit anak menjadi korban ketidakpahaman orang tua dalam hal membantu anak mengambil keputusan, hal ini sering penulis perhatikan pada keluarga berpendidikan menengah ke bawah, misalnya anak Ys yang memilih untuk menaiki sepeda karena mau melihatkan sepeda barunya. Ibu melarangnya dan menyuruh untuk disimpan, anak mencoba untuk mendapatkan restu ibunya dengan tetap beusaha mengeluarkan sambil berkata “bisa saja”. Ys sudah memastikan tidak bisa karena ukuran sepeda memang lebih besar dari jalan yang akan dilewati, dan jika dikeluarkan harus meminta penulis pindah tempat duduk atau bergeser sejenak, sementara semua perhatian saat itu terpusat pada anak.

Anak kecewa dan menangis sambil berlari ke kamar tidurnya.

Demikian juga dengan anak Me yang berpendidikan rendah meminta pakai baju yang baru dibeli kakaknya, sementara orang tua menyuruh memakai baju yang baru dilepas saat mau mandi dengan alasan masih bersih. Anak keluarga Me ini terpaksa menuruti keinginan ibunya meskipun dalam tekanan perasaan.

Berbeda dengan anak Ys yang memberontak dan menghindar.

Kendati sudah terlihat ada upaya Ys yang berpendidikan menengah atas untuk menjelaskan masalahnya kepada anak, tetapi belum sampai pada anak memahaminya karena tidak dilanjutkan dengan mengenalkan alternatif lain.

Demikian juga dengan keluarga Me yang berpendidikan rendah, tidak mendahuluinya dengan penjelasan masalah apalagi memberikan alternatif lain.

Kedua anak di atas merasa jika keputusan yang diarahkan orang tua kepada mereka tidak cocok dengan keinginannya, kendati mereka berkeyakinan keputusannya benar, tetapi karena ketidakmampuan anak mengomunikasikan dan menegosiasikannya, menjadikan anak menuruti dalam tekanan atau menghindar dari tanggung jawab. Berbeda jauh dengan upaya yang dilakukan keluarga Sh dan istri Hr yang berlatar belakang sarjana keguruan, melakukannya dengan banyak strategi untuk menjelaskan masalahnya kepada anak, serta memberikan alternatif lain, sehingga anak memiliki wawasan dan banyak pilihan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam dunianya kelak.

Berdasarkan deskripsi upaya orang tua membantu anak mengambil keputusan dengan menjelaskan dan mengenalkan alternatif lain,dapat disimpulkan bahwa: a) keluarga berpendidikan tinggi maksimal dalam menjelaskan dan mengenalkan alternatif lain dalam mengambil keputusan; dan, b) keluarga berpendidikan menengah ke bawah bertahan dengan cara menjelaskan dan mengarakan serta kurang maksimal mengenalkan alternatif lain.

Upaya orang tua membantu anak mengambil keputusan usia anak 8-12 tahun, dapat dilihat dalam matrik pada tabel berikut:

Tabel 4.15: Membantu Anak Mengambil Keputusan Usia 3-7 Tahun