• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membantu anak mengambil keputusan dilakukan orang tua sebagai bagian dari penanaman nilai tanggung jawab, misalnya istri Hn yang berpendidikan menengah pertama, memenuhi permintaan anaknya berusia 6 tahun untuk dibelikan minuman yang dijual paman keliling. Ibunya bertanya “mau pakai gelas paman atau pakai gelas sendiri?” Anaknya bingung untuk memilih yang mana.

Ibunya membantu menjelaskan masalah yang dihadapi anak, “jika pakai gelas paman, minumnya harus cepat dihabiskan, dan jika pakai gelas sendiri bisa diminum nanti-nanti”. Anaknya masih belum mengambil keputusan. Ibunya kembali mengingatkan “jika pakai gelas paman tidak usah dicuci, tapi harus langsung habis diminum, tapi jika pakai gelas sendiri bisa disimpan dalam kulkas

sisanya, pilih gelas plastik yang ada tutupnya”. Akhirnya anak cepat mengambil gelas plastik sesuai arahan ibunya yang terakhir.

Keluarga merupakan institusi yang sangat penting dalam proses sosialisasi anak sebagai konsumen. Keluarga adalah instrumental dalam mengajari anak pada aspek-aspek konsumsi yang rasional termasuk kebutuhan dasar konsumen. Anak-anak belajar mengenai pembelian dan konsumen dari orang tua mereka terutama ibu. Karena pada usia anak-anak biasanya akan lebih dekat dengan ibunya, sehingga peran ibu dalam proses sosialisasi anak sebagai konsumen sangat dibutuhkan. Proses sosialisasi konsumen anak merupakan proses anak-anak untuk mendapatkan keahlian, pengetahuan, dan sikap-sikap yang relevan dengan fungsi mereka sebagai konsumen. Sehingga interaksi ibu dan anak terutama dalam hal pembelian sangat menentukan pola pembelian anak.30 Sama dengan yang dilakukan oleh istri Dr yang berpendidikan menengah atas, terhadap anaknya, MA yang hampir berusia 4 tahun,ketika meminta minum pada ibunya. Ibu bertanya “mau air putih atau air teh?” Ibunya berusaha menjelaskan masalah yang mengharuskan anak memilih salah satunya. “Hidupkan air panasnya kalau mau air teh, dan ambil dikulkas kalau mau air dingin”. Anak masih belum mengambil keputusan juga, akhirnya anak menuruti saran ibu untuk memilih air kemasan saja yang ada di atas meja.

Penanaman nilai tanggung jawab yang dilakukan istri Dr di atas, sama dengan ibu sebelumnya, yaitu dalam rangka supaya anak mengambil keputusan yang tepat dengan menjelaskan masalahnya. Bedanya—ibu yang pertama berhasil sampai pada membantu mengarahkan, tetapi ibu yang kedua ikut berperan sampai memberikan keputusan akhir yang menjadikan anak tegas mengambil keputusan.

Menurut Abdullah Muhammad Abdul Muthi, kedua ibu di atas menerapkan

“pilihan terbatas” bagi anak. Pilihan terbatas dimaksud yakni mengajukan dua

30Titin Ekowati: “Peran Ibu…, h. 45.

pilihan yang baik dan sesuai kepada anak, dan anak harus memilih salah satunya.31

Jika orang tua hanya menerapkan pilihan terbatas saja, seperti mau minum menggunakan gelas paman atau gelas sendiri? Mau minum air putih atau minum aqua? Komunikasi ini berdampak pada anak tidak mendapatkan banyak kesempatan mengatur pemikirannya dalam hal menentukan keputusan, karena hanya terpaku pada dua alternatif saja, dan pada saat itu berarti orang tualah yang berperan menentukan keputusan yang seharusnya menjadi wilayah kekuasaan anak untuk dirinya sendiri. Tetapi karena kedua ibu di atas melanjutkan dengan membantu anak memahami masalah yang dihadapi, menjadikan anak secara bertahap memahami proses dari sebuah pengambilan keputusan.

Upaya memberikan pilihan kepada anak dilanjutkan dengan memahamkan akibat dari suatu pilihan, berarti orang tua berupaya menanamkan nilai dari proses pengambilan keputuan kepada anak, untuk menggunakan fikiran dan perasaan.

Orang tua telah mengajarkan dengan memberikan “kunci kendali”. Cara Ini yang banyak disukai dan cocok dengan anak-anak usia dini. Berarti juga mengembangkan rasa berkuasa anak dalam mengambil keputusannya sendiri.

Memberikan sedikit kekuasaan kepada anak-anak dalam pengambilan keputusan, dapat berakibat pada tercapainya tujuan-tujuan yang lain, misalnya orang tua secara langsung memberikan contoh yang fleksibel dalam hal mengambil keputusan dan anak tidak menyalahkan pihak lain yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

31Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi, Kiat Praktis Menjadikan Anak…, h. 28.

Semua keluarga melakukan cara sebagaimana istri Hn dan istri Dr, termasuk keluarga Ys dan Bd single parents dan berpendidikan menengah.

Perbedaannya dalam proses menggiring anak sampai pada sebuah keputusan anak sendiri atau keputusan bersama atau keputusan orang tua yang lebih dominan dalam proses pertimbangan terhadap memahami risikonya.

Keluarga Hr, Sh, dan Sy, yang berpendidikan tinggi, religius tinggi dan sering mengikuti dan membaca buku parenting, terlihat lebih mengamankan pendapat dan sikap anak dalam proses mengambil keputusan termasuk hasil keputusan anak, kendati keputusannya ada yang kurang tepat, misalnya keinginan anak-anak Sh yang mau main di kolam ikan saat pengajian keluarga pada hari Minggu yang dilakukan sebulan sekali. Istri Sh tahu saja jika kolam itu tidak bisa dijadikan untuk sarana bermain karena airnya keruh, lumpurnya pekat, relief tanahnya tidak rata, dan banyak ranting. Karena ibu dari anak-anak ini sudah mendapatkan informasi dari yang punya kolam bahwa aman saja jika diceburi, maka negosiasi anak-anak yang mau mencoba menangkap ikan dengan tangguk32 diiyakan oleh ibu. Setelah bercebur bebarapa menit anak usia ini menangis dan minta tolong. Ibu anak ini menolong sambil tersenyum dan mengatakan “asyik ya ceburnya, tapi sayang ya... ternyata kolamnya belum dirawat, nggak bisa ditangkap ikannya”, respons ibu ini mengamankan keputusan anak meskipun belum tepat untuk saat ini, tetapi anak sudah mendapat pengalaman dan mengevaluasi keputusan.

32Tangguk adalah alat menangkap ikan yang terbuat dari rotan dianyam berbentuk bulan sabit mamanjang. Digunakan untuk menangkap ikan di parit atau kolam kecil.

Keluarga Ag, Me, dan Ng yang berpendidikan rendah juga sering terlihat menjelaskan permasalahan kepada anak, misalnya saat anak keluarga Ag ingin main dengan anak tetangga, dan anak keluarga Ng yang ingin nonton TV beberapa kali ketika penulis berkunjung. Istri kedua keluarga ini mengatakan jika harus bersabar sebentar main dan nonton, anak menunjukkan kurang berkenan dengan pendapat ibu mereka, ibu ini melanjutkan dengan mengarahkan untuk duduk di sebelah ibunya, beberapa kali penulis perhatikan termasuk dalam kesempatan lain dari keluarga ini, baik istri maupun suami justru sering memaksa anak jika arahan mereka tidak diikuti oleh anak.

Kasus lain terjadi dengan keluarga Me yang tidak mengizinkan anak memakai baju baru pembelian kakanya setelah mandi, bapak anak ini hanya diam ketika ibunya sedikit menjelaskan dan lebih banyak mengarahkan, akhirnya memaksa anak untuk memakai baju yang dipakai sebelum mandi dengan alasan masih bersih. Ketiga keluarga ini berupaya menjelaskan dan mengarahkan, tetapi tidak semaksimal keluarga Hr, Sh dan Sy dalam melakukannya.

Berdasarkan deskripsi upaya orang tua membantu anak mengambil keputusan dengan membantu mengarahkan dan menjelaskan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa: a) keluarga berpendidikan tinggi, religius tinggi dan sering mengikuti dan membaca buku parenting melakukannya dengan mengamankan proses anak mengambil keputusan dan mengamankan risiko dari hasil keputusan anak; b) keluarga berpendidikan menengah melakukannya lebih dominan mengarahkan keputusan; dan, c) keluarga berpendidikan rendah melakukannya tidak maksimal sehingga dominan memaksa anak pada keputusan orang tua.

2) Menjelaskan Masalah dan Mengenalkan Alternatif Pilihan