• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ustadz Abdullah Zaen

Dalam dokumen Oleh: Andi Raita Umairah Syarif (Halaman 155-0)

BAB II MEDIA SOSIAL

C. Metode dan Karakteristik Penafsiran

3. Ustadz Abdullah Zaen

Berdasar penelaahan terhadap penafsiran atas ayat-ayat toleransi sebagaimana diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa Ustadz Abdullah Zaen cenderung menggunakan manhaj tafsir bi al-matsur dalam penafsirannya. Ia mengemukakan beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang menerangkan kandungan ayat-ayat tersebut.

Di antara contohnya adalah ia menerangkan bahwa surah al-Kafirun mengajarkan umat Islam untuk memiliki prinsip dalam kaitannya dengan akidah dan ibadah. Adapun jika kaitannya interaksi dalam perkara duniawi, maka Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat adil kepada non muslim dalam perkara-perkara tersebut sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Mumtahanah/60: 8.

Selain itu, ia juga mengemukakan ayat lain yang mempertegas perkara kebolehan atau tuntutan berbuat baik kepada orang kafir, yaitu QS Luqman31: 15. Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang anak harus tetap berbuat baik kepada orangtuanya yang kafir dalam hal-hal yang bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam.

Adapun contoh penggunaan hadis Nabi saw. sebagai penjelas kandungan surah adalah dalam penafsiran QS al-Kafirun/106: 1 terkait panggilan ‘kafir’.

Ustadz Abdullah Zaen menjelaskan bahwa Nabi saw. menggunakan kata kafir dalam surah ini karena ada maslahat yang menuntut hal tersebut.

Berbeda halnya dalam keadaan lain, seperti saat ia menulis surat kepada Heraclius, Raja Romawi, untuk mengajaknya memeluk Islam. Surat tersebut

diriwayatkan dalam kitab Bukhari-Muslim. Nabi saw. menuliskan, ”Kepada Heraclius, pembesar Romawi.”

Selain terkait tafsir ayat, Ustadz Abdullah Zaen juga banyak menyebut riwayat-riwayat hadis dari Nabi saw. terkait keutamaan (fadhilah) dan amalan surah al-Kafirun.

b. Metode dan Corak Tafsir

Jika menilik empat metode yang ada, Ustadz Abdullah Zaen cenderung menerapkan metode maudhu’i dalam penafsirannya. Sama seperti Ustadz Firanda, dalam pengkajian surah al-Kafirun, Ustadz Abdullah Zaen juga menggunakan bentuk tafsir maudhu’i dalam satu surah, yakni pengkajian surah secara universal hingga surah tersebut seperti satu kesatuan utuh.

Adapun dari segi corak, sebagaimana dua tokoh sebelumnya, tafsir Ustadz Abdullah Zaen terhadap ayat-ayat toleransi juga cenderung bercorak adab ijtima’i. Ia menjelaskan makna atau kandungan surah al-Kafirun dengan bahasa yang mudah dan kerap kali menghubungkannya dengan realitas kehidupan masyarakat.

Ustadz Abdullah Zaen membuka pembahasan surah al-Kafirun dengan mengatakan bahwa surah tersebut sangat perlu dibahas saat ini karena tidak sedikit orang yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ajaran agama-agam lain, dan promosi untuk menyamakan semua agama semakin gencar. Bahkan, orang yang mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar akan dianggap sebagai orang yang fanatik, egois, dan pemicu timbulnya terorisme. Ia juga menyebutkan bahwa surah al-Kafirun menghapus begitu banyak keyakinan-keyakinan batil yang semakin hari semakin menjamur di antara orang-orang yang menisbatkan diri mereka sebagai muslim.

Selain itu, masih dalam muqaddimah tafsirnya, Ustadz Abdullah Zaen juga menyatakan bahwa saat ini mulai muncul dan semakin gencar orang-orang yang ingin menjadikan keyakinan umat Islam terhadap agamanya sebagai sikap intoleransi. Jika seorang muslim berkata bahwa Islam adalah agama yang benar, ia akan dianggap sebagai orang yang intoleran, padahal toleransi tidak demikian.

Adapun dalam penafsiran ayat, yakni QS al-Kafirun/106: 6, Ustadz Abdullah Zaen berkata bahwa sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai argumen pluralisme, bahwa semua agama itu sama, dan itu tidak benar sama sekali. Ia kemudian menutup penafsiran dengan membahas cara membangun toleransi antar umat beragama di tengah perbedaan yang ada, khususnya di antara bangsa Indonesia yang majemuk.

D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir

Ketiga tokoh tafsir, Ustadz Firanda Andirja, Buya Yahya, dan Ustadz Abdullah Zaen, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat toleransi.

Ustadz Firanda dalam penafsirannya memberikan uraian yang terbilang rinci. Ia mendeskripsikan makna ayat-ayat dari berbagai segi, seperti dari segi lafal, sabab al-nuzul, dan makna ayat.

Ustadz Firanda menyebutkan bagaimana kondisi pada masa Nabi saw.

dengan menjelaskan sebab turunnya ayat, meski tidak menjelaskan bagaimana kronologi dari urutan ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.

Dalam penjelasan makna ayat, Ustadz Firanda mengemukakan penafsiran ayat demi ayat. Jika di dalam satu ayat tercakup beberapa kalimat atau penggalan, maka ia membaginya menjadi beberapa bagian untuk masing-masing dijelaskan detailnya. Selain itu, ia juga terkadang mengemukakan pendapat beberapa tokoh tafsir atas suatu permasalahan dalam pemaknaan ayat dan kemudian menerangkan pendapat yang paling kuat darinya.

Uraian yang cukup rinci tersebut merupakan kelebihan dari penafsiran Ustadz Firanda. Meski demikian, di sisi lain, Ustadz Firanda tidak konsisten dengan hal tersebut. Ia terkadang menafsirkan suatu ayat secara umum saja tanpa adanya penjelasan yang lebih jelas. Selain itu, kekurangan lainnya adalah dalam pengutipan riwayat atau pendapat. Ustadz Firanda kadang menyebutkan riwayat atau pendapat yang tidak jelas sumbernya dan ia tidak menjelaskan sumber pengutipannya.

Tokoh kedua, Buya Yahya, berbeda dengan tokoh sebelumnya. Buya Yahya secara umum menyampaikan penafsiran suatu ayat secara ringkas saja. Sebagai contoh, dalam penafsiran QS Yunus/10: 100, Buya Yahya mengemukakan tafsir ayat tersebut secara keseluruhan sekaligus dan secara singkat. Atas hal itu, uraian tafsir Buya Yahya terbilang kurang memadai. Ia juga tidak menyinggung sama sekali kondisi pada masa Nabi saw. sebagai gambaran atau pun perbandingan dengan kondisi masa sekarang.

Meski demikian, tafsir Buya Yahya tetap memiliki beberapa kelebihan. Di antara kelebihan tersebut adalah uraiannya yang selalu diselipi dengan pesan-pesan yang dapat menyentuh jiwa pendengarnya. Sebagai contoh dalam penafsiran ayat-ayat toleransi sebelumnya, Buya Yahya begitu menekankan pesan perjuangan di jalan dakwah dan mengutarakan keutamaan yang luar biasa di baliknya.

Tokoh terakhir, Ustadz Abdullah Zaen, juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penafsirannya. Dari sisi kelebihan, Ustadz Abdullah Zaen menyampaikan penafsiran yang cukup rinci, seperti halnya dengan Ustadz Firanda. Sebelum memulai penafsiran ayat per ayat, Ustadz Abdullah Zaen terlebih dulu memberi pengantar dengan mengemukakan kandungan surah

secara umum. Selain itu, ia bahkan menyebutkan nama-nama lain dari surah tersebut dan keutamaannya berdasar dalil dari hadis-hadis Nabi saw.

Adapun dalam penafsiran ayat, Ustadz Abdullah Zaen mengemukakan tafsir ayat per ayat secara detail dengan mengemukakan ayat-ayat, hadis Nabi saw., dan argumennya berdasar dalil-dalil yang ia sebutkan tersebut. Ustadz Abdullah Zaen juga terkadang membahas penafsiran ayat secara meluas. Ia tidak berfokus pada makna inti dari ayat tersebut saja. Sama halnya dengan Ustadz Firanda, Ustadz Abdullah Zaen menyebutkan bagaimana kondisi pada masa Nabi saw. dengan menjelaskan sebab turunnya ayat, meski tidak menjelaskan bagaimana kronologi dari urutan ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.

Adapun dari sisi keterbatasannya, Ustadz Abdullah Zaen juga memiliki kekurangan seperti Ustadz Firanda, yakni ia tidak konsisten dalam menguraikan tafsirnya secara rinci. Dalam tafsir beberapa ayat, ia terkadang hanya mengungkapkan makna secara umum saja, tanpa ada penjelasan yang detail. Ustadz Abdullah Zaen juga terkadang menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak diketahui sumber aslinya atau tidak jelas penyandarannya.

E. Relevansi dengan Wacana Toleransi secara Umum

Berdasar penafsiran ayat-ayat toleransi yang dikemukakan oleh Ustadz Firanda Andirja, Buya Yahya, dan Ustadz Abdullah Zaen, diketahui konsep toleransi yang ketiganya wacanakan. Konsep tersebut penulis batasi ke dalam empat poin, yang terbagi atas dua poin umum dan dua poin spesifik. Dua poin umum tersebut berkaitan dengan akidah, sedangkan dua poin spesifik lebih cenderung kepada persoalan muamalah atau sosial.

Poin umum pertama adalah bahwa toleransi berarti menerima hak setiap individu untuk memiliki dan menjalankan keyakinannya masing-masing. Pendapat ini sangat sesuai dengan konsep toleransi secara umum.

Trond Jorgensen dalam Tolerance – A Culturally Dependent Concept?, mendefinisikan toleransi dengan ‘menerima hak orang lain untuk menjalani kehidupan milik mereka dengan nilai-nilai mereka sendiri.67

Dalam penelitian berjudul Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives, disebutkan bahwa toleransi mengakui hak orang lain untuk memiliki dan mengekspresikan pendapat mereka. Jika individu dapat belajar untuk menghormati hak semua manusia untuk memiliki dan mengekspresikan pemahaman mereka tentang realitas, apakah mereka setuju atau tidak, maka setiap orang akan selangkah lebih dekat untuk hidup di dunia yang benar-benar dermawan. Orang dapat menghormati mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan memperlakukan mereka

67Trond Jorgensen, “Tolerance – a Culturally Dependent Concept?,” dalam Fleks I, Tolerance no. 2, 2014, h. 5.

dengan sopan dan membiarkan pandangan mereka mendapat tempat dalam wacana komunitas.68

Senada dengan kedua pandangan tersebut, Bertelsmann Stiftung menyebutkan bahwa aturan mendasar dalam menangani perbedaan secara demokratis adalah setiap orang memiliki hak yang sama untuk mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Pengakuan atas hak ini sangat fundamental dan menjadi dasar bagi toleransi.69

Poin umum kedua dari wacana toleransi yang penulis simpulkan dari penyampaian tafsir tiga tokoh tafsir di media sosial adalah umat Islam harus berpegang teguh pada prinsip keyakinan Islam dan tanpa mencampurbaurkannya dengan prinsip keyakinan lain.

Adapun dalam konsep toleransi umum, beberapa ahli juga membicarakan terkait hal ini. Namun, konsepsi tersebut merumuskan bahwa seseorang memiliki hak untuk berpegang teguh pada prinsipnya tanpa harus menyamakannya dengan prinsip orang lain, sedang dalam Islam, hal tersebut adalah suatu kewajiban, bukan sekadar hak. Karena itu, tokoh-tokoh tafsir di media sosial dalam penelitian ini menegaskan kewajiban menjaga identitas diri sebagai seorang muslim, khususnya ketika menafsirkan QS al-Kafirun.

Dalam salah satu uraian toleransi umum dikatakan, “Toleransi dikembangkan terkait kontras yang kuat terkait keyakinan dan klaim kebenaran. Toleransi tidak berarti kesepakatan atau persetujuan, tetapi ia menyiratkan penerimaan. Karena itu, adalah hal yang memungkinkan untuk memegang keyakinan dan klaim kebenaran yang kuat dan tetap bersikap toleran. Voltaire berkata, ‘Saya sangat tidak setuju dengan apa yang kamu katakan, tetapi saya mempertahankan dengan hidup saya hakmu untuk mengatakannya.” Toleransi tidak menuntut adanya kesesuaian atau konsensus. Namun, ia adalah cara menghadapi ‘kebenaran-kebenaran’ yang saling bertentangan.70

Individu dapat toleran tanpa persyaratan untuk mengadopsi pemikiran atau keyakinan orang lain. Inklusivitas seharusnya tidak menuntut agar perbedaan ditolak atau dilarang. Toleransi seperti yang didukung di sini menggunakan rasa hormat dan kesopanan bagi orang-orang, karena setiap individu memiliki nilai yang melekat. Tidak perlu memeluk kepercayaan orang lain; hanya menegaskan haknya untuk memiliki keyakinan itu.71

68C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,”h. 92.

69Bertelsmann Stiftung, “A Modern Concept of Tolerance; Basis for Democratic Interaction in Pluralistic Societies,”h. 5.

70 Trond Jorgensen, “Tolerance – a Culturally Dependent Concept?,” h. 6.

71C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,”h. 93.

Toleransi tidak ingin mengasimilasi atau menghilangkan perbedaan, tetapi merundingkannya untuk pengembangan nilai dan visi baru. Toleransi adalah nilai inti dari masyarakat pluralistik yang memberi peluang untuk membangun interaksi dan integrasi berbagai macam budaya dan pendapat.72s

Atas hal itu, konsep toleransi ini memungkinkan seseorang dapat memegang teguh keyakinannya dan sekaligus tetap bersikap toleran. Hal ini karena penerimaan yang dimaksud adalah penerimaan terhadap ‘hak’

memiliki keyakinan berbeda, bukan penerimaan atas ‘keyakinan’ yang berbeda tersebut.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, selain dua poin umum tersebut, terdapat dua poin lain yang bersifat spesifik.

Poin spesifik pertama dari konsepsi yang dikemukakan tiga tokoh tafsir di media sosial adalah bahwa toleransi mengedepankan humanisme dengan menghindarkan diri dari perilaku yang dapat menyakiti orang lain.

Pendapat ini konsisten dengan konsepsi toleransi secara umum yang memandang bahwa toleransi menunjukkan rasa hormat terhadap kemanusiaan yang hakiki dalam diri setiap orang.73

Seorang psikoterapis terkenal, Albert Ellis, mengemukakan bahwa seseorang dapat tidak setuju dengan beberapa tindakan orang lain, tetapi harus selalu mentolerir kemanusiaan mereka. Hal serupa diungkapkan oleh Ellis. Ia berkata, “Manusia harus dianggap layak dihormati sebagai manusia, terlepas dari bagaimana nilai-nilai mereka berbeda dan apakah kita tidak menyetujui apa yang mereka lakukan. Hanya berdasarkan kemanusiaan mereka, semua orang memenuhi syarat untuk mendapatkan status martabat yang harus diakui semua orang.”74

Individu dapat tidak setuju tanpa menjelek-jelekkan mereka yang berbeda pendapat, bahkan ketika mereka mengungkapkan ide-ide yang dianggap tidak menyenangkan atau menyinggung.75

Michael R. Williams dan Aaron P. J. dalam penelitiannya bahkan mengusulkan definisi toleransi dengan ‘menghormati dan menganggap kemanusiaan seseorang lebih penting daripada ide atau cita-cita apa pun yang mungkin ‘kami’ atau ‘mereka’ pegang.’76

72Bertelsmann Stiftung, “A Modern Concept of Tolerance; Basis for Democratic Interaction in Pluralistic Societies,”h. 4-5.

73C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,” h. 91.

74C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,”h. 91.

75C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,”h. 93.

76Michael R. Williams dan Aaron P. J., “A New Definition of Tolerance,”h. 2.

Konsepsi toleransi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan sepatutnya disikapi secara bijaksana dengan mengedepankan akal budi.

Dengan demikian, perbedaan tidak menjadi sumber pertikaian dan permusuhan antar kelompok yang berbeda. Seseorang tidak dibenarkan melontarkan kata kasar, mencela, dan melakukan perbuatan menyakiti lainnya terhadap orang atau kelompok yang memiliki pandangan atau prinsip berbeda.

Adab dalam menyikapi perbedaan ini sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat yang menjadi objek kajian tulisan ini, umat Islam diperintahkan untuk berbuat baik dan tidak bersikap zalim kepada siapa saja, termasuk kepada orang-orang kafir atau non muslim yang memiliki keyakinan berbeda.

Nabi saw. sebagai utusan dan teladan bagi umat Islam menunjukkan sikap ini dalam kesehariannya, sebagai contoh bagi sahabat dan umat Islam secara keseluruhan dari masa ke masa. Salah satu riwayat yang cukup populer terkait sikap perikemanusiaan Nabi saw. adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,

اَنَ ثمدَح َلاَق ،َةمرُم ُنْب وُرْمَع اَنَ ثمدَح ،ُةَبْعُش اَنَ ثمدَح ،ُمَدآ ِبَِأ َنْب ِنَْحْمرلا َدْبَع ُتْعَِسَ :

َلاَق ،ىَلْ يَل اوُّرَمَف ،ِةميِسِداَقلاِب ِنْيَدِعاَق ٍدْعَس ُنْب ُسْيَ قَو ،ٍفْيَ نُح ُنْب ُلْهَس َناَك :

َُلَ َليِقَف ،اَماَقَ ف ،ٍةَزاَنَِبِ اَمِهْيَلَع َلَاَقَ ف ،ِةممِّذلا ِلْهَأ ْنِم ْيَأ ِضْرَلِا ِلْهَأ ْنِم اَهم نِإ اَم

:

َمملَسَو ِهْيَلَع ُللها ىملَص مِبِمنلا منِإ ُهَل َليِقَف ،َماَقَ ف ٌةَزاَنِج ِهِب ْتمرَم

،ٍّيِدوُهَ ي ُةَزاَن ِج اَهم نِإ :

َلاَقَ ف اًسْفَ ن ْتَسْيَلَأ :

Artinya:

Adam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, ‘Amr bin Murrah berkata: Aku mendengar ‘Abd al-Rahman bin Abu Laila berkata, “Suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad sedang duduk di Qadisiyah. Lalu jenazah lewat di hadapan keduanya, maka keduanya berdiri. Kemudian dikatakan kepada keduanya bahwa jenazah itu adalah penduduk asli atau ahl dzimmah.

Maka keduanya berkata, ‘Nabi saw. pernah jenazah lewat di hadapnnya, lalu dia berdiri. Kemudian dikatakan kepadanya bahwa itu adalah jenazah orang Yahudi. Nabi saw. lalu bersabda, ‘Bukankah dia juga manusia?’”

Keteladanan Nabi saw. tersebut sesuai dengan tujuan pengutusannya, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Anbiya’/21: 107,

َينِمَلاَعْلِل ًةَْحَْر ملَِإ َكاَنْلَسْرَأ اَمَو

Terjemahnya:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Ibnu ’Abbas mengemukakan bahwa ayat ini menunjukkan rahmat Nabi saw. berlaku umum bagi semua manusia dalam kehidupan dunia, baik dari kalangan mu’min, maupun dari kalangan kafir.77

Poin spesifik kedua dari konsepsi tokoh tafsir media sosial yang juga merupakan poin terakhir adalah berlapang dada atas sikap tidak menyenangkan dari orang lain.

Poin ini juga sejalan dengan wacana yang diajukan dalam konsepsi toleransi yang dikemukakan oleh C. W. Von Bergen dan George Collier.

Dalam tulisan keduanya disebutkan bahwa jika orang lain mengungkapkan ide-ide yang dianggap tidak menyenangkan atau menyinggung, kita tetap tidak dibenarkan untuk membalas dengan retorika kasar, menjelekkan, dan perkataan-perkataan yang berlebihan.78

Meski demikian, berdasar penelusuran penulis, kebanyakan tulisan atau penelitian mengenai konsep toleransi secara umum tidak menyebutkan atau menyinggung wacana tersebut. Berbeda halnya dalam Islam, sikap lapang dada menjadi suatu hal yang sangat dianjurkan. Sebagaimana diungkapkan oleh para mufassir terkait QS al-An’am/6: 108, umat Islam dituntut untuk bersabar atas sikap buruk kaum lain demi menghindari kemungkaran yang lebih besar.

Perkara ini dalam Islam disebut dengan sadd al-dzari’ah, yakni melarang sesuatu yang dibenarkan agama agar tidak timbul sesuatu yang dilarang agama, atau mencegah segala macam faktor yang dapat menimbulkan kemudaratan.79

Dasar sadd al-dzari’ah ini sesuai dengan beberapa kaidah fikih, seperti,80

افلما ُءْرَد ِدِس

ىلَع ٌممدقُم ِحِلاَصلما ِبلَج

Artinya:

77Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil Juz 5, (T.Tp.: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997), h. 359.

78Lihat C. W. Von Bergen dan George Collier, “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,”h. 93.

79M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 4, h. 237.

80Lihat Hifdhotul Munawaroh, “Sadd al-Dzari’at dan Aplikasinya pada Permasalahan Fiqih Kontemporer,” dalam Jurnal Ijtihad 12, no. 1, Juni 2018, h. 65.

Menolak mafsadat (kerusakan) lebih utama dari pada mendatangkan maslahat (kebaikan).

Kaidah lain menyebutkan,

ُماَرَلحاو ُلَلَلحا َعَمَتْجا ام َلللحا ُماَرَلحا َبَلَغ ملَإ

Kaidah tersebut menunjukkan bahwa jika halal dan haram berbaur, maka yang haram mengalahkan yang halal.

Selain demi menjaga agama dari serangan, sikap lapang dada juga diperlukan untuk meluluhkan hati orang-orang kafir, sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS Thaha/20: 44. Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata lembut kepada Fir’aun karena perkataan halus dan lembut dalam berdakwah akan lebih berbekas dan berkesan, dan lebih dapat mendatangkan hasil yang baik. Karena itu pula, dalam QS al-Nahl/: 125, Allah memerintahkan untuk menyeru manusia dengan hikmah, pengajaran yang baik, dan debat dengan cara yang baik pula.81

Berdasar uraian empat poin di atas, dapat disimpulkan bahwa secara mendasar, konsep toleransi dalam Islam, khususnya yang dikemukakan oleh Ustadz Firanda Andirja, Buya Yahya, dan Ustadz Abdullah Zaen, sangat relevan dengan konsep toleransi secara umum. Keduanya terutama sangat mengedepankan humanisme atau rasa kemanusiaan dengan menghargai hak masing orang untuk hidup dengan prinsip dan caranya masing-masing.

81Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith Juz 1, (T.tp.: t.pn., t.t.), h.

2828.

‘Adhimah, Muhammad ‘Abd Khaliq. Madkhal ila Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: T.pn., t.t.

Al-‘Akk, Khalid ‘Abd al-Rahman. Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh. Cet. II;

Bairut: Dar al-Nafa’is, 1986.

Aljawiy, Abdillah Yafi dan Ahmad Muklason. “Jejaring Sosial dan Dampak bagi Penggunanya,” dalam Teknologi: Jurnal Ilmiah Sistem Informasi I, no. 1, 2011.

Alpizar. “Toleransi terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia (perspektif Islam),” dalam Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama VII, no. 2, Juli-Desember 2015.

Azis. “Metodologi Penelitian, Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an,”

dalam Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol. 5, no. 1, Juni 2016.

Azizah, Husnun. “Konten Kreatif Youtube sebagai Sumber Penghasilan Ditinjau dari Etika Bisnis Islam (Studi Kasus Youtuber Kota Metro),” (Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Metro, 2020).

Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud. Ma’alim al-Tanzil.

T.Tp.: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997.

Bakar, Abu. “Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama,” dalam Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama VII, no. 2, Juli-Desember 2015.

Bariyah, Mufidatul. “Ayat Toleransi dalam Qur’an; Tinjauan Tafsir al-Qurthubi,” dalam Al-Mada; Jurnal Agama, Sosial dan Budaya II, no. 2, 2019.

Bergen, C. W. Von dan George Collier. “Tolerance as Civility in Contemporary Workplace Diversity Intiatives,” dalam Issue 1.

Al-Biqa’i, Ibrahim bin ‘Umar bin Hasan. Nadzm Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar Juz 3. T.tp.: T.pn., t.t.

Al-Bugha Mushthafa Dib dan Muhyiy Din Dib. Wadhih fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. II; Damaskus: Dar al-Kalam al-Thayyib, 1998.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar. Cet.

III; Bairut: Dar Ibnu Katsir, 1987.

Cahyono, Anang Sugeng. “Pengaruh Media Sosial terhadap Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia,” dalam Jurnal Publiciana IX, 2016.

Chandra, Edy. “Youtube, Citra Media Informasi Interaktif atau Media Penyampaian Aspirasi Pribadi,” dalam Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni I, no. 2, Oktober 2017.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi,” dalam Jurnal Acta Diurna VI, no. 1, 2017.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Doni, Fahlepi Roma, “Perilaku Penggunaan Media Sosial pada Kalangan Remaja,” dalam IJSE III, no. 2, 2017.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. ‘Ilm al-Tafsir. Dar al-Ma’arif, t.th.

……. al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz 1. Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.

Faiqah, Fatty Muh. Nadjib, Andi Subhan Amir. “Youtube sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas Makassarvidgram,” dalam Jurnal Komunikasi Kareba V, no. 2, Juli-Desember 2016.

Al-Fanisan, Su’ud bin ‘Abdillah. Ikhtilaf al-Mufassirin Asbabuh wa Atsaruh.

Cet. I; Riyadh: Markaz al-Dirasat wa al-I’lam, 1997.

Faqih, Allamah Kamal. Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary into

Faqih, Allamah Kamal. Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary into

Dalam dokumen Oleh: Andi Raita Umairah Syarif (Halaman 155-0)