• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir Ustadz Abdullah Zaen

Dalam dokumen Oleh: Andi Raita Umairah Syarif (Halaman 144-151)

BAB II MEDIA SOSIAL

C. Tafsir Ayat-Ayat Toleransi

3. Tafsir Ustadz Abdullah Zaen

Terjemahnya:

Lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Semua yang mereka lakukan akan diberitahu oleh Allah. Di akhirat pun mereka akan diajak ber-hujjah, tapi hanya untuk menambah penyesalan mereka. Dikatakan kepada mereka, ”Lihatlah, betapa anehnya kamu menyembah batu yang kamu pahat sendiri. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan menolong dirinya sendiri saja tidak bisa. Bagaimana bisa kamu menyembahnya?” atau dikatakan, ”Kenapa kamu menjadikan manusia sebagai tuhan dan menyembahnya? Padahal dia sama saja seperti kamu.”

Mereka pun akan menyesal menyadari kesalahan mereka.

Buya Yahya menambahkan bahwa semua yang pernah kita lakukan di dunia akan diberitahukan dan ditampakkan di hari pembalasan, sekecil apa pun itu, kecuali dosa yang telah diampuni. Kebaikan yang kita lakukan di dunia, akan kita petik buahnya di akhirat kelak, begitu pun sebaliknya.

Keburukan yang kita lakukan di dunia, akan kita petik buahnya pula di akhirat kelak.

3. Tafsir Ustadz Abdullah Zaen

Pada channel Yufid. TV, ayat toleransi yang dikaji oleh ustadz Abdullah Zaen adalah ayat QS al-Kafirun. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada dua konten atau versi terkait tafsir ayat surah al-Kafirun oleh Ustadz Abdullah Zaen. Konten pertama adalah muqaddimah tafsir surah al-Kafirun, dan konten kedua adalah tafsir surah al-Kafirun.

a. Muqaddimah Tafsir QS al-Kafirun

Ustadz Abdullah Zaen membuka dengan mengatakan bahwa surah al-Kafirun adalah surah yang sangat perlu dibahas saat ini karena tidak sedikit orang yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ajaran agama-agam lain, dan promosi untuk menyamakan semua agama-agama semakin gencar.

Bahkan, orang yang mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar akan dianggap sebagai orang yang fanatik, egois, dan pemicu timbulnya terorisme. Padahal keyakinan Islam sebagai agama yang benar adalah prinsip yang tidak dapat ditawar dan telah diungkapkan secara gmablang dalam al-Qur’an, inna al-din ’ind Allah al-islam (Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam).

Adapun sikap mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ajaran agama lain adalah bentuk kezaliman yang nyata. Agama yang diturankan oleh Allah SWT. dicampur dengan agama buatan manusia, dan agama yang

dibawa oleh sosok yang ma’shum, Nabi saw., dicampur dengan agama yang dibawa oleh orang-orang yang tidak ma’shum.

Surah al-Kafirun menghapus begitu banyak keyakinan-keyakinan batil yang semakin hari semakin menjamur di antara orang-orang yang menisbatkan diri mereka sebagai muslim.

Setelah itu, Ustadz Abdullah Zaen megisahkan sabab al-nuzul ayat ini, yakni terkait penawaran yang pertama kali disodorkan kaum musyrik, yakni harta dan wanita. Nabi saw. menolak sama sekali tawaran mereka tersebut. Sebagian orang di zaman ini sulit menolak tawaran menggiurkan tersebut. Banyak orang yang ketika masih hidup kekurangan, ia istikamah dengan prinsip dan idealisme yang ia pegang. Namun, begitu ia bergelimang harta dan memiliki kekuasaan, hal tersebut luntur sedikit demi sedikit.

Prinsip-prinsip yang sebelumnya dijunjung tinggi, akhirnya diinjak-injak di bawah kakinya. Inilah ujian buat para dai, ustadz, ulama, dan kyai. Mereka sepatutny tetap mengusung kebenaran ketika ditawarkan keindahan-keindahan duniawi, meneladani Nabi saw. yang tetap teguh di jalan yang haq, walau diiming-imingi harta yang banyak dan wanita yang cantik.

Orang-orang kafir Quraisy kemudian membuat penawaran selanjutnya kepada Nabi saw. setelah penolakan tersebut, yakni mereka akan menyembah Allah setahun, dan Nabi juga menyembah sesembahan mereka setahun. Nabi saw. berkata kepada mereka untuk memberinya waktu sampai datang wahyu dari Allah. Beberapa saat kemudian turunlah firman Allah SWT., yaitu surah al-Kafirun.

Allah juga mengemukakan hal yang sama dalam QS al-Zumar/39: 64,

َنوُلِهاَْلْا اَهُّ يَأ ُدُبْعَأ ِّنِّوُرُمْأَت ِهمللا َرْ يَغَ فَأ ْلُق .

Terjemahnya:

Katakanlah (Muhammad), ”Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?”

Jadi, penawaran orang-orang kafir Quraisy tersebut merupakan penawaran yang jahil. Jahil itu tidak hanya berarti bodoh, tetapi juga dapat berarti meyakini sesuatu yang keliru. Menyamakan agama Islam dengan agama lain adalah jahil. Mensejajarkan Allah dengan Lata dan ’Uzza adalah jahil. Karena itu, dalam surah al-Kafirun, Allah memerintahkan Nabi saw.

agar bersikap tegas dalam masalah keyakinan dan akidah.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian berlanjut dengan menjelaskan nama-nama surah al-Kafirun. Ia menuturkan ada tiga nama-nama dari surah ini. Pertama adalah nama yang paling sering disebut di dalam hadis-hadis Nabi saw., yaitu surah Qul ya ayyuha al-kafirun. Nama kedua adalah surah al-Kafirun. Nama ini adalah nama yang paling banyak digunakan di dalam mushaf dan kitab-kitab tafsir, baik yang klasik, maupun yang kontemporer. Hal ini dimungkinkan oleh penamaannya yang simpel dan singkat.

Nama yang ketika adalah surah al-Ikhlash, sama dengan nama surah Qul huwa Allah ahad. Sebagian ulama menamakan surah ini dengan surah al-Ikhlash karena ia mengandung perintah untuk mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian menerangkan bahwa surah ini mengajarkan agar kita memiliki prinsip dan ketegasan dalam masalah keyakinan, akidah, dan tata cara ibadah. Jika kaitannya dengan hal-hal tersebut, maka yang ada adalah hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Karena itu, jangan sampai akidah, prinsip, keyakinan, dan ibadah dicampuradukkan atau dikolaborasikan, seperti misalnya seorang muslim shalat dengan cara shalat Islam, tetapi ia mengambil khurafat atau mitos agama lain. Ini termasuk contoh mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama lain.

Adapun jika kaitannya interaksi dalam perkara duniawi, seperti perkara sosial, perdagangan, bisnis, maka Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat adil kepada non muslim dalam perkara-perkara tersebut sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Mumtahanah/60: 8,

اَهْ نَ ي َلَ

ْمُهوُّرَ بَ ت ْنَأ ْمُكِراَيِد ْنِم ْمُكوُجِرُْيُ َْلََو ِنيِّدلا ِفِ ْمُكوُلِتاَقُ ي َْلَ َنيِذملا ِنَع ُهمللا ُمُك َينِطِسْقُمْلا ُّبُِيُ َهمللا منِإ ْمِهْيَلِإ اوُطِسْقُ تَو .

Terjemahnya:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Jadi, umat Islam dituntut berbuat adil tidak terbatas kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada pemeluk agama lain. Islam melarang untuk berbuat zalim kepada siapa saja, dan memerintahkan untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada siapa saja, termasuk kepada orangtua yang musyrik, sebagaimana ditunjukkan dalam QS Luqman/31: 15,62

َدَهاَج ْنِإَو ِفِ اَمُهْ بِحاَصَو اَمُهْعِطُت َلَف ٌمْلِع ِهِب َكَل َسْيَل اَم ِبِ َكِرْشُت ْنَأ ىَلَع َكا

اًفوُرْعَم اَيْ نُّدلا

Terjemahnya:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik.

62Ustadz Abdullah Zaen keliru menyebut nomor ayat dalam video. Ia menyebut ayat 8.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang anak harus tetap berbuat baik kepada orangtua dalam hal-hal yang bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian menyimpulkan uraiannya tentang kandungan surah al-Kafirun secara umum dengan berkata bahwa dalam perkara akidah, keyakinan, dan tata cara duniawi, tidak boleh ada campur aduk dengan agama lain. Adapun dalam perkara duniawi dan hubungan sesama manusia, tidak mengapa seorang muslim berbuat adil dan berbuat baik kepada pemeluk agama lain.

Setelah itu, Ustadz Abdullah Zaen kemudian menjelaskan keutamaan surah al-Kafirun. Keutamaan-keutamaan tersebut adalah:

Pertama, orang yang memahami surah al-Kafirun berarti dia telah mengenal Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Hibban dan dinyatakan shahih olehnya, dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar. Dalam hadis tersebut Nabi saw. mengomentari seorang sahabat yang shalat dan membaca surah al-Kafirun pada rakaat pertama. Nabi berkata,

”Orang ini telah mengenal Tuhannya.”

Karena itu, orang yang membaca dan memahami kandungan dari surah al-Kafirun, dicap Nabi sebagai orang yang telah mengenal Allah.

Kedua, surah al-Kafirun disebut Nabi sebagai salah satu surah ternikmat, di samping surah al-Ikhlash, berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan dinilai shahih oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban.

Ketiga, orang yang memahami surah al-Kafirun akan terbebas dari kesyirikan, sebagaimana hadis Nabi saw. yang memerintahkan untuk membaca surah al-Kafirun sebelum tidur karena ia bentuk berlepasnya diri dari kesyirikan. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan isnad-nya dinilai shahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hajar al-’Asqalani.

Keempat, surah al-Kafirun sepadan dengan ¼ (seperempat) al-Qur’an.

Dalilnya juga terdapat dalam hadis Nabi saw., ”Qul ya ayyuha al-kafirun sepadan dengan seperempatnya Qur’an.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh al-Albani. Ulama berkata bahwa pembahasan dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

tauhid, kenabian, alam akhirat, dan hakikat dunia. Surah al-Kafirun mengandung pembahasan pokok pertama, yaitu tauhid.

b. Tafsir QS al-Kafirun/106: 1-6

Sebagai pembuka tafsirnya, Ustadz Abdullah Zaen terlebih dulu menyebutkan sabab al-nuzul ayat terkait penawaran kaum kafir Quraisy. Ia menyebutkan bahwa penawaran tersebut sekilas seperti seperti penawaran yang adil, win-win solution. Menurut sebagian orang, apa yang mereka tawarkan itu adalah sesuatu yang humanis dan merupakan bentuk toleransi.

Namun, Nabi saw. dilarang untuk menerima tawaran tersebut. Bahkan di ayat lain (QS al-Zumar/39: 64), Allah SWT. berfirman,

َنوُلِهاَْلْا اَهُّ يَأ ُدُبْعَأ ِّنِّوُرُمْأَت ِهمللا َرْ يَغَ فَأ ْلُق

Terjemahnya:

Katakanlah (Muhammad), ”Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?”

Jadi, orang yang mengajak Nabi saw. menyembah selain Allah adalah orang yang jahil. Orang yang jahil bukan hanya orang yang tidak punya pengetahuan, tetapi juga orang yang keliru memahami sesuatu. Sesuatu yang baik dianggap buruk, dan sesuatu yang buruk dianggap baik. Termasuk dalam perkara ini adalah menyamakan agama yang sempurna dengan agama yang penuh kekurangan.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian mengemukakan bahwa saat ini mulai muncul dan semakin gencar orang-orang yang ingin menjadikan keyakinan kita terhadap Islam sebagai sikap intoleransi. Jika kita berkata bahwa Islam adalah agama yang benar, kita akan dianggap sebagai orang yang intoleran, padahal toleransi tidak demikian. Toleransi adalah ’Saya meyakini agama saya benar, dan Anda meyakini agama Anda benar, itu adalah hak Anda.’ Kita juga tidak akan mengganggu peribadatan mereka sebagaimana mereka juga tidak boleh mengganggu peribadatan kita. Itulah toleransi yang dibenarkan di dalam agama Islam.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian melanjutkan dengan masuk ke penafsiran surah al-Kafirun secara rinci.

َنوُرِفاَكْلا اَهُّ يَأ اَي ْلُق .

Terjemahnya:

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!”

Allah mengawali surah ini dengan menyuruh Nabi saw. untuk memanggil dengan, ”Wahai orang-orang kafir!” Panggilan tersebut adalah panggilan yang keras, sedangkan Nabi saw. dikenal sebagai orang yang lembut dan sopan. Bahkan dalam QS Ali ’Imran/3: 159, Allah berfirman,

َكِلْوَح ْنِم اوُّضَفْ ن َلَ ِبْلَقْلا َظيِلَغ اًّظَف َتْنُك ْوَلَو ْمَُلَ َتْنِل ِهمللا َنِم ٍةَْحَْر اَمِبَف

Terjemahnya:

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.

Sebagai sosok yang lembut, sikap yang ditunjukkan Nabi dalam ayat pertama surah al-Kafirun tersebut didasari oleh beberapa alasan. Pertama, ia diperintahkan oleh Allah bersikap demikian, dan Nabi saw. tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi perintah tersebut. Kedua, lembut bukan penghalang untuk bersikap tegas. Tegas dalam hal ini adalah berpegang teguh pada prinsip, sebagaimana ayat-ayat selanjutnya dalam surah ini menerangkan

prinsip-prinsip dasar Islam. Prinsip harus dipegang erat-erat, terlebih prinsip tersebut terkait dengan akidah.

Ustadz Abdullah Zaen menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan ada istilah ’kafir’ dalam Islam. Karena itu, hal yang membuat orang menjadi teroris bukan istilah ’kafir’. Rasulullah saw. menggunakan istilah ini tidak lantas membuatnya menjadi teroris, bahkan ia adalah seseorang yang sangat beretika, sekali pun dalam peperangan. Hal yang membuat orang menjadi teroris adalah ketika ia asal-asalan atau membabi buta dalam memvonis orang lain sebagai ’kafir’.

Nabi saw. menggunakan kata kafir dalam surah ini karena ada maslahat yang menuntut hal tersebut. Berbeda halnya dalam keadaan lain, seperti saat ia menulis surat kepada Heraclius, Raja Romawi, untuk mengajaknya memeluk Islam. Surat tersebut diriwayatkan dalam kitab Bukhari-Muslim. Nabi saw. menuliskan, ”Kepada Heraclius, pembesar Romawi.” Nabi saw. tidak menyebutnya kafir karena ia sedang dalam misi dakwah, yang tentu memerlukan kelembutan.

ْعَ ت اَم ُدُبْعَأ َلَ

َنوُدُب .

Terjemahnya:

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

Para ahli tafsir mengemukakan bahwa ayat ini mengajarkan dua prinsip dasar, yaitu tidak boleh menyembah sesembahan orang kafir dan tidak boleh meniru cara peribadatan orang kafir.

Prinsip pertama, umat Islam tidak boleh menyembah sesembahan orang kafir. Hal ini karena orang kafir memiliki banyak sesembahan, sedang orang muslim hanya memiliki satu sesembahan, yaitu Allah. Shalat, puasa, berdoa, dan ibadah lainnya harus ditujukan kepada Allah semata.

Prinsip kedua, umat Islam tidak boleh meniru cara beribadah orang kafir. Hal ini karena agama Islam sudah sempurna, sebagaimana disebutkan dalam QS al-Ma’idah/5: 3. Ustadz Abdullah Zaen memberi contoh terkait i’tikaf. Dalam Islam sudah diajarkan tata cara i’tikaf, termasuk terkait tempatnya, yaitu di masjid (QS al-Baqarah/2: 187). Karena itu, tidak boleh mengikuti tata cara i’tikaf ajaran lain seperti i’tikaf di bawah pohon, di dalam gua, di pinggir pantai, dan selainnya. Islam sudah memiliki cara ibadah sendiri, tidak perlu mengadopsi ajaran agama lain.

Ustadz Abdullah Zaen lantas mengemukakan bahwa orang yang memegang kedua prinsip tersebut akan mendapat banyak anugerah dari Allah, termasuk anugerah anak yang shaleh, sebagaimana apa yang telah ia anugerahkan kepada Nabi Ibrahim. Ia berfirman dalam QS Maryam/19: 49-50,

اَنْلَعَج ًّلُكَو َبوُقْعَ يَو َقاَحْسِإ ُهَل اَنْ بَهَو ِهمللا ِنوُد ْنِم َنوُدُبْعَ ي اَمَو ْمَُلََزَ تْعا اممَلَ ف اًّيِبَن َُلَ اَنْلَعَجَو اَنِتَْحَْر ْنِم ْمَُلَ اَنْ بَهَوَو . اًّيِلَع ٍقْدِص َناَسِل ْم

.

Terjemahnya:

Maka ketika dia (Ibrahim) sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak dan Yakub. Dan masing-masing Kami angkat menjadi nabi. Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik dan mulia.

Anugerah luar biasa yang diberikan kepada Nabi Ibrahim tersebut disebabkan oleh prinsip yang dipegang teguhnya, yaitu tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak beribadah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Allah.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian melanjutkan dengan ayat ketiga,

ُدُبْعَأ اَم َنوُدِباَع ْمُتْ نَأ َلََو .

Terjemahnya:

Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.

Dalam buku-buku sejarah, orang-orang kafir yang mendatangi Nabi dan memberikan penawaran kepadanya dalam ayat ini adalah al-Aswad bin al-Muththalib, al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bin Khalaf, dan al-’Ash bin Wa’il. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keempatnya mengajukan penawaran agar Nabi menyembah tuhan-tuhan mereka dan mereka pun akan menyembah Tuhan Nabi. Perkataan mereka pun dibantah oleh ayat ini, bahwa ”Kalian tidak akan menjadi penyembah apa yang aku sembah.” Jadi, apa yang mereka sampaikan itu adalah kedustaan, dan hingga akhir ayat, keempatnya terbukti tidak memeluk Islam.

Ayat selanjutnya, QS al-Kafirun/106: 4-5,

ُْتْدَبَع اَم ٌدِباَع اَنَأ َلََو ُدُبْعَأ اَم َنوُدِباَع ْمُتْ نَأ َلََو .

.

Terjemahnya:

Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.

Kedua ayat ini mirip dengan dua ayat sebelumnya, yaitu ayat dua dan tiga. Ada dua pendapat ulama terkait hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa ini adalah murni pengulangan. Pengulangan tersebut sebagai bentuk penegasan kepada orang kafir bahwa Nabi saw. tidak akan pernah menyembah apa yang mereka sembah, hingga mereka tidak menaruh harapan lagi.

Pendapat kedua mengatakan bahwa ini bukan pengulangan, jadi makna dua ayat ini berbeda dengan makna dua ayat sebelumnya. Terkait hal ini, ada dua golongan ulama. Golongan pertama mengatakan bahwa ayat dua dan tiga bermakna Nabi tidak menyembah apa yang disembah kaum musyrik saat itu, dan ayat empat dan lima bermakna Nabi tidak akan menyembah apa yang disembah kaum musyrik di masa akan datang. Jadi, hal itu tidak hanya di masa kini, tetapi berlaku hingga seterusnya. Golongan kedua mengatakan bahwa ayat dua dan tiga menjelaskan bahwa Nabi tidak akan menyembah sesembahan mereka, dan ayat empat dan lima menjelaskan bahwa Nabi tidak akan menyembah dengan cara mereka.

Ustadz Abdullah Zaen kemudian beralih ke ayat penutup, yaitu QS al-Kafirun/106: 6,

ِنيِد َِلَِو ْمُكُنيِد ْمُكَل .

Terjemahnya:

Untukmu agamamu, dan untukku agamaku

Ustadz Abdullah Zaen berkata bahwa sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai argumen pluralisme, bahwa semua agama itu sama. Hal ini tidak benar, dan justru menunjukkan sebaliknya karena ayat ini adalah kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa agama mereka berbeda dengan agama Islam, hingga tidak dapat disamakan dan dicampurbaurkan.

Ustadz Abdullah Zaen lalu membahas cara membangun toleransi antar umat beragama di tengah perbedaan yang ada. Ia menunjukkannya dengan berkata, ”Kalian meyakini agama kalian, kami meyakini agama kami.

Kita tidak akan saling mengganggu. Saya tidak akan menggangu kalian, kalian tidak akan menggangu kami. Jangan halangi kami menjelaskan kepada umat kami bahwa agama kami yang paling benar, dan kami juga tidak akan menghalangi kalian menjelaskan kepada umat kalian bahwa agama kalianlah yang benar. Jangan meminta kami ikut-ikutan dengan agama kalian, dan kami juga tidak meminta kalian untuk ikut-ikutan dengan agama kami.”

Jadi, orang yang memegang prinsip keyakinan Islam tetap bisa bersikap toleran. Karena itu, keliru jika ada yang mengatakan bahwa orang yang memegang keyakinan Islam adalah intoleran. Nabi saw. membuktikan bahwa dia adalah manusia yang paling toleran, dan dalam waktu yang sama, dia adalah orang yang paling teguh dalam memegang prinsip akidah.

Keduanya bukanlah hal yang saling bertentangan.

C. Metode dan Karakteristik Penafsiran

Dalam dokumen Oleh: Andi Raita Umairah Syarif (Halaman 144-151)