• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIKRO DAN KECIL

Dalam dokumen MELAWAN “CLIMATEFLATION” (Halaman 102-109)

WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF

pandemi covid 19 para pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) ini relatif mampu beradaptasi sehingga usaha yang dijalani masih dapat bertahan. Hal ini karena cakupan sistem operasinya relatif terbatas sehingga lebih fleksibel menyikapi perubahan. Kemampuan ini juga didorong oleh kondisi di mana para pelaku UMK ini sebagian besar menjalankan usaha karena memiliki tujuan sebatas untuk dapat bertahan hidup dibandingkan usaha yang memuhi kriteria produktif. Dorongan dari kondisi ini yang juga memberi pengaruh terhadap berbagai keterbatasan kemampuan sebagaimana telah disampaikan pada paragraf sebelumnya.

WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF USAHA

Berbagai masalah yang terkait dengan keterbatasan manajerial dalam pengelolaan UMK sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya, menyebabkan keberadaan UMK menjadi relatif sulit untuk berkembang.

Pola pikir daalam menjalani usaha sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bukan sebagai usaha produktif menyebabkan sistem operasi menjadi terbatas.

Dari berbagai masalah dan kendala ini, waralaba (franchise) dapat menjadi salah satu alternatif agar pelaku UMK tetap dapat menjalankan usaha.

Waralaba skala mikro dan kecil hadir menjadi salah satu solusi karena memiliki sistem operasi, merek, dan mekanisme biaya yang secara umum relatif jelas dimuat

dalam persyaratan dan perjanjian. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir mudah diakses seiring dengan perkembangan teknologi informasi baik aplikasi maupun jaringannya. Pelaku usaha yang ingin memiliki UMK dengan format waralaba ini tidak perlu lagi memikirkan format produk, proses produksi dan fasilitasnya (mesin dan peralatan), pengadaan bahan baku utama dan bahan baku pendukung, serta penetapan harga maupun pembiayaannya. Semua kebutuhan tersebut ditetapkan oleh pemilik utama usaha waralaba, yang selanjutnya dalam artikel ini disebut sebagai franchisor. Ini semua dimuat dalam karakteristik dan ketentuan yang saat ini relatif mudah diakses. Pembeli usaha ini (selanjutnya dalam artikel ini disebut sebagai franchisee) mendapatkan informasi tersebut yang kemudian dapat mempertimbangkan jika akan membeli usaha waralaba skala mikro dan kecil ini. Hal-hal teknis dan detail pada umumnya akan dimuat dalam perjanjian kesepakatan.

Dari banyak usaha waralaba skala mikro dan kecil, sebagian besar bergerak di bidang pangan (makanan dan minuman). Bidang usaha ini sejalan dengan preferensi para pelaku UMK karena usaha bidang pangan tersebut perputaran modal kerjanya relatif pendek, sehingga mudah dikelola dan keuntungan usaha juga diperoleh dalam rentang waktu relatif singkat. Dengan demikian keuntungan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu produk bidang pangan

juga memiliki repetisi pembelian yang cukup tinggi. Hal inilah yang menjadi temuan penulis pada penelitian tentang usaha waralaba skala mikro dan kecil (2014 dan 2015).

Para pelaku usaha waralaba skala mikro dan kecil bidang pangan tersebut memiliki persepsi tingkat repetisi pembelian produk pangan relaif tinggi karena bersifat habis pakai (konsumsi). Ada potensi yang cukup besar dari para pembeli (konsumen) untuk membeli lagi secara berulang-ulang. Hal ini tentu berbeda dengan produk yang konsumsinya untuk digunakan. Secara umum produk jenis ini dipersepsikan oleh para pelaku usaha tersebut tidak mudah dikelola karena konsumen akan membeli produk jika sudah tidak dapat digunakan lagi.

Repetisi pembelian produk jenis ini relatif rendah, sehingga pelaku usaha harus selalu berusaha untuk mencari pasar baru.

Meskipun waralaba dapat menjadi alternatif solusi jenis usaha yang dapat dimiliki oleh franchisee skala mikro dan kecil, namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Hak dan kewajiban yang dimuat dalam perjanjian kesepakatan harus jelas baik dari sisi franchisor maupun franchisee. Sanksi atas tidak dipenuhinya kewajiban dan atau tidak didapatkannya hak sebagaimana seharusnya juga harus jelas dimuat dalam perjanjian. Hal ini penting agar tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu bagaimana layanan dan bantuan teknis dari franchisor jika

ada persoalan yang dihadapi franchisee. Sehingga usaha waralaba bukan hanya sebatas penjualan gerai, namun memang sebuah format usaha yang diharapkan dapat terus bertahan. Salah satu yang cukup kritis dari usaha waralaba skala mikro dan kecil bidang pangan ini adalah bagaimana keterlibatannya dalam memberikan pertimbangan pemilihan lokasi gerai. Lokasi seharusnya cukup strategis dalam arti relatif mudah diakses konsumen dan juga kondisi persaingan usaha di sekitarnya. Untuk jenis produk pangan yang tidak memerlukan gerai fisik khusus untuk penjualan karena penjualannya dikelola secara online, yang lebih banyak berkembang saat ini adalah produk beku (frozen food).

Oleh karenanya pihak franchisee perlu memperhatikan beberapa aspek penting seperti umur simpan, ijin edar, kemasan, dan juga mekanisme pasokannya.

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan penulis, meskipun tidak banyak, ada usaha waralaba skala mikro dan kecil bidang pangan yang dalam perjanjiannya memberikan hak kepada franchisee untuk mengembangkan produk setelah usaha berjalan beberapa tahun. Namun pengembangan produk tersebut masih memiliki keterkaitan erat dengan produk utamanya.

Bentuk pengembangannya sebatas pada atribut produk seperti varian rasa, bentuk, dan ukuran. Jenis waralaba dengan perjanjian seprti tersebut dapat disikapi oleh franchisee untuk menhasilkan dan menyajikan produk

dengan tipologi strategi diferensiasi, di mana produk memiliki karakteristik pembeda yang menjadi keunggulannya. Dalam hal ini tentu saja pihak franchisor yang menilai dan memutuskan apakah pengembangan yang dilakukan franchisee dapat disetujui dan dilakukan.

Terkait dengan produk pangan pada usaha waralaba skala mikro dan kecil ini, dalam beberapa waktu terakhir ditawarkan produk yang memiliki siklus hidup (tren) relatif pendek. Dalam hal ini franchisee perlu berhati-hati untuk mengikuti tren tersebut. Dalam jangka waktu terbatas produk memang menarik dan banyak menarik minat konsumen. Namun demikian berikutnya tidak dapat bertahan lama karena konsumen mengalami kejenuhan karena munculnya produk baru maupun lingkungan yang tidak mendukung, misalnya cuaca.

Dalam hal inilah para pelaku usaha skala mikro dan kecil perlu berhati-hati dengan mencermati durasi siklus hidup dan berbagai aspek yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu ilustrasi keuangan (potensi keuntungan dan pengembalian modal) juga perlu diperhatikan asumsinya. Ilustrasi akan menjadi obyektif jika disajikan dengan tiga kondisi: normal, pesimis, dan optimis yang disertai asumsinya. Dengan demikian pelaku usaha skala mikro dan kecil dapat memiliki pertimbangan yang lengkap sebelum memutuskan untuk menjadi franchisee.

Meskipun waralaba skala mikro dan kecil dapat menjadi salah satu alternatif format usaha bagi pelaku usaha yang memiliki keterbatasan pengetahuan mengelola usaha baik secara teknis maupun manajerial, namun perlu memperhatikan dan mempertimbangkan berbagi hal yang telah disampaikan sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian usaha waralaba yang dipilih dan dijalankan dapat bertahan, berkembang, dan dikelola secara produktif sehingga tidak hanya sebatas dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidup.

BIODATA PENULIS

Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Manajemen Universitas Katolik Soegijapranata dengan bidang konsentrasi Manajemen Operasi dan Kewirausahaan. Beberapa penelitian dan pengabdian yang dilakukan dengan topik kedua bidang konsentrasi tersebut dipergunakan untuk memperkaya materi kuliah yang diampu.

EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI

Dalam dokumen MELAWAN “CLIMATEFLATION” (Halaman 102-109)