• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nazhari, adalah pemahaman yang memerlukan pemikiran,

Dalam dokumen Logika Islam (Halaman 42-49)

penalaran, atau pembahasan serta pengalaman inderawai, seperti matematika, kimia, teknologi radio, televisi, komputer, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kesehatan, dan semacamnya. Pendeknya semua ilmu yang bersumber pada pengalaman dan eksperimen. Dalam dunia modern ilmu ini disebut ilmu a posteriori.55

Tingkatan Ilmu

Menurut Plato, timbulnya pengetahuan merupkan keharusan adanya gabungan yang tidak bisa dipisahkan antara panca indera dan akal. Baginya, panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu, dan akal tidak dapat mencerap sesuatu. Hanya bila kedua-duanya bergabung maka timbullah pengetahuan; mencerap tanpa dibarengi proses berpikir akal budi sama dengan kebutaan, pikiran tanpa isi dari indera sama dengan kehampaan.56

Adapun tingkatan pengetahuan menurut Plato dimulai dari tingkat bawah hingga tingkat tinggi adalah: Eikasia, Pistis, Dianoia, dan

Noesia. Dari kesemuanya itu ada yang menunjuk pada kepahaman yang

salah (Doxa), yaitu Eikasia dan Pistis; dan ada yang menunjuk pada kepahaman yang arif (Episteme). Namun yang menarik dari Plato adalah bahwa dari doxa itu, jika kita terus-menerus menelusuri formanya akan sanggup mencapai pada kearifan. Hal ini bisa terjadi, karena yang disebut doxa adalah pengetahuan yang dicerap melalui indera, yang justru data-data indera itu dibutuhkan bagi penemuan kearifan (episteme).

Dari kaitan ini kita dapat belajar bahwa tak ada kesalahan atau kejahatan yang abadi, hanya kebaikan dan kearifan yang abadi. Dalil ini memberi ruang kebahagiaan tersendiri bagi kita, terlebih kita seringkali merasa sedih dan tersingkir ketika menyadari adanya kesalahan dalam

55 Wajiz Anwar, Logika I, (Yogyakarta: Jajasan al-Djami’ah, 1969), h.15-1 6.

56 Bambang Q Anees, Filsafat untuk Umum, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 180.

kesadaran kita. Menurut Plato, kesalahan justru jalan menuju kebenaran. Tentu saja, dengan syarat kita menyadari kadar kesalahan itu; dengan modal kesadaran akan kesalahan, akan kebebalan kita dapat menemukan kearifan.

Skema Tingkatan Pengetahuan Plato

Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas kenyataan Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi Tingkatan Rendah, EIKASIA: Gosip, kabar belum tentu benar.57

Hemat penulis, dalam bahasa spiritualitas Islam:

Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran disebut haqq al-yaqîn58

Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas kenyataan disebut ’ainu al-yaqîn.

Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi disebut ’ilmu al-yaqîn

Tingkatan Rendah, EIKASIA: Gosip, kabar belum tentu benar disebut ’ilmu

Hal tersebut kiranya selaras dengan makna QS. At-Takâtsur [102]: 1-8, yang namanya agak sedikit berbeda, namun pada hakekatnya sama, yakni sebagai berikut:

57 Anees, Filsafat untuk Umum, h. 186

58 Menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, ilmu hakikat (haqq al-yaqîn) ini tidak dapat dicapai hanya melalui ilmu yang diperoleh melalui panca indera. Lewat panca indera semata, seseorang tidak akan dapat mencapai tujuannya, yaitu mengenal Yang Asal atau Dzat. Ibadah yang sebenarnya memerlukan syariat dan hakikat. Dsebutkan dalam firman Allah, “Dan aku idak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS. Adz-Dzariat: 56). Lihat , Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, Rahasia Sufi (Sirr al-Asrâr fî mâ Yahtaj Ilaihi al-Abrâr), (Jakarta: Diadit Media, 2009), h. 13.

ãΝä3yγø9r& ãèO%s3−G9$# ∩⊇∪ 4®Lym ãΛäö‘ã— tÎ/$s)yϑø9$# ∩⊄∪ āξx. šôθy™ tβθßϑn=÷ès? ∩⊂∪ §ΝèO āξx. t∃ôθy™ tβθßϑn=÷ès? ∩⊆∪ āξx. öθs9 tβθßϑn=÷ès? zΝù=Ïæ ÈÉ)u‹ø9$# ∩∈∪ āχãρuŽtIs9 zΟŠÅspgø:$# ∩∉∪ ¢ΟèO $pκ¨ΞãρuŽtIs9 š÷tã ÈÉ)u‹ø9$# ∩∠∪ ¢ΟèO £è=t↔ó¡çFs9 >‹Í≥tΒöθtƒ Çtã ÉΟŠÏè¨Ζ9$# ∩∇∪

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu 2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.

3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

4. Lalu janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.

5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang

yakin,

6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,

7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan

'ainul yaqin.

8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Ayat tersebut menjelaskan tentang orang-orang yang bermegah-megahan dalam hidupnya hingga masuk ke dalam kubur. Oleh Al-Qur’an, kehidupan seperti ini hendaklah jangan sampai terjadi pada setiap orang –khususnya umat Islam. Karena bagaimanapun ada kehidupan setelah mati, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amal yang diperbuatnya selagi di dunia. Hanya saja, pemahaman dan keyakinan seperti ini –adanya pertanggungjawaban amal setelah kematian– tidak ada yang sama sesuai daya tangkap pengetahuan yang dimilikinya.

Oleh karena tingkatan atau kemampuan seseorang dalam melihat dan memahami tentang keberadaan akibat atau balasan amalnya di akherat kelak berdasarkan tingkatan pengetahuannya, maka dalam surat tersebut dijelaskan mengenai pengetahuan seseorang dalam menjalani kehidupannya di dunia sesuai dengan kapasiatas yang dimilikinya, hingga menimbulkan pemahaman dan pengamalan yang masing-masing berbeda, yaitu:

1. Ada pengetahuannya yang baru sampai pada, kamu akan mengetahui. Di sini (QS. At-Takatsur [102]: 3), berbunyi, Kallâ saufa ta’lamûn (janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui [akibat perbuatanmu itu]) tergolong pada pengetahuan umum, yang dalam istilah Plato disebut eikasia. Atau dalam bahasa spiritualitas Islam (baca: tasawuf) disebut ilmu (pengetahuan yang didapatkan hanya lewat panca indera semata). Melihat dengan bersifat sementara, belum ada keyakinan yang kuat, masih labil, karena indera rasanya baru pada tataran shadr.

2. Ada pengetahuannya yang sampai pada, kamu akan mengetahui. Pada pengetahuan yang kedua ini terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 4). Dalam ayat ini berbunyi, Tsumma kallâ saufa ta’lamûn (lalu janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui), yang di dalamnya terdapat kata Tsumma, di mana kedudukannya sebagai kata sambung yang bermakna lalu, kemudian atau dan, yang menunjukkan pada pengertian meneruskan pekerjaan yang berikutnya setelah mengerjakan pekerjaan sebelumnya yang dianggap sudah selesai atau memperbaharui pekerjaan tersebut menuju yang lebih baik lagi. Jadi di sini sifatnya bisa kualitatif dan atau kuantitatif. Dalam istilah Plato, peringkat pengetahuan yang kedua ini disebut Pistis. Sedangkan dalam spiritualitas Islam disebut ilmu al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera, pengalaman, imajinasi dan baru pada permukaan rasa). Melihat dengan penuh perhatian, namun belum ada kesadaran yang maksimal, indera rasanya sudah mulai naik, namun baru pada tataran qalb.

3. Ada pengetahuannya yang meningkat sampai pada, kamu

mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.

Meningkat pada pengetahuan yang ketiga adalah terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau ta’lamûna

’ilma al-yaqîn (Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan

pengetahuan yang yakin). Di sini istilah pengetahuan yang digunakan

’ilma al-yaqîn, yang merupakan hasil dari pengetahuan eikasia dan pistis

sudah dapat dipahami, maka ada pengetahuan berikutnya yang lebih tiggi lagi yaitu ilmu yaqîn, dalam istilah Plato disebut dengan dianoia. Dalam istilah spiritualitas Islam disebut ’ainu al-yaqîn. Ia melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat.

Melihat dengan mata hati, indera rasanya meningkat tajam sampai pada

fu’ad.

4. Ada pengetahuannya yang baru sampai pada, Sesungguhnya kamu

benar-benar akan melihatnya dengan ’ainul yaqîn.

Selanjutnya meningkat pada pengetahun tertinggi yang terdapat pada QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau

ta’lamûna ’ilma al-yaqîn (Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan

melihatnya dengan 'ainul yaqin). Di sini istilah pengetahuan yang digunakan ’ainu al-yaqîn, yang merupakan hasil dari pengetahuan

eikasia, pistis dan dianoia yang sudah dapat dipahami, maka ada

pengetahuan berikutnya yang lebih tinggi lagi yaitu ’ainu al-yaqîn, dalam istilah Plato disebut dengan dianoia. Dalam spiritualitas Islam disebut dengan haqq al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera dengan lubb –jantung atau titik pusat kalbu orang yang beriman). Melihat dengan mata hati hingga menimbulkan keyakinan super kuat (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera ditambah dengan

shadr, qalbu, fuad hingga lubb).

Mengikat Makna Pikiran

Pemikir

Pemikir adalah orang yang meletakkan pikiran di akalnya. Inilah sumber segala sesuatu. Pemikirlah yang menentukan keinginannya, kemudian ia memilih cara dan merealisasikan dengan perbuatan. Seorang pemikir bebas memilih: apakah ia akan meletakkan pikiran negatif atau positif di akalnya; pikiran yang membahagiakan atau yang menyengsarakan; pikiran spiritual atau duniawi; pikiran yang menjaga kesehatan atau yang merusaknya. Seorang pemikir seperti petani. Dialah yang menentukan hasil yang diinginkan. Untuk itu, ia memilih

Pemikir adalah pembuat pikiran. Pikiran menyebabkan seseorang berpikir. Berpikir membuat konsentrasi. Konsentrasi melahirkan perasaan. Perasaan

melahirkan perbuatan. Perbuatan menghasilkan sesuatu, dan hasil menentukan kenyataan hidup Anda. Jika Anda benar-benar ingin membuat

perubahan dalam hidup, ubahlah persepsi Anda.

benih yang akan disemai, kemudian menyirami dan merawatnya sampai mendatangkan hasil. Jika menginginkan buah anggur maka ia harus menyemai benih anggur. Jika ia menginginkan buah ketimun, wortel, atau kedelai maka ia harus menyemai benih yang sesuai dengan keinginannya.

Sama seperti pemikir, dialah yang menentukan dan memilih jenis pikiran yang akan ditanam di akalnya. Pikiran itu akan membuatnya berpikir, berkonsentrasi, merasakan, bertindak, sampai mendatangkan hasil yagn sesuai dengan pikirannya. Jika yang ditanam adalah pikiran negatif maka hasilnya akan negatif. Jika yang ditanam pikiran positif maka hasilnya positif.

Seorang pemikir harus tahu bahwa satu pikiran negatif yang ia tanam di akalnya menjadi awal bencana bagi kesehatan, kejiwaan, dan keuangan. Karena itu, seorang pemikir harus memilih pikiran yang akan diletakkan di akalnya. Sama seperti petani yang dengan hati-hati memilih benih yang akan disemaikan di sawahnya.

Pikiran

Segala sesuatu yang ada di semesta ini dimulai dari pikiran, menjadi kemungkinan, menjadi tujuan, melahirkan perbuatan, dan menjadi kenyataan. Adanya pesawat terbang dimulai dari pikiran yang hinggap di benak Wright bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright). Disney Land dimulai dari pikiran yang terbetik di benak Walt Disney, lalu menjelma menjadi kenyataan yangdikunjungi jutaan orang setiap tahun. Federal Ekspress (Fedex) dimulai dari pikiran yang timbul di kepala Fred Smith. Kini ia menjadi kenyataan yang jasanya banyak dipakai orang untuk mengirim paket atau surat ke berbagai negara dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam waktu tiga menit semua hanyalah pikiran Roger Panster, kemudian menjadi kenyataan yang diikuti ribuan olahragawan di dunia. Roket, pesawat, kapal, mobil, alat-alat elektronik, alat-alat-alat-alat kedokteran, alat-alat-alat-alat olahraga, dan lain-lain dimulai dari pikiran. Pikiran adalah sumber segala sesuatu.

Pikiran positif mengantarkan kita pada penemuan dan kemajuan yang berguna di dunia. Pikiran negatif menyebabkan tindakan pembunuhan, penipuan, pencurian, perzinaan, monopoli, frustasi, serta penyakit jiwa dan fisik. Menurut sebuah faklutas kedokteran di San

Fransisco, sebagian besar penyakit bermula dari pikiran dan kegiatan berpikir.

Sebagaimana sudah diketahui di muka bahwa logika mempelajarai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Segala ilmu pasti dalam memperolehnya salah satunya menggunakan aktivitas berpikir. Contohnya Psikologi. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar salah. Sebaliknya, urusan benar dan salah menjadi masalah pokok dalam logika. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya, tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis.

Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara sistematis dan akademis serta bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Ia merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus ditaati aga manusia dapat berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian ada dua obyek penyelidikan logika, pertama, pemikrian sebagai obyek material, dan, kedua, patokan-patokan atau hukum-hukum berpikir benar sebagai obyek fromalnya

Kalau begitu, mungkin tidak kita dapat mempelajari barang ghaib yang dapat disebut pikiran itu? Kita harus tahu bahwa manusia itu bukanlah makhluk spiritual murni an sich, melainkan juga ia adalah makhluk yang dianugerahi oleh Allah dengan seperangkat jasmani dan rohani. Karena itu ia memerlukan sarana material untuk dapat menangkap pikiran yang ghaib tersebut. Kita tidak mungkin dapat memahami pikiran seseorang kalau tidak diwujdkan dalam bentuk ucapan, tulisan atau isyarat. Isyarat adalah perkataan yang dipadatkan, karena itu ia adalah perkataan juga.

Jadi, pikiran dan perkataan adalah identik, tidak berbeda satu sama lain dan bukan tambahan bagi masing-masingnya. Pikiran adalah perkataan dan perkataan adalah pikiran. Angan-angan, khayalan, imajinasi, pikiran yang berkecamuk dalam dada dan kepala kita tidak lain adalah bisikan kata yang amat lembut. Pendek kata, perkataan adalah hasil dari produk pikiran, dan begitu juga perkataan adalah sebab yang menjadikan akal untuk melakukan aktivitas berpikir kembali. Kata-kata yang mewakili pikiran ini bukan sekadar coretan pena yang dituliskan atau suara gaduh yang diucapkan, tetapi merupakan susunan kata yang mewakili maksud tertentu yang lengkap. Susunan kata yang

memuat pemikiran disebut proposisi. Adapun lambang dari proposisi ini umumnya adalah bahasa.59

Pengetahuan kita tidak lain adalah informasi proposisi-proposisi. Dalam aktivitas berpikir kita selalu membanding, menganalisis serta menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain. Dengan demikian penyelidikan logika dalam mencari kebenaran dalam pemikiran selalu berurusan dengan struktur dan relasi proposisi.

Berpikir

Ketika memutuskan untuk memilih pikiran tertentu, negatif atau positif, seorang pemikir akan meletakkan pikiran tersebut di otaknya. Di sini akal akan mengidentifikasi dan menganalisis dari segala sisi. Setelah itu, ia akan memberinya wilayah dan makna berdasaasrkan informasi sejenis yang ada di gudang memori. Akal akan membandingkannya dengan pikiran sejenis yang ada. Akal memberinya alasan dan makna yang dibangun berdasarkan berbagai informasi serupa yang telah ada. Terakhir akan mencarikan berbagai data pendukung pikiran yang ada dalam memori hingga pikiran benar-benar menancap dalam hatinya. Dengan demikian, pikiran itu telah siap direalisasikan. Pikiran menciptakan perhatian, konsentrasi, perasaan, serta tindakan dan akibatnya.

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai intensitas berpikir dan sistematika berpikir.

Dalam dokumen Logika Islam (Halaman 42-49)