• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pasca Tambang Batubara

Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi, baik karena berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi (Kepmentamben Nomor 1211/1995).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendefinisikan pasca tambang adalah berakhirnya seluruh rangkaian kegiatan penggalian dan seluruh kegiatan operasional juga perusahaan berhenti (fully closed). Pasca

tambang batubara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu areal yang sudah ditambang dimana kontrak perusahaan bisa sudah selesai atau belum selesai aktivitasnya di kawasan tersebut, sehingga diharapkan tanah yang sudah digali berupa kolong-kolong sudah dapat direklamasi meskipun kegiatan pertambangan masih berlangsung. Berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi menjadi acuan pemahaman pasca tambang batubara.

Batubara merupakan salah satu andalan utama sumber energi alternatif masyarakat Indonesia saat ini, selain minyak dan gas bumi yang sebagian besar terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Batubara merupakan salah satu sumberdaya mineral yang penting di Indonesia dan termasuk dalam golongan bahan tambang mineral organik yang dieksploitasi untuk kebutuhan sumber energi dalam negeri dan ekspor (Qomariah, 2003). Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari berbagai tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) memerlukan jutaan tahun, mulai dari awal pembentukan yang menghasilkan gambut, lignit, subbituminous, bituminous, dan akhirnya terbentuk antrasit.

Batubara memiliki peran yang cukup besar bagi penyediaan sumber energi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penghasilan devisa negara. Industri pertambangan batubara di Indonesia diperkirakan akan terus berkembang. Namun demikian, perkembangannya selalu diiringi dengan masalah lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan penambangan batubara berpotensi mencemari lingkungan dan sering aspirasi/kepentingan masyarakat sekitar penambangan kurang diperhatikan oleh penambang maupun pemerintah. Sebagai akibatnya masyarakat sekitar penambangan sering merasa dirugikan atas dampaknya terhadap kehidupan mereka (Suyartono, 2001).

Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur menjadi sorotan karena cadangan potensi batubaranya yang sangat menggiurkan, juga karena maraknya tambang illegal. Produksi batubara Kalimatan Timur tahun 2004 sebesar 69,657 juta ton lebih dan tahun 2005 sebesar 72,989 juta ton lebih. Produksi ini merupakan hasil penambangan batubara dari perusahaan pemegang ijin Perjanjian

Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebanyak 17 perusahaan, dan Kuasa Pertambangan (KP) sebanyak 130 perusahaan. Sejumlah potensi cadangan batubara yang tersedia di Kalimantan Timur, terdapat penambangan liar (illegal mining) di 108 titik, di Samarinda ada 36 titik, di Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri dari Kecamatan Samboja 60 titik dan Kecamatan Sanga-sanga 12 titik, juga terdapat stockpile kapasitas 200 ribu ton illegal, serta di Kecamatan Muara Jawa sebanyak 40.000 ton (Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur, 2005). Kawasan ini merupakan daerah yang sangat strategis untuk tambang illegal karena berdekatan dengan sungai besar dan laut sehingga memudahkan pengangkutan hasil curian kekayaan alam tersebut.

Kegiatan usaha di sektor pertambangan merupakan kegiatan usaha padat modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan eksploitasi. Resiko yang dihadapi dalam dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik dan resiko kebijakan. Semua kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan, baik langsung maupun tidak langsung, akan sangat mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan di Indonesia. Selain itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajak/iuran tambang harus mampu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah.

Pengeksploitasian dan pemanfaatan berbagai bahan tambang secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa mekanisme keseimbangan dalam pengeksploitasiannya akan menyebabkan perubahan ekosistem dan gangguan terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini akhirnya menimbulkan masalah lingkungan, yaitu menurunnya kualitas lingkungan hidup, produktivitas dan keanekaragaman sumberdaya alam (Djajadiningrat, 2001).

Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995) menjelaskan bahwa kegiatan pertambangan selain meningkatkan devisa negara, juga berdampak terhadap lingkungan antara lain penurunan produktivitas tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk serta terjadinya perubahan iklim mikro.

Oleh sebab itu, diperlukan perhatian yang cukup untuk mencegah dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh bahan timbunan bekas tambang. Beberapa cara yang biasa dilakukan, diantaranya adalah penggunaan teknik-teknik khusus seperti penimbunan selektif dan sistem drainase yang baik (Gautama dan Muhidin, 1992).

Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan, sebenarnya meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek lingkungan hidup, tetapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, dan budaya. Tidak sedikit tempat di seluruh dunia terjadi fenomena boom-and-bust, dimana ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam sementara ketika perusahaan tambang pergi maka kawasan tersebut berubah menjadi kota-kota mati (ghost town), sedangkan upaya pengelolaan lingkungan dalam operasi pertambangan seharusnya adalah tercapainya suatu kondisi lingkungan yang aman dan stabil yang berlangsung dalam kurun waktu yang panjang.

Keamanan dan kestabilan lingkungan hidup dapat meliputi terjaminnya suatu kondisi lingkungan yang bebas pencemaran yang dapat mendukung keberlanjutan kehidupan dan ekosistem setempat maupun yang tercakup dalam wilayah lain yang secara tidak langsung terkena dampak operasi pertambangan itu, oleh karenanya pengelolaan lingkungan hidup, terutama pada periode pasca operasi pertambangan tidak boleh disimplifikasi hanya sebatas penanaman pohon atau reklamasi saja. Reklamasi lahan bekas tambang batubara menjadi kurang bermanfaat jika sekadar memenuhi ketentuan yang berlaku tanpa kaidah perencanaan dan penataan yang tepat. Reklamasi merupakan bagian dari rehabilitasi yang fungsinya untuk beberapan penggunaan sesuai kondisinya.

Dampak penambangan terhadap kerusakan ekologi-fisik lingkungan seperti: tanah, air dan vegetasi adalah merupakan dampak langsung yang akibatnya dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi baik kasat mata maupun dari uji laboratorium. Pengamatan dari udara terlihat seperti danau-danau raksasa yang warna airnya ada yang hijau lumut, ada kebiru-biruan, dan ada juga yang berwarna coklat. Bentuk lubang-lubang bekas tambang batubara bentuknya

tidak beraturan dan menyebar kemana-mana, vegetasi dan spesies hewan dikawasan merupakan dua faktor lingkungan penting yang terancam keberdaannya (Holec et al. 2006).

Sumberdaya alam tanah dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi karena untuk mendapatkan mendapatkan batubara didalam tanah harus melalui mekanisme pengelupasan tanah. Vegetasi penutup lahan ditebang sebelum pengelupasan tanah dilakukan, dengan demikian fungsi tanaman sebagai penyerap air permukaan tidak berlangsung. Hal ini mengakibatkan tanah akan terangkut dari satu tempat ke tempat lainnya yang disebut dengan erosi. Kerusakan tanah juga terjadi karena pada saat pengelupasan tanah dalam proses penambangan. Lapisan tanah atas (top soil) yang kaya unsur hara ditumpuk pada suatu tempat, dan pada akhirnya oleh hujan atau angin mengalami pengurangan unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Tanah yang bertekstur baik sebagai media tumbuh (liat) pada akhirnya terbawa oleh air ketempat lain yang peruntukkannya tidak spesifik lagi. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sitorus (2003) bahwa kerusakan tanah dapat terjadi oleh: (1) Kehilangan unsur hara dan dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) Proses salinisasi, (3) Penjenuhan tanah oleh air (waterlogging) dan (4) Erosi.

Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan atau menghasilkan barang atau jasa (Foth, 1998 dan Arsyad, 2000). Masalah kerusakan tanah oleh erosi di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara sungguh-sungguh (Sinukaban, 1983).

Menurut Situmorang (1999) degradasi lahan didefinisikan sebagai fenomena hilangnya dan berkurangnya manfaat atau potensi dari suatu lahan. Hilangnya atau berubahnya suatu komposisi flora dan fauna yang tidak digantikan terjadi pada lahan yang terdegradasikan. Terdapat dua kategori proses degradasi tanah, yakni : 1) berkaitan dengan pemindahan bahan atau materi tanah (erosi oleh air atau angin), dan 2) menurunnya kondisi tanah tersebut (proses degradasi beberapa sifat fisik dan kimia). Menurut Soemarwoto (2003) lingkungan hidup di Indonesia mengalami degradasi terus menerus. Penyebab alamiah kerusakan

lingkungan hidup juga banyak bersumber pada kelakuan manusia yang tidak ramah lingkungan.

Sitorus (2003) mengartikan degradasi tanah adalah proses hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. Degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan (FAO, 1993). Degradasi tanah memerlukan rehabilitasi yang pilihannya dapat direklamasi untuk keperluan beberapa penggunaan, dan bisa juga direstorasi untuk dikembalikan ke bentuk penggunaan awal.

Kerusakan lahan yang selama ini sering diangkat ke permukaan lebih banyak yang disebabkan penebangan liar dan kebakaran, dan jarang sekali karena pertambangan padahal pembukaan lahan untuk kepentingan eksplorasi bahan tambang sebenarnya lebih parah keadaannya dan akan lebih banyak memerlukan teknik dan biaya dalam rehabilitasinya (Rustam, 2003).

Salah satu limbah tambang menurut Saptaningrum (2001) adalah lapisan penutup yang digali dan dipindahkan pada kegiatan pertambangan. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa: penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya longsoran tanah, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk juga perubahan iklim mikro.

Kekurangan hara merupakan pembatas untuk pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang. Menurut Power et al. (1977) dan Djalaluddin (1989) pada tanah bekas tambang tidak tersedia fospor (P) untuk tanaman dan ini dapat diperbaiki dengan pemberian 56-112 kg pupuk P per ha yang diberikan sebelum penanaman. Ketersediaan hara N pada tanah gusuran tambang batubara umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang relatif tinggi, namun tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi (Hons dan Hossner, 1980).