• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara

Pengelolaan (management) berasal dari bahasa Italia (1561) yaitu maneggiare. Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi management yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkordinasian, dan pengontrolan sumberdaya alam untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Terdapat empat fungsi manajemen yaitu: (1) perencanaan (planning), (2) pengorganisasian (organizing), (3) pengarahan (directing), dan (4) pengevaluasian (evaluating).

George R. Terry (1977) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses yang berbeda yang terdiri dari planning, organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumberdaya lainnya. Berbagai jenis kegiatan yang berbeda itulah yang membentuk manajemen sebagai suatu proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan sangat erat hubungannya.

Pengelolaan (management) digunakan dalam meminimalkan degradasi lahan, air dan vegetasi melalui rehabilitasi baik kepenggunaan awal (restorasi) maupun untuk peruntukkan lainnya (reklamasi) juga kepentingan ekonomi sosial melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkordinasian dan pengontrolan sumberdaya batubara yang dilakukan secara bersama-sama dengan stakeholder. Istilah reklamasi (reclamation) dideskripsikan sebagai proses umum dimana permukaan lahan dipulihkan untuk peruntukan lain. Reklamasi didasarkan pada prinsip-prinsip dan pemulihan ekologi secara terintegrasi disebut restorasi (restoration). Pemulihan lingkungan pada dasarnya ditujukan untuk pengembalian menuju keadaan ekosistem semula dari aspek struktur dan fungsinya. Rehabilitasi (rehabilitation) adalah istilah yang digunakan untuk proses ke depan dari pengembalian ke ekosistem semula, dengan menciptakan ekosistem alternatif menuju ekosistem aslinya melalui penggantian atau replacement (Johnson dan Tunner, 2000).

Tujuan akhir dari rencana reklamasi adalah untuk menstabilkan permukaan tanah sambil menyediakan kondisi fisik yang menunjang agar

terbentuknya kembali suatu komunitas spesies tumbuhan asli yang beragam dan sama dengan lingkungan hutan primer (Soeprapto dan Chairot, 2003). Areal yang terbuka dan terganggu direklamasi secara progresif. Strategi penanaman kembali dilaksanakan untuk menstabilkan lahan terganggu dan meminimalkan erosi, karena kalau tidak demikian akan memperburuk mutu air permukaan (Soeprapto dan Chairot, 2003). Menurut Brata (2001), teknik mulsa vertikal efektif meresapkan air apabila dilakukan di setiap penggunaan lahan. Dengan demikian setiap penggunaan lahan dengan mudah meresapkan air hujan, disimpan menjadi sumber air bagi tanaman dan lingkungan sekitarnya.

Hasil penelitian Tobing (1994) menunjukkan bahwa perlakuan mulsa vertikal lebih efektif menekan aliran permukaan dan erosi dibandingkan mulsa konvensional. Rustam (2003) menyatakan bahwa penanaman untuk rehabilitasi areal tambang memerlukan media tanam yang menguntungkan bagi tanaman dan pemilihan jenis yang benar sesuai keadaan lahan dan keinginan perusahaan. Pada lahan yang terbuka, biasanya didahului dengan menanam tanaman penutup tanah (cover crops) yang juga berfungsi sebagai pupuk hijau, sedangkan pada lahan miring yang dibuat guludan dan teras ditanam tanaman jangkar, dan pada daerah yang berdekatan dengan penduduk ditanam tanaman buah.

Pemilihan jenis tanaman dalam rehabilitasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) tanaman harus bisa tumbuh cepat sehingga bila menutup tanah dalam waktu yang tidak lama, (2) mempunyai perakaran yang lebar dan atau dalam, (3) jika ditanam pada daerah yang sering turun hujan harus mempunyai sifat mudah menguapkan air, (4) sebaliknya untuk daerah yang kering, tanaman harus dipilih yang mempunyai sifat sulit menguapkan air, (5) tanaman harus bisa dimanfaatkan kemudian hari, artinya mempunyai prospek ekonomi yang baik.

Evaluasi pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang batubara telah dilakukan oleh Kustiawan dan Sutisna (1993) di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama dan PT. Kitadin, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tujuh jenis tanaman di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama telah diukur pertumbuhannya. Jenis-jenis tersebut adalah Mangium (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria), Sungkai (Peronema canescens), Angsana (Pterocarpus indicus), Gmelina (Gmelina arborea) Mahoni (Swietenia sp) dan

Agathis (Agathis sp). Jenis tanaman yang tertua ditanam adalah Mangium, Sengon, Sungkai dan Agathis. Pada umur 2 tahunan telah mencapai tinggi dan diameter berturut-turut : 726 cm dan 104 mm (Mangium), 425 cm dan 67 mm (Sengon), 253 cm dan 54 mm (Sungkai), 158 cm dan 26 mm (Agathis). Hasil pengukuran tinggi dan diameter pada ketiga jenis lainnya adalah : Gmelina berumur 1 tahun 3 bulan : 331 cm dan 70 mm; Angsana berumur 1 tahun 10 bulan: 312 cm dan 30 mm; Mahoni berumur 5 bulan : 71 cm dan 13 mm.

Di kawasan reklamasi PT. Kitadin, persentase tumbuh tanaman Sengon yang berumur 2½ bulan, hanya mencapai 69% dengan nilai rataan tinggi ± 60 cm dan diameter ± 6 mm. Dari sejumlah tanaman yang tumbuh tersebut, terdapat lebih dari 20% semai yang tumbuh abnormal. Dengan memperhatikan hasil analisis kimia tanah dan pertumbuhan tanaman yang dicapai di lahan bekas galian tambang batubara tersebut di atas, maka pemupukan tanah, mutlak diperlukan.

Hasil penelitian Padlie (1997) di PT. Multi Harapan Utama mempelajari sifat-sifat tanah pada areal bekas penambangan batubara terbuka yang berumur 1, 4 dan 6 tahun sejak kegiatan penambangan berakhir. Meski secara partial, namun hasil penelitiannya dapat dijadikan acuan bagi perkembangan profil tanah setelah kegiatan penambangan berakhir. Pada profil tanah bekas penambangan 1 tahun batas lapisan A dan lapisan B relatif mudah dikenali, batas-batas lapisan lainnya tidak jelas. Warna tanah, pada lapisan A adalah coklat sampai coklat gelap (7,5 YR 4/2), sedangkan pada lapisan B adalah kuning kemerahan (7,5 YR 7/8). Struktur tanah hancur akibat proses penimbunan kembali tanah di blok bekas penambangan. Lapisan sub soil memiliki tekstur lempung berdebu dan lempung liat berpasir sedangkan lapisan top soil mempunyai tekstur lempung liat berpasir. Tanah bekas penambangan 1 tahun belum menunjukkan terbentuknya lapisan bahan organik baru yang dihasilkan dari jenis-jenis tanaman yang ditanam di lokasi tersebut.

Menurut Purnomo et al. (1997) untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah bekas tambang batubara perlu dilakukan pemupukan NPK yang dapat meningkatkan tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman Acacia auriculiformis. Tanaman reklamasi seperti Vetiveria zizanioides, Peuraria javanica, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides dapat tumbuh

dan berkembang baik pada tanah timbunan sisa galian penambangan batubara (Tala’olu et al. 1999). Menurut Sinukaban (1983) pemberian pupuk buatan atau organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman adalah cara-cara untuk menghindari dan memulihkan kerusakan tanah. Untuk memperbaiki sifat kimia, sifat fisik dan biologi tanah timbunan diperlukan pengelolaan dan upaya tertentu sehingga areal tanah timbunan tidak terkesan gersang dan terhindar dari bahaya ancaman erosi (Tala’olu et al., 1995).

Kabupaten Kutai Kartanegara menyadari bahwa peran dari eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam yang tidak mudah untuk diperbaharui (non renewable resources) ini mesti diikuti dengan dicarikan alternatif dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), karena diperlukan waktu yang lama mengembalikan sumberdaya alam seperti keadaan semula. Intervensi melalui disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dijadikan alternatif memperpendek waktu pemulihan kawasan akibat kerusakan pada saat memanfaatkan sumberdaya alam batubara.