• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Hasil Pemeriksaan DDST II Pada Anak AN

4.3 Memeriksa Keabsahan Data (Triangulasi) a Riset Partisipan Pertama

4.4.1 Pelaku KDRT Pada Ibu Hamil

Pelaku KDRT umumnya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Hubungan yang dekat antara pelaku dengan korban inilah yang mengakibatkan kekerasan dengan mudah terjadi di lingkup rumah tangga. Tidak jarang bahwa pelaku kekerasan adalah suami dari korban, orang tua maupun anggota keluarga lain yang hidup ataupun tinggal bersama korban. Hal ini didukung dengan data dari Polri yang menyebutkan bahwa setidaknya 60 % pelaku kekerasan yang dialami perempuan adalah suami mereka sendiri (Sriwijaya Post, Selasa 27 November 2012).

236 Di Kabupaten TTS, suami merupakan pelaku utama KDRT. Dari laporan Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab. TTS menyebutkan bahwa pada tahun 2011, jumlah suami yang melakukan kekerasan sebanyak 33 orang, sedangkan anggota keluarga lain yang melakukan kekerasan sebanyak 15 orang, orang tua sebanyak 4 orang dan 63 orang merupakan pelaku lain yang terdiri dari teman, tetangga, aparat pemerintah, TNI atau Polri dan lain sebagainya.

Hasil penelitian mengenai pelaku KDRT pada ibu hamil di Kabupaten TTS menunjukkan bahwa dari kelima orang riset partisipan yang diteliti, empat orang diantaranya yaitu ibu SL, ibu NN, ibu SS dan ibu HT mendapatkan kekerasan dari suami mereka sendiri. Sedangkan satu orang riset partisipan lainnya yaitu ibu YA mendapatkan kekerasan dari anggota keluarga lain yaitu kakak kandung dan kakak iparnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 4%-12% wanita hamil mendapatkan kekerasan, lebih dari 90% wanita ini mendapatkan kekerasan dari pasangannya (Depkes, 2005). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Krug, dkk(2002) bahwa sekitar 10%-69% wanita di dunia mengalami kekerasan oleh pasangan laki-laki atau suami mereka.

237 4.4.2 Faktor-Faktor Penyebab KDRT Pada Ibu Hamil

Banyak latar belakang yang menyebabkan terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan terhadap perempuan (ibu hamil) dalam rumah tangga. Berbagai faktor kekerasan saling terkait dan saling memengaruhi. Peluang laki-laki dalam berlaku kasar terhadap pasangannya berbeda satu dengan yang lain tergantung pada seberapa kuat faktor-faktor penyebab memengaruhinya. Dari hasil penelitian didapati berbagai faktor penyebab terjadinya KDRT pada ibu hamil di Kab. TTS yakni:

1) Faktor Budaya Masyarakat

Perbedaan peran dan perlakuan sosial atas laki- laki dan perempuan (gender) dan penempatan posisi laki-laki lebih utama di atas perempuan (patriarki) sangat berpengaruh terhadap terjadinya KDRT pada ibu hamil. Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT pada ibu hamil menunjukkan bahwa, suami atau pelaku mempunyai kekuasaan yang besar di rumahnya karena ia adalah kepala rumah tangga sehingga semua orang yang ada di rumahnya baik istri, anak-anak, maupun anggota keluarga lain harus patuh dan menuruti perintahnya. Apabila tidak dituruti, maka suami atau pelaku akan

238 marah dan melakukan tindak kekerasan terhadap istri walaupun istri sedang hamil. Hal ini karena istri dianggap sebagai milik suami sehingga istri harus selalu mematuhi apa yang diperintahkan oleh suami dan harus melayani suami. Missa (2010) dalam hasil penelitiannya yang dilakukan di Kota Kupang mengungkapkan bahwa, sistem patriarki memberikan tempat dominan kepada pria untuk menjadi kepala keluarga sekaligus penentu kebijakan dalam rumah tangga telah memperkenalkan nilai kepatuhan/loyalitas hanya kepada ayah/bapak dan bukan kepada ibu/mama. Selain itu, Missa juga mengungkapkan bahwa perkawinan yang maharnya telah dilunasi mengakibatkan adanya anggapan bahwa suami boleh melakukan apa saja terhadap istri.

2) Faktor Emosi

Pada penelitian ini, karena stres akibat masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah, ibu hamil menjadi sasaran kemarahan dari suami atau pelaku KDRT. Selain itu, suami atau pelaku KDRT bisa marah dan melakukan tindak kekerasan hanya karena istri pergi keluar rumah dan bersosialisasi dengan tetangga atau karena tidak mendengar ketika dipanggil dan tidak

239 dilayani pada waktu makan. Sagala (2010) mengungkapkan bahwa kekerasan selama kehamilan dapat terjadi akibat peningkatan stres yang dialami oleh pasangan pria. Stres ini disebabkan karena perasaan meningkatnya tanggung jawab materi yang harus dipenuhi, sehingga mengharuskan pria bekerja lebih keras. Stres juga terjadi karena pasangan belum siap menjadi seorang ayah ataupun kecenderungan untuk tidak mencari bantuan dalam mengatasi stres sehingga menimbulkan stres yang berkepanjangan (Condon dalam O’Reilly, 2007).

3) Faktor Ekonomi

Masalah sosial ekonomi seperti pendapatan yang rendah, pendidikan yang rendah, dan pengangguran meningkatkan resiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (O’Reilly, 2007). Pada penelitian ini, suami atau pelaku KDRT mengalami stres karena tidak mempunyai pekerjaan ataupun perasaan meningkatnya tanggung jawab materi karena kehamilan sang istri sehingga istri menjadi pelampiasan kekesalan suami atau pelaku KDRT. Selain itu, ketergantungan ekonomi istri pada suaminya juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan selama kehamilan. Hal

240 yang sama juga diungkapkan oleh Deveci (2007) bahwa kekerasan dalam rumah tangga dimulai atau meningkat selama kehamilan karena kehamilan meningkatkan tanggung jawab pada pasangan. Selain itu, Missa (2010) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa faktor penyebab terjadinya KDRT berhubungan dengan incame (penghasilan) keluarga. Kebutuhan yang besar dengan penghasilan yang kecil memicu terjadinya KDRT. Ketika kebutuhan anggota keluarga tidak dapat diakomodir, maka kekerasan akan mulai menggeliat dan merupakan senjata untuk meredam permintaan para anggota keluarga.

4) Faktor Kekerasan Seksual

Pada penelitian ini, jika istri atau korban menolak melakukan hubungan seksual maka suami atau pelaku KDRT mulai berlaku kasar, memaksa bahkan melakukan tindak kekerasan seperti memukul, menampar atau menendang. Penolakan berhubungan seksual dengan suami atau pelaku KDRT, dipaksa melakukan hubungan seksual secara tidak wajar dan tidak disukai, pemaksaan ketika istri tidak menginginkannya, ataupun istri yang sedang hamil menjadi penyebab kekerasan terhadap istri. Adapun

241 istri atau korban yang enggan menolak keinginan seksual suaminya karena mereka percaya bahwa dengan melayani suami maka suami akan berhenti berbuat kasar atau melayani suami adalah kewajiaban istri walaupun dengan keterpaksaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Sagala (2010) bahwa kekerasan seksual yang tersamar (sering dianggap kewajaran) yakni suami mengharuskan istri malayani kebutuhan seksualnya tanpa mempertimbangkan kemauan istri, dengan kata lain istri tidak boleh menolak keinginan suaminnya.

5) Cemburu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa cemburu memicu sikap protektif suami atau pelaku KDRT. Sikap protektif ini mengakibatkan suami atau pelaku KDRT melakukan kekerasan karena istri atau korban tidak mengikuti perintah darinya. Selain itu, istri yang merasa cemburu akan kedekatan suami dengan wanita lain mempertanyakan hubungan tersebut, mengakibatkan istri mendapatkan kekerasan karena suami berusaha menyembunyikan hubungannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Missa (2010) bahwa kecemburuan baik di pihak suami

242 maupun istri dapat mimicu adanya KDRT. Kecemburuan ini terjadi karena relasi di antara suami dan istri yang mulai mengendor.

6) Perselingkuhan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perselingkuhan yang dilakukan oleh suami merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan. Istri yang menegur suaminya berselingkuh, tidak mendapatkan sambutan yang baik, melainkan mendapatkan makian, pukulan, tamparan, tendangan dan lain-lain. Missa (2010) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa adanya orang ketiga, baik WIL (Wanita Idaman Lain) maupun PIL (Pria Idaman Lain) dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

7) Konsumsi Minuman Keras

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, suami atau pelaku KDRT mengkonsumsi minuman keras karena masalah pekerjaan, kebutuhan keluarga yang meningkat, kehamilan sang istri, dan persoalan keturunan. Suami atau pelaku KDRT yang mengkonsumsi minuman keras, bebas melakukan apa saja karena sedang berada dalam kondisi tidak sadar. Kondisi tidak sadar ini memicu suami atau pelaku KDRT

243 melampiaskan kemarahannya karena masalah-masalah tersebut. Sagala (2009) mengungkapkan bahwa, pada saat kehamilan, pasangan (pria) lebih cenderung menggunakan alkohol sehingga lebih mudah marah, depresi dan mempunyai sikap negatif. Penyalahgunaan alkohol pada pria, dapat meningkatkan resiko kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal yang sama Missa (2010) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa masyarakat Kota Kupang sebagaimana masyarakat NTT pada umumnya memiliki kebiasaan meneguk alkohol/minuman keras. Apabila seorang suami/bapak telah meneguk minuman keras, maka akan ada kecenderungan untuk bertindak brutal terhadap istri maupun anggota keluarga lain.

8) Multipara

Hasil penelitian mengenai faktor penyebab terjadinya KDRT pada ibu hamil menunjukkan bahwa kekerasan terjadi karena jumlah anak yang banyak (multipara) dan umur anak yang berdekatan. Nasir (2003) mengatakan bahwa jumlah anak yang banyak dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan terhadap istri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Katakao (2005) dalam penelitiannya bahwa kekerasan

244 selama kehamilan lebih berisiko terjadi pada ibu yang multipara.

9) Kehamilan yang tidak direncanakan

Dari hasil penelitian mengenai faktor penyebab terjadinya KDRT pada ibu hamil didapatkan bahwa salah satu riset partisipan mendapatkan kekerasan dari suami atau pelaku KDRT karena kehamilan yang tidak direncanakan. Riset partisipan mengungkapkan bahwa suaminya melakukan tindak kekerasan kepadanya dengan alasan jarak anak yang terlalu dekat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gazmararian dalam O’Reilly (2007) bahwa kehamilan yang tidak direncanakan berisiko membuat wanita mengalami KDRT empat kali lebih besar dari wanita dengan kehamilan yang direncanakan. Kekerasan juga terjadi jika pasangan (suami) merasa kehamilan lebih cepat dari yang diharapkan (Jasinski dalam O’Reilly, 2007).