• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman Informan Terhadap Informasi di Media Sosial

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 129-133)

Tangga Apresiasi Estetika

5.2 Pemahaman Informan Terhadap Informasi di Media Sosial

Melalui wawancara mendalam yang telah peneliti lakukan, memberikan fakta bahwa kesemua informan mengakui pernah secara tak sengaja membagikan informasi hoaks di media sosial mereka masing-masing jauh sebelum mereka mengikuti mata kuliah yang membahas mengenai literasi media. Contohnya Intan, yang membagikan informasi yang salah mengenai penamaan domain website mereka, yang ternyata domain website tersebut sudah ada yang punya dan itu adalah website situs dewasa.

Begitu juga dengan yang pernah dilakukan Abdul, dimana dirinya pernah men-share ucapan belasungkawa terhadap Bupati yang baru saja meninggal, namun ternyata Bupati tersebut sedang dalam keadaan koma, dan belum dinyatakan meninggal. Riri dan Dina juga pernah termakan isu dan ikut membagikan berita hoaks mengenai perundungan yang menimpa Audrey.

Dikemudian hari mereka ketahui bahwa sebenarnya kasus perundungan yang menimpa Audrey, secara sengaja di dramatisasi oleh Audrey, seolah olah dia adalah korban tunggal. Fakta dilapangan melalui hasil penyelidikan Polri mengatakan perundungan yang menimpa Audrey tak sedahsyat yang diberitakan sebelumnya, dan Audrey bukan lah korban tunggal melainkan ada kasus terdahulu yang tak ikut di beritakan, dimana Audrey lah yang lebih dahulu bersalah.

Adapun yang pernah para informan lakukan ini di sebut sebagai misinformasi yang di definisikan oleh buku yang berjudul, „Panduan Melawan Hasutan Kebencian‟ terbitan tahun 2019 secara sederhana sebagai informasi yang salah. Informasinya sendiri salah, tapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar adanya. Penyebaran informasi dilakukan dengan tujuan baik, alias tak ada tendensi untuk membahayakan orang lain.

Buku tersebut juga menyebut dua kata lagi terkait penyebaran berita bohong berikut definisinya, antara lain; disinformasi. Dalam disinformasi si penyebar informasi tahu kalau informasinya memang salah. Namun sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain, dan malinformasi, yaitu informasinya sebetulnya benar, sayangnya, informasi itu digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu. Malinformasi juga bisa dikategorikan ke dalam hasutan kebencian.

Di akui oleh para informan, bahwa pemahaman mereka terhadap informasi di media sosial, meningkat setelah mengikuti mata kuliah yang membahas mengenai literasi media. Sebagian dari para informan juga ada yang bergabung ke dalam komunitas penggiat literasi media, selebihnya tak bergabung namun sadar mengenai pentingnya literasi media dan mencari informasi mengenai literasi media secara independen di internet.

Pernyataan diatas berkesesuaian dengan pendapat Barry Duncan (dalam Guntarto dan Dina, 2002) bahwa literasi media mampu membantu mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman mereka terhadap suatu informasi serta bersikap kritis terhadapnya.

Melalui wawancara yang mendalam, peneliti juga menemukan bahwa ada beberapa alasan yang selalu muncul ketika di tanyakan mengenai motivasi dalam menyebarkan informasi hoaks, antara lain; 1. Tidak adanya verifikasi terhadap sumber. 2. Telah terprovokasi. 3. Memiliki niatan dan kedekatan emosional yang tinggi untuk berbagi informasi.

Pihak triangulasi yang telah peneliti wawancarai secara mendalam, baik dari pihak pegiat literasi hingga dosen ilmu komunikasi menjelaskan bahwa, banyak cara untuk memahami informasi di media sosial. Jika faktanya, hari ini, pengguna media sosial telah kehilangan etika berkomunikasi, pesan-pesan yang disampaikan tidak lagi didasarkan pada kejujuran, tetapi lebih pada kepentingan sesaat, maka ini harus kita antisipasi bersama, mulai dari diri sendiri, seperti bisa membedakan mana berita yang mis-informasi dan dis-informasi, karena salah satu upaya untuk menepis berita hoax sangat bergantung pada pola pikir yang baik, serta tidak gampang percaya dengan informasi yang beredar tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.

Kemudian para pengguna media sosial diharapkan lebih mengedepankan nalar dan moral dalam menangkap dan memahami suatu informasi di media sosial. Harus cermat dalam memahami isi informasi. Seperti mempertanyakan keaslian informasi tersebut, mempertanyakan siapa penulis dan narasumbernya, bersikap skeptis (tidak menelan mentah-mentah) dan kritis, serta melakukan upaya verifikasi dengan cara membandingkan informasi dari sumber yang berbeda, dan jika memungkinkan langsung berdiskusi dengan pakarnya.

Yovita selaku dosen ilmu komunikasi yang mengajar mata kuliah literasi media, berbagi tips dalam membedakan informasi valid dan informasi hoaks.

Beberapa caranya antara lain; 1. Dengan cara cek ke situs yang fokus memberantas berita hoaks, seperti turnbackhoax.id, cekfakta.com, cekfakta.tempo.co. 2. Dengan cara melakukan Reverse Image Search ketika ingin memastikan keaslian sebuah foto dan keterangan yang menyertainya. Situs tersebut akan memberitahukan informasi sesungguhnya mengenai foto yang kita

cari dan akan terlihat apakah foto tersebut berkaitan dengan keterangan yang menyertainya atau justru foto lama yang tidak terkait dengan keterangan yang menyertainya.

Pernyataan Yovita selaras dengan IFLA ALP Workshop 2006, dimana literasi digital didefinisikan sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari sejumlah besar sumber daya tatkala sumber daya tersebut disajikan melalui komputer. Literasi digital mencakup pemahaman tentang web dan mesin pencari. Pemakai memahami bahwa tidak semua informasi yang tersedia di web memiliki kualitas yang sama. Dengan demikian, pemakai lambat laun dapat mengenal lagi situs web mana yang handal, serta situs mana yang tidak dapat dipercaya.

Dalam literasi digital, pemakai dapat memilih mesin pemakai yang baik untuk kebutuhan informasinya, mampu menggunakan mesin pencari secara efektif (misalnya dengan "advanced search"). Singkatnya, literasi digital adalah himpunan sikap, pemahaman keterampilan dan kemampuan untuk memanfaatkan media baru seperti internet, untuk mengakses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif, serta kemampuan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, dan mengevaluasi informasi, juga membentuk opini yang kokoh, (Bertelsman &AOL Time Warner, 2002: 13).

5.3 Pemahaman Informan Terhadap Produksi Informasi di Media Sosial

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 129-133)