Tangga Apresiasi Estetika
4.3. Temuan Penelitian (Informan)
4.3.2. Wawancara Dina Sakinah
Informan kedua dalam penelitian ini ialah Dina Sakinah berusia 22 tahun, dan kini tengah dudul semester VIII). Sebagai seorang Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP-USU, ia juga merupakan seorang pengguna media sosial aktif. Dalam menggunakan media sosial seperti Instagram dan Twitter, Dina mengaku tidak memiliki waktu khusus. Melainkan ia menggunakan media sosial ketika memiliki waktu luang saja, dan memang ada hal-hal yang ingin ia ketahui, seperti halnya soal kesehatan dan makeup (dandanan –red) serta untuk sekedar menghibur diri.
Perilaku Dina dalam bermedia sosial tersebut berkesesuaian dengan salah satu fungsi media massa yaitu to entertain (untuk menghibur). Selain itu, Dina juga mengikuti akun presenter talkshow ternama Najwa Shihab (@matanajwa). Ia mengaku tertarik dengan isu-isu yang disajikan presenter tersebut. Terutama terkait
Menjerat para penyebar hoaks dengan UU ITE Melakukan pendekatan literasi media
Warganet lebih bijak dan berpikiran terbuka dalam mengonsumsi informasi di media sosial.
dengan hal-hal yang langsung menyentuh persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Dina juga turut memfungsikan media sosial yang dimilikinya sebagai ajang untuk aktualisasi diri. Hal ini ia akui karena ia suka mengunggahbeberapa kata mutiara yang ia dapatkan dari buku elektronik, dan bertujuan untuk memotivasi dirinya sendiri. “Enggak bukunya, cuman quotes-nya dan dari buku mana, gitu.
Diketik ga difoto, itu yang biasanya di-upload”. Apalagi, tambahnya, saat ini Instagram memiliki berbagai fitur menarik yang dapat langsung membagikan unggahan milik suatu akun ke Instagram Story (IG Story) pribadi. Namun, Dina mengatakan ia tidak begitu menyukai aktivitas pribadinya diunggah ke media sosial.
Sebab, menurutnya, setiap aktivitas yang ia jalani sehari-sehari tidak begitu penting untuk diketahui warganet lainnya.
Cuman ga kayak selebgram-selebgram gitu sih, Bang. Dina paling banyak biasanya update story sehari itu lima kali. Kadang hasil pemikiran sendiri juga. Tentang apa ya... Dina tuh kayak suka bikin tulisan pendek gitu, kadang puisi gitu. Biasanya tentang apa yang dirasain aja lah, hahahaha. Lebih ke kehidupan sehari-hari, misalnya lagi kecewa, nah ada aja itu Dina bikin puisinya, Bang, hahaha. Kadang bikin puisi tentang motivasi diri.
Dina mengaku tidak memiliki tempat khusus ketika mengakses media sosial.
Namun, ia mengaku membutuhkan media sosial sebagai wadah untuk mencari segala informasi yang dibutuhkannya, seperti untuk belajar, dan sebagainya.
Udah jadi kebutuhan sih, Bang. Maksudnya karena semua informasi tu, ada di situ, gitu. Terus apa ya? kalo sekarang tuh, jujur Dina jadi jarang buka buku, lebih sering nyari informasi tuh di media sosial. Mau tentang kesehatan atau apaaja, kek-nya
banyak aja di situ, bahkan sampe cara bikin rumah pun ada informasinya di situ, hehehe.
Gambar 4.3.2.1 Pola Kebutuhan Dina akan Media Sosial.
Dalam tingkatan kultivasi dan penetrasi media, Dina termasuk ke dalam kategori high viewer, yaitu menggunakan media sosial lebih dari 4 jam/harinya. Hal ini terlihat dari pola penggunaannya terhadap media sosial yang dimulai dari bangun tidur, serta kerap menggunakannya di jam-jam kosong. Ia juga suka langsung membalas berbagai komentar yang dikirimkan teman-temannya, atau melihat IG Story mereka. “Ya kalo ada waktu kosong, lanjut lagi, hehehehe. Bisa dibilang hampir sepanjang hari gitulah, Bang, soalnya kan, Bang, medsos (media sosial –red) ini adiktif dia”.
Sampai di sini, Dina menyadari bahwa ia telah mengalami ketergantungan yang sangat tinggi dalam menggunakan media sosial di kehidupan sehari-hari. Salah satu teori komunikasi massa menyebutnya Teori Dependensi Media. Dina juga mengatakan, bahwa ia baru berhenti menggunakan media sosial, ketika ada hal-hal yang harus dikerjakan, seperti mandi, salat dan sebagainya.
Sebagai Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Dina juga pernah membagikan sebuah tautan informasi yang ternyata berisikan hoaks. Hal ini terjadi karena Dina memiliki kecenderungan mudah terpengaruh terhadap suatu informasi yang belum pasti
Menghibur dan ajang aktualisasi diri di Instagram Mendapatkan informasi seputar kesehatan,
dandanan terbaru, pelajaran dan sebagainya di Twitter
kebenarannya. Kala itu, Dina juga sama seperti Riri yang cukup tersulut emosinya atas kasus perundungan (bullying) yang menimpa Audrey. Apalagi, saat itu kasus ini cukup menyita perhatian warganet di Indonesia, dan berbagai tagar pun bermunculan di Twitter seperti #SaveAudreydan #PrayforAudrey.
Cari tau lebih dulu, kayak misalnya, apa ya? Tapi Dina tuh kadang kayak gampang terpengaruh kek gitu-gitu, kek misalnya banyak yang post tentang suatu topik, terus Dina tanya-tanya. Kayak misalnya kasus Audrey kemaren. Kan sebenarnya itu tau dari temen. Nah dia udah sempat memaki pelakunya itu loh, Bang, Udah sempat. Cuman dia ga nge post di media sosial, Dina yang nge-post. Waktu itu kan kasus Audrey emang lagi booming gitu, sampe banyak yang nge-post #SaveAudrey #PrayForAudrey. Jadi, kalo banyak gitu, Dina biasanya suka ikut, sebagai bentuk prihatin.
Namun, Dina menampik bila dalam membagikan suatu unggahan tidak memeriksa terlebih dulu. Meskipun terkadang ia mengakui, bahwa emosi yang sudah terlampau kuat dapat menumpulkan logika untuk lebih berpikir secara jernih. Adapun terkait isu-isu politik, Dina cukup menjaga jarak dengan tidak turut menyebarkannya.
Baginya, isu-isu politik di media sosial cukup menambah pengetahuannya dari beragam sudut pandang. Ia mengatakan, hanya akan membagikan informasi seputar pengetahuan yang menurutnya penting untuk diketahui publik.
Gambar 4.3.2.2 Alur Selektif Dina ketika Menggunakan Media Sosial.
Membaca dari awal sampai habis
Konfirmasi lewat pemberitaan di Google Diskusi kan berita tersebut kepada teman Membagikannya jika dirasa penting untuk diketahui publik
Dina juga menandai salah satu akun yang ia duga cukup sering dalam menyebarkan hoaks. Akun tersebut ia temukan di Instagram. Akun anonim tersebut merupakan pendukung prabowo yang kerap mendiskreditkan Jokowi dalam setiap unggahannya. Dina mengaku terakhir kali menerima hoaks di media sosial pada sekitar bulan Maret 2019. Ia mengatakan, kala itu ia segera menghapus unggahan yang telah disadari sebagai hoaks, sebagai bentuk kegeramannya karena merasa tertipu. “Geram sih, Bang. Gimana ya geramnya itu, ga tau geram aja mungkin geram karena abis kena tipu, terus udah nipu orang, gitu, hahaha...Terus mikir, laen kali aku jangan kek gini lagi, ga usah lah disebar kaloga jelas kali, gitu. Evaluasi, ya belajar dari kasus Audrey ini, hehe”.
Menurut Dina, hoaks dapat menguntungkan pihak tertentu terutama para pelaku, karena memang menurutnya hoaks dimaksudkan untuk propaganda. Oleh karena itu, kesadaran bermedia perlu digalakkan, mulai dari pembatasan waktu penggunaan, karena penggunaan media sosial tidak mengenal batasan umur (dapat diakali oleh pengguna –red), apalagi dengan keberadaan konten-kontennya yang tidak sehat seperti pacaran di bawah umur, dan hal-hal lain yang tidak layak untuk dikonsumsi.
Penting. Soalnya pertama, yang pake media sosial itu ga bisa kita kontrol umurnya berapa, belum lagi kebanyakan orang tua jaman sekarang udah ngasihapasih, gadget ke anak anak umur 9 tahun gitu. Banyak di Instagram anak anak udah pacaran, posting foto berdua, yang ga masuk nalar lah menurut Dina di usia mereka beradegan seperti itu.
Kedua, porsi mereka bermedia sosial itu sejauh apa, itu harus di kasih tau, harus ada batasannya, karena ga semua konten dalam media sosial layak untuk mereka konsumsi. Masak anak anak
umur 9 tahun lihat konten Awkarin gitu, Bang. Jadi ibaratnya kalo pun KPI udah sensor sana sini (KPI sebenarnya tidak melakukan sensor –red), ga ada gunanya anak-anak sekarang maen hape, ganonton tv lagi.
Ketiga ya kesadaran perorangan gitu. Bahayanya nyebar hoaks, dimana itu kan dilakukan oleh profesional gitu.Nah, makanya harus ditanamkan sejak dini, bahwa menyebar hoaks itu merugikan banyak pihak.
Dina juga menyebutkan, bahwa mata kuliah literasi media turut menyadarkannya akan pentingnya perilaku saring sebelum sharing (berbagi –red), sehingga ia lebih dapat memilah dan memilih, serta memosisikan diri terhadap suatu isu yang diunggahdi media sosial. Termasuk lebih bijak dalam mengelola ruang privat untuk disampaikan kepada publik, sehingga tidak menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya seperti kejahatan di media siber (cyber crime).
Sebelumnya itu, apa aja di-share gitu loh, Bang. Setelah masuk mata kuliah Literasi Media macem jadi lebih tau yang harus di-share itu yang mana.Terus kek mana memposisikan diri. Jadi ga semua orang itu harus tau kau lagi apa, lebih melek media. Jadi lebih tau bagaimana menggunakan media dengan lebih bijak. Apa yang boleh disebar, apa yang tidak, kek mana keep in your private life. Tidak semua informasi dirimu harus kau sebar, gitu. Ada hal-hal yang harusnya tetap menjadi private di diri kita, gitu. Bukan karena media sosial dirancang untuk pamer, lantas semua bisa kau pamerkan gitu. Ada yang harus tetap di-private kan dalam diri.
Ya kan dari media sosial juga banyak penjahat yang ngincar. Stay private. Kalo penjahat jaman sekarang kan masuk dari banyak celah. Jadi kalo terlalu banyak yang kita umbar informasi diri di media sosial, penjahat tadi jadi lebih gampang melacak, jadi lebih gampang tau „Ho… kau tu manager disini, kerja disini‟, jadi kan kita juga gampang jadi sasaran penjahat, itulah untungnya menjaga private life, gitu. Menghindari kejahatan lah, ga rugi kok hidup dalam aturan seperti itu.
Ia mencontohkan seperti seseorang yang suka memamerkan sepatu bermerek yang baru dibeli di media sosial. Perilaku seperti itu lalu menjadi perhatian bagi orang-orang yang ingin berbuat jahat. Mulai dari memantau perilakunya di media sosial, hingga mencari tahu nomor handphone, alamat e-mail dan berbagai data pribadi lainnya yang dapat melancarkan aksi mereka, mulai dengan menyadap, dan sebagainya.
Katakanlah ada orang baru beli sepatu, bermerek, terus dipamerkan di media sosialnya gitu, itu kan juga jadi lebih gampang dilihat sama penjahat, kayak „O… mbak ini orang kaya gitu, jadi lebih gampang ditandai‟. Pertama, mungkin penjahat tadi mencari tau lewat Instagram-nya, terus kemudian bisa tau dia pake hapeapa, email-nya apa, lama-lama semua informasi pribadinya bisa diketahui oleh penjahat tadi, untuk kemudian disadap dan digunakan untuk kepentingan si penjahat tadi, karena hobi pamernya di media sosial.
Misal nih, dia pake mobile banking di hapenya tadi, nah itu bisa tergeruskan saldonya ketika smartphone-nya tadi telah disadap oleh penjahat. Misalnya pun di hape-nya tidak ada mobile banking atau pun informasi yang berharga, bisa juga foto-fotonya, ya mungkin hasil selfie, juga bisa disadap sama penjahat. Jadi apa pun yang ada di hape itu jadinya ga private lagi. Efek buruknya jadi panjang lah. Jadi kayak pilah lah apa yang harus disebar, apa yang harus disimpan, gitu.
Gambar 4.3.2.3 Gambar Solusi Dina Terhadap Penyebaran Hoaks.
Pembatasan waktu akses media sosial
Pembatasan konten yang di unggah ke media sosial
Pentingnya manajemen privasi di media sosial, untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan (cyber crime)
Kesadaran pribadi mengenai bahaya menyebarkan hoaks