• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Informan Saat Menerima Informasi Hoaks

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 136-139)

Tangga Apresiasi Estetika

5.4 Pengalaman Informan Saat Menerima Informasi Hoaks

Melalui wawancara mendalam yang telah peneliti lakukan, memberikan fakta bahwa pengalaman para informan saat menerima informasi hoaks cukup bagus. Bagi Abdul, yang sering mendapatkan informasi hoaks di fitur explore di Instagram, mengatakan lebih baik untuk mendiamkan dan tidak menanggapi berita tersebut. Sependapat dengan Abdul, bagi Riri, ketika menemukan informasi hoaks, lebih baik tidak ikut berkomentar. Karena pasti ada kepentingan di balik berita hoaks yang di produksi tersebut.

Secara etika, Riri mengatakan bahwa fenomena ini kompleks, tak seharusnya pemikiran rakyat di bentuk dengan kebohongan, apalagi demi kepentingan sepihak. Namun tak hanya diam, menurut Riri sudah seharusnya rakyat di sadarkan bahwa mereka jangan terus menerus mau di jadikan komoditi menjelang pemilu. Riri sangat berharap adanya campur tangan pemerintah untuk meminimalisir kebiasaan buruk yang terus berulang ini. Riri juga membagikan kiat-kiatnya sebelum membagikan suatu tautan berita di media sosial masing-masing; 1. Pastikan bahwa diri kita netral terhadap pemberitaan tadi, 2. Pastikan kita telah memeriksa sumber tautan berita tadi. Apakah dari situs terpercaya, atau justru bersumber dari blog yang tak di ketahui dengan jelas siapa penulisnya, 3.

Pastikan hanya membaca berita dari portal berita yang terpercaya, 4. Dalam mengakses media sosial, pastikan untuk tidak mengikuti (follow) akun akun yang telah teridentifikasi sebagai buzzer politik.

Untuk itu, pemerintah diharapkan menutup akun-akun media sosial yang menyebarkan berita hoaks, dan terus giat mensosialisasikan serta menerapkan UU ITE (Pakpahan, 2017).

Sementara bagi Intan, Facebook merupakan sarangnya informasi hoaks sehingga saat ini, Intan sudah tidak pernah lagi membuka akun Facebooknya.

Pada akun Instagramnya, Intan mengeluhkan akun yang mengatasnamakan Islam, namun isi dari postingan akun tersebut bermuatan politik yang mengarahkan pengikutnya nya untuk memilih salah satu capres, dan mengkafirkan capres lainnya. Bagi Intan, akun seperti ini rentan disusupi informasi bermuatan hoaks, karena adanya kepentingan dari tiap-tiap postingan akun tadi. Bukan hanya akun yang mengatasnamakan agama namun berisikan politik yang Intan keluhkan di Instagramnya, ada juga akun-akun yang membahas tentang kesehatan perempuan, yang berisikan informasi yang memuat mitos mengenai kesehatan perempuan tanpa ada nya data pendukung yang logis.

Intan berkata, dalam mengakses setiap informasi yang beredar di media sosial, dirinya haruslah paham mengenai informasi tersebut, sebelum mengiyakan apalagi ikut menyebarkan, karena Intan tidak mau nantinya informasi yang telah di iya kan nya dan kemudian di sebarkannya, di debat oleh pengguna media sosial lain, di karenakan informasi tersebut ternyata tidak benar atau hoaks. Itupun jika sekedar di debat, jika di permasalahkan ke jalur hukum, tentu Intan tidak mau itu terjadi. Untuk itu menurut Intan, ketika kita akan memposting sesuatu, jangan asal cepat, karena isinya tidak akan tepat, posting lah ketika postingan tersebut berasal dari data yang valid dan sumber yang jelas. Intan justru akan merasa senang, ketika informasi yang dibagikannya mendapat apresiasi dari pengguna media sosial lain, di karenakan informasi tersebut valid, dan berguna.

Dina, salah satu informan penelitian ini mengemukakan pengalamannya ketika bersinggungan dengan informasi hoaks. Dikarenakan dirinya sadar bahwa

informasi yang baru saja disebarnya adalah hoaks, Dina langsung menghapus postingan yang di share nya. Untuk kemudian mengevaluasi tindakannya, agar ke depannya tidak mengiyakan informasi yang tidak jelas sumber nya. Bagi Dina, dirinya banyak belajar dari kasus Audrey.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak disertai dengan sifat kritis yang cukup atas sumber-sumber informasi yang mereka akses, sehingga menciptakan suatu pandangan yang bias dan menyesatkan. Dalam situasi semacam ini, literasi digital mutlak diperlukan, agar media baru benar-benar memberikan manfaat bagi khalayak, dan bukan sebaliknya (Rianto, 2016).

Adapun pihak triangulasi data di dalam penelitian ini, berpendapat bahwa para pengguna media sosial harus lebih bijak dan berpikiran terbuka dalam mengonsumsi segala informasi yang beredar di media sosial. Dikarenakan perilaku menyebarkan berita hoaks, baik secara sengaja, maupun secara tak sengaja, sudah tak dapat lagi ditolerir. Sheila, penggiat literasi media berpendapat, bahwa perilaku menyebarkan berita hoaks sudah tidak dapat ditolerir lagi, terlebih jika berita hoaks yang disebarkan tadi ternyata merugikan kepentingan seseorang ataupun kelompok. Karenanya, penting sekali untuk saring sebelum sharing. Bagi Sheila, seharusnya tiap-tiap pengguna media sosial yang akan meng-upload suatu isu apapun, selalu selidiki: apa isunya? Siapa yang disorot? Apa dampak dari tersebarnya berita ini? Apakah akan membawa kerugian atau kebaikan?

Yovita sependapat dengan Sheila, menurut Yovita, perilaku menyebarkan berita hoaks ini tak dapat ditolerir, karena itu menunjukkan kualitas si pengirim yang sebenarnya. Kalaupun kita senang berbagi, tetap saja harus di lihat-lihat dulu. Misal ada informasi hoaks yang membahas tentang kesehatan, kemudian

informasi hoaks tersebut sampai ke orang yang membutuhkan, tentu akan sangat berbahaya jika oramg yang membutuhkan info kesehatan tadi, mengikuti saran dari informasi hoaks tersebut.

Dalam seminar Bimtek Pengawasan Siaran Kampanye Pemilu 2019 yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Utara (Diskominfo Provsu), didapat data bahwa jenis hoaks yang paling sering diterima masyarakat adalah isu sosial politik sebesar 91.80%, kemudian disusul dengan isu SARA sebesar 88.60%, isu kesehatan sebesar 41.20%, isu makanan dan minuman sebesar 32.60%, penipuan keuangan sebesar 24.50%, isu mengenai IPTEK sebesar 23.70%, berita duka sebesar 18.80%, candaan sebesar 17.60%, isu mengenai bencana alam sebesar 10.30% dan jenis hoaks yang paling sedikit adalah hoaks mengenai isu lalu lintas dengan persentase sebesar 4%.

Dalam banyak kasus memang, khalayak lebih mencari informasi yang meneguhkan keyakinannya, atau pilihan pilihan sikap yang sebelumnya diambil.

Akibatnya, individu cenderung tenggelam kedalam “kesesatan” sikap dan keyakinan yang dipilihnya (Rianto, 2016).

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 136-139)