• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawancara Riri Pratama Putri

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 77-83)

Tangga Apresiasi Estetika

4.3. Temuan Penelitian (Informan)

4.3.1. Wawancara Riri Pratama Putri

Informan pertama dalam penelitian ini adalah Riri Pratama Putri, berumur 22 tahun, dan kini duduk di semester VIII).Sebagai seorang Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP-USU, Riri juga merupakan seorang pengguna media sosial yang aktif. Dalam menggunakan media sosial, seperti Twitter dan Instagram, Riri tidak hanya bertujuan untuk menghibur diri di kala senggang, melainkan ia juga menggunakan media sosial sebagai sarana untuk memperbarui informasi seputar isu sosial dan politik tanah air.

Pada akun Twitter miliknya, ia mengikuti akun-akun portal berita seperti

@kompascom, @kapanlagicom dan @detikhot, serta @mojokdotco. Ia juga menggunakan media sosial sebagai ajang aktualisasi diri, seperti dengan menulis atau mengunggah foto-foto terbaik yang ia miliki.

Sepakat sih seperti yang Abang bilang tadi kan, soal aktualisasi diri. Cuman kaloRiri, aktualisasinya Riri juga sebagai wadah untuk lepas hobi kek nulis gitu sih. Jadi,kalo misalnya, kalo di Instagram itu, lebih sering update yang kek, kalo di story oke foto-foto, terus dilengkapi sama caption yang gimana gitu, dan terkhusus kalo di Twitter kan juga, apasih yang ya nulis, sama opini, yang kek-kek gitu.

Namun, Riri secara spesifik membedakan tujuan penggunaan dari kedua media sosial tersebut.Seperti Instagram khusus untuk aktualisasi diri, dan Twitter untuk mendapatkan informasi, aktualisasi diri sekaligus belajar.

Kalo Riri klasifikasikan penggunaan Instagram, WA, Twitter sih itu beda-beda. Kalo misalnya Instagram itu lebih ke ya aktualisasi

diri. Terus Instagram kek lebih banyak orang pamer gitukan, Bang, ya otomatis kita lebih kurangnya terikut ke sana. Kalo informasi dari Instagram Riri kurang, tapi dari Twitter. Kalo Twitter itu memang kek media sekaligus dapat informasi, sekaligus belajar dari Twitter. Kalo di WA itu kayak yang lebih private, kek kalo pun mau sharing sesuatu tuh lebih ke orang-orang tertentu, gitu.

Gambar 4.3.1.1 Pola Kebutuhan Riri akan Media Sosial.

Riri juga mengikuti sejumlah akun milik tokoh nasional, dengan alasan untuk mendapatkan pelajaran berharga serta inspirasi-inspirasi baru. Adapun akun-akun tokoh nasional yang diikutinya seperti @sudjiwotedjo, @gusmusgusmu

@mohmahfudmd (kini menjabat Menkopolhukam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024), dan @susipudjiastuti (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Indonesia Kerja 2014-2019), serta @rockygerung (Pengamat Politik).

Alasan lain Riri mengikuti sejumlah akun tokoh nasional tersebut, karena dapat mewakili suara akar rumput (grassroot people) hingga kalangan elit politik.

Riri juga cukup aktif mengikuti perdebatan di antara mereka, sehingga mendapatkan banyak sudut pandang atas berbagai permasalahan di Indonesia.

Gini sih, Riri nengok dari perbandingan sih, kalo misalnya Mahfud MD sama Said Didu itu kan lebih ke orang-orang yang memang ke politiknya gitu. Kalo misalnya sementara si Gus Mus atau pun Sujiwo Tedjo itu lebih ke sudut pandang rakyat dia, lebih bebas dia. Tapi kalo untuk penengah lebih kritisnya, Riri lebih ikutin ke Rocky Gerung-nya gitu. Jadi kek ada bagian ini, bagian ini, terus ada penengah yang menetralisir pemikirannya gitu.

Menghibur dan ajang aktualisasi diri di Instagram Mendapatkan informasi terbaru di Twitter

Dalam tingkatan kultivasi dan penetrasi media, Riri termasuk ke dalam kategori high viewer. Hal ini terlihat dari pola penggunaannya terhadap media sosial yang lebih dari 4 jam/hari, dan ia memilih kamar pribadinya sebagai tempat favorit untuk berselancar di dunia maya.

Sebagai pengguna media sosial aktif, Riri pun pernah sekali termakan isu hoaks. Hal ini terjadi lantaran derasnya arus informasi di media sosial, sehingga ia menjadi kurang teliti ketika membaca dan tidak sempat melakukan cek dan ricek.

Belum lagi, ditambah dengan kecenderungan munculnya nuansa provokatif di Twitter, baik antara kubu pro maupun kontra.

Kala itu, Riri cukup tersulut kemarahannya atas kasus perundungan yang menimpa Audrey. Sehingga, Riri tanpa tedeng aling-aling, langsung membagikan pemberitaan tersebut (kini tautan terkait telah dihapus –red). Pengalaman ini menjadi otokritik bagi Riri agar lebih berhati-hati sebelum membagikan suatu tautan pemberitaan.

Nah kalo soal itu, itu e… pernah, kalo di Twitter itu kan terlalu kencang sih informasinya sebenarnya, Bang. Apalagi orang jadi, apa ya, emosinya memuncak kali lah kalo di Twittergitu.

KaloInstagramsih masih adem, lebih adem dari pada Twitter sebenarnya.Terus e… pernah sih dulu kejadian e… terkena lah sebuah informasi, apalagi tentang bullying yang kemaren soal si Audrey itu. Jadi sempat tersulut juga, ternyata itu kan ada yang berbeda, gitu. Bahkan udah, pertama ga percaya nih, abistu nyari-nyari ke beberapa berita online juga menyatakan yang kek di Twitter itu juga, tapi kan ternyata yang kita tau, berita online kan dia cepat tapi ga akurat. Nah sempat tersulut, ya itu, jadi sejak kejadian itu, udah mulai yang betul-betul ngebaca kali yang betul, ga mau ini lagi.

Gambar 4.3.1.2 Faktor Utama Riri dalam Menyebarkan Berita Hoaks.

Riri juga menceritakan bagaimana prosesnya tersadar, sebagai berikut:

Pertama gini, karena emang geram sihBang,kalo dapat berita yang soal-soal bully, terus awalnya kan di Twitter.Nah di Twitter itu Riri lihat udah ada yang men-share dari berita online, dan Riri sempat ngecek berita online nya.„Ho… memang parah!‟.Memang betol kek gitu, dan yauda nge-share la.Sampai pas kemaren itu salah satu akun yang terduga pelaku, itu kan katanya sempat di hack.Nah, akun itu pun Riri follow di Instagram.Jadi emang Riri ikutin lah informasinya, terus sampe udah nyebar-nyebar yang

#SaveAudrey, nyebar petisinya, yang kek-kek gitu.Abis tu ternyata orang-orang, sama sih sama kek orang-orang, Riri mulai sadarnya ketika kayak nengok e.. Instagram dari si Audrey-nya, ternyata yang ga sesuai dengan gambaran yang diberitakan, gitu. Kek-nya anak ini lifestyle-nya ga seperti yang diberitakan, hingga kemudian mulai ini, mulai ini, terus sadarnya ya dari, dari ini sihBang. Bukan Riri sadar sendiri, tapi dari dua belah pihak ini, nah pihak yang selama ini menjadi tertuduh mulai meng-up fakta-fakta, jadi ini Riri juga ikutin fakta-fakta yang mereka up itu, gitu.

Dalam hal membagikan suatu tautan pemberitaan, Riri tergolong pengguna yang tidak terlampau fanatik terhadap salah satu pandangan saja, baik itu menyangkut politik ataupun SARA.

Riri mengatakan, ia tidak memiliki kiat-kiat khusus sebelum membagikan suatu tautan pemberitaan. Ia mengatakan, hanya akan membagikan suatu informasi yang menurutnya menarik penting untuk diketahui warganet lainnya.

Faktor utama Riri dalam menyebarkan berita hoaks

1. Terprovokasi

2. Tidak melakukan cek dan ricek terhadap sumber pemberitaan.

3. Pemberitaan tersebut memiliki keterikatan emosional, baik dalam hal gender, SARA, pilihan politik dan sebagainya.

Kebetulan sih Riri orangnya ga fanatik kemana-mana sih,Bang, ke hal apapun sih. Riri lebih tertarik, misalnya kek kesehatan mental sekarang. Riri lebih tertarik sama pembahasan yang kek gitu. Jadi kalo misalnya, ada yang nge-share terus Riri rasa itu penting, dan juga kek nya butuh nih orang pengetahuan tentang kesehatan mental, Riri langsung nge-share.

Ia juga cukup selektif ketika memeriksa sumber tautan berita, seperti lebih mengonsumsi berita-berita dari portal berita terpercaya, dan sangat mengedepankan data dalam proses jurnalistiknya, semisal tirto.id. Sementara, untuk tautan-tautan berita yang bersumber dari blog, ia lebih menyikapinya sebagai suatu perspektif pribadi dari para penulisnya.

Selain itu, Riri juga mengaitkannya dengan peristiwa-peristiwa terkait di masa lalu. Seperti ketika Kementerian Riset dan Teknologi (sekarang telah dilebur ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – Dikti –red) berwacana untuk mendata media sosial yang digunakan mahasiswa, yang bertujuan untuk mencegah radikalisme. Riri berkesimpulan langkah ini diambil pemerintah, karena belakangan media sosial kerap menjadi saluran untuk menyebarkan paham ekstrimis, sehingga pemerintah mengambil langkah-langkah terukur lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Gambar 4.3.1.3 Alur Selektif Riri ketika Menggunakan Media Sosial.

Tidak terlalu fanatik terhadap salah satu kubu Memeriksa sumber tautan berita

Hanya konsumsi berita dari portal terpercaya Tidak mengikuti akun buzzer dan anonim

Riri memilih untuk tidak mengikuti akun-akun anonim ataupun para pendengung (buzzer –red) politik di Twitter. Alasannya ialah agar lingkungan di media sosial-nya tetap memiliki iklim yang positif. Si penyuka lifestyle ini juga berpandangan, bahwa para penyebar hoaks sangat identik dengan orientasi kepentingannya, baik itu secara materiel maupun non-materiel.

Dari sudut pandang etika, Riri memandang permasalahan hoaks di media sosial merupakan suatu hal yang kompleks. Hal itu terjadi karena saat ini manusia berada pada kondisi „banjir‟ informasi, yang tidak dibarengi dengan proses verifikasi ketika mengonsumsinya. Padahal, tidak semua informasi yang disampaikan di media sosial dibarengi dengan data-data yang akurat. Melainkan, lebih banyak dari data-data itu yang merupakan penafsiran pribadi penulisnya. Akibat yang ditimbulkan ialah publik dirugikan, mulai dari terpengaruh oleh pemberitaan hoaks hingga pada perilaku turut menyebarkannya.

Secara pribadi, Riri berharap pemerintah memiliki solusi jitu untuk meminimalisir permasalahan ini. Tidak hanya dengan menjerat para pelaku penyebaran hoaks dengan UU ITE, melainkan juga dengan melakukan pendekatan-pendekatan literasi media, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali. Riri juga berharap warganet dapat lebih bijak dalam mengonsumsi suatu informasi di media sosial, sehingga tidak hanya mengonsumsi pemberitaan-pemberitaan yang semakin meneguhkan keyakinannya (to reinforcement), melainkan juga mau untuk lebih terbuka dalam memahami sudut pandang orang lain (open minded).

Kompleks sih, Bang, yang kayak kalo misalnya dulu kita kesulitan mendapatkan informasi, sekarang ini malah berlebihan informasi, ya salah, karena informasi itu kan tidak semuanya data, banyak yang hanya asumsi dan opini, rakyat lah yang jadi korban.

Seharusnya mereka yang di atas itu (pemerintah –red) yang mengatur, karena ya keterlaluan sih ketika pemikiran rakyat itu dibentuk dengan kebohongan. Apalagi demi kepentingan sepihak, itu enggak apa ya, ga fair (adil –red) aja lah.

Tapi kalo kita hanya berhenti merespon ini dengan hanya berkata

„Ga fair‟, ya tetap aja itu bakalan seperti itu juga. Aku sih belum nemu kek solusi gitu, karena juga orang-orang yang nerima berita ini juga, gini aku misalnya fanatik pada pihak oposisi, ketika aku menerima informasi yang negatif soal pihak penguasa itu berarti aku menerima suatu hal yang sebenarnya aku pengen ada, jadi inilah pendukung pendapatku. Manusia ini kan sebenarnya juga jadi makhluk yang terkadang ingin dengar apa yang mereka inginkan, kek gitu kan,Bang? Ya kek gitu sih.

Gambar 4.3.1.4 Gambar Solusi Riri Terhadap Penyebar Hoaks.

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 77-83)