• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wawancara Sheila Sultana

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 112-117)

Tangga Apresiasi Estetika

4.3. Temuan Penelitian (Informan)

4.4.1. Wawancara Sheila Sultana

Untuk melengkapi triangulasi, peneliti mewawancarai SheilaSulthana, S.Ikom. Ia merupakan seorang perempuan berusia 28 tahun, yang berasal dari salah satu komunitas penggiat literasi media di Kota Medan bernama IMMEDIA (Indonesia Melek Media). Pernyataan-pernyataannya, peneliti rasa perlu karena dalam hal literasi digital di kalangan mahasiswa, fenomena penyebaran hoaks melalui media sosial di kalangan mahasiswa kerap mereka temui dalam kegiatan sehari-hari.

Selain itu, di IMMEDIA dia juga menjabat sebagai Koordinator Media Sosial dan Hubungan Masyarakat.

Menurut Sheila, berita bohong mudah tersebar di media sosial, dikarenakan kurangnya cek dan ricek yang dilakukan oleh para pengguna media sosial terhadap berbagai informasi yang beredar. Hal ini terjadi karena masih rendahnya kesadaran literasi media pada para pengguna media sosial. Sheila juga berkata bahwa adanya fenomena FOMO (Fear of Missing Out) turut berperan dalam penyebaran berita bohong.

FOMO merupakan singkatan dari Fear of Missing Out yaitu fenomena dimana para pengguna media sosial merasa takut jika ketinggalan suatu berita.

Menurut Department of Psychology, School of Social Sciences, Nottingham Trent University di Inggris, FOMO adalah suatu kondisi yang bisa menyebabkan orang berlaku di luar batas kewajaran, seperti mereka sengaja memasang gambar, tulisan, atau bahkan mempromosikan diri yang belum tentu benar, hanya demi terlihat update. Ironisnya, hal ini bisa dianggap sebagai bagian dari mencari sensasi dan kebahagiaan semu di media sosial.

Kurangnya verifikasi dan kesadaran literasi media.Warganet juga cenderung FOMO (Fear of Missing Out). Pemakaian media sosial sering kali tidak dibarengi oleh kemampuan berpikir kritis untuk saring sebelum sharing (berbagi –red). Verifikasi harusnya menjadi langkah pertama dalam menelaah informasi apa pun.

Gambar 4.4.1.1 Faktor-Faktor menyebarnya berita bohong di media sosial.

Kurangnya verifikasi.

Rendahnya kesadaran mengenai literasi media.

Adanya perilaku takut dianggap tidak update informasi (FOMO).

Sheila berpendapat, perilaku menyebarkan berita bohong, baik disengaja atau pun tidak adalah perilaku yang tidak dapat ditolerir. Apalagi, jika perilaku tersebut merupakan perbuatan yang disengaja untuk mencemarkan nama baik seseorang.

Seyogianya,setiap pengguna media sosial sudah bisa berfikir mengenai dampak dari setiap informasi yang mereka sebarkan di media sosial. Apakah bermanfaat atau malah merugikan.

Tidak dapat ditolerir, terlebih jika hal tersebut dilakukan dengan tujuan mencemarkan nama baik seseorang. Karenanya, penting sekali untuk saring sebelum sharing. Setiap ingin meng-upload suatu isu apa pun, selalu selidiki: Apa isunya? Siapa yang disorot?Apa dampak dari tersebarnya berita ini? Apakah akan membawa kebaikan atau kerugian?

Ketika membahas mengenai pentingnya perilaku saring sebelum sharing pada mahasiswa yang menggunakan media sosial, Sheila berpendapat bahwa belum semua mahasiswa menerapkannya. Hal ini terjadi, karena menurut Sheila ada proses untuk berpikir kritis dalam bermedia sosial. “Belum semua. Sudah ada yang menerapkan cara tersebut, namun mereka pun berproses karena tidak ada proses berpikir kritis yang rampung dalam semalam”.

Sosialisasi literasi media khususnya media digital seperti di media sosial, sangat penting menurut Sheila. Dirinya berpendapat bahwa mahasiswa Diploma 3 dan Strata 1 zaman sekarang termasuk ke dalam generasi Z, dimana generasi kelahiran tahun 1995 sampai 2010 ini, memiliki akses besar terhadap dunia digital yang terdapat di dalam smartphone. Jadi, dengan adanya literasi digital pada generasi ini, akan membuat mereka mumpuni dalam menyaring, memproses, memverifikasi bahkan dalam merespons suatu isu dengan cerdas.

Sangat penting.Mahasiswa D3 dan S1 zaman sekarang termasuk dalam Generasi Z, yang memiliki akses besar terhadap smartphone dan terpapar informasi di umur relatif muda. Literasi media dapat membantu mahasiswa dalam menyaring, memproses, memverifikasi, bahkan dalam merespons suatu isu dengan cerdas.

Sampai saat ini, Sheila melihat bahwasanya pelaksanaan sosialisasi literasi media di berbagai kampus, sebagian besarnya masih bersifat seremonial saja.

Terlebih jika materi sosialisasi literasi media tidak dibarengi dengan terbukanya ruang diskusi bagi publik. Sheila juga mengungkapkan masih banyak mahasiswa yang telah mengikuti kelas literasi media, namun tetap mengikuti akun-akun yang bersifat provokatif di media sosial mereka, sehingga mahasiswa tersebut belum berubah secara sikap.

Sebagian besar masih bersifat seremonial, terlebih jika materi sosialisasi literasi media tidak dibarengi dengan terbukanya ruang berdiskusi secara publik. Taraf perubahan sikap baru akan tercapai jika mahasiswa benar-benar menyadari urgensi (pentingnya –red) literasi media, dan mulai menerapkannya pada diri sendiri dan orang sekitarnya. Hal ini paling mudah dilihat dari daftar following mereka di sosial media.Mahasiswa yang gemar mengikuti akun-akun yang sifatnya provokatif, berarti belum berubah secara sikap.

Namun, mereka yang mulai membatasi bahkan melakukan detoks sosial media, artinya sudah sadar kapan mereka harus mengikuti isu dan kapan mereka sebaiknya memprioritaskan hal lain.

Sheila memiliki beberapa saran dan masukan terkait fenomena penyebaran berita bohong melalui media sosial di kalangan mahasiswa. Tahap awal, mahasiswa harus menyadari kapasitas dan posisinya sebagai insan yang berpegang pada keilmuan dan intelektualitas. Kemudian pada tahap kedua, mahasiswa harus berinisiatif untuk mengedukasi lingkungan sekitarnya agar lebih bijak dalam menggunakan media. Tahap akhir, mahasiswa harus lebih kritis dalam mengonsumsi

konten di media digital, termasuk pilihan mereka terhadap portal berita, influencer (semacam opinion leader yang memberikan pengaruh di media sosial), maupun public figure (pesohor tanah air) di linimasa media sosial mereka.

Pertama, mahasiswa harus menyadari kapasitas dan posisinya sebagai insan yang berpegang pada keilmuan dan intelektualitas.

Dengan kata lain, semua konten maupun isu, baik yang mereka ikuti dan bagikan harus melalui proses berpikir kritis sebelum diteruskan ke pihak lain. Kedua, mahasiswa harus berinisiatif untuk mengedukasi lingkungan sekitarnya agar lebih bijak dalam menggunakan media. Jangan diam ketika hoaks merajalela, bahkan jika di circle (lingkaran –red) keluarga dan teman terdekat sekalipun. Ketiga, mahasiswa harus lebih kritis dalam memilih konsumsi konten media, termasuk pilihan portal berita, influencer, maupun public figure di linimasa mereka. Seringkali efek baik atau buruk itu diperkuat, karena adanya repetisi yang berulang dalam hal ini via isi linimasa yang mereka akses.

Tabel 4.4.1.1 Fenomena Penyebaran Hoaks di Kalangan Mahasiswa Menurut Sheila Sultana

Z) serta digital

Dalam dokumen LITERASI DIGITAL DI KALANGAN MAHASISWA (Halaman 112-117)