• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan 1. Sarana Produksi Pangan MD

TMS ANGKA ENTEROBACTERIACEA

6.2. Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan 1. Sarana Produksi Pangan MD

Pemeriksaan sarana produksi pangan MD bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan sarana terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) untuk menjamin keamanan dan mutu produk pangan yang diproduksi. Pemilihan sarana yang akan diperiksa didasarkan pada kajian analisis risiko, yaitu diprioritaskan pada sarana produksi pangan MD dengan riwayat/track record tidak memenuhi ketentuan, sarana yang lama tidak dilakukan pemeriksaan serta sarana baru.

Di wilayah kerja Balai Besar POM di Mataram terdapat 19 sarana industri pangan MD, seluruhnya adalah Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Pada tahun 2019 telah dilakukan pemeriksaan sebanyak 19 sarana dari target 19 sarana (100%) dengan hasil 2 sarana (10,53%) MK dan 17 sarana (89,47%) TMK. Dari 17 sarana yang TMK telah ditindaklanjuti berupa Peringatan 4 sarana, Peringatan Keras pertama sebanyak 12 sarana, Peringatan Keras ke-2 sebanyak 1 sarana. Temuan CPPOB lebih kepada faktor higiene dan sanitasi yang berpotensi mempengaruhi mutu pangan serta temuan pencatatan/dokumentasi dan pemenuhan persyaratan pengujian sebelum pemasaran serta label yang tidak sesuai dengan yang disetujui oleh Badan POM RI.

7

1

1

11

Marsmello w Bumbu Permen Susu

Data pemeriksaan sarana produksi pangan MD dapat dilihat pada grafik di bawah :

Gambar 37. Grafik Hasil Pemeriksaan Setempat Sarana Produksi Pangan (MD) tahun 2019

Sepanjang tahun 2019, jumlah sarana produksi pangan kategori industri pangan MD yang telah diperiksa oleh Loka POM di Kabupaten Bima berjumlah 21 sarana dengan hasil 21 sarana (100%) Tidak Memenuhi Ketentuan. Hasil pemeriksaan yang Tidak Memenuhi Ketentuan disebabkan industri pangan tersebut di atas belum menerapkan kaidah CPPOB, dimana jenis temuan sebagian besar terkait aspek sanitasi lingkungan dan fisik yang belum optimal, sarana dan prasarana yang belum memadai, fasilitas pabrik, hygiene dan sanitasi, kualifikasi personil kunci, pengelolaan bahan baku, dan tindakan pengawasan. Tindak lanjut Loka POM di Kabupaten Bima terhadap temuan tersebut, telah diberikan peringatan kepada 5 sarana dan peringatan keras kepada 16 sarana.

6.2.2. Sarana Produksi Pangan IRT

Pemeriksaan sarana produksi IRTP bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan sarana terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penerapan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk IRT guna menjamin keamanan dan mutu produk pangan yang di produksi.

Pemilihan sarana yang akan diperiksa didasarkan pada kajian analisis risiko, yaitu diprioritaskan pada sarana produksi pangan IRT dengan riwayat/track record tidak memenuhi ketentuan (menggunakan bahan berbahaya, temuan HS, temuan label, perizinan dll), sarana UMKM binaan lintas sektor (diskoperindag, DKP dll) yang menjadi unggulan daerah namun sering ditemukan mengandung bahan berbahaya seperti terasi, kerupuk terigu, mie basah dan tahu serta sarana yang lama tidak dilakukan pemeriksaan atau sarana baru.

Pada tahun 2019 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 253 sarana produksi IRTP di wilayah kerja Balai Besar POM di Mataram dari target 247 sarana (tercapai 102,43%), dengan hasil 239 sarana (94,47%) MK dan 14 sarana (5,53%) TMK, temuan higiene dan sanitasi sebanyak 11 sarana (78,57%), temuan Label 4 sarana (28,57%), temuan Menggunakan Bahan Berbahaya dalam proses produksi 3 sarana (21,42%) dan temuan perijinan 2 sarana (14,28%). Hasil pemeriksaan sarana produksi pangan industri rumah tangga dapat dilihat dari tabel berikut:

Temuan sarana TMK pada tahun 2019 terkait masalah pemenuhan Cara Produksi Pangan IRT yang baik, meliputi : higiene dan sanitasi, label, bahan berbahaya dan perijinan. Terhadap temuan tersebut telah dilakukan tindak lanjut berupa rekomendasi ke Dinas Kesehatan untuk dilakukan Pembinaan sebanyak 2 sarana, Peringatan sebanyak 10 sarana dan Peringatan Keras 2 sarana. Tindak lanjut berupa rekomendasi telah mendapatkan feedback dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota meskipun belum seluruhnya. Untuk tindak lanjut yang belum mendapat feedback secara berkala dilakukan monitoring dengan bersurat kepada Dinas Kesehatan Kab/Kota dan disampaikan pada saat Rapat Koordinasi Lintas Sektor Pengawasan Obat dan Makanan tingkat Provinsi.

Pemeriksaan yang sama dilakukan terhadap Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di wilayah pengawasan Loka POM di Kabupaten Bima. Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 52 sarana produksi pangan IRTP dengan hasil 25 sarana (48,08%) Memenuhi Ketentuan dan 27 sarana (51,92%) Tidak Memenuhi Ketentuan. Jenis temuan terhadap sarana TMK adalah terkait dengan hygiene dan sanitasi, dokumentasi sederhana dan pangan mengandung bahan berbahaya (didominasi oleh produk pangan jenis kerupuk yang mengandung boraks). Tindak lanjut dari temuan hasil pemeriksaan adalah memberikan rekomendasi pembinaan oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.

Tingginya persentase sarana produksi pangan IRT yang TMK terutama disebabkan beberapa faktor, antara lain:

1. Kurangnya awareness dari pelaku usaha dan atau karyawan dalam penerapan CPPB IRT guna menjamin keamanan dan mutu pangan yang diproduksi.

2. Terbatasnya modal usaha untuk menyiapkan sarana dan prasarana (ruang produksi dan peralatan) yang memadai untuk menunjang penerapan CPPB IRT di sarana oleh pelaku usaha dan atau karyawan.

3. Pelaku usaha yang terbiasa menggunakan bahan berbahaya sebagai bahan pembantu dalam proses produksi dan belum bersedia untuk mengganti atau enggan mengganti formula dengan bahan tambahan yang diperbolehkan.

Temuan bahan berbahaya dalam pangan masih didominasi oleh Boraks sedangkan Rhodamin sudah mengalami penurunan dan untuk penggunaan Formalin dalam pangan sudah tidak ditemukan kembali. Masih tingginya penggunaan Boraks dalam kerupuk disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Belum tersedianya bahan pengganti bleng, yaitu Sodium Tripolyphosphat (STPP) secara merata di Kabupaten/Kota di NTB (STPP masih sulit diperoleh di pasaran) dan jika tersedia harganya mahal.

2. Keengganan produsen untuk merubah metode dan formulasi yang dirasakan lebih menyulitkan dan membutuhkan waktu produksi yang lebih lama.

3. Penggunaan STPP di klaim oleh pelaku usaha tidak bisa seefektif bleng dalam proses pembuat kerupuk dan mie basah, sehingga mereka beralih kembali menggunakan bleng.

4. Belum ada tindakan tegas bagi pelaku pelanggaran berupa sanksi Pro Justitia bagi pelaku usaha agar tidak mengulangi pelanggaran yang sama.

5. Belum adanya tindakan tegas dari Pemda Kabupaten/Kota untuk melarang masuknya pangan mengandung bahan berbahaya ke wilayah masing-masing, sehingga selama di pasaran masih tersedia pangan mengandung bahan berbahaya (misalnya kerupuk mengandung boraks) maka kerupuk yang tidak mengandung boraks tidak akan laku di pasaran (konsumen lebih memilih kerupuk yang mengandung boraks)

sehingga pada akhirnya produsen kembali menggunakan boraks. Seharusnya Pemda Kabupaten/Kota membuat regulasi untuk menolak masuknya pangan yang mengandung bahan berbahaya ke wilayahnya. Produk yang mengandung bahan berbahaya dilakukan pemusnahan sehingga mampu memproteksi produsen yang sudah memiliki itikad baik tidak menggunakan bahan berbahaya dalam pangan.

6. Sulitnya memutus rantai supply and demand, termasuk sumber perolehan bahan berbahaya (bleng/boraks). 7. Efek merugikan yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan mengandung bahan berbahaya tidak

langsung dirasakan oleh masyarakat sehingga permintaan pasar akan tetap tinggi.