• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemimpin Dalam Istilah Jawa

Dalam dokumen Kepemimpinan dalam Revolusi Mental (Halaman 123-128)

PERANAN PEMIMPIN DALAM REVOLUSI MENTAL Saat ini kondisi bangsa Indonesia ibarat kapal besar

D. Pemimpin Dalam Istilah Jawa

1. Ing Ngarso Sung Tulodu (Di depan bisa memberikan keteladan)

2. Ing Madyo Mangun Karso (Di tengah bisa melindungi rakyatnya supaya selamat)

3. Tut Wuri Handayani (Di Belakang bisa mengayomi)

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berpikir dan bertindak menggunakan hati nurani. Sandarannya adalah Pancasila. Dia punya obsesi besar untuk membawa perubahan bagi bangsanya dalam segala bidang. Kepemimpinan merupakan daya dan upaya

121

dalam menuntun, mengajak, membimbing atau dan mempengaruhi diri seseorang/sekelompok menuju sebuah suatu tujuan. Karena itu, kepemimpinan memiliki pola yang dinamis berdasarkan kebutuhab dan keinginan pemimpinnya. Ada yang diktator, super-leadership, transaksional, dan meritrokrasi. Tak jarang kemampuan dan kelayakan pemimpin diukur berdasarkan model takaran yang variatif. Bisa berdasarkan pengetahuan (IQ) dan keterampilan teknis. Hal ini menjadi hal-hal penentu bagi seorang pemimpin. Tidak ada yang salah dari dua variasi tersebut.

Namun, tidak sedikit pemimpin yang berasal dari dua variasi tersebut justru memiliki tindakan tidak terpuji. Mencari seorang pemimpin pintar, cerdas, dan menguasai teknologi banyak, tetapi pemimpin berakhlak mulia sedikit sekali. Kecakapan emosional merupakan syarat utama yang setidaknya dimiliki seorang pemimpin. Tentunya makin komplet jika dibarengi dengan kemampuan analisis dan keterampilan teknis. Ini penting untuk menentukan peforma. Baik pemimpin itu sendiri maupun orang yang dipimpinnya.

Daniel Golman dalam artiket Harvard Business Review mengatakan bahwa, IQ and technical skills are important, but

emotional intelligence is the sine qua non of leadership. Hal ini dapat

dimaknai bahwa memiliki kemampuan kognitif (IQ) dan keterampilan teknis saja tidak ada artinya untuk menjadi pemimpin yang baik karena memiliki ambang batas.

Tanpa kecakapan emosional, seseorang belum menjadi pemimpin yang jadi panutan rakyat. Setidaknya ada lima komponen yang turut menentukan pengembangan kecakapan emosional pemimpin. Komponen ini terbagi dalam dua ranah, yakni

122

keterampilan mengelola diri dan kemampuan mengembangkan relasi dengan sesama.

Keterampilan mengelola diri merupakan dasar pengembangan kompetensi kepribadian dalam upaya memimpin diri. Ini erat kaitannya dengan kemampuan menguasai diri. Orang dengan tingkat penguasaan diri yang tinggi, akan semakin mengetahui kelebihan ataupun kelemahannya. Dia juga bisa keritis dalam menghadapi gejolak yang muncul.

Disamping itu, keterampian mengatur diri (self-regulation) juga sangat penting untuk mengontrol diri dari berbagai tekanan (impulses). Kemudian motivasi (motivation), yang merupakan spirit untuk memimpin diri maupun orang lain demi mencapai tujuan. Karakter pemimpin sebagai motivator ini dibutuhkan untuk menentukan arah bagi kemajuan sebuah bangsa. Negara tanpa motivator ibarat hidup tanpa harapan dan tujuan.

Yang tak kalah penting adalah kemampuan mengembangkan relasi dengan jaringan. Empati merupakan komponen keterampilan manejemen diri yang didasarkan pada rasa memiliki dan kepedulian. Ini adalah kemampuan untu memahami dan bertindak terhadap sesama dan dilandasi reaksi yang baik untuk diteladani. Dalam konteks kepemimpinan bangsa, empati merupakan komponen yang penting untuk mempercepat proses pembangunan.

Seorang pemimpin wajib memiliki dan memahami cara pandang yang luwes. Karena itu, seorang pemimpin perlu mendengar banyak aspirasi itu adalah modal utama untuk mengetahui problem yang ada. Dengan mendengar, pemimpin bisa menyikapi dan melakukan tindakan.

123

Empati ini akan membawa pemimpin yang menentukan sikap yang tepat dan terukur. Pemimpin yang punya empati lebih penting dari sekedar memiliki simpati. Dalam konteks kebangsaan, Indonesia memerlukan sosok yang empati dan peduli. Negara ini memerlukan pemimpin yang mau mendengar suara rakyatnya. Bukan sebaliknya memenuhi pesan sponsor yang akhirnya bisa membelenggu negeri ini.

Dan itu harus dimiliki oleh semua pemimpin , sebagai contoh blusukan ke kampung, bantaran kali, pasar dan tempat-tempat lainnya yang sudah dilakukan jokowi sejak dulu. Tepatnya saat dia masih menjadi walikota Solo. Saat itu, publik belum tahu siapa itu Jokowi . Kebiasaan ini terus belajut hingga Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta, orang baru mengenal lebih jauh tentang Jokowi , apalagi setelah Jokowi dipilih menjadi Presiden RI Ke-7.

Sebagian memuji aksi blusukannya, dan sebagian lainnya mencibir dan mengatakan pencitraan. Namun, Jokowi cuek saja, dia tetap blusukan ke mana-mana. Sebab, Jokowi percaya dengan bertemu dan mendengar langsung dari rakyat. Jokowi bisa tahu persoalan sebenarnya. Ideal adalah tipe pemimpin yang tidak suka laporan ABS (Asal Bapak Senang).

Selama ini Jokowi telah menunjukan keterampilan manejemen diri dan sosialnya. Ini adalah seni gaya pemimpin seorang Jokowi. Pejabat lain yang meniru aksi Jokowi dapat dipastikan kebingungan. Sebab, jika tidak punya jiwa blusukan, maka akan mendampak janggal.

Jokowi memiliki keterampilan sosial bagi seorang pemimpin. Dia mempunyai kedekatan dan kelekatan dengan rakyat. Keterampilan ini merupakan manifestasi dari realitas kesadaran

124

diri, dan rasa empati dari pengaruh sosial dan kultur. Karena itu keterampilan sosial dianggap kunci kapasitas seorang dalam membangun dan mengatur relasi secara efektif bersama rakyat. Tidak mudah mengendalikan kecakapan emosional seperti ini. Sebab keterampilan itu merupakan kekayaan personal untuk memimpin rakyat. Tidak mudah bila untuk mempelajari, memahami, dan menirunya. Kita berharap Indonesia bisa mengalami perubahan melalui revolusi mental yang bermartabat, berkarakter tanpa meninggalkan budaya ke Indonesia yang hakiki.

Apa yang Membuat Pemimpin Disukai

Bagaimana sebuah organisasi akan solid jika pemimpinnya tak disukai oleh anggota nya ? Padahal keberhasilan sebuah organisasi tergantung dari kemampuan pemimpin memperdayakan anggota yang dipimpinnya. Karena seorang pemimpin harus menjadi figur yang disukai dan menjadi teladan.

Realitisnya, kursi pemimpin selalu jadi rebutan. Semua dipertarukan. Bahkan ada yang menghalalkan segala cara demi meraih ambisinya menjadi pemimpin. Namun, ketika sudah berkuasa hanya popularitas dan menteri yang dikejar bukan lagi kewajiban sebagai pemimpin. Alhasil, hubungan pemimpin dan rakyat atau anggota organisasi hanya sekedar formalitas belaka.

Pemimpin sejati itu mampu memimpin diri sendiri, keluarga dan melayani anggota organisasi atau rakyatnya. Bukannya minta di layani. Karena mulai hati, pikiran, perkatan hingga tindakan seorang pemimpin adalah teladan, bukan sekedar bahan diskusi atau teori.

125

BAB 7

Dalam dokumen Kepemimpinan dalam Revolusi Mental (Halaman 123-128)