• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerim aan Perpaj akan

Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara telah dan akan terus ditingkatkan, dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness) dapat tercapai, sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Langkah-langkah reformasi perpajakan yang selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun masih banyak menghadapi kendala, terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Sebagai gambaran, dalam tiga tahun terakhir, penerimaan perpajakan, yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional, mengalami peningkatan rata-rata 19,8 persen per tahun, yaitu dari Rp242,0 triliun (11,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2003, menjadi Rp280,9 triliun (12,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2004, dan Rp347,6 triliun (13,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005.

Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkah-langkah pembaharuan administrasi perpajakan (tax administrative reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Sementara itu, langkah-langkah reformasi dan modernisasi administrasi perpajakan (tax administrative reform) yang dilakukan antara lain mencakup: (i) penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan; (ii) pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance; (iii) pembangunan KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak; (iv) pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online; (v) perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; serta (vi) peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional. Dalam jangka menengah, upaya-upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan, tidak hanya kepatuhan perpajakan (tax compliance), akan tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap aparat pajak, dan produktivitas aparat pajak. Khusus di bidang kepabeanan, reformasi administrasi lebih dititikberatkan pada penyempurnaan fungsi utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Penerimaan perpajakan selama periode 2003-2005 meningkat rata-rata 19,8 persen per tahun.

Langkah-langkah pem-baharuan kebijakan perpajakan.

Bab III Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

sebagai trade facilitator, community protector, dan revenue collector melalui empat sasaran strategis, yaitu (i) prakarsa Fasilitas Perdagangan; (ii) prakarsa Pemberantasan Penyelundupan dan Undervaluation; (iii) prakarsa Peningkatan Koordinasi dengan stakeholder; serta (iv) prakarsa Peningkatan Intregritas Pegawai.

Perkembangan penerimaaan beberapa jenis pajak tahun 2003-2005 dapat diikuti pada Grafik III.2.

Pe ne r im a a n Pa j a k D a la m N e ge r i

Penerimaan pajak dalam negeri, mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam penerimaan perpajakan. Dalam tiga tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak dalam negeri tersebut menunjukkan peningkatan rata-rata 19,8 persen, yaitu dari Rp230,9 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp268,2 triliun dalam tahun 2004, dan Rp331,2 triliun dalam tahun 2005. Begitu pula rasionya terhadap PDB dalam kurun waktu yang sama meningkat dari 11,3 persen pada tahun 2003, menjadi 11,6 persen pada tahun 2004, dan 12,6 persen pada tahun 2005. Dengan perkembangan tersebut, kontribusi penerimaan pajak dalam negeri sedikit meningkat dari 95,4 persen terhadap total penerimaan perpajakan pada tahun 2003, menjadi 95,5 persen pada tahun 2004, dan 95,3 persen pada tahun 2005. Penerimaan pajak dalam negeri tersebut terdiri dari penerimaan pajak penghasilan (PPh), PPN dan PPnBM, PBB dan BPHTB, cukai, dan pajak lainnya.

Penerimaan pajak da-lam negeri seda-lama pe-riode 2003-2005 me-ningkat rata-rata 19,8 persen per tahun.

-1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 % t h d P D B 2003 2004 2005 Tahun Anggaran Grafik III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN BEBERAPA JENIS PAJAK, 2003 - 2005

Bab III Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan, atau setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang dapat dipakai, baik untuk konsumsi ataupun menambah kekayaan, merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan pajak dalam negeri. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, perkembangan penerimaan PPh ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu rata-rata 23,7 persen per tahun, dari Rp115,0 triliun atau 5,6 persen terhadap PDB pada tahun 2003, menjadi masing-masing Rp134,9 triliun atau 5,9 persen terhadap PDB pada tahun 2004, dan Rp175,9 triliun atau 6,7 persen terhadap PDB dalam tahun 2005. Sebagian besar dari realisasi penerimaan PPh tersebut, yaitu sekitar 81,0 persen bersumber dari PPh nonmigas, sedangkan sisanya 19,0 persen berasal dari PPh migas. Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan PPh nonmigas, meningkat rata-rata 21,8 persen per tahun, yaitu dari Rp96,1 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp112,0 triliun pada tahun 2004, dan Rp142,5 triliun dalam tahun 2005. Sejalan dengan itu, rasio PPh nonmigas terhadap PDB juga mengalami peningkatan, dari 4,7 persen pada tahun 2003 menjadi 4,9 persen dalam tahun 2004, dan 5,4 persen dalam tahun 2005. Peningkatan penerimaan PPh nonmigas tersebut, adalah sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi selama tahun 2003-2005 dan berbagai upaya perbaikan administrasi perpajakan yang dilakukan antara lain melalui: (i) program ekstensifikasi bagi wajib pajak (WP) orang pribadi maupun badan yang telah memenuhi syarat sebagai WP; (ii) program intensifikasi pemungutan pajak melalui penegakan hukum secara tegas dan konsisten, disertai dengan upaya mengintensifkan pencairan tunggakan; serta (iii) peningkatan kualitas pelayanan kepada WP dalam rangka mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliances) melalui perluasan penerapan sistem e-registration, e-filling, dan e-payment. Selain itu, juga telah dan akan terus dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakannya, antara lain dengan kampanye sadar dan peduli pajak, melalui media cetak maupun elektronik.

Di samping langkah-langkah pembaharuan administrasi perpajakan dimaksud, dalam kurun waktu yang sama, telah pula dilakukan langkah-langkah penyempurnaan kebijakan perpajakan, yang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir lebih ditujukan untuk meningkatkan stimulus fiskal. Langkah-langkah kebijakan dimaksud antara lain meliputi: (i) penyesuaian batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp2,88 juta menjadi Rp12 juta untuk tiap diri Wajib Pajak dan (ii) pemberian fasilitas fiskal, berupa perlakuan deductible expense atas sumbangan masyarakat ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang dapat dibiayakan, sehingga akan mengurangi kewajiban pajaknya. Berbagai langkah kebijakan tersebut, dalam jangka pendek cenderung berdampak pada hilangnya sebagian potensi penerimaan perpajakan, namun hal ini dapat dikompensasi dengan dampak positif dari langkah-langkah pembaharuan dan modernisasi administrasi perpajakan sebagaimana telah disebutkan di atas.

Sejalan dengan peningkatan penerimaan PPh nonmigas, dalam kurun waktu yang sama, penerimaan PPh migas juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dengan rata-rata 32,7 persen per tahun, dari Rp19,0 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp22,9 triliun dalam tahun 2004, dan Rp33,4 triliun dalam tahun 2005. Demikian pula, rasio penerimaan PPh migas terhadap

Penerimaan pajak peng-hasilan selama periode 2003-2005 meningkat rata-rata 23,7 persen per tahun.

Penerimaan PPh non-migas selama periode 2003-2005 meningkat rata-rata 21,8 persen per tahun.

Langkah-langkah kebi-jakan administrasi da-lam mengoptimalkan penerimaan PPh.

Penerimaan PPh migas selama periode 2003-2005 meningkat rata-rata 32,7 persen per tahun.

Bab III Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

PDB juga mengalami peningkatan, dari 0,9 persen pada tahun 2003 menjadi 1,0 persen pada tahun 2004, dan 1,3 persen dalam tahun 2005. Perkembangan penerimaan PPh migas tersebut, sangat dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah, dan produksi minyak mentah Indonesia, terutama lifting (minyak mentah yang terjual).

Dalam periode yang sama, penerimaan PPN dan PPnBM, atau pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak, serta pajak atas penjualan barang mewah, meningkat dengan rata-rata 15,4 persen per tahun, yaitu dari Rp77,1 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp87,6 triliun pada tahun 2004, dan Rp102,7 triliun pada tahun 2005, sedangkan rasionya terhadap PDB relatif stabil, yaitu 3,9 persen.

Kenaikan penerimaan PPN dan PPnBM yang cukup signifikan tersebut, selain dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi ekonomi yang merupakan objek PPN dan PPnBM karena didorong oleh semakin kondusifnya kondisi perekonomian seperti ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, juga dipengaruhi oleh berbagai langkah-langkah administratif dan kebijakan PPN dan PPnBM yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Langkah administrasi yang telah dilakukan tersebut antara lain meliputi: (i) perluasan pengusaha kena pajak (ekstensifikasi) dan (ii) intensifikasi terhadap subyek dan obyek pengenaan PPN, yaitu dengan melakukan pemungutan PPN terhadap PKP yang menjalankan kegiatan usaha pada sektor-sektor usaha yang mempunyai pertumbuhan tinggi, serta penagihan dan pencairan PPN secara aktif terhadap PKP yang diduga mempunyai potensi menunggak. Di samping itu, juga telah dilakukan langkah-langkah penyempurnaan sistem dan administrasi PPN dan PPnBM, yang meliputi antara lain penyempurnaan terhadap sistem teknologi informasi, manajemen pemeriksaan, dan pengembangan program aplikasi on-line. Sejalan dengan itu, dilakukan pula langkah-langkah kebijakan di bidang PPN dan PPnBM yang lebih ditujukan untuk mendorong stimulus fiskal. Langkah-langkah kebijakan tersebut antara lain meliputi: (i) pemberian fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM atas impor sementara BKP sesuai dengan pemberian fasilitas bea masuk; (ii) penghapusan PPnBM atas 28 jenis barang yang terkena PPnBM, diantaranya susu, keju, minuman yang tidak mengandung alkohol, dan yoghurt; (iii) pemberian fasilitas PPN dibebaskan atas BKP tertentu yang bersifat strategis yang diperlukan untuk penanganan bencana alam nasional; dan (iv) pemberian fasilitas PPN atas BKP tertentu untuk keperluan penerbangan internasional.

Seperti halnya penerimaan PPN dan PPnBM, perkembangan penerimaan PBB, atau pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan yang ada diatasnya, dalam tiga tahun terakhir juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan, yaitu mencapai rata-rata 23,6 persen per tahun, dari Rp8,8 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp11,8 triliun pada tahun 2004, dan Rp13,4 triliun dalam tahun 2005. Sedangkan rasionya terhadap PDB relatif stabil, yaitu sekitar 0,5 persen. Faktor mendasar yang mempengaruhi perkembangan penerimaan PBB ini, selain karena tingginya penerimaan PBB sektor pertambangan sebagai dampak

Perkembangan peneri-maan PPN dan PPnBM dari tahun 2003-2005 rata-rata meningkat 15,4 persen per tahun.

Kebijakan yang dilaku-kan di bidang PPN dan PPnBM.

Perkembangan pene-rimaan PBB dari tahun 2003-2005 rata-rata meningkat 23,6 persen per tahun.

Bab III Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

dari tingginya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional, dan depresiasi nilai tukar rupiah, juga berkaitan dengan berbagai langkah intensifikasi dan ekstensifikasi, seperti program canvasing secara berkesinambungan dan sistematis, yang didukung oleh bank data, dan data smart mapping PBB. Demikian pula, penerimaan BPHTB, yaitu pajak yang dikenakan terhadap perolehan atas tanah dan bangunan, baik pemindahan maupun pemberian hak baru, dalam tiga tahun terakhir juga terus meningkat dengan rata-rata 30,7 persen per tahun, yaitu dari Rp2,9 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp2,9 triliun pada tahun 2004, dan Rp3,7 triliun dalam tahun 2005. Selain dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, perkembangan penerimaan BPHTB tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang telah dilakukan, baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemungutan BPHTB, maupun untuk mengurangi beban BPHTB pada wajib pajak yang dianggap layak untuk mendapatkannya, seperti wajib pajak Badan KORPRI/PNS dan Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi. Selanjutnya, dalam tiga tahun terakhir, penerimaan cukai mengalami peningkatan rata-rata 12,7 persen, yaitu dari Rp26,3 triliun dalam tahun 2003 menjadi Rp29,2 triliun pada tahun 2004, dan Rp33,4 triliun pada tahun 2005. Sekalipun demikian, persentase penerimaan tersebut terhadap PDB cenderung konstan sekitar 1,3 persen. Di samping dipengaruhi oleh perkembangan beberapa variabel ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan penerimaan cukai juga dipengaruhi oleh kebijakan menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 15 persen untuk semua jenis industri rokok sebagaimana diatur dalam KMK Nomor 43/PMK.04/2005.

Selain itu, kinerja penerimaan cukai dalam kurun waktu tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari langkah-langkah administratif yang dilaksanakan dan ditingkatkan secara berkesinambungan, yang meliputi antara lain: (i) peningkatan upaya pemberantasan peredaran rokok polos, rokok yang dilekati pita cukai palsu, dan rokok yang dilekati dengan pita cukai yang bukan haknya; (ii) peningkatan pelayanan dalam penyediaan dan distribusi pita cukai melalui penerapan excise service system (ESS) untuk mempercepat proses pelayanan pita cukai serta meningkatkan akurasi data penerimaan cukai hasil tembakau; (iii) peningkatan sistem pengawasan dalam rangka penegakan hukum melalui peningkatan sarana dan prasarana pengawasan, pengetahuan dan keahlian SDM di bidang pengawasan; serta (iv) peningkatan pelaksanaan verifikasi dan audit melalui pengkajian dan penyempurnaan sistem dan prosedur kegiatan verifikasi dan audit.

Sementara itu, penerimaan pajak lainnya yang komponen utamanya berasal dari bea materai, dalam kurun waktu yang sama menunjukkan peningkatan rata-rata 15,3 persen per tahun, yaitu dari Rp1,7 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp1,8 triliun pada tahun 2004, dan Rp2,2 triliun pada tahun 2005. Peningkatan penerimaan pajak lainnya tersebut selain dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang mendorong meningkatnya jumlah transaksi yang membutuhkan bea meterai, juga berkaitan dengan langkah-langkah administratif yang dilakukan secara konsisten antara lain berupa (i) pengawasan terhadap penggunaan bea meterai, mesin teraan meterai, teraan tanda lunas bea meterai; (ii) peningkatan pengawasan terhadap beredarnya meterai palsu; dan (iii) kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengawasan terhadap pemberantasan meterai palsu.

Perkembangan pene-rimaan BPHTB dari tahun 2003-2005 rata-rata meningkat 30,7 persen per tahun.

Perkembangan pene-rimaan cukai dari tahun 2003-2005 rata-rata meningkat 12,7 persen per tahun.

Kebijakan yang mem-pengaruhi penerimaan cukai.

Perkembangan pene-rimaan pajak lainnya dari tahun 2003-2005 rata-rata meningkat 15,3 persen per tahun.

Bab III Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara