• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pert um buha n Ek onom i

Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah meningkat cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir, mencapai 5,1 persen dalam tahun 2004. Komponen pertumbuhan ekonomi yang mendasarinya juga menunjukkan kecenderungan yang lebih sustainable, yang ditandai dengan pertumbuhan investasi dan ekspor yang signifikan, meskipun konsumsi swasta masih memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian. Investasi tumbuh sebesar 15,7 persen setelah tiga tahun mengalami pertumbuhan yang rendah. Lebih dari itu, ekspor meningkat sebesar 8,5 persen sementara pertumbuhan konsumsi masih kuat pada tingkat 4,6 persen.

Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penguatan yang cukup signifikan dalam triwulan I tahun 2005. Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dalam triwulan I tahun 2005 (y-o-y) mencapai sebesar 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 4,4 persen. Dalam beberapa triwulan terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan penguatan yang terus berlanjut.

Kecenderungan penguatan kinerja pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I 2005 juga didukung oleh membaiknya pola ekspansi ekonomi. Pembentukan modal tetap bruto dalam triwulan I tahun 2005 tumbuh sebesar 15,0 persen. Lebih dari itu, meskipun kinerja perekonomian global sedikit mengalami perlambatan, ekspor barang dan jasa tumbuh relatif kuat sebesar 13,4 persen. Pada sisi lain, dalam triwulan I tahun 2005, konsumsi masyarakat yang mencakup sekitar 65 persen dari total pembentukan PDB, tumbuh sebesar 3,2 persen, lebih lambat dibanding triwulan yang sama tahun 2004.

Konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia diharapkan tetap dapat menjaga kepercayaan pelaku pasar. Selain itu, komitmen Pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan pembenahan sektor riil termasuk di dalamnya kebijakan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah meningkat cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir, mencapai 5,1 persen dalam tahun 2004.

Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia m e n u n j u k k a n penguatan yang cukup signifikan dalam triwulan I tahun 2005.

Konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter diharapkan tetap dapat menjaga kepercayaan

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

mendorong aktifitas produktif secara keseluruhan. Dengan demikian, kecenderungan penguatan kinerja ekonomi dan membaiknya pola ekspansi ekonomi diharapkan berlanjut dalam triwulan-triwulan berikutnya. Pertumbuhan investasi dalam keseluruhan tahun 2005 diperkirakan masih relatif kuat mencapai sekitar 14,2 persen. Pada sisi lain, seiring relatif masih kuatnya kondisi eksternal dan didukung oleh berbagai kebijakan pembenahan di sektor riil, ekspor barang dan jasa diharapkan tumbuh sebesar 11,0 persen. Sementara itu, konsumsi masyarakat diperkirakan masih tumbuh cukup kuat sebesar 5,2 persen. Secara keseluruhan, laju pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai sekitar 6,0 persen.

Momentum penguatan kinerja ekonomi nasional yang diikuti dengan perbaikan pola ekspansi tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam tahun 2006. Stabilitas ekonomi domestik yang diperkirakan relatif terjaga, berbagai upaya pembenahan di sektor riil, serta dukungan membaiknya perekonomian global merupakan faktor-faktor penting bagi penguatan kinerja ekonomi nasional dalam tahun 2006. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi nasional dalam tahun 2006 diharapkan dapat mencapai sebesar 6,2 persen.

Dari sisi penggunaan, konsumsi masyarakat yang mencakup sekitar 65 persen dalam pembentukan PDB diperkirakan masih tumbuh relatif tinggi sekitar 5,3 persen, menguat dibanding tahun 2005 yang diperkirakan tumbuh sekitar 5,2 persen. Perkiraan tingginya konsumsi masyarakat dalam tahun 2006 selain disebabkan oleh relatif terkendalinya tingkat harga domestik, juga dipengaruhi oleh perkiraan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga daya beli masyarakat meningkat. Selain itu, suku bunga domestik yang diperkirakan masih terkendali pada tingkat yang relatif rendah diharapkan dapat mendorong kredit konsumsi sehingga pada gilirannya akan dapat menaikkan konsumsi masyarakat khususnya konsumsi non-makanan. Berbagai kemudahan terhadap akses kredit konsumsi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pembiayaan konsumen merupakan faktor lain penggerak konsumsi masyarakat.

Konsumsi masyarakat yang masih relatif tinggi dalam tahun 2006 diperkirakan juga diikuti oleh penguatan kinerja di sektor produktif. Kecenderungan penguatan kinerja investasi (pembentukan modal tetap bruto/ PMTB) yang mulai terjadi sejak tahun 2004 diperkirakan terus berlanjut dalam tahun 2006. PMTB diperkirakan tumbuh sebesar 15,2 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2005 yang diperkirakan tumbuh sebesar 14,2 persen. Penguatan kinerja investasi dalam tahun 2006 terutama akan didorong oleh realisasi tindak lanjut infrastructure summit pada awal tahun 2005 untuk menarik dukungan pembiayaan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pengadaan air bersih, pelabuhan udara, listrik dan sebagainya. Hal ini pada gilirannya juga diharapkan akan dapat menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia mengingat infrastruktur merupakan salah satu determinan penting dari investasi. Perbaikan kinerja investasi dalam tahun 2006 juga diperkirakan terkait dengan peningkatan kinerja industri pengolahan khususnya subsektor industri peralatan dan perlengkapan transportasi. Realisasi dan proyeksi pertumbuhan PDB 2003-2006 dapat dilihat dalam Tabel II.3.

Momentum penguatan kinerja ekonomi nasional diperkirakan akan berlanjut dalam tahun 2006.

Konsumsi masyarakat yang masih relatif tinggi diperkirakan juga diikuti oleh penguatan kinerja di sektor produktif dalam tahun 2006.

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

Selain itu, optimisme penguatan kinerja investasi dalam tahun 2006 terutama didasarkan pada kecenderungan semakin meningkatnya kepercayaan pasar terlihat dari kecenderungan meningkatnya indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan meningkatnya volume saham yang diperdagangkan. Berbagai kebijakan pemerintah menyangkut upaya pembenahan sektor riil seperti penyederhanaan prosedur perijinan penanaman modal menjadi maksimal 30 hari, reformasi di bidang perpajakan dan kepabeanan, penyelesaian undang-undang ketenagakerjaan, penyelesaian undang-undang penanaman modal, serta berbagai langkah nyata penanganan masalah korupsi diharapkan juga dapat memberikan sinyal positif bagi para pelaku pasar, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan iklim investasi guna mendorong kinerja investasi secara keseluruhan.

Sementara itu, laju pertumbuhan ekspor dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 10,2 persen atau sedikit mengalami perlambatan dibanding tahun 2005 yang diperkirakan tumbuh sekitar 11,0 persen. Meskipun sedikit mengalami perbaikan, kondisi perekonomian dunia diperkirakan masih dilingkupi oleh relatif tingginya harga minyak internasional, kebijakan moneter yang cenderung ketat di sejumlah negara industri utama, dan berlanjutnya ketidakseimbangan global. Semakin ketatnya persaingan di pasar global juga

2003 2004 2005 2006

PDB 4,9 5,1 6,0 6,2

Menurut Penggunaan

Konsumsi Rumah Tangga 3,9 4,9 5,2 5,3

Konsumsi Pemerintah 10,0 1,9 8,1 2,3

PMTB 1,0 15,7 14,2 15,2

Ekspor Barang dan Jasa 8,2 8,5 11,0 10,2

Impor Barang dan Jasa 2,7 24,9 12,6 13,4

Menurut Lapangan Usaha

Pertanian 4,3 4,1 3,8 3,9

Pertambangan dan Penggalian -0,9 -4,6 2,7 0,1

Industri Pengolahan 5,3 6,2 7,3 7,5

Listrik, Gas, dan Air Bersih 5,9 5,9 6,7 8,6

Bangunan 6,7 8,2 8,2 9,6

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 5,3 5,8 6,3 6,7

Pengangkutan dan Komunikasi 11,6 12,7 10,7 10,9

Keuangan dan Lainnya 7,0 7,7 6,2 7,7

Jasa-jasa 3,9 4,9 4,0 4,1

Sumber: Badan Pusat Statistik (2003-2004)

Tabel II.3

REALISASI DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN

Proyeksi Realisasi

PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) RIIL TAHUN 2003-2006 ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

kinerja ekspor nasional. Dari sisi internal, beberapa tantangan yang masih menghadang meliputi; (i) ekonomi biaya tinggi yang membayangi perekonomian domestik sehingga menghambat daya saing produk ekspor nasional, (ii) masih relatif lemahnya iklim usaha sehingga menghambat investasi dalam industri penghasil ekspor, dan (iii) relatif rendahnya akses terhadap kualitas dan kuantitas prasarana yang memadai sehingga mengakibatkan inefisiensi perdagangan.

Seiring dengan relatif masih kuatnya konsumsi masyarakat dan kecenderungan menguatnya kinerja investasi, kebutuhan impor juga diperkirakan masih relatif tinggi. Laju pertumbuhan impor barang dan jasa dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 13,4 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2005 yang diperkirakan tumbuh sekitar 12,6 persen. Dari sisi penawaran, momentum penguatan kinerja ekonomi diperkirakan berlanjut dalam tahun 2006 yang ditunjukkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan terjadi pada hampir seluruh lapangan usaha. Laju pertumbuhan tertinggi diperkirakan terjadi pada sektor-sektor yang tidak diperdagangkan (non-tradable sectors) seperti pengangkutan dan komunikasi (10,9 persen), bangunan (9,6 persen), listrik, gas, dan air bersih (8,6 persen), dan sektor keuangan (7,7 persen).

Dalam tahun 2006, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami perbaikan, yakni tumbuh sekitar 3,9 persen, lebih tinggi dibandingkan perkiraan laju pertumbuhan tahun 2005 sebesar 3,8 persen. Komitmen Pemerintah untuk melakukan revitalisasi sektor pertanian juga diharapkan dapat mendorong kinerja sektor ini secara keseluruhan. Faktor lain yang diperkirakan turut mendorong kinerja sektor pertanian tersebut yaitu perkiraan relatif kondusifnya iklim serta produktifitas yang semakin baik sehingga akan dapat mendorong pertumbuhan nilai tambah sektor pertanian. Sementara itu, sektor bangunan masih menunjukkan kinerja yang cenderung meningkat. Laju pertumbuhan sektor bangunan dalam tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 9,6 persen, lebih tinggi dibandingkan perkiraan laju pertumbuhan tahun 2005 sekitar 8,2 persen. Dukungan pembiayaan sektor perbankan yang semakin baik menjadi faktor pendorong tersendiri meningkatnya kinerja sektor bangunan. Selain itu, tindak lanjut program pembangunan infrastruktur secara langsung akan dapat mendorong kinerja sektor bangunan.

Sektor pertambangan dan penggalian yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan negatif, dalam tahun 2006 diperkirakan tumbuh positif sebesar 0,1 persen. Hal ini terkait dengan mulai masuknya investasi baru pada sektor pertambangan dan penggalian.

Pada sisi lain, kinerja sektor industri pengolahan, khususnya subsektor industri pengolahan non-migas, yang cenderung semakin baik dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan akan berlanjut dalam tahun 2006. Dalam tahun 2006, industri pengolahan diperkirakan tumbuh sekitar 7,5 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan tahun 2005 sekitar 7,3 persen. Berbagai upaya pembenahan di sektor riil yang telah menjadi prioritas agenda Pemerintah seperti peningkatan kepastian berusaha dan peningkatan daya

Dari sisi penawaran, momentum penguatan kinerja ekonomi diperkirakan berlanjut dan terjadi pada hampir seluruh lapangan usaha.

Kinerja sektor pertanian d i p e r k i r a k a n mengalami perbaikan, yakni tumbuh sekitar 3,9 persen.

Dalam tahun 2006, industri pengolahan diperkirakan tumbuh sekitar 7,5 persen.

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

saing industri dan ekspor diharapkan dapat mendorong kinerja sektor industri pengolahan nasional. Selain itu, komitmen pemerintah untuk mendukung pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga diharapkan akan dapat memperkuat struktur industri nasional. Faktor lain yang diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan kinerja sektor industri pengolahan adalah semakin baiknya kinerja sektor pembiayaan pada sisi internal, dan relatif membaiknya kinerja perekonomian global yang diharapkan akan dapat mendorong permintaan produk ekspor hasil-hasil industri nasional.

I nflasi

Laju inflasi yang pada awal tahun meningkat cukup signifikan hingga mencapai 8,81 persen (y-o-y) pada Maret 2005, cenderung menurun pada bulan-bulan berikutnya hingga mencapai 7,84 persen (y-o-y) pada Juli 2005. Dalam periode Januari-Juli 2005 laju inflasi kumulatif mencapai 5,09 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,69 persen. Inflasi pada periode tersebut selain dipengaruhi oleh kenaikan harga BBM dan bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, juga dipengaruhi oleh masih tingginya ekspektasi inflasi dan kenaikan harga barang impor terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah serta tingginya harga minyak internasional, kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 15 persen, serta kenaikan tarif uang sekolah. Dalam bulan-bulan mendatang inflasi diperkirakan masih akan mengalami tekanan terkait dengan masih tingginya harga minyak dunia, serta faktor musiman seperti Lebaran, Natal, dan Tahun baru.

Dilihat dari inflasi bulanan, selama enam bulan yaitu Januari, Maret, April, Mei, Juni, dan Juli terjadi inflasi, dan satu bulan yakni bulan Februari, terjadi deflasi sebesar 0,17 persen. Deflasi pada bulan Februari tersebut terutama dikarenakan oleh menurunnya harga kelompok bahan makanan. Selama Januari-Juli 2005, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 1,91 persen dan inflasi terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 0,21 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi bulanan pada Januari 2005 sebesar 1,43 persen, antara lain adalah bencana alam tsunami di NAD dan Sumatera Utara, yang memicu kenaikan harga bahan pangan dan makanan jadi. Adapun inflasi pada bulan Maret 2005 tersebut antara lain dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata 29 persen, yang mendorong meningkatnya indeks harga semua kelompok pengeluaran antara 0,12 persen sampai dengan 10,03 persen. Kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan tertinggi pada bulan Maret 2005 adalah kelompok transpor dan komunikasi dan jasa keuangan sebesar 10,03 persen, disusul kemudian oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 1,62 persen, dan kelompok sandang sebesar 0,64 persen. Pada bulan tersebut kenaikan indeks harga terendah terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 0,12 persen. Pada bulan-bulan berikutnya laju inflasi cenderung menurun yaitu sebesar 0,34 persen, 0,21 persen, 0,50 persen, dan 0,78 persen masing-masing pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli 2005.

Laju inflasi yang pada awal tahun meningkat cukup signifikan hingga mencapai 8,81 persen (y-o-y) pada Maret 2005, cenderung menurun pada bulan-bulan berikutnya.

Selama Januari-Juli 2005 inflasi tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 1,91 persen dan inflasi terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 0,21 persen.

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

Inflasi pada bulan Juli 2005 sebesar 0,78 persen atau 7,84 persen (y-o-y), merupakan inflasi tertinggi pada periode yang sama dalam tiga tahun terakhir. Tingginya inflasi pada bulan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya indeks harga semua kelompok pengeluaran seperti kelompok bahan makanan (2,07 persen), pendidikan, rekreasi dan olah raga (0,95 persen), sandang (0,55 persen), makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (0,44 persen), perumahan dan kesehatan masing-masing (0,31 persen), serta kelompok transpor dan komunikasi dan jasa keuangan (0,04 persen). Sementara itu bila dilihat dari komoditi-komoditi yang mempunyai andil dalam pembentukan inflasi pada bulan Juli antara lain cabe, beras, telur ayam ras, rokok kretek, dan tarif uang sekolah. Sedangkan komoditi yang mengalami penurunan harga antara lain daging ayam ras terkait dengan adanya wabah fluburung, dan bawang merah, serta seng. Selama bulan Juli 2005, 40 kota mengalami inflasi, dan 5 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi (2,36 persen) terjadi di Sibolga, dan inflasi terendah (0,38 persen) terjadi di Balikpapan. Sedangkan deflasi terbesar (2,76 persen) terjadi di Lhokseumawe, dan deflasi terkecil (0,07 persen) terjadi di Jayapura.

Secara kumulatif inflasi selama Januari-Juli 2005 mencapai sebesar 5,09 persen, yang antara lain dipicu oleh tingginya kenaikan indeks harga kelompok transpor dan komunikasi & jasa keuangan (11,40 persen), makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (5,50 persen), bahan makanan (4,49 persen), dan perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar (4,01 persen). Selanjutnya diikuti oleh meningkatnya indeks harga kelompok kesehatan (2,54 persen), sandang (2,17 persen), dan pendidikan (1,62 persen). Perkembangan inflasi menurut kelompok pengeluaran selama Januari-Juli 2005 dapat dilihat pada Grafik II.2.

Dilihat dari inflasi menurut kota, hasil survey yang dilakukan BPS di 45 kota menunjukkan bahwa selama Januari-Juli 2005 seluruh kota mengalami inflasi. Inflasi kumulatif tertinggi terjadi di Banda Aceh sebesar 14,90 persen dan terendah di Palangkaraya sebesar 1,31 persen. Kota-kota yang mengalami inflasi kumulatif cukup tinggi selama Januari-Juli 2005 antara lain Bengkulu (8,23 persen), Kendari (7,25 persen), Tasikmalaya (7,0 persen),

Grafik II.1

PERKEMBANGAN INFLASI UMUM DAN BAHAN MAKANAN JANUARI 2004 -JULI 2005 -4,00 -2,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Jan 04

Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan 05

Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Sumber : Badan Pusat Statistik

y-o-y,% -1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 m-t-m,% Umum (m-t-m) Umum (y-o-y) Bahan Makanan (y-o-y)

Inflasi pada bulan Juli 2005 sebesar 0,78 persen atau 7,84 persen (y-o-y), merupakan inflasi tertinggi pada periode yang sama dalam tiga tahun terakhir.

Kumulatif inflasi selama Januari-Juli 2005 mencapai sebesar 5,09 persen.

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

Medan (6,81 persen), Padang (6,57 persen), Balikpapan (5,95 persen), Bandar Lampung (5,83 persen), Mataram (5,62 persen), Tegal (5,46 persen), serta Pangkal Pinang dan Semarang masing-masing (5,28 persen). Secara fundamental tingginya laju inflasi pada tujuh bulan pertama tahun 2005 terutama disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan kebijakan administered price dan meningkatnya harga barang impor dan barang yang menggunakan bahan baku impor, sehubungan dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya harga minyak mentah dunia. Pada lima bulan ke depan, laju inflasi diperkirakan masih akan mengalami tekanan terkait dengan masih tingginya harga minyak mentah dunia dan relatif melemahnya nilai tukar rupiah. Hal tersebut ditambah pula dengan rencana kebijakan untuk menaikan tarif tol, dan kenaikan harga gas, harga BBM untuk industri, serta adanya hari raya keagamaan (Lebaran dan Natal) pada bulan November dan Desember 2005, diperkirakan akan mendorong peningkatan laju inflasi. Dalam rangka mengurangi tekanan inflasi tersebut, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa meningkatkan koordinasi dalam melakukan pemantauan dan pengendalian inflasi, yang antara lain ditempuh melalui kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok, menurunkan ekspektasi inflasi yang masih berada pada level yang tinggi, meminimalkan dampak lanjutan administered price. Dengan berbagai kebijakan tersebut diharapkan peningkatan laju inflasi dapat dihambat, sehingga sampai dengan akhir tahun 2005 laju inflasi dapat ditekan pada level sekitar 8,0 persen. Perkiraan realisasi inflasi tersebut lebih tinggi dari yang diperkirakan dalam APBN sebesar 5,5 persen, dan APBN-P sebesar 7,5 persen.

Dalam tahun 2006, laju inflasi diperkirakan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun 2005. Penurunan inflasi ini didasarkan pada harapan menurunnya ekspektasi inflasi, perkiraan minimalnya dampak administered price, menurunnya inflasi dunia, relatif stabilnya nilai tukar rupiah, serta tercukupinya pasokan dan lancarnya arus distribusi kebutuhan bahan pokok

Grafik II.2.

PERKEMBANGAN LAJU INFLASI KUMULATIF MENURUT KELOMPOK PENGELUARAN, JANUARI-JULI 2005

4,49 5,50 4,01 2,17 2,54 1,62 11,40 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 Bahan Makanan

Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi dan Olah raga Transpor dan Komunikasi

Sumber : Badan Pusat Statistik

Dalam tahun 2005 laju inflasi diperkirakan mencapai sekitar 8,0 persen.

Dalam tahun 2006 laju inflasi IHK diperkirakan mencapai sekitar 7,0 persen.

Bab II Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia dan Asumsi Dasar RAPBN 2006

pengendalian inflasi, maka dalam tahun 2006 laju inflasi IHK diperkirakan mencapai sekitar 7,0 persen.